Menyembelih dan Mengorbankan Anak, Bukanlah Cinta, namun EGO

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Jika Anak Sendiri Saja Mau dan Tega Disembelih Demi EGO PRIBADI, apalagi terhadap Orang Lain yang Dikorbankan Demi EGO PRIBADI (Termakan Iming-Iming Masuk Surga dan Bidadari)

Question: Bukankah yang semestinya takut ialah orang-orang yang buat jahat seperti menyakiti kita, melukai kita, ataupun merugikan kita? Namun mengapa yang lebih sering terjadi ialah kita sebagai korban atau calon korban, yang lebih takut disakiti orang-orang jahat itu?

Brief Answer: Itu karena alam bawah sadar maupun alam sadar kita mengetahui, bahwa sebagian besar masyarakat kita merupakan penganut ideologi “korup” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sehingga para pemeluknya meremehkan perbuatan-perbuatan buruk (dosa) dan disaat bersamaan menyepelekan perasaan korban sehingga dampak berantainya ialah secara sadar maupun tidak sadar kita mengetahui pula bahwa ketika kita menjadi korban dari perbuatan disengaja maupun akibat kelalaian orang lain, maka mereka tidak akan bertanggung-jawab atau sekadar “gimmick” akan bertanggung-jawab namun nihil dalam hal realisasinya—karena itulah berhadap-hadapan dengan orang-orang jahat menjadi begitu menakutkan dan kita menjadi takut serta paranoid untuk menjadi korban kejahatan.

Faktor kedua, masih akibat termakan iming-iming ideologi penuh kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” menjadi mustahil baginya untuk menjadi orang baik-baik terlebih suciwan—suciwan tidak butuh iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, karena hanya seorang pendosa yang penuh dosa yang membutuhkan iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—karena timbul dan lahirlah pemikian picik bahwasannya, adalah RUGI serta MERUGI bila tidak menjadi pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Karenanya, mereka lebih layak disebut sebagai “Agama DOSA” alih-alih mengklaim keyakinan keagamaan yang mereka anut dan peluk sebagai “Agama SUCI”. Bila seorang ksatria memilih untuk bertanggung-jawab atas kesalahan yang telah ia perbuatan terhadap orang lain, maka akan sigap bertanggung-jawab dan bersedia dimintakan pertanggung-jawaban tanpa berkelit ataupun berdalih (“Agama KSATRIA”); maka para pendosa selalu lebih memilih untuk melarikan diri dari tanggung-jawab terhadap korban-korbannya, dengan seribu satu alasan dan alibi, lebih sibuk untuk berkelit, ibarat “lempar batu (lantas) sembunyi tangan”, lantas menenggelamkan diri dalam delusi “too good to be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, bahkan masih pula mengharap atau merasa yakin bahaya itulah tiket satu-satunya menuju alam surgawi.

Yang menjadi faktor ketiga yakni, ketika Tuhan pun mereka yakini serta “iman”-i sebagai sesesok adikodrati yang ironisnya lebih PRO terhadap pendosa dengan menghapusi dosa-dosa para pendosa tersebut alih-alih lebih berpihak dan menegakkan keadilan bagi para kalangan korban—seolah-olah kalangan korban tidak punya hak untuk bersuara, beraspirasi, menjerit kesakitan, maupun menuntut hak untuk diperlakukan secara adil. Antara “sense of justice” dan ideologi “korup” (semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”), tidak pernah sejalan namun saling menegasikan dan bertolak-belakang satu sama lainnya.

Jadilah, kian irasional cara berpikir banyak anggota masyarakat kita, bahwasannya menjadi korban atau mengorbankan orang lain, maka korban kita tersebut atau sang korban hanya boleh diam dan bungkam selayaknya sebongkah mayat yang hanya bisa diam membisu dan tidak bisa merasakan rasa sakit ketika disakiti seperti apapun, dan menjadi “mangsa / sasaran empuk” para pendosa yang kian tidak terbendung libido nafsu “hewani”-nya untuk memangsa hidup maupun hak-hak orang lain.

PEMBAHASAN:

Jangankan warga terhadap orang lain ataupun sesama warga lainnya, “agama samawi” yang semestinya “Tuhanis”, ternyata tidaklah “humanis”, tidak memanusiakan manusia, dan tidak juga mengusung konsep semacam hak asasi manusia, hak untuk hidup. Alih-alih mempromosikan penghargaan tehadap martabat maupun hak hidup milik orang lain, justru mengkampanyekan perampasan hidup milik orang lain demi EGO pribadi—ingin masuk surga, bahkan rela merampas hidup anak kandung sendiri. Menurut “akal sehat” Anda, bila seorang anak mendapat bisikan gaib, yang mengaku-ngaku bisikan dari “Tuhan”, mendapat perintah untuk menggorok leher ayah kandungnya sendiri, maka apakah sang anak yang “beriman” dan “soleh” ini harus patuh ataukah justru patut curiga bahwa itu adalah bisikan SETAN yang menyaru sebagai Tuhan?

Sang pembisik gaib, menyatakan kepada seorang anak muda itu bahwa bila ia menyembelih leher ayah kandung yang paling dicintai olehnya, maka ia akan masuk surga dan dilayani puluhan bidadari berbusana “tembus pandang” dan berdada “montok”. Merasa tergiur, sang anak muda betul-betul membawa sang ayah ke sebuah gunung yang ditunjuk oleh bisikan gaib, lantas benar-benar ingin dan telah memiliki niat untuk mengorbankan hidup ayah kandungnya sendiri dengan menyiapkan pisau untuk menyembelih—percobaan pembunuhan, penjahat, kriminal, pendosa. Menurut “akal sehat” Anda, itukah yang disebut sebagai “iman” ataukah sebaliknya, EGOSENTRIS yang mengatas-namakan perintah Tuhan? “Wahai Ayah, bila Engkau betul-betul menyayangi putera-mu ini, maka Engkau semestinya dan pastilah rela untuk berkorban dan dikorbankan demi kebahagiaan anak-mu ini.

Hanya bisikan SETAN yang mampu memiliki ide jahat seperti perintah untuk merampas hidup orang lain. Jika sang anak yang diberi perintah untuk menyembelih ayah kandungnya sendiri, dan betul-betul mencintai sang ayah, maka inilah yang menjadi jawaban dari sang anak : “Lebih baik saya memilih menyembelih LEHER SAYA SENDIRI daripada menyakiti ataupun melukai ayah kandung saya sendiri! Lebih baik saya masuk neraka daripada menjadi anak yang durhaka! Anda itu SETAN yang menyaru sebagai Tuhan! Sama seperti penipu, semua penipu mengaku sebagai orang baik-baik. Kamu pikir saya dungu? Tuhan memberi saya otak untuk berpikir, bukan untuk ditukar dengan iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh cahaya ilahi apapun. Saya masih waras dan tidak akan menukar kewarasan dan hati nurani saya demi iming-iming bidadari sekalipun!

Sang anak muda, tidak lulus ujian SETAN, namun lulus “uji moril”. Sebaliknya, yang mengorbankan hidup orang lain demi EGO pribadi, dengan patuh dan termakan pada bisikan SETAN, artinya lulus ujian SETAN untuk menjadi bagian dari kaum SETAN, dan disaat bersamaan tidak lulus “uji moril”. Menyatakan bisikan berisi perintah untuk menyembelih hidup orang lain, terlebih orangtua sendiri ataupun anak kandung sendiri, sebagai bisikan Tuhan, sungguh merupakan penistaan terhadap keluhuran dan keagunan sosok Tuhan yang murni, luhur, agung, dan lebih tinggi dari sekadar “humanis”, yakni “Tuhanis”. Yang memilih mengorbankan hidup orang lain, demi EGO pribadi, artinya moralitasnya tidak lolos “uji moril” terlebih “uji iman”.

Selain Al-quran, perintah penyembelihan (meng-kurban-kan) putra Ibrahim diceritakan pula dalam Alkitab. Alkitab dengan jelas menyebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Ishak sedangkan Alquran tidak menyebutkan secara spesifik nama putra Ibrahim yang akan dikurbankan. Yang ironis serta memprihatinkan, yang menjadi perdebatan masyarakat kita dari sejak dulu sampai saat kini, ialah tentang siapa yang akan dikurbankan, Ishaq ataukah Ismail—bukan memakai otak dan moralitas untuk melakukan “uji moril”, apakah niat buruk untuk menyembelih anak kandung sendiri adalah terpuji ataukah tercela, patut diteladani ataukah dikutuk dan dikecam, serta mengapa Ibrahim / Abraham tidak memilih untuk menyembelih lehernya sendiri? Bahwa memiliki niat buruk untuk menyembelih leher anak sendiri, apakah bentuk cinta ataukah justru EGO? Bahwa apakah mungkin Tuhan memberikan “bisikan SETAN” (berisi perintah untuk membunuh) semacam itu?

Kita buka dengan mengutip teladan bagi para umat Nasrani sebagaimana versi Alkitab. Kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.

(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”

(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik “percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan yang juga merupakan delik “pembunuhan berencana”.]

Atas dasar ayat inilah umat Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya.

Pertanyaan nurani dan “akal sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan praktik perdukukan klenik “black magic” seperti pesugihan yang mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik pesugihan? Semua dukun “black magic”, ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis pendukukannya, dijawab oleh semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus darah, suka menyaru sebagai Tuhan.

Kini kita membandingkan versi dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi memakan iming-iming “masuk surga”, iman membuta mengangkangi akal sehat otak (otak mana untuk berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar Tuhan, justru digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan SETAN” ataukah “bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih leher sendiri alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang lain—semata demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai “nabi”, untuk disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”, mendapat hadiah puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.

Peristiwa pengurbanan ini diceritakan juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.

(100) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang anak yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”. [NOTE : Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya sendiri dengan membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan darah anak kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian Tuhan. Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal melancarkan niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah penjahat yang selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) susungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu membenarkan bisikan sang setan.]

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu, mustahil masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang merasa perlu menguji kedunguan umat manusia.]

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

(108) Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh orang lain, justru diberikan “reward” alih-alih diberi “punishment”. Jika yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal “percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Agar lebih NARSISTIK dan EGOISTIK, ikutilah perintah berikut ini agar Anda betul-betul teruji beriman dengan patuh “membuta” para perintah Tuhan Anda, sebagaimana makna kata “Islam” yang bermakna “kepatuhan mutlak”, antara lain:

- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang, alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi orang-orang untuk dibunuh?]

- Hadist Tirmidzi Nomor 2533: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”

Bila Anda hendak benar-benar menguji iman Anda untuk dapat disebut sebagai “soleh”, maka jangan ragu untuk segera ikuti perintah Tuhan Anda sebagaimana perintah di atas, secara mutlak patuhnya, membuta, dan sekalipun itu adalah ayah kandung ataupun anak kandung Anda sendiri, maka rampaslah hak hidup mereka, maka barulah Anda layak untuk disebut atau menyebut diri sebagai “beriman”.

Kini Anda lihat, jika anak kandung sendiri saja tega dibunuh dan dirampas hak hidupnya demi EGO pribadi, bagaimana perlakuan para penganut ideologi EGOSENTRIS yang tidak takut berbuat jahat demikian terhadap orang lain yang tidak sedarah? “Berdarah dingin” dan “haus darah”. Sebaliknya, kontras dengan itu, Sang Buddha menyatakan dengan tegas bahwa pengorbanan terbesar, ialah melepaskan bukan merampas. Siapapun bisa, merasa senang, serta mampu untuk merampas, namun tidak semua orang mampu melepaskan dan membebaskan hewan-hewan (fang shen) maupun orang-orang agar hidup bebas sesuai aspirasinya masing-masing tanpa dikungkung ego ataupun kendali orangtua.

Janganlah menuntut secara berlebihan seperti meminta agar para “ahimsa” hidup berdampingan dengan para “makhluk haus darah” yang bahkan tega menyembelih leher anak kandungnya sendiri. Itulah juga penjelasan paling logis, betapa maraknya praktik perdukunan “black magic” semacam pesugihan yang jahat, tercela, buruk, kotor, busuk, dan biadab di Indonesia yang notabene bangsa “agamais” ini—semata karena Tuhan mereka sendiri yang mempromosikan, mengkampanyekan, dan memberi teladan buruk berupa kebolehan serta justifikasi (alasan pembenar) untuk merampas hidup orang lain demi EGO pribadi. Dalam kisah bisikan untuk membunuh anak sendiri di atas, sejatinya sang “setan berjubah Tuhan” telah mencelakai sang ayah, dengan membuat sang ayah memiliki niat buruk untuk membasahi tangannya dengan darah anak kandungnya sendiri. Niat buruk artinya menanam benih Karma Buruk lewat pikiran, perbuatan, maupun ucapan.