Puluhan Nabi GAGAL TOTAL Musnahkan Maksiat Paling Primitif yang Dkenal Umat Manusia dari Muka Bumi

Ketika Puluhan Nabi Utusan / Rasul Tuhan GAGAL TOTAL Memusnahkan Satu pun Maksiat / Dosa Paling Primitif dari Muka Bumi, Tuhan pun Meradang

Ketika Nabi Utusan Tuhan justru Mempromosikan dan Mengkampanyekan Maksiat Lengkap dengan Iming-Iming Penghapusan Dosa = Kabar Baik bagi PENDOSA

Messenger yang Mewartakan Kabar Baik bagi PENDOSA = Kabar Buruk bagi para KORBAN

Alam Neraka merupakan Simbol / Monumen Kegagalan Tuhan yang Tidak Benar-Benar Berkuasa atas Pilihan HIdup maupun Pikiran Umat Manusia

Question: Konon menurut satu dogma agama tertentu, puluhan orang nabi telah Tuhan (versi mereka) turunkan ke dunia ini untuk memerangi maksiat dari muka bumi. Namun, mengapa sampai detik ini masih juga ada begitu banyaknya maksiat-maksiat paling primitif yang sudah dikenal umat manusia sejak era pra sejarah maupun maksiat-maksiat zaman purbakala seperti praktik pemerkosaan, menyembah batu, merampok, mencuri, membunuh, menganiaya, pemerasan, mabuk kawin, dan dosa-dosa ataupun maksiat-maksiat lainnya? Singkatnya, mengapa tidak ada satu pun maksiat yang berhasil diberantas oleh puluhan nabi utusan atau rasul dari Tuhan tersebut? Mengapa juga Tuhan bergantung atau mengandalkan sosok semacam nabi untuk menjadi “messenger” seolah-olah Tuhan kalah canggih dengan teknologi broadcast semacam radio ataupun televisi?

Manusia dilahirkan lengkap dengan seperangkat “software” dalam otak dan genetik mereka dari sejak lahir, tidak terkecuali watak atau sifat-sifat buruk sang manusia, tentu itu bukan salah bunda mengandung, juga bukan salah si manusia yang tidak pernah memilih ataupun meminta untuk dilahirkan, tapi adalah hasil penciptaan Tuhan itu sendiri. Sehingga, jika mau disalahkan, Tuhan semestinya menunjuk hidung Tuhan sendiri sebagai pelaku “aktor intelektual” segala aksi kejahatan dan maksiat demikian untuk dituntut pertanggung-jawaban. Bukankah katanya konon tiada apapun yang dapat terjadi tanpa seizin, kuasa, maupun rencana Tuhan, tidak terkecuali terjadinya segala tindak kejahatan maupun maksiat dan dosa-dosa lainnya?

Brief Answer: Itulah bukti konkret bahwasannya Tuhan tidak benar-benar “Maha Kuasa” atas umat manusia. Contohnya, alam neraka itu sendiri sejatinya notabene merupakan “monumen kegagalan Tuhan”, gudang dimana Tuhan menyembunyikan, membuang, serta menimbung segala aib kegagalan proses penciptaannya yang memperlihatkan bahwasannya sang Tuhan (versi agama dimaksud) belum benar-benar sempurna adanya sehingga kerap gagal mencipta. Semakin banyak manusia yang dicampakkan ke alam neraka, artinya semakin besar dan semakin banyak lagi monumen-monumen yang menjadi simbol kegagalan proses penciptaan Tuhan yang telah ternyata tidak benar-benar “Maha Kuasa” atas umat manusia—dimana telah ternyata pula manusia mampu “self determination” atas pikirannya sendiri, atas pilihan bebasnya sendiri, atas pilihan hidupnya serta, serta atas nasibnya sendiri.

Karenanya, umat manusia dapat dengan mudah mengalahkan Tuhan, semudah dengan memilih untuk tidak tunduk pada ancaman-ancaman dogmatis Tuhan (lewat klaim sepihak sang nabi-nya, tentu saja), yakni dengan sikap berani alias tidak takut untuk menjadi seorang “NON”, maka pada saat itulah Tuhan tidak berdaya alias “impoten” di hadapan seorang manusia. Namun fakta yang paling menarik ialah, ketika kita melakukan kajian literatur langsung ke sumber otentik dogma-dogma agama bersangkutan, kita akan mendapatkan kejutan yang bertentangan dengan apa yang selama ini diketahui oleh masyarakat kita pada umumnya, bahwasannya sebenarnya Tuhan (versi agama dimaksud) tidak benar-benar sedang mempromosikan gaya hidup bersih dan higienis dari dosa-dosa maupun maksiat—justru sebaliknya, mempromosikan dosa dan maksiat semata agar para umat manusia tergiur untuk berbondong-bondong berkubang dalam dosa dan disaat bersamaan menikmati (agar tidak “merugi”) iming-iming korup “too good to be true”) bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

PEMBAHASAN:

Hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa atau apapun itu istilahnya. Orang suci mana yang butuh penghapusan dosa? Bila orang suci menghindari dirinya dari dosa maupun maksiat lewat latihan penuh pengendalian diri serta mawas diri, sementara itu para ksatria memilih untuk secara gagah-berani bertanggung-jawab pada para korbannya, maka para pendosa (tentu saja) hanya akan memilih untuk “hit and run” lewat memakan dan termakan iming-iming ideologi korup semacam “aboliton of sins”. Ketika seorang pendosa hendak mengajari, membimbing, maupun menasehati para pendosa lainnya, itu ibarat orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya.

Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, baik, dan lurus? Dapat kita nilai sendiri, teladan atau “standar moral” semacam apakah yang dijadikan patokan bagi para umatnya, bila sang nabi junjungan secara vulgar tidak memandang tabu ataupun aib memiliki dosa-dosa, bahkan merasa bangga, sebagaimana ternyata dalam:

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).

Dahulu, pada zaman “jahiliah”, tidak ada pendosa yang yakin akan masuk alam surgawi setelah memproduksi dan menimbun diri dengan segudang dan segunung dosa-dosa. Kini, para pendosa berbondong-bondong serta berlomba-lomba mencetak dosa, berkubang dalam dosa, mengoleksi dosa, agar tidak “merugi” semata karena mereka menjadi budak dari mabuk “penghapusan dosa”. Perbudakan adalah kejam dan tidak layak untuk dipromosikan, terlebih “budak seksuil” yang amat sangat tercela dan tidak manusiawi—alias “hewanis”—akan tetapi itulah yang justru dikampanyekan secara vulgar (tanpa rasa malu, terlebih dipandang tabu) oleh sang nabi sebagaimana ternyata dalam:

- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’

- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).

Menyembah batu ialah berhala. Namun, tiada agama-agama primitif semacam animisme ataupun dinamisme yang menyembah batu berwujud sapi dimana para umatnya menciumi batu yang disembahnya—akan tetapi dinilai sebagai sesat dan dilarang. Bila menyembah batu alias praktik berhal adalah dosa dan maksiat, maka bagaimana dengan yang berikut di bawah ini, berhala dalam tingkat atau derajat yang lebih ekstrem akan tetapi justru dikampanyekan untuk turut dilakoni oleh para umatnya secara membeo dan membuta:

Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

Mencuri, konon hukumannya ialah “potong tangan” bagi pelakunya. Berzina, ancaman hukumannya ialah “rajam sampai mati”. Sang nabi dan umatnya menjadi “polisi moral”, yang merasa paling suci dan benar, berhak menghakimi masyarakat. Namun, “standar moral” semacam apakah ketika umat manusia justru diperkenalkan gaya hidup kompromistik terhadap dosa dan maksiat, dan disaat bersamaan meremehkan gaya hidup luhur bebas dari kekotoran batin—sekalipun kita ketahui, semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup untuk menghindari perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksanawan juga untuk mau merepotkan diri dengan rajin menanam benih-benih perbuatan baik. Silahkan Anda nilai sendiri dengan “akal sehat milik orang sehat”:

- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.”

Intoleran merupakan maksiat alias dosa paling primitif yang juga sudah dikenal oleh umat manusia sejak era prasejarah, namun telah ternyata sang nabi utusan Tuhan (versi agama bersangkutan) lebih kompromistik terhadap dosa dan maksiat, akan tetapi disaat bersamaan sangat amat intoleran terhadap pluralisme maupun kemajemukan, sebagaimana ternyata dalam: [bila ajaran berikut ini disebut sebagai “cinta damai” dari “Kitab SUCI” milik “Agama SUCI”, maka pertanyaannya ialah yang disebut sebagai “haus darah” ala “Kitab DOSA” milik “Agama DOSA” akan seperti apakah wujudnya?]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi Nomor 2533]

Yang layak untuk disebut sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari  “Kitab SUCI” ajaran seorang suciwan—kontras dengan dogma-dogma “delusif” di atas—tampak sebagaimana dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang tidak menolerir terlebih memandang remeh segala bentuk ekses kekotoran batik, dengan kutipan:

XVI. Kemarahan

180 (1) – 184 (5) 332

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? (180) Kemarahan dan permusuhan … (181) Sikap merendahkan dan kurang ajar … (182) Iri dan kikir … (183) Kecurangan dan muslihat … (184) Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas itu.”

185 (6) – 189 (10)

“Para bhikkhu, ada dua kualitas ini. Apakah dua ini? (185) Tanpa kemarahan dan tanpa-permusuhan … (186) Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … (187) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (188) Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (189) Rasa malu dan rasa takut. Ini adalah kedua kualitas itu.”

190 (11) – 194 (15)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang berdiam dalam penderitaan. Apakah dua ini? (190) Kemarahan dan permusuhan … (191) Sikap merendahkan dan kurang ajar … (192) Iri dan kikir … (193) Kecurangan dan muslihat … (194) Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut [96] Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang berdiam dalam penderitaan.”

195 (16) – 199 (20)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang berdiam dengan bahagia. Apakah dua ini? (195) Tanpa-kemarahan dan tanpa-permusuhan … (196) Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … (197) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (198) Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (199) Rasa malu dan rasa takut. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang berdiam dengan bahagia.”

200 (21) – 204 (25)

“Para bhikkhu, kedua kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih . Apakah dua ini? (200) Kemarahan dan permusuhan … (201) Sikap merendahkan dan kurang ajar … (202) Iri dan kikir … (203) Kecurangan dan muslihat … (204) Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Kedua kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

205 (26) – 209 (30)

“Para bhikkhu, kedua kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih. Apakah dua ini? (205) Tanpa-kemarahan dan tanpa-permusuhan … (206) Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … (207) Ketidakirian dan ketidak-kikiran … (208) Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (209) Rasa malu dan rasa takut. Kedua kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

210 (31) – 214 (35)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah dua ini? (210) Kemarahan dan permusuhan … (211) Sikap merendahkan dan kurang ajar … (212) Iri dan kikir … (213) Kecurangan dan muslihat … (214) Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.” [97]

215 (36) – 219 (40)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah dua ini? (215) Tanpa-kemarahan dan tanpa-permusuhan … (216) Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … (217) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (218) Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (219) Rasa malu dan rasa takut. Dengan memiliki kedua kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

220 (41) – 224 (45)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka. Apakah dua ini? (220) Kemarahan dan permusuhan … (221) Sikap merendahkan dan kurang ajar … (222) Iri dan kikir … (223) Kecurangan dan muslihat … (224) Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Dengan memiliki kedua kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

225 (46) – 229 (50)

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam tujuan kelahiran yang baik, di alam surga. Apakah dua ini? (225) Tanpa-kemarahan dan tanpa-permusuhan … (226) Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … (227) Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … (228) Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … (229) Rasa malu dan rasa takut. Dengan memiliki kedua kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seseorang di sini terlahir kembali di alam tujuan kelahiran yang baik, di alam surga.”