Hidup adalah Nikmat ataukah Dukkha?

Bertanggung Jawab dan Penuh Tanggung Jawab dan menjadi Suciwan yang Melawan Arus Keduniawian, Jelas merupakan Dukkha

Menjadi Pendosa Penjilat Penuh Dosa yang Setiap Harinya Mengharap dan Memohon Penghapusan Dosa, Jelas merupakan “Nikmat”

Meminta dan Diberi adalah Nikmat (ala Pemalas). Menanam Karma Baik untuk Dipetik dan Dipanen adalah Meletihkan. Bertanggung-Jawab ala Ksatria adalah Menakutkan di Mata para Pengecut dan Pecundang Kehidupan

Question: Apa latar belakangnya, agama samawi mengajarkan dan mengklaim bahwa hidup pemberian Tuhan adalah nikmat, sementara itu Agama Buddha justru menyatakan bahwa hidup adalah duka?

Brief Answer: Siapapun mampu, senang, serta sanggup menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, yang begitu kompromistik terhadap dosa dan maksiat lalu disaat bersamaan mencandu ideologi korup berupa iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” atau apapun itu istilah yang berkonotasi aksi “cuci tangan” serta “cuci dosa” secara tidak bertanggung-jawab terhadap korban-korban yang telah pernah mereka sakiti, lukai, maupun rugikan selama mereka hidup di dunia manusia.

Namun tidak semua orang sanggup dan mampu menjalankan ibadah Buddhistik, yakni : menghindari perbuatan buruk, memperbanyak perbuatan bajik, serta memurnikan batin-pikiran. Tidak memuaskan serta tidak pernah terpuaskan, juga merupakan “dukkha”, seperti kita harus makan dan mandi secara rutin setiap harinya, tersandera oleh rutinitas kebutuhan hidup yang membuat kita jungkir-balik setiap harinya. Memiliki pekerjaan yang terpaksa kita lakoni namun tidak kita sukai, juga merupakan “dukkha”. Berkumpul dengan orang-orang yang tidak kita sukai atau bahkan berpisah dengan orang-orang yang kita cintai, juga merupakan “dukkha”. Kita melihat bahwa orang-orang baik cenderung hidupnya kurang beruntung dan tidak dihargai, sementara itu orang-orang jahat hidupnya (justru) cenderung lebih beruntung, fenomena kehidupan yang seakan terputar-balik demikian pun merupakan “dukkha”. Truth, always bitter.

PEMBAHASAN:

Akibat pandangan mata yang tertutup oleh kekotoran batin, banyak umat manusia awam yang memandang derita akibat “dukkha” sebagai kenikmatan ataupun kesenangan yang layak untuk dilekati. Seperti yang pernah dibabarkan oleh Sang Buddha, bahwa banyak hal yang dianggap sebagai kesenangan oleh banyak orang merupakan derita di mata seorang Buddha. Bila orang-orang mencari kenikatan memabukkan seperti kawin, berjoget ria, hidup bergelimang keduniawian, Sang Buddha lebih memilih memasuki kenikmatan meditatif dan hidup selibat. Begitu konyolnya umat manusia, meyakini bahwa kesenangan surgawi digambarkan tidak ubahnya kesenangan duniawi berupa bersetubuh dengan belasan bidadari berdada “montok”, sungguh dangkal dan penuh kekotoran batin, pikiran yang keruh dan hati yang gersang. Banyak manusia yang bahkan dengan senang menyakiti dirinya sendiri dan bersikap egoistik terhadap masa depan dirinya sendiri.

Jika perlu, melawan arus. Ada dorongan birahi / libido dalam diri, bukan artinya harus disalurkan dan dilampiaskan ataupun dipuaskan. Keterampilan “self control”, terasah bila kita berlatih dalam disiplin diri yang ketat. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3). Bandingkan dengan apa yang disabdakan maupun diberikan teladan nyata oleh Sang Buddha dalam kutipan berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Sebaliknya, umat agama samawi diajarkan memandang hidup ini sebagai kesempatan megah tidak terbatas untuk “mencurangi kehidupan”, karenanya tampak seolah dan seakan-akan sebentuk keberuntungan bila berhasil “mencurangi kehidupan”, dimana para pendosa akan tergoda serta terpanggil untuk berlomba-lomba mencetak dosa, memproduksi dosa, serta mengoleksi dosa hingga dosa-dosa itu menggunung, berkubang dosa, dan tertimbun oleh dosa-dosa yang menjelma “too big to fall”—sekalipun iming-iming “penghapusan dosa” sejatinya bersifat “too good to be true”, dimana itu menjadi “kabar gembira” bagi kalangan dosawan dan disaat bersamaan menjadi “kabar buruk” bagi kalangan korban-korban para pendosa tersebut:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Kenikmatan surgawi, lebih mungkin berupa kenikmatan meditatif ketimbang terbakar oleh api nafsu yang membara ketika para penikmat keduniawian tersebut menyiksa diri dengan terbakar api birahi dengan aksi bersetubuh yang “hot”. Mengapa, mereka, para agamais tersebut, begitu gemar mengatur-ngatur, mendikte, serta menghakimi kaum “NON”? Karena mereka tidak bahagia atas agama dan ibadah mereka sendiri. untuk itu, simak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal apa yang disebut sebagai “kebahagiaan” dalam perspektif Buddhisme:

VII. Kebahagiaan

64 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan seorang umat awam dan kebahagiaan seorang yang telah meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah].300 Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan dari seorang yang telah meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

65 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan indria dan kebahagiaan meninggalkan keduniawian. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

66 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang terikat dengan perolehan dan kebahagiaan tanpa perolehan. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa perolehan adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar mengemas yang pertama sebagai kebahagiaan di tiga alam (alam indria, alam berbentuk, dan alam tanpa bentuk) dan mengemas yang terakhir sebagai kebahagiaan yang melampaui duniawi (lokuttarasukha).]

67 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan dengan noda-noda dan kebahagiaan tanpa nodanoda. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa noda-noda adalah yang terunggul.”

68 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan spiritual. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan spiritual adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menjelaskan, perbedaannya adalah antara sāmisa sukha, yang didefinisikan oleh seorang penerjemah sebagai kebahagiaan yang kotor yang mengarah kembali pada lingkaran [penjelmaan yang tidak berkesudahan], dan nirāmisa sukha, kebahagiaan tidak kotor yang mengarah pada akhir lingkaran tumimbal-lahir.]

69 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan mulia dan kebahagiaan tidak mulia. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan mulia adalah yang terunggul.”

70 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan batin. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan batin adalah yang terunggul.”

71 (8)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang disertai dengan sukacita dan kebahagiaan tanpa sukacita. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa sukacita adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menerangkan, kebahagiaan dengan sukacita (sappītika sukha) adalah kebahagiaan jhāna pertama dan ke dua. Kebahagiaan tanpa sukacita (nippītika sukha) adalah kebahagiaan jhāna ke tiga dan ke empat.’

72 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang menyenangkan dan kebahagiaan keseimbangan (batin). Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan keseimbangan adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menuebutkan, kebahagiaan yang menyenangkan (sātasukha) adalah kebahagiaan tiga jhāna pertama. Kebahagiaan keseimbangan (upekkhāsukha) adalah kebahagiaan jhāna ke empat.]

73 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan konsentrasi dan kebahagiaan tanpa konsentrasi. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan konsentrasi adalah yang terunggul.”

74 (11)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada adanya sukacita dan kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita adalah yang terunggul.

[Note : Kitab Komentar menguraikan, Sappītikārammaa sukha dan nippītikārammaa sukha. Agak meragukan bahwa, dalam empat Nikāya, kata ārammaa selalu yang bermakna “objek kesadaran” dalam makna umum seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Makna aslinya lebih mendekati “landasan” atau “penyokong.” Kadang-kadang, seperti dalam SN 34:5, III 266, kata ini menunjukkan suatu “objek meditasi.” Seiring perjalanan waktu, makna ārammaa pasti telah meluas dari “objek meditasi” menjadi “objek kesadaran” dalam makna umum, tetapi sepengetahuan Bhikkhu Bodhi perkembangan ini terjadi setelah masa ketika Nikāya-nikāya disusun.

75 (12)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada kenikmatan dan kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan adalah yang terunggul.”

76 (13)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk dan kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk adalah yang terunggul.”

[Note: Kitab Komentar menjelaskan, kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk (rūpārammaasukha) adalah yang berdasarkan pada jhāna keempat dari alam berbentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada itu. Yang berdasarkan pada tanpa-bentuk (arūpārammaasukha) adalah yang berdasarkan pada jhāna tanpa bentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada tanpa bentuk.”