Kejahatan Bukan Terjadi Akibat Kecintaan Diri terhadap Diri Kita Sendiri, namun Terjadi Akibat Kurangnya Kecintaan Kita terhadap Diri Kita Sendiri

SENI SOSIAL

Ketergantungan terhadap Alibi, Alibi sungguh Adiktif, Meracuni, dan Pemakai Alibi akan Mencandu Alibi

Question: Tidak sedikit kita telah pernah menjumpai seseorang, yang menjadi pemabuk atau pecandu nikotin tembakau atau bahkan obat-obatan terlarang, dengan alasan keluarganya berantakan, tekanan pekerjaan atau sebaliknya karena faktor penganguran, tekanan ekonomi atau sebaliknya karena terlampau banyak uang namun merasa belum memiliki kepuasan hidup sehingga mencari penyakit sendiri atau sensasi, bahkan hingga alasan putus cinta karena diputus oleh pacar. Apakah alasan-alasan semacam itu, benar adanya atau hanya alasan pembenar saja untuk membenarkan kebiasaan tidak sehat mereka itu sendiri?

Brief Answer: Sama seperti pertanyaan, apakah salah jika mencuri karena faktor perut dalam kondisi lapar alias kelaparan sebagai motor penggeraknya? Namun, alangkah lebih banyak kita jumpai orang-orang yang melakukan korupsi, penggelapan, penipuan, ataupun kejahatan lainnya, yang dilandasi bukan oleh faktor kemiskinan, namun karena faktor keserakahan dan tiadanya rasa puas hati atas apa yang telah mereka miliki sekalipun sudah cukup memadai adanya—dimana tidak jarang, mereka tanpa malu dan tanpa rasa bersalah merampas dari orang-orang yang jauh lebih miskin dan lebih kurang beruntung hidupnya.

Banyak diantara kita, entah karena faktor mental hasil salah-asuhan sistem pendidikan formal ataupun pola asuh dalam keluarga maupun akibat budaya bangsa yang serba “instan” dan kurang sehat, juga minimnya teladan konkret yang sebangun antara ucapan dan perbuatan dari para orang dewasa atau generasi tua, lebih pandai mencari-cari alasan pembenar daripada menjunjung tinggi asas kejujuran diri terhadap orang lain maupun diri kita sendiri. Bahkan, seorang penipu masih saja bersikukuh bahnya dirinya orang jujur dan baik hati, sekalipun tertangkap basah dan seluruh bukti sudah di depan hidung. Mereka, merupakan manusia-manusia yang tidak “otentik” adanya, mereka penuh selubung serta ber-topeng.

PEMBAHASAN:

Dengan memiliki alibi—bahkan dikantung sakunya terdapat lebih banyak lagi koleksi-koleksi berbagai alibi yang siap mereka gunakan sewaktu-waktu dibutuhkan—mereka menganggap telah memiliki “alasan pembenar” untuk menjustifikasi perbuatan-perbuatan buruk mereka (dalam rangka meminta dimaklumi dan diberi ruang tolerir), bukan hanya dalam rangka mengecoh dan memanipulasi orang lain ataupun untuk berkelit, bahkan juga dalam rangka menipu diri mereka pribadi itu sendiri.

Mereka, sejatinya hanya mementingkan kesenangan dan kepentingan diri mereka sendiri, dimana semata yang didahulukan ialah “ego” dengan mengatas-namakan faktor-faktor eksternal diri sebagai alibinya, sehingga seolah-olah tampak seakan tidak berdaya selain pasrah menerima kenyataan dan keadaan yang justru menikik ke arah bawah. Absurd-nya, sebentuk “ego” demikian ialah “ego” berupa merusak diri mereka sendiri sebagai kesenangan atau hobi tidak sehatnya. Karenanya, “ego” tidak identik dengan mencintai diri sendiri—semata karena bukan sifatnya mencintai diri sendiri dengan merusak diri sendiri, dua hal yang bertolak-belakang.

Cobalah tengok fakta lapangan berikut, sekalipun seseorang telah memiliki istri dan anak yang baik alias keluarga yang utuh, lengkap, dan harmonis, ekonomi telah tergolong sangat amat mapan, namun apakah mereka terbebas dari kebiasaan tidak sehat seperti menghisap bakaran produk tembakau, minum-minuman keras, bahkan hingga menjadi pecandu obat-obatan terlarang? Bukankah sungguh tidak logis serta irasional, bila kita mendapati adanya kenyataan demikian di lapangan?

Orang lain yang memiliki masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah pekerjaan, dan lain sebagainya, akan bertanya-tanya, mengapa ada orang sebodoh itu memilih untuk menyakiti diri sendiri meski telah memiliki segalanya? Kurang apa dari hidupnya, sehingga masih juga merasa tidak puas sehingga menjerumuskan diri ke dalam gaya hidup tidak sehat seperti mencandu atau bermabuk-mabukkan yang hanya merusak kesehatan juga melemahkan kesadaran? Mereka, terlampau serakah. Telah ternyata, keserakahan bukan hanya dimonopoli orang-orang yang kurang beruntung, namun juga menguasai mental banyak orang-orang yang telah cukup beruntung hidupnya.

Orang-orang kerap menjadikan alibi sempurna yang telah dipegang erat, bahwa “saya tidak punya apapun, juga tidak punya siapapun”, sehingga dirinya merasa berhak minta dikasihani dengan terjerumus dalam gaya hidup tidak sehat seperti mabuk-mabukan maupun menjadi pecandu atau penghisap tembakau yang menghabiskan berbungkus-bungkus produk tembakau dalam melewati hari. Namun, itu semua adalah pandangan serta alibi yang naif, oleh sebab ketika mereka kemudian telah memiliki segala yang mereka inginkan dan yang semula menjadi alibi mereka menyakiti ataupun merusak diri mereka sendiri, apakah mereka akan berhenti dari kebiasaan buruk mereka bermabuk-mabukkan ataukah akan tetap menjadi seorang pecandu dan kebiasaan buruk lainnya? Itulah pertanyaan utamanya, yang sebenarnya mudah untuk kita prediksi sebagai jawabannya.

Bila kita benar-benar mencintai hidup dan diri kita, maka apapun alasannya, kita tidak akan pernah memilih untuk merusak ataupun menyakiti diri kita sendiri—justru sebaliknya, kita akan mengasihi dan menaruh belas-kasih bagi diri kita sendiri, memberikan diri kita penuh pancaran kasih yang hangat, dan belajar untuk mulai lebih menghargai kehidupan diri kita sendiri, berupaya lebih keras menolong diri kita, menyelamatkan diri kita, serta membahagiakan diri kita dengan berkecukupan hati disamping mudah puas hati. Itulah, yang disebut sebagai determinasi internal diri yang sehat dan produktif, karena tidak bergantung pada faktor-faktor eksternal diri yang penuh ketidakpastian dan tidak semua hal dapat kita kendalikan ataupun harapkan sebagai kenyataan. Keluarga yang berantakan tidak harmonis, kondisi ekonomi yang menekan, bukanlah alasan cerdas untuk merusak diri sendiri, bila kita benar-benar mengasihi diri kita (self-love).

Banyak kita saksikan kisah-kisah drama yang menggambarkan alur kisah seorang pria yang akibat patah hati, kemudian mulai meminum minuman keras, yang pada giliran muaranya menjelma seorang pecandu yang kerap mabuk-mabukan. Sayang sekali kisah fiksi demikian selalu dipaksakan untuk “happy ending”, bilamana sang pria pecandu menemukan kembali cintanya maka penderitaan pun sirna. Jika itu adalah kenyataan, katakanlah sang kekasih kembali ke dalam pelukan sang pria yang telah menjelma pecandu (sungguh wanita bodoh, pria tersebut bukan lagi pria yang dulu Anda kenal dan tidak lagi sama dengan pria yang sebelumnya Anda kenal), maka dapat dipastikan sang pria akan lebih mencintai rasa kecanduan yang mulai merajai internal dirinya ketimbang sosok sang wanita—dengan kata lain, sang pria itu sendiri telah selingkuh dan pindah ke lain hati, ke “sosok idaman lain” bernama kecanduan terhadap zat adiktif bernama minuman keras.

Delusi dalam alam sadar maupun alam bawah sadar sang pria pecandu, telah membajak cara berpikir sang pecandu, dimana tempat di hati sang pecandu bukanlah lagi sang wanita yang terkasih yang selama ini dicintai dan menjadi alasan baginya untuk mulai menjadi pecandu, namun ruang dalam hatinya telah disesaki oleh kecintaan dirinya terhadap candu itu sendiri. Itulah sebabnya, kerap kita dengar berita atau bahkan alami dan lihat dengan mata-kepala sendiri, orang-orang yang telah masuk dalam taraf atau fase mencandu atau kecanduan, minuman keras ataupun obat-obatan terlarang, bahkan dikemudian hari dikabarkan dapat merampok keluarganya sendiri, suami yang semula mengasihi istri dan anak-anaknya dapat menjelma sosok pria yang asing, yang kini lebih gemar menganiaya dan menyiksa lahir maupun batin istri dan anak-anaknya.

Mengatas-namakan tekanan pekerjaan dan ekonomi, banyak orang terjerumus dalam barang madat seperti produk tembakau, hingga obat-obatan terlarang. Pertanyaannya ialah, ketika ia yang telah terlanjur menjelma kecanduan, dikemudian hari benar-benar telah sukses dalam karir dan memperoleh kekuatan finansial yang dahulu diidam-idamkan yang menjadi alibi baginya untuk menjerumuskan diri ke dalam barang madat demikian, apakah secara serta-merta dirinya akan melepaskan diri dan membebaskan diri dari jerat candu? Jawabannya ialah : TIDAK. Mereka telah memiliki kecintaan baru, yang bahkan jauh melampaui kecintaan diri mereka terhadap pekerjaan, karir, maupun kekayaan ekonomi, yakni rasa MENCANDU itu sendiri.

Terdapat sebuah kisah penuh ironi perihal bahaya dibalik kebiasaan irasional kurangnya rasa puas hati maupun kecintaan terhadap diri, yang menjerumuskan seseorang ke lembah candu, sebagaimana pernah penulis baca dalam sebuah buku reportase seorang jurnalis surat kabar di Amerika Serikat, yang mewawancari para pecandu obat-obatan terlarang. Pernah eksis seorang gadis muda, yang hidup secara menggelandang dari satu tempat ke tempat lain, akibat gaya hidupnya yang mencandu obat-obatan terlarang. Baju yang dikenakannya tidak ubahnya tunawisma, dan tidak terawat dalam kondisi fisik yang rusak akibat racun obat-obatan terlarang. Kedua orangtuanya ialah bankir yang cukup sukses sehingga tidak berkekurangan dari segi finansial, yang mungkin diidam-idamkan oleh banyak kalangan anak yang berlatar-belakang kondisi ekonomi minim serba berkekurangan.

Namun demikian, sang gadis pecandu kemudian membuat suatu pernyataan dengan penuh keyakinan, yang akan membuat kita yang mendengarnya dengan masih menyisakan akal sehat, terperangah tanpa dapat memahami cara berpikir orang-orang yang terjerat oleh “hasutan” candu yang menjerat, sekalipun sang gadis menyadari hidupnya sudah ibarat “zombie hidup”, yang bahkan harus meladeni nafsu birahi para pengedar obat-obatan terlarang demi mendapat pasokan obat-obatan terlarang, hidup menggelandang, dan mengemis belas-kasihan orang lain untuk dapat makan, ia menyatakan tidak menyesal dan bisa mengulang masa lampau, ia akan tetap memilih cara hidup yang sama seperti yang saat kini ia jalani—yakni menjadi seorang pecandu.

Eksis pula seorang pecandu, yang pernah hampir tewas akibat overdosis dan akan meninggal bila terlambat mendapat pertolongan medik, telah ternyata masih juga kembali terjerumus dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang sama dan rela menukar segala prestasi akademiknya dengan menjadi seorang pesakitan, demi mencandu dan menjadi seorang pecandu. Relevan dengan apa yang pernah disabdakan oleh Sang Buddha : Apa yang dinilai sebagai kesenangan oleh banyak orang yang masih tertutupi pandangannya oleh kekotoran batin, merupakan dukkha di mata seorang Buddha. Karena itulah juga, adalah mustahil menggambarkan kesenangan alam surgawi dengan memakai kacamata kesenangan duniawi.

Artinya, dirinya bukan terjerumus selamanya akibat kondisi keluarga yang mungkin tidak membahagiakan dan tidak harmonis antara anak dan orangtua, namun ia lebih mencintai “ego” dirinya terhadap candu sebagai fokus utamanya ketika pertama kalinya terjerumus dalam dunia gelap bernama candu obat-obatan terlarang. Mungkin, bila ia ditawarkan sekalipun memiliki keluarga yang sempurna dan harmonis, saat kini ia akan tetap lebih memilih untuk mencintai mati-matian dengan segala pengorbanan demi memuaskan “ego” pribadinya terhadap candu yang tidak pernah mengenal kata puas terlebih untuk dapat dipuaskan.

Dikisahkan pula dalam buku reportase yang sama, seorang wanita yang semula berlatar-belakang guru, mengaku dirinya “saya dahulu adalah seorang guru yang baik”, kini bernasib memprihatinkan, memiliki penampilan tidak lebih terawat dari seorang wanita tua tunawisma yang mana penampilannya lebih tua dari pada umurnya yang sebenarnya serta sangat berantakan sehingga tidak seorang pun menyangka bahwa dirinya telah pernah menjadi seorang guru. Demi candu dan demi menjadi pecandu, segalanya rela dikorbankan.

Terdapat pula seorang wanita muda yang berkarir sebagai seorang dokter (karir yang sangat menjanjikan dan pastinya memiliki modal otak maupun finansial untuk itu), kedapatan tangan oleh rekan sejawatnya telah ternyata mengkonsumsi obat-obatan terlarang, sehingga sang rekan dokter mengancamnya akan melaporkan dirinya bila ia tidak segera mendaftarkan diri pada pusat rehabilitasi. Saat sesi konsultasi di pusat rehabilitasi, ada peserta lain yang juga pecandu, berteriak pada sang dokter muda ini, “Anda sudah gila, bagaimana jika Anda mabuk saat sedang mengoperasi pasien?!”—tanpa menyadari kegilaannya sendiri, bagaimana bila ia sedang mabuk saat menyetir kendaraan, apakah tidak kalah berbahayanya bagi keselamatan orang lain maupun dirinya sendiri?

Terdapat seorang tentara yang memiliki istri yang masih sehat dan dicintai, yang semula saling mengasihi dan saling menyayangi sebagai suami-istri, berakhir sebagai seorang pecandu yang kerap menyiksa sang istri. Sang istri berkata pada hadirin dalam sesi konsultasi di pusat rehabilitasi, sembari berderai air mata, bahwa suaminya kini telah benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dari sosok suaminya yang dahulu sangat ia kenal dan cintai, namun kini sifat hangat dan baik suaminya telah dirampas oleh candu, dimana sang suami telah ternyata lebih mencintai candu daripada istrinya yang pastinya dulu pernah sangat ia cintai dan kasihi.

Penulis buku reportase tersebut, kemudian memaparkan bukti terjujur bahwasannya banyak pusat rehabilitasi yang secara tidak etis telah bersikap tidak jujur kepada masyarakat, dengan mengklaim tingkat keberhasilan mengobati dan menyembuhkan ketergantungan maupun sifat candu para pecandu yang direhab di tempat mereka, diangka lebih dari satu digit. Faktanya, yang terjujur, hanya kurang dari satu digit dari jumlah total pasien yang masuk ke pusat rehabilitasi obat-obatan terlarang yang dapat hidup normal dalam artian bebas dari candu untuk selama-lamanya selepasnya dari pusat rehabilitasi.

Selebihnya, gagal total, atau menjadi seorang pecandu kambuhan yang akan kembali terjerumus setelah sekian tahun keluar dari pusat rehabilitasi—hanya satu digit, yang artinya antara satu hingga sembilan persen semata dari total pasien pusat rehabilitasi obat-obatan terlarang yang bisa ditolong hidupnya. Selebihnya, yakni sembilan digit, tidak terselamatkan. Itu merupakan fakta yang sangat menyentak sekaligus mengerikan, dimana frasa “pusat rehabilitasi” seolah-olah dapat menjadi tempat penyelesaikan segala masalah terkait kecanduan obat-obatan terlarang, yang telah ternyata bukan menjadi solusi yang ideal terlebih efektif, dimana “moral hazard”-nya ialah akan lebih banyak masyarakat yang meremehkan bahaya dibalik candu, menyepelekan obat-obatan terlarang seolah-olah semudah program “detoksifikasi”, melemahnya semangat perang terhadap candu, dengan semata mengandalkan “ada pusat rehabilitasi” sebagai solusi instansnya, seolah-olah dengan itu maka beres semua masalah dan tiada lagi ancaman nyata yang perlu dikhawatirkan. Faktanya, tidak ada teknik ajaib yang dapat benar-benar membersihkan dan menetralkan kembali sang pasien pecandu hingga murni seperti orang normal sedia kala pada mulanya.

Begitupula budaya tidak sehat masyarakat kita seperti mengadakan perayaan dengan disertai minum-minuman keras, pesta obat-obatan terlarang dikonotasikan sebagai hal yang “keren” dan “berani”, hingga berbagai tayangan drama yang seolah-olah mengkampanyekan candu dengan menggambarkan budaya anak muda yang “gaul” ialah pergi ke bar atau ke diskotek, dan meminum minum-minuman keras seolah-olah tidak membawa konsekuensi mematikan yang dapat meluluh-lantakkan keluarga akibat candu yang akan menguasai untuk seumur hidupnya dan merampas semua kebahagiaan diri sang pecandu ataupun keluarganya. Itu sangatlah “tidak lucu”, bermain-main dengan candu sang malaikat perampas kebahagiaan dan penjajah otak yang dapat merampok jiwa seorang individu pemakainya.

Satu kesimpulan yang ditarik oleh sang penulis buku, candu dapat membajak cara berpikir seorang manusia yang semula irasional, menjelma tidak rasional sama sekali. Sehingga, jangan pernah mencoba barang madat apapun, karena sekali mencoba maka akibat atau konsekuensinya bersifat FATAL, harus ditanggung untuk seumur hidup, terjerat dan terpenjarakan hingga akhir hayat. Bebas dari obat-obatan terlarang atau candu apapun, adalah kebahagiaan itu sendiri, bila kita cukup berpuas hati dan mampu untuk menghargai hidup kita.

Candu yang kerap diremehkan semacam tembakau ataupun minum-minuman keras, adalah pintu masuk pemakaian obat-obatan terlarang yang lebih adiktif sifatnya, juga tidak yang benar-benar dapat memuaskan ataupun terpuaskan, selalu menginginkan dosis yang lebih dan lebih lagi, bagai terjebak dalam “lingkaran setan”, terjerumus makin dalam tanpa jalan untuk kembali. Mereka yang benar-benar mencintai hidupnya, yang menaruh belas kasih kepada hidupnya sendiri, yang masih ingin hidup dalam keterpenuhan hati, kepuasan hati, maupun kebahagiaan yang bebas dari kemelekatan candu, akan memilih untuk tidak menyentuh barang madat yang mengakibatkan candu. Menjadi manusia yang bersih dari candu, sudah merupakan alasan kita untuk berpuas hati.

Jangan meremehkan barang madat, kita pasti kalah bila berani atau dengan congkak menganggap bahwa kita lebih kuat daripada barang madat, atau kita yang akan menguasai candu alih-alih candu yang menguasai diri mereka, don’t look down on our defilements. Penulis pernah mengenal seseorang, yang mengakui dirinya-lah yang menguasai candu tembakau, dengan mengklaim ia bisa mengendalikan kapan mau menghisapnya dan kapan tidak, ia putuskan sendiri. Namun, berselang tidak sampai sepuluh menit kemudian, dirinya mulai membakar satu batang tembakau dan menghisapnya sembari menyetir dengan mengebut di dalam mobil yang membawa banyak penumpang di dalamnya. Penulis tidak pernah lagi bersedia menumpang di dalam mobil yang dikendari oleh seseorang yang kerap mabuk di dalam kendaraan yang dilajukan olehnya.

Akibat delusi hasil manipulasi jerat candu, ia berpikir dirinya yang menguasai candu, meski senyatanya candu yang telah membajak cara berpikir dirinya. Ia memiliki siapapun, dan memiliki apapun, tetap saja terjerat oleh candu, semata karena kurangnya penghargaan dan welas asih kepada diri dan hidupnya sendiri. Banyak diantara pecandu, menjadi pecandu akibat faktor lingkungan atau pergaulan (sesama “teman”, justru saling menjerumuskan, alih-alih menolong dan menegur perilaku tercela sesama temannya), bukan akibat faktor promosi atau iklan dimana jelas para bandar dan pengedar tidak dapat terang-terangan membuat iklan media luar maupun dalam ruangan. Sehingga, agen marketingnya tidak lain ialah para pemakai itu sendiri yang cepat atau lambat akan terjerat masalah ekonomi sehingga menjadi alibi baginya bukan lagi sekadar sebagai pemakai, namun juga pengedar.

Sebagai orangtua, berikan teladan yang baik kepada putera-puteri Anda dengan tidak menjadi pecandu dan tidak menyentuh barang madat apapun, bersih sepenuhnya, zero tolerance yang dimulai dari kita sendiri terlebih dahulu, para orangtua atau para senior. Karena itulah, kejahatan bukan terjadi akibat kecintaan diri terhadap diri kita sendiri, namun terjadi akibat kurangnya kecintaan kita terhadap diri kita sendiri. Sebaliknya, para pecandu malang yang berfatamorgana sebagai orang paling bahagia dan paling beruntung tersebut, kekurangan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, dengan memilih untuk lebih mencintai candu. Hanya orang-orang yang berhasil mencintai dirinya sendiri, yang dapat memasuki taraf atau fase aktualisasi diri secara positif, sehat, dan produktif.

Ia sendiri yang memilihnya, dengan kembali mencoba candu setelah satu kali mencobanya, sekalipun semua orang dewasa telah pernah mendengar bahaya dibalik obat-obatan terlarang maupun barang madat adiktif lainnya, dan ketika telah terjerat, menjadi pecandu, tidak dapat lepas untuk seumur hidupnya, menjadi budak dan terbudaki, lalu berdelusi bahwa dirinya bebas serta masih berkuasa menentukan dan mengendalikan candu yang bersarang dalam dirinya, namun tidak kuasa menolak candu yang minta dipuaskan secara temporer (terbudaki).

Itulah gilanya sifat irasional banyak umat manusia, lebih senang menyakiti dirinya sendiri alih-alih menaruh welas asih kepada dirinya sendiri. Seseorang yang benar-benar berpuas hati dengan dirinya sendiri, bahkan tidak mencari hingar-bingar, mereka masuk ke dalam keheningan meditatif, karena sudah cukup berpuas diri dengan dirinya sendiri, dan mengasihi dirinya sendiri. Itulah yang membedakan para pecandu yang tidak sadar akibat konsumsi madat yang memabukkan dan yang hanya melemahkan kesadaran, bila disandingkan dengan para kalangan meditator yang penuh pengedalian diri, praktik latihan melepas, keterpuasan hati, serta yang senantiasa sadar sekalipun “hidup ini adalah dukkha” sehingga adalah wajar bila kita semua merasakan dukkha. Be mindfull, mereka itulah yang benar-benar bebas dan terbebaskan, bahagia dalam kemerdekaan diri dan pikiran mereka dari budak candu yang membudaki.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.