Alat Pembuktian Kepemilikan Bidang Tanah yang Belum Bersertifikat

LEGAL OPINION
Question: Jika bidang tanah sudah dibuatkan sertifikat tanah dari BPN, maka itu jadi bukti siapa pemilik tanah yang paling sah dan paling berhak. Tapi bagaimana jika bidang tanahnya masih belum bersertifikat, alat bukti apa yang dapat membuktikan pihak siapa yang paling berhak bila nantinya ada sengketa dengan pihak lain yang juga mengaku sebagai pemilik?
Brief Answer: Baik bidang tanah yang telah bersertifikat maupun yang belum diterbitkan bukti pendaftaran (sertifikasi) oleh Kantor Pertanahan setempat, pada prinsipnya yang menjadi alat bukti terkuat ialah suatu “alas hak”, yakni sebentuk surat keterangan dari otoritas setempat seperti Kepala Desa yang menerangkan bahwa seseorang warga bersangkutan adalah benar sebagai pengolah atau penguasa fisik bidang tanah selama sekian puluh tahun.
Hal kedua yang cukup menarik dari praktik peradilan berdasarkan best practice, tidak selamanya gugatan terkait hak atas tanah beban pembuktiannya selalu harus dibebankan oleh Majelis Hakim kepada pihak Penggugat yang mengajukan gugatan, karena pihak Tergugat pun ternyata harus membuktikan bahwa dirinya memiliki “alas hak” sehingga patut dilindungi oleh hukum—hal demikian menjadi penting, agar tidak ada seorang pun warga yang secara tanpa hak mengklaim kepemilikan suatu bidang tanah.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup menarik dan memiliki relevansi, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 777 K/Pdt/2017 tanggal 16 Mei 2017, perkara antara:
- PUJI BIN AKUP, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- TITAH BIN SILEH, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat mendaku menguasai sebidang tanah di Aceh dengan luas 6.027 m², yang dimaksud diperoleh dari hasil garapan Penggugat sendiri dengan pembukaan tanah hutan negara pada Tahun 1995, sebagaimana dibuktikan dari Surat Pernyataan Penggarapan Tanah berikut dengan denah bidang tanah yang diketahui dan atau dibenarkan oleh Kepala Kampung setempat.
Objek tanah digarap oleh Penggugat secara terus-menerus tanpa ada persengketaan dengan pihak manapun, sebelum kemudian pada Tahun 1996 Penggugat menjualnya kepada Tergugat, dengan perjanjian bahwa objek tanah dibeli oleh Tergugat dimana pembayaran dalam tiga bulan ke depan dengan harga sebesar 30 gram emas.
Penggugat bersedia menjual objak tanah dengan syarat demikian, dengan pertimbangan bahwa Tergugat merupakan adik ipar Penggugat. Namun setelah tiga bulan berselang, Penggugat meminta kepada Tergugat untuk membayar harga tanah yang dahulu dijanjikan, akan tetapi Tergugat tidak kunjung menunjukkan itikad baik untuk membayar, dengan alasan bahwa Tergugat belum mempunyai uang. Tergugat hanya menjanjikan akan membayar harga pembelian jika sudah mempunyai dana.
Sejak Tahun 1998, objek tanah tersebut mulai ditanami oleh Tergugat dengan kelapa sawit, dimana jumlah tanaman sawit yang tumbuh sampai dengan sekarang berjumlah sekitar 112 batang, dimana Tergugat sendiri yang memanen dan menikmati hasilnya sampai dengan gugatan ini dimajukan ke Pengadilan.
Terjadilah hal yang mengejutkan, pada pertengahan tahun 2012 Tergugat justru hendak menjual objak tanah kepada pihak lain. Penggugat melarangnya dan menyampaikan kepada calon pembeli supaya objek tanah jangan dibeli, sebab bidang tanah masih merupakan milik Penggugat dimana Tergugat belum memenuhi kewajibannya untuk membayar harga tanah milik Penggugat.
Sekalipun Penggugat telah berulang-kali meminta kepada Tergugat untuk Tergugat memenuhi kewajibannya membayar harga tanah yang dahulu diperjual-belikan dengan harga sebagaimana yang diperjanjikan, akan tetapi Tergugat tidak juga memenuhi kewajibannya.
Akibat harga tanah yang tidak kunjung dibayar oleh Tergugat, Penggugat kemudian meminta kepada Tergugat agar berkenan mengembalikan bidang tanah kepada Penggugat, namun Tergugat tidak menanggapi secara serius, dan berkesan menantang hukum karena saat kini Tergugat tidak berniat mengembalikan tanah milik Penggugat ataupun membayarnya.
Pada akhirnya saat tahun 2014, Penggugat mendatangi dan menyampaikan persoalan tersebut kepada Kepala Desa untuk memfasilitasi penyelesaian sangketa antara Penggugat dengan Tergugat, selanjutnya Penggugat dan Tergugat diundang oleh Kepala Desa untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dimana pihak Tergugat tidak bersedia menghadiri.
Dalam kesempatan lain, Penggugat menawarkan opsi alternatif penyelesaian sengketa agar objek tanah oleh Tergugat cukup dibayar dengan harga Rp10.000.000,00 akan tetapi Tergugat tetap menolak dan hanya bersedia membayar sebesar Rp8.500.000,00. Karena tidak tercapai kesepakatan, maka dianggap pihak Tergugat tidak lagi dapat dilakukan negosiasi apapun.
Bulan Mei 2015, saudara dari Penggugat mendatangi lokasi objek tanah yang dikuasai Tergugat dan menemukan adanya pekerja sedang memanen buah kelapa sawit. Ketika ditanyakan kepada pekerja tersebut, mereka menyatakan bahwa mereka bekerja atas suruhan dari Tergugat, sehingga saudara Penggugat melarang dan menyampaikan supaya sawit jangan dipanen, sebab bidang tanah masih dalam sengketa.
Akibat larangan dari saudara Penggugat, Tergugat mengadukan Saudara Penggugat ke Polres Aceh dengan sangkaan pasal pidana ‘pengancaman’. Menghadapi upaya kriminalisasi demikian, agar tidak merugi dua kali lipat oleh perilaku Tergugat yang sangat memulai nurani keadilan, maka gugatan perdata ini ditempuh sebagai solusi yang paling rasional.
Penggugat jelas berkeberatan atas perilaku Tergugat, perbuatan mana dikategorikan sebagai “perbuatan melawan hukum” (onrechmatigdaad) yang secara terang telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat, yakni Tergugat dengan menguasai dan menikmati keuntungan dari objek tanah secara merugikan hak Penggugat, perbuatan mana bertentangan dengan norma hukum dan kepatutan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, yang merujuk kaedah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
”Tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian hak maka diwajibkan pihak-pihak yang membuat kerugian menggantikan kepada pihak yang dirugikan.”
Sebagaimana ditulis oleh Rosa Agustina, dalam “Perbuatan Melawan Hukum”, Penerbit Universitas Indonesia (2003), hal. 117, disebutkan bahwa dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai melawan hukum, diperlukan empat syarat, yakni: bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Singkil kemudian menjatuhkan putusannya Nomor 14/Pdt.G/2015/PN.SKL., tanggal 29 Juni 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan Penggugat penguasa atau pemilik bidang tanah sebagaimana Surat Pernyataan Penggarapan Tanah dengan denah lokasi tanahnya tertanggal 7 Agustus 2015, dengan batas dan ukuran sebagai berikut: ...;
4. Memerintahkan kepada Tergugat agar bidang tanah objek sengketa sebagaimana Surat Pernyataan Penggarapan Tanah dengan denah lokasi tanahnya tertanggal 7 Agustus 2015, dengan batas dan ukurannya diserahkan kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian sebesar Rp1.600.000,00 kepada Penggugat;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditaksir sebesar Rp 2.931.000,00;
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi lewat putusan register Nomor 99/PDT/2016/PT.BNA., tanggal 24 Oktober 2016.
Pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak karena mengandung kaedah hukum konkret, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi pada tanggal 29 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 9 Januari 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, bahwa ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat dapat membuktikan haknya atas tanah objek sengketa yang diperoleh dari Ilyas Lembong, dimana penguasaan oleh Ilyas Lembong telah dialihkan kepada Penggugat;
- Bahwa penguasaan objek sengketa tersebut oleh Penggugat dikuatkan dengan adanya Surat Pernyataan Penguasaan Tanah tanggal 7 Agustus 2015 yang diketahui oleh Kepala Kampung bernama Lukman;
- Sebaliknya, Tergugat tidak dapat membuktikan adanya peralihan penguasaan objek sengketa dari Penggugat kepada Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PUJI BIN AKUP tersebut harus ditolak;
“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PUJI Bin AKUP tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.