BREAK THE CHAIN OF KARMIC LAW, Itulah Misi Penyelamatan Misionaris Buddhisme

Dukkha Tertinggi menurut Pandangan Agama Buddha

Neraka Bukanlah Dukkha Tertinggi, namun adalah Siklus Lingkaran Samsara alias Tumimbal Lahir Tidak Berujung dan Tidak Kenal Akhir

Question: JIka dalam agama-agama samawi yang kini mendominasi para umat manusia, keyakinan mengenai adanya alam surga maupun alam neraka setelah ajal seseorang tiba, merupakan pamuncak alias akhir episode dari seorang manusia. Apakah Buddhisme memiliki tujuan akhir dan siksaan abadi berupa surga dan neraka seperti pandangan agama-agama samawi tersebut?

Brief Answer: Surga maupun neraka, merupakan salah satu alam dari berbagai alam yang dikenal dalam kajian Buddhistik, dan sifatnya tidak kekal juga tidak abadi bila merujuk langsung khotbah-khotbah Sang Buddha. Alam manusia, alam surga, maupun alam neraka, semata hanyalah wadah bagi penjelmaan (tumimbal lahir) yang sifatnya hanyalah persinggahan sementara, tidak kekal-abadi pada satu alam. Adapun “dukkha tertinggi” menuru Buddhisme bukanlah alam neraka, namun siklus tumimbal lahir tidak berkesudahan : lahir, tua, sakit, dan meninggal, sebelum kemudian kembali terlahir kembali, terus berputar-putar dalam lingkaran samsara.

Begitupula makna “hidup adalah dukkha”, dimana karma itu sendiri sifatnya adalah belenggu atau rantai yang menjerat dan membelenggu kita dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya, sehingga kita terus terlahir-kembali akibat masih terdapat potensi karma baik maupun karma buruk yang akan masak berbuah. Hanya ketika seseorang telah mencapai tataran tingkat kesucian Arahant, tepatnya ketika kekotoran batin telah terkikis sepenuhnya tanpa sisa lewat praktik disiplin diri “self control” dan pemurnian pikiran yang ketat, barulah belenggu yang selama ini merantai kita terlepas dan kita menjadi terbebaskan—itulah yang dalam terminologi Buddhistik dikenal dengan istilah “break the chain of karmic law”. Anjing yang dungu, tidak memandang dirinya tersiksa dan sedang menderita karena lehernya dirantai besi sehingga terkekang juga terjerat, semata karena alasan “telah terbiasa dirantai dan terantai”.

PEMBAHASAN:

Pertolongan tertinggi bukanlah jalan menuju surga, itu pertolongan temporer saja sifatnya. Penyelamatan tertinggi bukanlah “saya yang makan nasi, kamu yang menjadi kenyang perutnya”, namun petunjuk jalan menuju jalan ke kebebasan sempurna, jalan mana telah ditempuh dan ditemukan oleh sang penyelamat. Sebaliknya, mencelakai tertinggi ialah dogma-dogma penuh iming-iming bagi para pendosa, berupa ideologi korup sekaligus “too good to be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins), membuat para pendosa menjadi “besar kepala” dan membabi-buta serta berlomba-lomba mencetak dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, mengoleksi dosa, memproduksi dosa, dan menjadi pelanggan tetap (pecandu yang mabuk akan) “dosa plus pengampunan dosa (sebagai satu paket bundling)”. Hanya seorang pendosa, yang butuh “pengampunan dosa”.

Mempromosikan gaya hidup korup penuh kecurangan bernama “penghapusan dosa”, alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa, namun masih juga menuntut disebut sabagai “Agama SUCI” alih-alih “Agama DOSA”, serta masih pula mengharap serta yakin terjamin masuk alam surgawi, alam yang menyerupai tong sampah bagi para pendosa. Kabar gembira bagi pendosa—dimasukkan ke alam surgawi setelah kematian para pendosa tersebut—merupakan kabar buruk bagi para kalangan korban. Bahkan, tanpa rasa malu, mengumandangkan lewat speaker pengeras suara, setiap harinya mereka beribadah dan berceramah, maupun pada hari raya keagamaan, hingga ketika mereeka meninggal dunia, ideologi korup “penghapusan dosa” dipromosikan dan dibuat menjadi tampak hal yang lumrah dan lazim, termasuk ketika si pendosa meninggal dunia maka sanak-keluarga dari sang pendosa berdoa mengharap “penghapusan dosa” bagi sang almarhum-pendosa, dimana Tuhna pun digambarkan seakan lebih PRO terhadap pendosa ketimbang memberikan keadilan yang menjadi hak para korban.

Pendosa, hendak berceramah perihal jalan menuju ke keselamatan, hidup suci, menjadi luhur, mulia, dan baik? Itu ibarat orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya. Buddhisme tidak mengobral murah alam-alam indah dan bahagia seperti alam surgawi, Buddhistik merupakan ajaran perihal meritokrasi ala egalitarian, sehingga kita mulai mau bersikap penuh tanggung-jawab atas setiap aksi maupun perbuatan kita—hukum tentang konsekuensi. Salah satunya dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, tidak menawarkan pandangan yang sejalan dengan pandangan konvensional “mainstream” perihal alam surga maupun neraka, dengan kutipan sebagai berikut:

333 (1) – 347 (15) 182

(333) “Seperti halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukit dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di atas tanah kering adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir di air.”

(334) “… demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di tempat selain daripada di antara manusia.”

(335) “… demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah tengah adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah terpencil di antara orang-orang asing yang kasar.”

(336) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang bijaksana, cerdas, cerdik, mampu memahami apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak bijaksana, bodoh, tumpul, tidak mampu memahami apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk.

(337) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memiliki mata kebijaksanaan yang mulia; lebih banyak makhluk-makhluk yang bingung dan tenggelam dalam ketidaktahuan.

(338) “… … demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat melihat Sang Tathāgata; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat melihat Beliau.”

(339) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat mendengar Dhamma dan disiplin yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat mendengarnya.”

(340) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang, setelah mendengar Dhamma, kemudian mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang setelah mendengar Dhamma, dan tidak mengingatnya.”

(341) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah mengingatnya.”

(342) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang  memahami makna dan Dhamma dan kemudian mempraktikkan sesuai Dhamma; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak mempraktikkan sesuai Dhamma.”

(343) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal yang menginspirasi keterdesakan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal yang menginspirasi keterdesakan.”

[NOTE : Kitab Komentar menguraikan “delapan landasan bagi rasa keterdesakan” (aṭṭha savegavatthūni): kelahiran, usia tua, penyakit, kematian; penderitaan di alam sengsara; penderitaan yang berakar dalam masa lalu sasāra seseorang; penderitaan yang harus dialami di masa depan sasāra seseorang; dan penderitaan yang berakar dalam pencarian makanan.]

(344) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh rasa keterdesakan, kemudian berusaha dengan seksama; lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh rasa keterdesakan, tidak berusaha dengan seksama.”

(345) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada pelepasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada pelepasan.”

[Kitab Komentar : Berdasarkan pada kebebasan (vavassaggārammaa karitvā): kebebasan adalah nibbāna. Maknanya adalah: setelah menjadikan itu sebagai objek. Memperoleh konsentrasi (labhanti samādhi): mereka memperoleh konsentrasi sang jalan dan konsentrasi buah.” Ungkapan ini juga digunakan dalam definisi indria konsentrasi pada sutta-sutta lainnya. Mungkin awalnya hanya bermakna suatu kondisi samādhi yang didorong oleh aspirasi untuk mencapai kebebasan. Dalam sutta lain, jalan mulia berunsur delapan, tujuh faktor pencerahan, dan lima indria spiritual sering digambarkan sebagai vossaggapariāmi, “berkembang menuju kebebasan” atau “matang dalam kebebasan,” vossagga dan vavassagga adalah bentuk alternatif dari kata yang sama.]

(346) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh makanan-makanan lezat; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh makanan demikian tetapi bertahan dari makanan-makanan sisa di dalam mangkuk.”

(347) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

[“Dhamma dan disiplin ini hanya memiliki satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (aya dhammavinayo ekaraso vimuttiraso).]

348 (16) – 377 (45)

(348) – (350) 350 “Seperti halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukit dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di tengah-tengah manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.

(351) – (353) 353 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(354) – (356) 365 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(357) – (359) 359 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(360) – (362) 362 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(363) – (365) 365 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(366) – (368) 368 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(369) – (371) 371 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk [38] yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(372) – (374) 374 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(375) – (377) 377 “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

Bila berbagai agama samawi menawarkan “surga murahan” yang di-OBRAL murah bagi para pendosa, sekalipun bila memang itu bisa terjadi, maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Kehidupan ini menyerupai “never ending stories”, segalanya bersifat “to be continue...”, siklus tiada berkesudahan dan tiada akhir dari lingkaran samsara, adalah “dukkha tertinggi” alias “hidup adalah dukkha” itu sendiri, akibat kemelakatan dan kekotoran batin, seseorang kembali menjelma di berbagai alam kehidupan. Hanyalah ajaran yang memberikan petunjuk jalan menuju “akhir dari dukkha” dan “jalan menuju akhir dari dukkha” setelah memahami “akar penyebab dukkha”, seseorang barulah dapat tertolong dan terselamatkan, yakni “break the chain of karmic law” (Nibbana, suatu yang “tidak lagi terkondisikan”, karena belenggu rantai karma telah terputus sepenuhnya)—kesemua ini dikenal dengan istilah sebagai “empat kebenaran mulia” (four noble truth).

Selebihnya, ialah masalah berupa fakta bahwa hanya segelintir kecil diantara umat manusia yang mau ditolong dengan diberi petunjuk arah menuju “pantai seberang”, sebagian besar umat manusia lebih memilih untuk melekat pada dunia mereka sebagaimana perumpamaan seorang anak yang terus saja asyik bermain di dalam rumah sekalipun kondisi bagian luar rumah telah terlahap kobaran api yang menyala dan menghanguskan. Perumpamaan seekor cacing yang melekat pada kotoran kesayangannya, atau seperti seperti perumpaan seekor kura-kura yang melekat pada kolam tempat biasa ia berenang, akhirnya tewas ketika kolam tersebut mengering akibat kemarau parah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.