Modus yang Sempurna untuk Memutus Hubungan Kerja Tenaga Kerja Asing

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya aturan harus bayar kompensasi sisa masa kerja dalam PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) jika kami lakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) sebelum kontrak kerjanya betul-betul sudah berakhir, juga berlaku sama aturannya untuk TKA (Tenaga Kerja Asing) yang digunakan oleh perusahaan? Bagaimana jika TKA itu menjabat sebagai direktur di kantor kami, bisa juga kami copot dan ganti sewaktu-waktu tanpa resiko harus bayar ini-itu?
Brief Answer: Berdasarkan preseden dan best practice peradilan, keberlakuan daya ikat PKWT bagi Pemberi Kerja dan pihak Pekerja, baik Pekerja warga lokal maupun Tenaga Kerja Asing, adalah sama dalam arti hak-hak normatifnya atas sisa masa kerja dalam kontrak kerja bila pihak Pengusaha memutus hubungan kerja (PHK) sebelum jangka waktu dalam kontrak betul-betul telah berakhir.
Namun yang membedakan, bila terhadap Pekerja lokal cukup dibuktikan masih berlakunya PKWT saat terjadi PHK, bagi Tenaga Kerja Asing  wajib juga membuktikan izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) terhadap dirinya masih berlaku hingga jangka waktu PKWT masih berlaku ketika dirinya di-PHK ditengah masa kontrak.
Dari kaedah norma preseden demikian, tampaknya terdapat suatu “celah hukum” yang dapat dimanfaatkan bagi pihak Pengusaha untuk sewaktu-waktu melakukan PHK terhadap Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakannya dengan PKWT (semua Tenaga Kerja Asing wajib berbentuk perikatan kerja PKWT), yakni tidak memperpanjang masa berlaku IMTA meski masa kerja dalam PKWT masih panjang.
Jika IMTA berakhir di tengah jalan, maka sekalipun PKWT masih cukup panjang sisa jangka waktu berlakunya, maka terkesan seolah-olah pihak Pemberi Kerja “terpaksa” untuk melakukan PHK terhadap sang Tenaga Kerja Asing—SHIETRA & PARTNERS menyebutnya sebagai suatu “modus yang sempurna”, karena sebetulnya mengajukan permohonan perpanjangan RPTKA / IMTA merupakan kewenangan dan kewajiban pihak Pemberi Kerja, bukan kewenangan TKA.
Yang juga cukup menarik, seringkali perusahaan-perusahaan di Indonesia mempekerjakan Tenaga Kerja Asing untuk menempati jabatan Organ Perseroan seperti Direksi / Direktur. Sebagaimana kita ketahui, Direksi bukanlah Pekerja sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, namun berhubung Tenaga Kerja Asing hanya dapat dipekerjakan berdasarkan PKWT, maka pemberhentian sang Tenaga Kerja Asing, sekalipun lewat mekanisme pemberhentian lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan, ternyata khusus untuk konteks Tenaga Kerja Asing, PHK demikian tetap melahirkan hak kompensasi pembayaran upah sesuai sisa masa kerja dalam kontrak PKWT—suatu pendirian lewat praktik peradilan yang tampaknya seolah diskriminatif terhadap pejabat Direksi dari Warga Negara Indonesia lokal yang bila di-PHK oleh RUPS, maka tiada pesangon ataupun pemberian kompensasi apapun terhadap sang pejabat Organ Perseroan.
Solusi untuk mengatasinya, tentu saja mencantumkan masa kerja dalam PKWT Tenaga Kerja Asing yang direkrut untuk menduduki jabatan Direksi, bukan hitungan “sekian tahun”, namun “sampai diberhentikan oleh RUPS Perseroan”—dengan demikian Tenaga Kerja Asing yang menjabat Direksi dan di-PHK sewaktu-waktu oleh RUPS Perseroan, tidak melahirkan konsekuensi yuridis pembayaran kompensasi apapun.
PEMBAHASAN:
Kaedah preseden dimaksud sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 103 PK/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 25 Agustus 2017, perkara antara:
- PT. BALI OCEAN ADVENTURE, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; melawan
1. MARIE CHRISTINE CHAU, Warga Negara Perancis; 2. CEDRIC CHRISTIAN GENET, Warga Negara Perancis, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat adalah karyawan Tergugat, dimana salah satu diantara pihak Penggugat tersebut ternyata dipekerjakan dengan jabatan sebagai Direktur Marketing perusahaan. Sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja mereka, Para Penggugat dipekerjakan sejak tanggal 4 Agustus 2014 untuk jangka waktu 1 tahun.
Bila merujuk norma hukum ketenagakerjaan, kontrak kerja model demikian diklasifikasi sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Penggugat menyadari bahwa sebagai orang asing yang bekerja di Indonesia, perlu memiliki dengan ijin tinggal (KITAS), sementara pihak Tergugat menyatakan bahwa KITAS untuk Para Penggugat akan siap sebelum kontrak kerja berlangsung.
Akan tetapi pihak Tergugat ternyata belum juga menyelesaikan kewajibannya untuk mengurus KITAS Para Penggugat hingga kontrak kerja efektif berlaku, dengan alasan masih dalam proses pengurusan. Meski begitu, Tergugat tetap meminta Para Penggugat untuk mulai bekerja sambil menunggu KITAS terbit. Dikarenakan Para Penggugat percaya pada janji Tergugat, maka Para Penggugat mulai bekerja sebagaimana diatur didalam kontrak kerja.
Tanggal 17 Oktober 2014, Penggugat kembali menanyakan ijin kerjanya kepada Tergugat. Tergugat memberi tanggapan bahwa ada suatu masalah sehingga tidak bisa menyelesaikan ijin kerja tepat pada waktunya dan Penggugat diminta untuk melengkapi dokumen lagi untuk proses ijin kerja, sementara Penggugat diminta untuk tetap bekerja seperti sedia kala. Tergugat juga berani menjamin bahwa tidak akan ada masalah dari pihak keimigrasian.
Dikarenakan Para Penggugat dengan itikad baik percaya saja pada janji demikian, maka Para Penggugat kembali melakukan pekerjaannya. Tanggal 7 November 2014, secara mendadak Tergugat melakukan pengakhiran hubungan kerja (PHK) dan/atau pengakhiran kontrak kerja secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya kepada Para Penggugat.
Terkait PHK tersebut, diadakanlah pertemuan antara Para Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 14 November 2014, untuk membahas mengenai gaji terakhir dan hak-hak lainnya yang berhak diperoleh oleh Para Penggugat, yang di dalam pertemuan tersebut, Tergugat menyetujui dan berjanji untuk membayar upah terakhir beserta komisi Para Penggugat, yang kemudian dituangkan di dalam perjanjian dan dikonfirmasi kembali melalui pesan singkat seluler kepada Para Penggugat.
Tanggal 1 Desember 2014, Para Penggugat datang ke kantor Tergugat guna mengambil upah terakhir beserta komisi tersebut secara tunai. Namun Tergugat menolaknya dan hanya memberikan surat pengakhiran kontrak kerja melalui email dengan alasan bahwa Para Penggugat telah mengambil informasi perusahaan dan menghubungi konsumen dengan tujuan untuk membatalkan program mereka dengan Tergugat, dan untuk kemudian konsumen akan melakukan program tersebut dengan Penggugat secara pribadi.
Dengan demikian Tergugat telah mengingkari perjanjian sebelumnya untuk membayar upah dan komisi Para Penggugat yang disepakati pada tanggal 14 November 2014. Tergugat menolaknya, dengan alasan bahwa perusahaan sedang  mengalami kerugian keuangan, sehingga Tergugat tidak dapat memberi kompensasi PHK kepada Para Penggugat, hingga saat kini.
Keputusan penghentian kontrak kerja terjadi pada tanggal 30 November 2014, sehingga tindakan Tergugat yang mengakhiri hubungan kerja secara sepihak sebelum berakhirnya jangka waktu di dalam kontrak kerja, maka untuk itu Para Penggugat berhak untuk menuntut kompensasi PHk dari Tergugat sebagaimana diatur di dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada Pihak lainnya sebesar upah pekerja / buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Berdasarkan kaedah normatif-imperatif tersebut di atas, maka kompensasi yang wajib diberikan oleh Tergugat, yakni: 9 kali Upah. Selanjutnya Penggugat mengajukan mediasi tripartit kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Denpasar tanggal 11 Februari 2015 perihal: Pengaduan terkait dengan pemecatan tenaga kerja asing (pengakhiran PKWT) dengan tidak diberikan hak-haknya, disertai dengan permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Tergugat telah dipanggil secara patut oleh Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja. Namun perundingan tidak menghasilkan kesepakatan. Pihak Mediator setelah memeriksa bukti-bukti Para Penggugat seperti adanya kontrak kerja, slip gaji, dan surat pengakhiran kontrak kerja, untuk selanjutnya menerbitkan Surat Anjuran kepada masing-masing pihak yang bersengketa tertanggal 5 November 2015, dengan substansi sebagai berikut:
1) Agar perusahaan PT. Bali Ocean Adventure memberikan hak atas upah bulan Oktober 2014 kepada saudari Marie Christine Chau sebesar USD 2000 dan kepada saudara Cedric Christian Genet sebesar USD 1250;
2) Agar Director PT. Bali Ocean Adventure, pekerja saudari Marie Christine Chau dan saudara Cedric Christian Genet memberikan jawaban atas anjuran tersebut selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh hari) kerja setelah menerima surat anjuran ini.”
Para Penggugat memberikan jawaban atas anjuran demikian, yang pada pokoknya menyatakan dapat menerima Anjuran Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Denpasar, sedangkan pihak Tergugat tidak memberikan tanggapan terhadap anjuran mediator.
Mediator Dinas Tenaga Kerja menerbitkan risalah perundingan tripartir tertanggal 7 Desember 2015, yang menjelaskan bahwa tidak tercapai kesepakatan karena salah satu pihak menolak Anjuran Mediator sehingga para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Sementara dalam sanggahannya pihak Pengusaha mendalilkan, hubungan hukum antara Para Penggugat dan Tergugat bukanlah hubungan ketenagakerjaan, tetapi lebih merupakan hubungan hukum kontraktual perdata yang memuat hak dan kewajiban perikatan bertimbal-balik. Perjanjian yang disebut Para Penggugat sebagai perjanjian kerja, bukanlah perjanjian kerja, karena menurut sifatnya perjanjian tersebut masih dalam kerangka nota kesepakatan saja, artinya belum membentuk suatu perjanjian kerja, mengingat berdasar peraturan perundang-undangan : adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan untuk dapat mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, terdapat pengaturan dalam Pasal 5:
1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA;
4) RPTKA sebagimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan IMTA.”
Lebih lanjut Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 mengatur mengenai ijin mempekerjakan tenaga kerja asing bagi suatu perusahaan sebagaimana diatur lewat norma Pasal 28 ayat (1): “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.” Dijabarkan lebih lanjut lewat norma Pasal 5 Peraturan Presidan Nomor 72 Tahun 2014, mengatur:
(1) Setiap pemberi kerja TKA harus memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebelum mempekerjakan TKA;
(2) Untuk memiliki RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemberi Kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
(3) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar untuk memperoleh IMTA.”
Merujuk ketentuan hukum di atas, maka untuk dapat dipekerjakan seorang calon Tenaga Kerja Asing, haruslah terlebih dahulu mendapat ijin dari Menteri Tenaga Kerja, sehingga oleh karena sementara ini ijin demikian belum kunjung terbit, maka Para Penggugat belum bisa bekerja bagi perusahaan Tergugat.
Bahwa terhadap gugatan sang TKA, Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Dps. pada tanggal 31 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mangabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
- Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Para Penggugat ganti rugi atas sisa perjanjian kerja sebesar Rp250.200.000,00 (dua ratus lima puluh juta dua ratus ribu rupiah) kepada Merie Christine Chau, dan sebesar Rp156.375.000,00 (seratus lima puluh enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Cedric Genet, secara tunai dan segera;
- Menolak gugatan selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 522 K/Pdt. Sus-PHI/2016 tanggal 26 Juli 2016, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa ternyata para pekerja hanya bekerja selama tiga bulan kemudian diputus hubungan kerja sejak tanggal 30 November 2014;
MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. Bali Ocean Adventure.”
Pihak pengusaha Pengguna Tenaga Kerja Asing mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan dalil-dalil bahwa yang terjadi adalah terjadinya PHK antara pengusaha dengan pekerja, sehingga konsekuensi dari PHK adalah pemberian “pesangon” dengan mengacu pada ketentuan Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bukan mengacu pada Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Salah satu alasan pengajuan permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana didalilkan pihak perusahaan, oleh sebab disebabkan status Para Penggugat adalah sebagai orang asing yang belum mempunyai KITAS. [Note SHIETRA & PARTNERS: Syarat formil dipekerjakannya TKA, ialah adanya PKWT serta IMTA, bukan KITAS, oleh sebab KITAS menjadi tanggung jawab pribadi pihak TKA untuk mengurus, sementara IMTA serta perpanjangannya merupakan kewenangan sepihak dari pihak Pemberi Kerja.]
Dimana terhadapnya, membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa atas keberatan-keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tidak beralasan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan peninjauan kembali tersebut yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Denpasar pada tanggal 10 April 2017 dihubungkan kontra memori peninjauan kembali tanggal 20 April 2017 dengan pertimbangan Judex Juris, dalam hal ini Mahkamah Agung tidak terdapat adanya kekeliruan yang nyata, Judex Juris telah benar menerapkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 karena terbukti Tergugat telah mengakhiri hubungan kerjanya sebelum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu / Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) berakhir, lagipula keberatan-keberatan tersebut hanyalah perbedaan pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja dan hak-hak yang didapat Para Penggugat, hal mana sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. tidak termasuk kekeliruan nyata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. BALI OCEAN ADVENTURE tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. BALI OCEAN ADVENTURE tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.