Akar Musabab Mentalitas Tidak Bertanggung-Jawab, “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? Ada Penghapusan / Pengampunan Dosa”

SENI SOSIAL

Hanya seorang PENDOSA, yang Membutuhkan Iming-Iming Penghapusan / Pengampunan DOSA, bahkan menjadi Menu Sehari-Hari, Produktif Mencetak dan Menimbun DOSA. Semakin BERDOSA, Semakin Mencandu Penghapusan / Pengampunan DOSA

Tanggung Jawab Vs. Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa, Anda yang Manakah?

Question: Mengapa orang-orang bisa begitu tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dan perilakunya sendiri (yang telah melukai, menyakiti, maupun merugikan orang lain)? Bukan hanya itu, tidak jarang mereka bahkan lebih sibuk berkelit dan mencari alibi, bahkan “maling teriak maling”, lebih galak ketika ditegur dan dimintakan pertanggung-jawaban oleh korban-korbannya, tidak punya rasa bersalah bahkan tidak tahu malu kepada korban yang telah mereka korbankan, ketimbang secara jantan mengakui perbuatannya, kesalahannya, dan bertanggung-jawab lewat kesadaran pribadi tanpa perlu ditagih, meski mereka mengaku sebagai ber-agama (“agamais”) dan ber-Tuhan?

Brief Answer: Antara sikap bertanggung-jawab dan ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” (maupun “penebusan dosa”), sifatnya adalah saling berseberangan dan saling bertolak-belakang satu sama lainnya. Sehingga, dapat juga kita katakan bahwa orang-orang yang memilih untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya, mustahil untuk menjadi “konsumen” pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Sebaliknya, para umat pemeluk dogma “too good to be true” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, adalah mustahil mampu menjadi seorang warga yang bertanggung-jawab dan dapat dimintakan pertanggung-jawaban oleh orang lain maupun dari pihak korban.

PEMBAHASAN:

Ideologi, dogma keyakinan keagamaan, atau apapun itu istilah sejenisnya, menyerupai “program sistem operasi” pada komputer, yang mengatur fungsi kerja perangkat keras komputer dan komponen-komponen di dalamnya. Salah memasukkan atau keliru meng-input ideologi ke dalam kepala kita, dampaknya dapat menyerupai infeksi “virus” yang dapat membajak cara kerja “sistem operasi komputer” yang ada di kepala kita, yakni mengeruhkan cara kita berpikir dan perspektif dalam melihat dunia secara menyimpang.

Seperti halnya kita perlu selektif dalam mengonsumsi makanan yang masuk ke dalam mulut dan perut kita, agar tidak tercemar bahan beracun yang berbahaya bagi proses kerja biologis tubuh, pada prinsipnya pun kita perlu menjaga benar-benar konsumsi pikiran kita dengan membuat lebih ketat gerbang indera penglihatan maupun pendengaran, dengan cara bersikap selektif atas apa yang perlu dan baik untuk kita lihat maupun dengarkan. Ada hal-hal yang memang tidak boleh kita ucapkan, kita lakukan, kita konsumsi, ataupun kita pikirkan. Untuk menjaga keluruhan karakter diri, membatasi diri sendiri terkadang diperlukan.

Dengan akal sehat dan rasio awam sekalipun, kita mengetahui bahwasannya yang semestinya lebih patut untuk merasa takut ialah mereka yang berbuat keliru maupun jahat seperti melukai, merugikan, maupun menyakiti orang-orang lainnya. Namun fakta realita berkata lain, yakni mengapa menjadi harus kita, selaku warga, yang mesti berhati-hati agar tidak dilukai, dirugikan, maupun disakiti oleh orang-orang lainnya? Realita demikian bermakna, alih-alih pelaku yang telah merugikan ataupun melukai orang lain yang merasa takut atas perbuatan jahat mereka, justru pihak korban ataupun calon korban yang harus merasa takut. Tentu kesemua ini sifatnya ialah irasional alias “akal sakit milik orang sakit”, sehingga menggunakan pendekatan “akal sehat milik orang sehat” tidak akan pernah manpu mencerna ambiguitas demikian yang seolah dan seakan terputar-balik logika moril yang terjadi dibaliknya.

Sikap tidak bertanggung-jawab warga dan masyarakat kita di Indonesia, yang seolah telah menjelma budaya bangsa, budaya yang tidak sehat dan tidak ramah terhadap korban (tidak “victim friendly”), diperkeruh atau ditengarai bersumber dari dogma-dogma keyakinan keagamaan, sebagaimana salah satunya dogma yang mengajarkan : “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

Alhasil, alih-alih merasa takut dan malu bersikap tidak bertanggung-jawab, pelakunya justru merasa bangga dapat kembali “mengangkangi” korban yang “sudah jatuh lantas tertimpa tangga” pula akibat perbuatan sang pelaku. Terhadap maksiat dan dosa, demikian kompromistis serta permisif. Namun terhadap kaum yang berbeda, demikian intoleran. Karena ada opsi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka bertanggung-jawab menjadi opsi yang sepi dari peminat—yang satu ialah aksi “cuci tangan”, lempar tanggung-jawab, “cuci uang”, dan aksi “cuci dosa”, sementara itu yang disebut terakhir ialah aksi melunasi hutang-hutang dosa oleh pelaku kepada korban-korbannya yang telah pernah dilukai, disakiti, maupun dirugikan.

“Kabar baik” bagi pendosa yang telah berdosa melukai, merugikan, maupun menyakiti korban-korbannya, disaat bersamaan menjadi “kabar buruk”, tragedi, bahkan “mimpi buruk” bagi korban-korban para pendosa tersebut. Sebaliknya, “kabar baik” bagi korban, berupa keadilan, selalu menjadi “kabar buruk” sekaligus merupakan “mimpi buruk” bagi para pendosa. Semakin besar dosa-dosa seseorang yang setiap harinya produktif mencetak dosa, menimbun diri dengan gunungan dosa, mengoleksi segudang dosa, berkubang dalam dosa, bergelimang dosa, terbenam dalam dosa, maka semakin “too big to be fall” sehingga tiada pilihan lain baginya selain secara membuta memeluk dan meyakini ideologi curang serta korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—sekalipun hati kecil mereka tahu bahwa semua itu adalah “too good to be true”, hati kecil mana kemudian mereka matikan dan gadaikan demi iman setebal tembok beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun, “kegelapan batin”.

Para pendosa dan para manusia yang penuh martabat (bertanggung-jawab), ibarat dua makhluk dari dua dunia yang saling berbeda dan tidak akan pernah dapat “connect” ketika hidup bersosialisasi dan berdampingan dalam suatu komunitas masyarakat. Betapa tidak, di mata orang-orang yang bertanggung-jawab, tanggung-jawab tidak dapat dikompromikan sifatnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang menjadi pecandu ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, hanya dosa dan maksiat yang dapat dikompromikan, namun tidak untuk sikap-sikap semacam tanggung-jawab yang (justru) dianak-tirikan.

Bila di mata orang yang penuh tanggung-jawab, bersikap penuh tanggung-jawab adalah panggilan jiwa demi kebaikan diri kita sendiri agar tidak membawa serta hutang apapun ke kehidupan mendatang—mengingat tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini, semua adalah subjek dari Hukum Karma (all living creatures are subject to karmic law)—maka di mata para pendosa pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, adalah RUGI dan KERUGIAN bila membiarkan diri mereka terbenam ke dalam sikap-sikap bertanggung-jawab, dan barulah merupakan UNTUNG serta KEUNTUNGAN bilamana sang pendosa dapat meloloskan diri dari tanggung-jawab apapun.

Untuk itu, tidak lengkap bila kita tidak mengenal tiga kategorisasi besar agama yang dikenal oleh para umat manusia di muka Bumi ini. Yang pertama, ialah apa yang disebut atau kita kenal sebagai “Agama SUCI”, yang bermakna menjauhkan diri—alih-alih mendekatkan diri—dari ideologi korup dan curang semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, mengingat hanya seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming “too good to be true” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Para suciwan, disebut suci, semata karena menghindari diri dari perbuatan buruk, tercela, maupun yang jahat. Mereka berlatih dan melatih diri untuk betul-betul mengawasi dan memerhatikan perbuatan, ucapan, serta pikiran mereka sendiri alih-alih lebih menyibukkan diri untuk mengatur dan memerhatikan perbuatan, ucapan, maupun pikiran orang lain.

Yang kedua, ialah “Agama DOSA”. Para “agen marketing dari neraka”, iblis si pengecoh, kerap mempromosikan alam neraka agar banyak peminatnya, dengan semudah memasang kemasan atau mengubah judul pintu gerbang alam neraka, dari “HELL” (neraka) diubah menjadi bertuliskan “HEAVEN” (surga). Namanya juga sedang dalam rangka promosi, sehingga harap maklum bila alam neraka dirias dan dipermanis agar menarik banyak peminat untuk menjadi penghuninya, salah satunya iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” yang notabene “too good to be true”, umpan mana diterbarkan dan telah ternyata menjaring banyak peminat.

Semakin para “target market”-nya berlumuran dosa pada tangannya, semakin tergila-gila dan mudah tergiur pada “umpan” yang dilemparkan oleh sang “agen marketing dari neraka”, umpan mana bernama iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.  Disebut sebagai “Agama DOSA”, semata karena keyakinan keagamaan tersebut mempromosikan dosa dan maksiat alih-alih jalan hidup yang suci dan murni bersih dari segala dosa. Banyak para umat pengikut dan pemeluk “Agama DOSA”, berbangga diri semata akibat delusi semu fatamorgana yang diciptakan oleh fenomena “judul pada kemasan”, dimana “Agama DOSA” dikemas secara apik dengan bungkus bernama “SUCI” oleh sang “agen marketing dari neraka”. Penipu manakah, yang tidak tampil bak orang baik dan baik hati?

Mereka pun bertanya dengan nada sinis, apakah ada, orang yang tidak berdosa di dunia ini? Jawabannya ialah merujuk pada jenis keyakinan keagamaan yang ketiga, yakni “Agama KSATRIA”. Sebagaimana namanya, para ksatria bisa jadi pernah dan akan berbuat kesalahan, baik oleh sebab kesengajaan maupun akibat kelalaiannya, sehingga membuat orang lain terluka, dirugikan, maupun tersakiti. Namun yang membedakan seorang ksatria dari seorang pendosa ialah, para ksatria alih-alih melarikan diri, “cuci tangan”, “cuci uang”, maupun “cuci dosa”, para ksatria tersebut lebih memilih untuk seketika itu juga bertanggung-jawab, apapun konsekuensi yang harus ia bayarkan dan tebus, tanpa harus menunggu ditagih, dituntut, terlebih digugat oleh pihak korban-korbannya. Bertanggung-jawab dan mengambil tanggung-jawab, dibutuhkan keberanian. Karenanya, para pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan para pengecut kehidupan.

Alih-alih sedang memeluk “Agama SUCI”, sebagian besar warga-masyarakat kita di Republik Indonesia ini bahkan belum mencapai tataran “Agama KSATRIA”, terlebih mengharap telah dan akan mampu menjadi umat pemeluk “Agama SUCI”. Menjadi dapat kita ketahui pula, bahwa para pecandu dan pelanggan tetap ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan kaum yang selama ini anti dan menolak konsep egalitarian semacam Hukum Karma—semata karena dosa-dosa mereka telah menggunung menyerupai “too big to fall”. Tiada pilihan lain bagi mereka selain membuta meyakini ideologi “sins laundring” yang selama ini menjadi daya tarik “Agama DOSA”.

Dengan demikian mulai dapat kita pahami bahwa orang-orang yang tidak bertanggung-jawab ialah orang-orang yang amat sangat berbahaya, maka opsi terbaik bagi kita ialah untuk menghindari diri dari orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, mengingat ketika kita sampai benar-benar disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh orang-orang tidak bertanggung-jawab tersebut, maka dapat dipastikan sukar bagi kita untuk menagih ganti-kerugian ataupun untuk menuntut bentuk-bentuk tanggung-jawab sejeninya dari sang pelaku yang telah menyakiti, merugikan, ataupun melukai diri kita. Jangankan bertanggung-jawab, kerap terjadi para pelaku kejahatan demikian tidak memiliki rasa bersalah juga menampilkan sikap-sikap “tidak punya malu” bahkan ketika berhadapan dengan para korbannya.

Pelakunya akan semudah sesumbar untuk bertanggung-jawab, namun sekadar “gimmick” belaka, atau bahkan memasang badan, menantang, bersikap arogan, masih juga kian menyakiti dan merugikan kita, semata karena telah termakan dan terhasut oleh iming-iming ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Ketika mereka, para pendosa tersebut menampilkan sikap-sikap semacam “BUAT DOSA? SIAPA TAKUT!?”, maka kita selaku warga yang patut merasa takut menjadi calon korban sang “manusia predator” yang tidak takut berbuat dosa demikian. Jangan pernah mengharap para pendosa tersebut bertanggung-jawab atas perbuatannya terhadap korban, berbuat dosa pun mereka tidak takut bahkan merasa bangga dan gemar.

Ideologi korup yang kotor dan tercela yang “tabu” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih merasa malu justru diumbar vulgar tanpa rasa malu sedikitpun, dikejar, dijadikan tujuan dan gaya hidup, dijadikan menu konsumsi sehari-hari, bahkan dikampanyekan oleh pengeras suara eksternal tempat ibadah, diobral setiap kali para pemuka “Agama DOSA” berceramah, sekalipun tubuh mereka tertutup busana dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Aurat” yang sebenarnya, ialah rasa malu berbuat jahat yang merugikan, melukai, maupun menyakiti orang-orang lainnya.

Perhatikanlah, setiap kali para umat “Agama DOSA” tersebut beribadah, setiap harinya, setiap hari raya keagamaan, bahkan hingga sanak-keluarganya meninggal dunia, yang diumbar selalu ialah “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—lantas, bagaimana dengan nasib korban-korban para pendosa tersebut, pernahkah diperhatikan aspirasi, suara, maupun hak-hak keadilan bagi para korban seolah-olah Tuhan lebih PRO kepada PENDOSA, sekalipun dunia ini tidak pernah kekurangan para penjahat dan pendosa? Alih-alih mempromosikan sikap penuh tanggung-jawab selayaknya seorang KSATRIA, para pemeluk ideologi “cuci tangan dari dosa” demikian justru meng-“halal”-kan sikap-sikap tidak jantan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Karenanya, semua orang dapat dengan mudahnya menjadi seorang pendosa, namun tidak semua orang sanggup untuk menjadi seorang ksatria yang penuh tanggung-jawab.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.