Sependek dan Sedangkal apakah IQ, EQ, maupun SQ Umat Kristiani / Nasrani?

PENEBUSAN DOSA, Ibarat “Minta Maaf Terlebih Dahulu, Sebelum Kemudian Berbuat Dosa / Jahat”

Dampak Fatal Dibalik Keyakinan yang Dibangun Diatas Pilar Rapuh Bernama DELUSI DIRI

Question: Selama ini umat nasrani bersikap seolah-olah kaum mereka paling superior, memiliki SQ setinggi langit, menjadi “polisi moral” yang berhak menghakimi pihak lainnya, merendahkan martabat maupun harkat kaum lain, meng-haram dan meng-kafir-kan golongan lain, ini itu disebut “haram” ataupun “halal”, berbicara besar perihal surga, neraka, Tuhan, dan ayat-ayat Kitab. Namun benarkah demikian, ataukah kesemua itu justru mencerminkan hal sebaliknya?

Brief Answer: Faktanya, tingkat IQ kaum nasrani tidak lebih tinggi daripada level IQ anak “taman kanak-kanak”. Terdapat bukti empirik tidak terbantahkan perihal IQ kaum nasrani pemeluk agama kristen, salah satunya berupa fenomena khas dari pemeluk kristen maupun dogma-dogma dalam ajaran kristen berikut : NON-Kristen, HARAM. “Penghapusan dosa” (abolition of sins, hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa), HALAL. Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun disaat bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan maupun golongan, mereka begitu intoleran.

Dahulu kala, sebelum yesus (“nabi celana dalam” yang lahir di kandang ternak dan mati di atas salib bersama para penjahat yang turut disalib) lahir ke dunia manusia, tiada manusia jahat (pendosa) yang yakin ataupun berharap dapat masuk surga setelah kematian menjemput mereka. Sebaliknya, orang-orang baik sekalipun ateis, berhak dan terjamin masuk alam surgawi. Kini, setelah yesus lahir, para pendosawan yang memonopoli alam surga, dan orang baik justru dilempar ke neraka semata karena mereka tidak bersedia menggadaikan jiwanya menjadi budak sembah sujud “Tuhan versi raja tiran yang lalim dan gila puja-puji sembah-sujud”—lebih patut diberi gelar sebagai “juru selamat” dan “maha pengasih” ataukah “juru petaka” dan “maha pembenci”? Bukankah mengerikan, yesus menghapus dosa-dosa para penjahat yang turut disalib bersama yesus, alias dimasukkan ke surga, sementara korban-korbannya justru dilempar oleh yesus ke neraka karena bisa jadi mereka tidak percaya pada yesus.

Alih-alih mempromosikan cara hidup higienis dari dosa, para nasrani justru mengkampanyekan gaya hidup “penghapusan dosa” sebagai maskot “halal lifestyle” mereka, sekalipun “AURAT TERBESAR” ialah berbuat dosa. “Penghapusan dosa”, mereka berikan cap atau stempel “HALAL”, sementara “NON-kristen ciptaan Tuhan” diberi logo “HARAM” (penciptanya pastilah “haram”). Yang mempromosikan dan mengkampanyekan ideologi korup bernama “penghapusan dosa”, disebut sebagai “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”? Untuk anak sendiri, dicoba-coba, begitu kata iklan pariwara. Tuhan disebut mencobai manusia, sekalipun umur umat manusia sudah sama tuanya dengan usia Planet bernama Bumi ini—alias “Profesor LING-LUNG”. Fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, banjir, kesemuanya itu adalah “by nature” yang alamiah saja sifatnya, namun dengan “sok tahu” dan spekulatif, para umat kristiani menyebutnya sebagai “the act of God”. Ketika kesejangan ekonomi kian berdisparitas lebar antara si kaya dan si miskin, mendadak mereka koor dengan berkata bahwa “Tuhan sedang tidur siang”.

Dogma-dogma yang meng-halal-kan “penghapusan dosa”, adalah “Kitab SUCI” ataukah “Kitab DOSA”? Mereka, para pendosawan tersebut, begitu “pemalas” untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya dikemudian hari, dan disaat bersamaan terlampau “pengecut” untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain. Mereka, para pendosawan tersebut, merupakan “kasta terendah”. Kasta yang lebih tinggi daripada para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut, ialah kalangan ksatriawan yang berani bersikap penuh-tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, dimana kasta yang tertinggi tentu saja kaum suciwan yang tidak pernah membutuhkan iming-iming delusif “penghapusan dosa” yang “too good to be true”. Menjadi jelas, para pendosawan tersebut sejatinya merupakan “kasta terendah”.

Mereka, para “agamais-pendosa” tersebut, bermulut besar perihal agama dan Tuhan, namun disaat bersamaan begitu miskin dari keberanian untuk bertanggung-jawab. “Merugi” bila bertanggung-jawab, ada “penghapusan dosa”. Berhasil berbuat jahat dan tidak bertanggung-jawab, artinya “untung”. “Kabar gembira” bagi pendosa yang dihapus dosa-dosanya, merupakan “kabar buruk dan duka” bagi kalangan para korban. Pendosa, hendak berbicara perihal hidup lurus, suci, bersih, baik, mulia, luhur, dan murni? Itu ibarat orang buta yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya—dimana “neraka” pun mereka pandang dan yakini sebagai “surga”, berbondong-bondong terjun bebas melaju menuju ke dalam lubang gelap yang nista demikian.

Setiap harinya, para pendosawan tersebut melakukan ritual dan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” secara rutin dan kecanduan “nikmat”-nya “penghapusan dosa”. Untuk setiap tahunnya pada hari raya keagamaan mereka, yang mereka mohon dan harapkan ialah “penghapusan dosa”. Bahkan ketika sang pendosawan meninggal dunia, sanak keluarga sang almarhum pendosawan lagi-lagi berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi sang pendosawan—tidak pernah satu kalipun nasib para korban mereka diperhatikan ataupun diberi keadilan, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”. Dapat Anda bayangkan, apa jadinya bila Tuhan mau percaya dan termakan ucapan seseorang penjilat sekaligus penipu yang pandai menipu, bahwa dirinya bertobat dan menyesali perbuatannya, pastilah hanyalah versi “Tuhan yang dungu”.

PEMBAHASAN:

Kaum nasrani, memeluk kristen karena merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi pemeluk kristen. Mereka menganggap dan meyakini, bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain, serta tidak bebas memilih, melainkan serendah “budak” yang tidak punya pilihan bebas ataupun “self determination” untuk memilih apa yang akan mereka peluk dan jalankan. Karenanya, secara psiko-sosial, alam bawah sadar para nasrani sejatinya “marah” dan “membenci” diri mereka sendiri, tanpa mereka sendiri sadari. Mereka, para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut, kemudian mencari pelarian dengan cara yang tidak sehat, yakni “menipu diri mereka sendiri”, seolah-olah agama yang mereka peluk adalah agama yang “sudah benar” dan “benar satu-satunya”, sebelum kemudian memaksa kaum lain untuk turut terseret jatuh kedalam agama yang mereka peluk berikut ini:

- Roma 3:7 Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?

- Filipi 1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,

- II Korintus 11:17 Apa yang aku katakan, aku mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman Tuhan, melainkan sebagai seorang bodoh yang berkeyakinan, bahwa ia boleh bermegah.

- Korintus 12:16 Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya. [Corinthians 12:16 But be it so, I did not burden you: nevertheless, being crafty, I caught you with guile.]

Sebaliknya, kaum yang lebih beradab menjunjung tinggi kebebasan dan pilihan bebas (free will), sebagai apa yang kaum beradab kenal dengan istilah “hak asasi manusia”. Manusia menjadi beradab, karena memiliki pilihan untuk dipilih, diberi kebebasan untuk memilih, serta untuk memperkaya pilihan hidup mereka masing-masing. Karena memiliki pilihan, karenanya juga mereka menjadi dapat dimintakan pertanggung-jawaban serta belajar untuk bertanggung-jawab atas setiap tindakan maupun pilihan mereka sendiri. Demikianlah mereka diberdayakan dan didewasakan, menjadi manusia yang dimanusiawikan. John Stuart Mill dalam buku klasiknya berjudul “On Liberty”, pernah menuangkan gagasan berpikirnya perihal kebebasan, dengan kutipan sebagai berikut:

“Di negeri ini dan di kebanyakan negeri yang berbudaya lainnya, misalnya, suatu kontrak yang membuat seseorang harus menjual diri untuk membiarkan dirinya dijual sebagai budak, harus dibatalkan dan tidak berlaku entah yang diperkuat oleh hukum entah oleh pendapat umum.

“Dasar untuk membatasi kebebasannya untuk dengan sukarela mengatur nasib hidupnya dengan cara seperti itu adalah jelas dan nampak sangat jelas dalam kasus ekstrem ini. Alasan untuk tidak campur tangan, kecuali untuk kepentingan orang lain, dalam perbuatan bebas seseorang adalah pertimbangan akan kebebasannya. Pilihannya yang bebas adalah bukti bahwa apa yang dipilihnya adalah sesuatu yang diinginkannya atau, paling tidak, sesuatu yang dapat diterimanya, dan kepentingannya pada umumnya terpelihara amat baik dengan membiarkan dia menggunakan harta kekayaannya sendiri untuk mewujudkannya.

“Tetapi dengan menjual diri sebagai seorang budak, dia melepaskan kebebasannya; dia sama sekali tidak mempergunakan kebebasannya pada waktu yang akan datang sesudah satu tindakan tunggal yang tadi itu terjadi. Dengan demikian dalam kasusnya sendiri, ia justru menggagalkan tujuan yang membenarkan mengapa dia boleh menentukan nasibnya sendiri. Dia tidak bebas lagi, tetapi sejak itu dia berada dalam suatu posisi yang tidak lagi mempunyai martabat yang kiranya diberikan oleh keberadaannya dengan sukarela dalam posisi itu.

“Prinsip kebebasan tidak dapat menuntut bahwa ia harus bebas untuk tidak bebas. Bukan kebebasanlah apabila orang dibiarkan untuk mengasingkan diri dari kebabasannya.

“Saya sudah mengamati bahwa, karena prinsip-prinsip umum yang diakui tidak ada, seringkali kebebasan diberikan padahal harus ditolak, dan ditolak padahal harus diberikan.”

Kemanapun kita berada, ketika kita berjumpa orang-orang kristen, ucapan yang khas keluar dari mulut mereka ialah : “Orang-orang Buddhist baik sih orangnya. Tapi karena mereka tidak percaya yesus kristus, mereka masuk neraka.” Surga, karenanya, merupakan tong sampah dimana para pendosawan dikumpulkan menjadi satu. Don’t judge the realm, by the name. Dalam banyak sutta, Sang Buddha kerap menguraikan hal berikut kepada para murid-Nya ataupun kepada para perumah tangga, secara konsisten antara ucapan dalam berbagai khotbah dan teladan nyata hidup Beliau, salah satunya kutipan sutta berikut:

Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama.

Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,

karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.

Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,

dan nilailah oleh dirimu sendiri.

Jika itu baik bagimu, terimalah.

Jika tidak, janganlah engkau terima.

[Digha Nikaya 25; Patika Vagga; Udumbarika-Sihanada Sutta]

Buddhisme menjunjung tinggi pilihan hidup, kebebasan untuk memilih, disamping kebebasan untuk berpikir, termasuk untuk menjadi seorang “ateis”, menjadi orang baik maupun orang jahat, lengkap dengan konsekuensinya masing-masing berlandaskan asas “merit system” ala egalitarian. Ciri-ciri orang jahat, nasib hidupnya ialah nasib seorang pendosawan. Ciri-ciri seorang ksatria, nasib hidupnya ialah nasib seorang ksatriawan. Ciri-ciri seorang suci, nasib hdiupnya ialah nasib seorang suciwan. Kita menjadi belajar untuk bertanggung-jawab atas pilihan hidup kita sendiri. Contoh paling mudahnya ialah, seorang “tukang sampah” tidak mencuci tangannya sebelum makan, namun tetap hidup. Namun, lihatlah nasib hidup sang “tukang sampah”.

Manusia, karenanya, diberdayakan oleh kemampuan seorang manusia yang terampil dan terasah dalam membuat pilihan-pilihan dalam hidup mereka sendiri, termasuk untuk memilih apa yang menjadi pikiran disamping keyakinan mereka sendiri. Untuk selengkapnya, Sang Buddha membabarkan khotbah yang dikenal dengan nama “Kalama Sutta” berikut:

Aṅguttara Nikāya

Kesamutti Sutta

[Di terjemahkan dari pāi oleh Bhikkhu Bodhi]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Sagha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta.

Pada saat itu, para penduduk Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 3:63] … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para penduduk Kālāma di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma itu berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, pikirannya dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh delusi, dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh delusi, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” – “Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Kemudian, para penduduk Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk, tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik, di alam surga.’

“Jaminan ke dua yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk, bebas dari kesulitan.

“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’

“Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”

“Demikianlah, Sang Bhagavā! Demikianlah, Yang Sempurna! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan … [seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’

“Siswa mulia ini, Bhante, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.

“Bagus sekali, Bhante! … Kami berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sagha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai umat-umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”

Tiada pemaksaan otoritas ataupun ancaman-ancaman dogmatik, itulah nafas Buddhisme sebagaimana diberikan teladan nyata kehidupan Sang Buddha. Kita tidak dipaksa ataupun diancam untuk “percaya” pada “kalama sutta” di atas, melainkan kita menjadi “tahu”, “mafhum”, serta “memaklumi”, bahwa “kalama sutta” adalah patut dan layak kita terima dan terapkan karena bermanfaat, tidak tercela, serta tidak mengundang bahaya, sehingga secara personal kita memberikan pengakuan terhadapnya karena nilai aktual. Dengan cara demikianlah, kita diberdayakan sebagai murid / siswa dari Sang Buddha.

Kita melihat suatu pendapat (dalam hal ini pembabaran Sang Buddha dalam “kalama sutta”) dan kita memiliki kebebasan mutlak untuk mengujinya dengan fakta-fakta yang ada di luar maupun di dalam diri, dimana pada kenyataannya yang namanya percaya secara “begitu saja” pada suatu otoritas (kitab suci, guru, sesepuh, dll), telah ternyata mengandung bahaya dibaliknya bila tidak disikapi secara arif dan bijaksana. Menjadi tidak mengherankan, bila salah satu julukan bagi Sang Buddha, ialah : Guru Agung bagi para dewa dan para manusia.