Kiat Memilih Agama yang Baik dan Ideal untuk Dipeluk, Diyakini, serta Dijalankan

AKAL DOSA Milik para Pendosa Vs. AKAL BAIK Milik Orang-Orang Baik

Ketika Agama Bertentangan dengan Kemanusiaan, maka Itulah Agama yang Harus Dilarang sebagaimana Kita Melarang Agama Liberal!s, Agama Hedonistis, maupun Agama Komunistis

Question: Apa ada kiat, agar kita dapat memilih agama yang tepat dan baik untuk kita peluk dan praktikkan di keseharian serta untuk kita kelak kenalkan maupun wariskan kepada anak-cucu kita?

Brief Answer: Semua agama ataupun marketing produk komersiel, selalu mengiming-imingi calon pengguna atau pelanggan maupun pemeluknya dengan segala janji-janji manis, iming-iming, hingga janji-janji surgawi yang seringkali tidak jarang “too good to be true”, sehingga bagi mereka yang cara berpikirnya kurang rasional akan mudah tergoda dan terjerumus tanpa mereka sadari terhadap “persona”, iklan brosur, maupun “polesan” yang ada. Kiat paling utama dalam menilai baik atau tidaknya suatu keyakinan keagamaan ialah, mencermai ada atau tidaknya ajaran “toxic” (beracun) dibalik kedok atau kemasan luar agama dimaksud yang tampak humanistik, sehingga tercipta distorsi ataupun delusi, seolah-olah suatu “Agama DOSA” tampak sebagai “Agama SUCI” yang humanis, cinta damai, toleran, dan sebagainya. Sama seperti seorang penipu, selalu bermulut manis dan tampak baik hati ucapan dan sikapnya di depan kita, namun menyimpan “udang dibalik batu”, menusuk dari belakang ketika kita lengah.

Kiat kedua ialah, lihat dan nilai perilaku para umat agama bersangkutan, apakah menampilkan wujud sikap-sikap kebaikan yang humanis, atau justru sebaliknya menjadi “pendosa yang penuh dosa”, “dosa-nya menjadi-jadi”, “dari semula takut berbuat dosa menjelma tidak takut dan tidak malu berbuat jahat”, “dari semula tidak kompromistik terhadap sikap buruk menjelma kompromistik terhadap perbuatan buruk”, atau “dari semula toleran menjelma intoleran”, maupun “dari semula ahimsa menjelma haus darah dan suka menumpahkan darah disamping kerap menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”.

Misi misionaris bukanlah apa yang menjadi “lip service” penuh gula-gula yang manis para pemuka agama, namun dari sikap dan teladan hidup keseharian para umatnya sebagai cerminan konkret, dimana para umat agama itu sendiri yang mengharumkan ataupun yang menista dan mencemarkan nama agamanya sendiri. Penting untuk kita membiasakan gaya hidup “yang manis jangan langsung ditelan, dan yang pahit jangan langsung dibuang”, karena konon “truth always bitter”, sehingga akal sehat (common sense) menjadi penting sebagai penangkal atau imun dari iming-iming dibalik kedok agama yang menjerumuskan.

Secara pribadi, dari sejak kecil hingga bertumbuh dewasa hampir separuh abad lamanya di Indonesia, tidak terhitung lagi jumlah pengalaman pahit diperlakukan secara jahat dan tidak manusiawi—seperti disakiti, dirugikan, maupun dilukai—oleh umat-umat “agama samawi” yang selama ini menjual agama dengan iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekalipun kita tahu betul bahwa hanya seorang pendosa yang butuh pengampunan dosa atau apapun itu istilahnya. Ketika semakin “agamais” pihak-pihak yang selama ini telah menyakiti, melukai, atau merugikan diri kita, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa memang itulah yang selama ini dibentuk oleh agama yang mereka yakini, sehingga kita tidak perlu ikut-ikutan “ikut arus” (stockholm syndrome) dengan turut memeluknya agar tidak menjelma seperti para pendosa tersebut sehingga dengan semangat welas asih tiada lagi orang lain yang menjadi korban-korban seperti kita.

Satu pola yang sejak dahulu penulis temui dan rasakan hingga saat kini, hampir separuh abad lamanya, ketika berhadapan dengan orang-orang nasrani (katolik maupun kristen protestan) di Indonesia ialah dicirikan oleh sifat suka menipu, suka ingkar janji, dan tidak bertanggung-jawab. Sementara itu yang khas dari umat muslim pemeluk islam ialah “kerap menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” serta “terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistik sementara itu terhadap kaum yang berbeda demikian intoleran”—singkat kata, kedua umat tersebut menampilkan corak kultur berupa “BUAT DOSA? SIAPA TAKUT, ADA PENGHAPUSAN DOSA!” Itulah ketika, yang kemudian menjadi takut ialah kalangan korban karena sewaktu-waktu berpotensi dijadikan korban, dimana pelakunya sama sekali tidak takut berbuat dosa.

Itulah sebabnya, akibat kerapnya disakiti oleh umat-umat agama bersangkutan, penulis bertekad serta bersumpah untuk tidak akan pernah penulis peluk terlebih dukung untuk seumur hidup, sekalipun nyawa ini di ujung tanduk dibawah ancaman sebilah pedang—alam neraka merupakan simbol / monumen kegagalan Tuhan agama mereka, dimana mengalahkan Tuhan agama mereka semudah menolak untuk memeluk dan menolak meyakini Tuhan versi agama demikian. Agama yang baik mempromosikan serta mengkampanyekan gaya hidup sehat yang humanis, saling menghargai, ahimsa, serta penuh tanggung-jawab dan suci bersih dari noda ataupun cela, bukan iming-iming penghapusan dosa atau apapun itu alasannya.

PEMBAHASAN:

Sebagai pembuka, penulis akan menguraikan tiga jenis kategorisasi agama, dalam rangka mengungkap “udang dibalik batu” sekaligus membongkar topeng (persona) yang selama ini membuat delusi dan distorsi, terutama terhadap agama yang selama ini selalu sesumbar sebagai agama yang paling superior dan paling suci-bersih di dunia ini. Menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas umat manusia di dunia, tidak menjadi jaminan bahwa itulah agama yang paling baik. Sebagaimana kita ketahui bersama, di dunia ini ada begitu banyak orang jahat, dimana bahwa Indonesia tidak pernah kekurangan penipu ataupun orang-orang jahat, sehingga bilamana ada agama yang menawarkan iming-iming “penghapusan dosa”, maka pendosa / penjahat mana yang tidak akan senang dan berbondong-bondong memeluknya bahkan berlomba-lomba mengoleksi serta menimbun diri dengan dosa?

Pernah terjadi, ibu dari penulis ketika masih muda dan duduk di bangku sekolah menengah, seorang pendeta (entah pendeka katolik atau pendeta kristen) mencoba memerkosa ibu kandung dari penulis, meski beruntung  ibu penulis berhasil meloloskan diri dalam aksi kejar-mengejar. Rasa-rasanya ibu penulis tidak mungkin berbohong kepada penulis, dan karenanya penulis tidak pernah mau memeluk dan kini menjadi antipati terhadap agama nasrani. Sehingga, bagaikan hukum pasar antara permintaan dan penawaran, dimana ada “demand” dari para pendosa maka ada “supply” berupa iming-iming yang selama ini ditawarkan oleh agama, antara lain:

- “Agama SUCI”, dimana para umat pemeluknya ialah para orang suci yang disebut sebagai “suciwan”. Para manusia yang berlatih dalam jalan sepi dan keras bernama kesucian, berlatih diri penuh kewaspadaan dalam mengawasi serta mengendalikan dirinya sendiri (self-control training) dalam kehidupannya sehari-hari. Karenanya, orang suci manakah yang butuh penghapusan dosa ataupun iming-iming ideologi korup lainnya yang tidak bertanggung jawab? Bagaimana mungkin, Tuhan lebih PRO terhadap pendosa-ketimbang memberi keadilan bagi kalangan korban dari para pendosa tersebut? Sementara itu tiada orang baik yang merasa terancam oleh eksistensi orang-orang suci, dimana kesucian menjadi “kitab suci”-nya.

- “Agama KSATRIA”, dimana para umat pemeluknya ialah mereka yang berjiwa ksatria, sehingga layak menyandang gelar terhormat sebagai seorang “ksatria”. Disebut sebagai ksatria, dicirikan oleh sikap ksatria yang mana akan tampil dengan kesadaran penuh untuk bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya sekalipun telah pernah ataupun serta masih dapat berbuat keliru yang mengakibatkan orang lain menderita luka, sakit, maupun kerugian, dimana juga sang ksatria tidak perlu dituntut untuk bertanggung-jawab, bahkan kalangan korban yang tidak jarang mengetahui telah menjadi korban akan diberi pertanggung-jawaban secara proaktif oleh sang ksatria, dimana sikap penuh tanggung-jawab sebagai “kitab suci”-nya. Bertanggung-jawab itu berat serta menakutkan, bukan untuk kalangan pengecut-pemalas sebagaimana khas corak wajah para pendosa.

- “Agama DOSA”, dimana para umat pemeluknya ialah mereka yang bersimbah dan tertimbun dosa, sehingga dijuluki sebagai “pendosa”. disebut sebagai “Agama DOSA”—sekalipun kover bukunya diberi judul “Kitab SUCI”—semata karena alih-alih mempromosikan gaya hidup bersih dari dosa justru mengkampanyekan pengampunan / penghapusan / penebusan dosa bagi para umat pemeluk dan penyembahnya, semudah dan segampang serta semalas praktik ritual sembah-sujud, yang mana notabene semua orang juga sanggup dan mampu menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” demikian. Bagi para pengecut bernama para pendosa tersebut, bertanggung-jawab tampak begitu menakutkan dan menciutkan hati disamping “merugi”, sementara itu lari dari tanggung-jawab (hit and run) alias sikap-sikap tidak bertanggung-jawab ialah “untung” dan “menguntungkan”. Dari situlah, mentalitas korup dibentuk serta dipelihara, bertumbuh menjelma “manusia sebagai serigala bagi sesamanya”, degradasi moralitas umat manusia, dimana “hapus dosa” menjadi “kitab suci”-nya.

Ada agama yang selalu sesumbar sebagai agama yang paling suprematif, paling superior, paling suci, paling mulia, paling agung, paling luhur, serta paling Tuhanis. Namun adalah delusif adanya, ketika “Kitab DOSA” hendak melahirkan “suciwan” ataupun “Agama SUCI”. “Kitab DOSA” hanya dapat melahirkan “pendosa” (para pendosa sebagai umat pemeluknya, alias agama bagi para pendosa) serta “Agama DOSA”. Kabar gembira bagi para pendosa, selalu merupakan atau menjadi kabar buruk bagi kalangan korban-korban dari para pendosa tersebut—yang setelah produktif berbuat dosa namun masih juga berdelusi akan masuk surga setelah ajal menjelang, dimana para pendosa berbondong-bondong berbuat dosa dan menjadi pecandu ideologi korup bernama penghapusan dosa—sebagaimana dapat dicerminkan lewat teladan serta ajaran jahiliah ala berhala yang merusak “standar moralitas” dimana para pembaca dapat menilai sendiri dengan “akal sehat milik orang sehat” apakah ajaran-ajaran berikut ini adalah lurus ataukan bengkok:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).

- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’

- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).

- “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang, alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi orang-orang untuk dibunuh?]

Begitupula ketika kita menilik ajaran nasrani, digambarkan sang nabi memiliki hati bercahaya di bagian dadanya, yang diklaim sebagai simbol belas kasih dan kasih sayang. Namun, benarkah demikian? Faktanya, sang nabi yang mereka beri nama sebagai Yesus atau Jesus, yang notabene lahir di kandang ternak dari rahim seorang wanita-manusia sehingga membawa serta dosa-dosa “warisan Adam”, demikian sadistik—alih-alih “humanis” ataupun “Tuhanis”, justru bersikap “hewanis”, “premanis”, aroganis”, dan “predatoris”—dimana sang nabi justru bersikap bak raja diktator, ketika disembah-sujud dan dipuja-puji akan merasa senang dan memberi hadiah bagi para budak sembah-sujudnya, dan disaat bersamaan terhadap umat manusia yang tidak bersedia menjual jiwanya menjadi budak sembah-sujud, akan diberi hukuman keras berupa dilempar dan dicampakkan ke alam neraka.

Ancaman-ancaman dogmatis demikian, kutukan-kutukan maupun sumpah-serapah dogmatis demikian, justru menggambarkan betapa Tuhan yang mereka sembah begitu bergantung dan butuh sembah-sujud umat manusia agar dapat eksis, dimana tanpa itu maka sang Tuhan tidak menjadi eksis dan punah adanya—karenanya, sangatlah mudah menang melawan, menaklukkan, serta mengalahkan Tuhan versi demikian, yakni Tuhan yang eksistensinya butuh dan bergantung pada pengakuan maupun sembah-sujud umat manusia, yakni dengan tidak menyembah dan tidak mayakini serta tidak menjual jiwa kita selaku umat manusia kepada sang Tuhan versi agama bersangkutan, dimana Tuhan tersebut tidak benar-benar “Maha Kuasa” atas manusia. Manusia dilahirkan apa adanya, lengkap dengan jiwa pembangkannya, sehingga bukan salah sang manusia juga bukan salah bunda mengandung.

Itulah juga sebabnya, neraka merupakan monumen kegagalan Tuhan, dimana Tuhan tidak berkuasa sepenuhnya atas umat manusia yang memiliki kehendak bebas untuk memilih dan “self determination”. Dahulu, sebelum “agama samawi” lahir, tiada pendosa (penjahat) yang setelah melakukan kejahatan-kejahatan merasa yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah kematian menjemputnya. Kini, setelah “agama samawi” mendominasi, menguasai, menjajah, dan menghegemoni umat manusia di seluruh belahan dunia, para pendosa berbondong-bondong serta berlomba-lomba mereproduksi dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dosa, bersimbah dosa, serta mengoleksi segudang maupun segunung dosa, akan tetapi masih juga mengharap dan berdelusi hidup makmur saat masih hidup sebagai manusia maupun setelah kematiannya tiba.

Cermati juga versi Tuhan yang disembah dalam agama bersangkutan, apakah “Tuhanis” ataukah “premanis” dan “predatoris”? Tanyakanlah pula kepada diri kita sendiri sendiri, apakah versi Tuhan agama bersangkutan adalah “kurang kerjaan” ataukah benar-benar mulia dan agung? Bayangkan, “agama samawi” menggambarkan atau mengilustrasikan sosok Tuhan begitu “kurang kerjaan”, karena harus mengatur dan mengurusi segala tetek-bengek kehidupan semesta luas ini, dengan jargon “tiada yang dapat terjadi tanpa seizin, sepengetahuan, maupun kuasa Tuhan”. Jika benar demikian adanya, maka mengapa terjadi ketimpangan atau kesenjangan yang kian lebar antara si kaya dan si miskin, jika bukan membuktikan bahwa Tuhan sedang tidur atau mungkin juga sudah lama pensiun?

Disebutkan pula bahwa sang Tuhan yang menjadi penyebab atau penentu akan atau telah sedang berjatinya bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, maupun tsunami, banjir, kekeringan parah, dan sebagainya, sekalipun kita tahu betul bahwa semua itu adalah fenomana alam dimana tanpa keterlibatan “the act of God” sekalipun semua bencana alam demikian adalah alamiah dan wajar terjadinya bahkan sejak zaman es (ice age) di masa purbakala dahulu kala dan masih akan terjadi di masa mendatang akibat pergerakan lempeng tektonik dengan dapur magma di perut Bumi.

Bagaimana mungkin, Tuhan begitu “kurang kerjaan” seperti menentukan berapa banyak helai daun yang jatuh dari pepohonan yang ada di muka bumi pada hari ini dan hari esoknya, berapa telur akan ditelurkan oleh bebek dan ayam yang ada di kandang si anu dan pada kandang si anu—itu semua pekerjaan “tukang”—bahkan hingga seseorang wanita menjadi korban pemerkosaan adalah karena peran utama aktif Tuhan selaku “aktor intelektual” dibalik kegilaan seorang pelaku yang memerkosa (manusia yang juga dikorbankan Tuhan dengan dijadikan sebagai “pion” alias alat untuk mencobai) sementara itu korban tidak ditolong dimana juga sang “pion” dijebloskan ke penjara untuk kemudian dicampakkan ke neraka.

Tanyakan pula, apakah nabi dari agama bersangkutan menjadi mulia dan agung, lewat usaha sendiri ataukah karena “diistimewakan” oleh sang Tuhan berdasarkan klaim-klaim pribadi sang nabi? Tiada yang istimewa jika dianak-emaskan, yang benar-benar hebat dan patut dikagumi keagungannya bilamana seorang nabi menjadi mulia atas dasar atau berkat usaha sendiri. Tidak terkecuali, cermati pula, apakah versi Tuhan agama yang bersangkutan adalah benar-benar “Maha Tahu” ataukah justru menyerupai “Profesor Ling Lung” yang mana terus-menerus mencobai umat manusia seolah-olah tidak mau belajar dari pengalaman dan percobaan-percobaan sebelumnya—seolah-olah umat manusia adalah “kelinci percobaan”—sekalipun umur umat manusia sudah setua usia Planet Bumi ini, dimana ketika Tuhan gagal mencipta manusia yang sempurna dan ketika ciptaannya gagal melewati cobaan maka Tuhan akan “cuci tangan” dengan mencampakkannya ke tong sampah raksasa bernama “alam neraka”. Albert Einstein sudah lama berpesan, “Melakukan hal yang sama berulang-ulang, namun mengharapkan hasil yang berbeda, adalah INSANE!” Versi Tuhan yang “insane” bagi para “insane”.

Ketika suatu agama menistakan peran penting otak, anugerah terbesar pemberian Tuhan, maka itu bukanlah agama yang benar. Disebutkan oleh “Agama DOSA” yang mengobral dan mengumbar “penebusan dosa”—bagaikan meminta maaf dahulu sebelum berbuat kejahatan—bahwa umat manusia dibebani serta menyandang “dosa warisan” Adam yang telah pernah memakan “buah terlarang”. Pertanyaannya yang patut kita ajukan ialah, dikemanakan-kah, “harta-harta warisan” Adam, di-korup oleh sang nabi? Siapa juga yang menciptakan sifat suka membangkang yang dimiliki oleh genetika di otak Adam?

Siapa juga yang sengaja telah menaruh “ranjau paku” penuh godaan tersebut? Bukankah itu ibarat seorang “pemeras”, sengaja menaruh “ranjau paku” di jalan umum, memeras umat manusia lewat segala dosa dan maksiat yang mana ciptaan Tuhan itu sendiri, lalu menawarkan iming-iming “penghapusan / penebusan dosa” (abolition of sins) dengan syarat sang manusia harus menjual dan menggadaikan jiwanya kepada sang Tuhan, selamanya menjadi budak sembah-sujud. Tuhan yang mengancam-ancam, masih bisa merasa senang, marah, murka, tidak suka, sungguh personifikasi sosok seorang manusia, lebih tepatnya ialah bak “raja yang lalim” alias sewenang-wenang, seolah kita selaku umat manusia yang meminta dilahirkan ke dunia ini.

Bagaimana mungkin, “Agama SUCI” mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah lebih baik manusia “penjilat”? Memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan menjadi seorang manusia yang mulia. Semua orang sanggup menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, dan semua orang akan senang menjadi seseorang yang berbuat jahat tanpa disertai sikap tanggung-jawab, namun tidak semua orang sanggup untuk menjalani ritual kehidupan berikut ini : menghindari perbuatan buruk, banyak berbuat kebaikan, serta mensucikan pikiran. Adalah “Agama DOSA”, yang mengajarkan ajaran sesat bahwa seseorang yang baik hati dan suka berbuat kebaikan akan masuk neraka, semata karena tidak menjalani praktik sembah-sujud kepada sang Tuhan. Kepala Negara kita saja tidak membentuk “kabinet penjilat”, namun “kabinet kerja”.

Namun, disaat bersamaan, setiap harinya, setiap hari raya keagamaan, maupun saat sang umat meninggal dunia, yang dikumandangkan lewat speaker pengeras suara pada tempat ibadahnya tanpa rasa malu ialah perihal “penghapusan dosa”, “penghapusan dosa”, dan “penghapusan dosa”.  Aurat ditutupi dan ditabukan dari ujung rambut hingga ujung kaki, namun dosa dan maksiat diumbar lengkap dengan iming-iming penghapusan dosa secara begitu vulgar dan seronok bahkan lewat pengeras suara. Berikut inilah, sang umat “Agama DOSA” (para pendosa) tersebut katakan pada suatu hari lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah tempat para pendosa berkumpul dan berdelusi diri akan masuk surga setelah banyak berbuat dosa : “JIka orang baik bisa masuk surga tanpa beribadah (sembah-sujud) kepada Tuhan kita ini, maka untuk apa setiap harinya kita beribadah?

Jelas berbeda, orang baik tidak butuh “penghapusan dosa”, sementara itu para pendosa tersebut setiap harinya beribadah memohon “penghapusan dosa”, bagai pecandu yang mencandu, mabuk dosa. Masih juga mereka berdelusi bahwasannya agama serta umatnya adalah lebih superior ketimbang umat beragama lain maupun terhadap mereka yang tidak beragama sama sekali, sekalipun orang baik-baik jelas memeluk “Agama KEBAIKAN” yang jauh lebih luhur serta mulia ketimbang “Agama DOSA” milik para pendosa. Itulah yang kerap penulis sebut sebagai, “akal dosa” milik para pendosa yang tidak akan pernah sejalan dengan “akal baik” milik orang-orang baik.