SENI
SOSIAL
Agama DOSA (Kitab DOSA) Vs. Konsep Hak Asasi Manusia Vs. Disiplin Moralitas, yang manakah Anda?
Question: Siapa saja, yang perlu memelajari dan memahami ajaran tentang konsep hak asasi manusia?
Brief Answer: Semua pihak, setiap subjek hukum
orang-perorangan, perlu mengenal mengenai hak-hak asasi seorang warga, agar
tercipta tertib sosial tanpa saling merampas hak satu sama lainnya selaku
sesama warga. Namun khusus bagi para umat Buddhist, cukup secara komitmen dan
konsisten mendalami serta menjalankan Dhamma sebagaimana telah diajarkan oleh
Sang Buddha, mengingat Dhamma mengandung berbagai disiplin moralitas berbobot
dan berstandar tinggi yang jauh lebih humanis serta memanusiakan, ketimbang konsep-konsep
hak asasi manusia yang selama ini diajarkan oleh lembaga pendidikan formail
maupun organisasi masyarakat (namun minim teladan konkret).
PEMBAHASAN:
Tidak semua keyakinan keagamaan
yang sejalan dengan konsep tentang hak asasi manusia, bahkan beberapa agama
besar dunia karena dipeluk oleh mayoritas penduduk dunia, ironisnya
bertolak-belakang dengan ajaran hak asasi manusia, seperti dogma-dogma perihal “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana seolah-olah korban tidak
memiliki hak untuk diberikan keadilan berupa penghukuman yang patut dan
sepantasnya terhadap para pendosa yang telah menyakiti, merugikan, ataupun
melukai para korbannya. Konsep hak asasi manusia lebih menekankan perhatian terhadap
hak-hak warga masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan oleh negara maupun
oleh sesama warga lainnya, serta hak-hak korban ketika dijadikan korban
kejahatan ataupun pengakuan atas hak perlindungan dari kesewenangan-wenangan perilaku
warga lainnya.
Salah satunya yang urgen diberi
penataran untuk memelajari dan menjalankan ajaran perihal hak asasi manusia,
ialah mereka yang selama ini memeluk “Agama DOSA” yang bersumber dari
sebuah “Kitab DOSA”—semata karena lebih mempromosikan perilaku jahat
penuh cela (hina dan kotor) alih-alih mengkampanyekan hidup jujur dan adil, kompromistis
terhadap dosa dan maksiat serta disaat bersamaan demikian intoleran terhadap
kaum yang berbeda keyakinan maupun yang berlainan sekte—alih-alih dapat disebut
sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab DOSA”:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir
dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Menjadi tidak dibutuhkan ajaran-ajaran
semacam hak asasi manusia, bilamana seorang umat manusia ataupun sesama warga benar-benar
mendalami apa yang disebut sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”,
alias bukan sekadar merek atau kemasan judul yang dilekatkan, dimana bahkan
hukum negara semacam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak lagi diperlukan di
suatu negara, bilamana semua umat manusia benar-benar menjalankan ajaran
berikut:
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan
batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada
183-184-185, Syair Gatha.]
Salah satu ajaran Sang Buddha
perihal hidup sebagai sesama anggota komunitas, dari sekian banyaknya disiplin
moralitas yang telah Sang Buddha ajarkan selama 45 tahun lamanya sang Guru
Agung Buddha Gotama mengajar, yang sifatnya lebih aplikatif sekaligus lebih
efektif bagi masyarakat untuk dipraktikkan dalam keseharian ketimbang konsep-konsep
abstrak semacam hak asasi manusia, dapat kita jumpai dalam : [Sumber :
Tipitaka, Sutta Pitaka, Digha Nikaya, Penerbit : Badan Penerbit Ariya Surya
Chandra, 1991.]
Sigālovāda
Sutta
Demikian yang telah kami dengar
:
1. Pada suatu ketika Sang
Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di Vihara Hutan Bambu di Kalandakanivapa
(Tempat Pemeliharaan Tupai). Pada waktu itu, Sigala Putra kepala keluarga,
bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha; dengan rambut dan
pakaian basah dan sambil beranjali, ia menyembah ke berbagai arah, yaitu arah
timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas.
2. Dan Sang Bhagava pada pagi hari
itu, setelah mengenakan jubah serta membawa mangkuk-Nya, pergi ke Rajagaha
untuk mengumpulkan dana makanan (pindapata).
Kemudian Sang Bhagava melihat
Sigala putra kepala keluarga, bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan
Rajagaha; dengan rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali, ia menyembah ke
berbagai arah, yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas. Dan
Sang Bhagava bertanya kepada Sigala putra kepala keluarga itu demikian :
“O putra kepala keluarga,
mengapa engkau bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha; dengan
rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali, engkau menyembah ke berbagai
arah, yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas?”
“Bhante, ketika ayahku
mendekati ajal, beliau berkata kepadaku untuk menyembah ke berbagai arah.
Demikianlah, Bhante, karena menghormati, mengindahkan, menjunjung dan
menganggap suci kata-kata ayahku itu, maka aku bangun pagi-pagi sekali dan
pergi meninggalkan Rajagaha. Dengan rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali,
aku menyembah ke berbagai arah, yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah
dan atas.”
“Tetapi, O putra kepala
keluarga, dalam agama seorang Ariya enam arah itu tidak seharusnya
disembah dengan cara demikian.”
“Bhante, bagaimana enam arah
itu seharusnya disembah dalam agama seorang Ariya? Bhante, alangkah baiknya
apabila Sang Bhagava berkenan mengajarkan ajaran yang menguraikan caranya enam
arah itu harus disembah dalam agama seorang Ariya.”
3. “O putra kepala keluarga,
dengarkan dan perhatikan baik-baik kata-kata-Ku, dan Aku akan berbicara.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Sigala
putra kepala keluarga itu kepada Sang Bhagava. Dan kemudian Sang Bhagava
berkata:
“O putra kepala keluarga,
karena siswa Ariya telah menyingkirkan empat kekotoran tingkah laku (kammakilesa),
karena ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat (papakamma) yang didasari
oleh empat dorongan, karena ia tidak mengejar enam saluran yang memboroskan
kekayaan maka dengan menjauhi (na sevati) empat belas hal buruk ini, ia adalah
seorang pengayom enam arah itu, seorang penakluk (vijaya), yaitu ia akan
sejahtera dalam alam ini dan alam berikutnya. Pada saat kehancuran tubuhnya,
setelah mati, ia akan terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga.
Apakah empat kekotoran
tingkah laku yang telah ia singkirkan itu? O putra kepala keluarga, itulah kekotoran
tingkah laku membunuh mahluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan,
berzinah dan berbohong. Inilah empat kekotoran tingkah laku yang telah ia
singkirkan. Demikian sabda Sang Bhagava.
4. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut : ”Membunuh mahluk
hidup, mencuri, berbohong, berzinah, Untuk perbuatan-perbuatan ini, para
bijaksana tidak memuji.”
5. “Apakah empat dorongan yang
mendasari perbuatan-perbuatan jahat yang tidak ia lakukan itu? Perbuatan-perbuatan
jahat yang dilakukan atas dorongan rasa senang sepihak (chanda gati),
perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan kebencian (dosa gati),
perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan ketidaktahuan (moha
gati) dan perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan rasa takut
(bhaya gati). Tetapi, O putra kepala keluarga, karena siswa Ariya tidak
terseret oleh dorongan rasa senang sepihak, tidak terseret oleh dorongan
kebencian, tidak terseret oleh dorongan ketidaktahuan dan tidak terseret oleh
dorongan rasa takut, maka ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena
empat dorongan ini. Demikian sabda Sang Bhagava.
6. Dan setelah Sang Sugata berkata
demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
“Siapa pun yang karena rasa
senang sepihak atau kebencian,
Atau ketidaktahuan atau
ketakutan telah melanggar Dhamma,
Maka nama baik dan
kemasyhurannya akan menjadi pudar
Bagaikan bulan yang susut pada
masa bulan-gelap.
“Siapa pun yang karena rasa
senang sepihak atau kebencian
Atau ketidaktahuan atau
ketakutan tidak pernah melanggar Dhamma,
Maka nama baik dan
kemasyhurannya menjadi sempurna dan penuh
Bagaikan bulan purnama pada
masa bulan-terang.”
7. “Dan apakah enam saluran
yang memboroskan kekayaan itu? O putra kepala keluarga, gemar minum-minuman
yang memabukkan, sering berkeliaran di jalan jalan pada saat yang tidak pantas,
mengejar tempat-tempat hiburan, gemar berjud!, bergaul dengan teman-teman jahat
dan kebiasaan menganggur (malas) adalah enam saluran yang memboroskan
kekayaan.”
8. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya (adinava) akibat gemar minum minuman yang memabukkan
(surameraya majjapamadatthananuyoga), yaitu : kerugian harta secara nyata,
bertambahnya pertengkaran, tubuh mudah terserang penyakit, kehilangan sifat
yang baik, terlihat tidak sopan, kecerdasan menjadi lemah. Inilah, O
putra kepala keluarga, enam bahaya akibat gemar minum minuman yang
memabukkan.”
9. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat sering berkeliaran di jalan jalan pada saat yang
tidak pantas (vikala visikhacariyanuyoga), yaitu : dirinya sendiri tidak
terjaga (agutta) dan tidak terlindung (arakkhita), anak istrinya tidak terjaga
dan tidak terlindung, harta kekayaannya tidak terjaga dan terlindung, juga ia
dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan-kejahatan (yang belum terbukti), menjadi
sasaran desas-desus palsu, ia akan menjumpai banyak kesulitan. Inilah, O putra
kepala keluarga, enam bahaya akibat sering berkeliaran di jalan-jalan pada saat
yang tidak pantas.”
10. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat mengejar tempat-tempat hiburan (samajjabhicarane) :
(Ia selalu berpikir) di manakah ada tari-tarian? Di manakah ada
nyanyi-nyanyian? Di manakah ada pertunjukan musik? Di manakah ada pembacaan
deklamasi? Di manakah ada permainan tambur? Di manakah ada permainan genderang?
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat mengejar tempat-tempat
hiburan.”
11. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat gemar berjud! : bila menang, ia memperoleh
kebencian; bila kalah, ia meratapi harta kekayaannya yang telah hilang;
kerugian harta benda secara nyata; di pengadilan kata-katanya tidak berharga;
ia dipandang rendah oleh sahabat-sahabat dan pejabat-pejabat pemerintah; ia
tidak disukai oleh orang-orang yang akan mencari atau mengambil menantu, karena
mereka akan berkata bahwa seorang penjudi tidak dapat memelihara seorang istri.
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat gemar berjud!.”
12. “O putra kepala keluarga, terdapat
enam bahaya akibat bergaul dengan teman-teman jahat (papamitta) : setiap
penjud!, setiap orang yang gemar berfoya-foya, setiap pemabuk, setiap penipu,
setiap pengecoh, setiap orang yang kejam adalah teman dan sahabatnya.
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat bergaul dengan teman-teman
jahat.”
13. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat kebiasaan menganggur (malas) : ia berkata
: “terlalu dingin”, dan ia tidak bekerja; ia berkata: “terlalu panas”, dan ia
tidak bekerja; ia berkata: “terlalu pagi”, dan ia tidak bekerja; ia berkata:
“terlalu siang”, dan ia tidak bekerja; ia berkata: “aku terlalu lapar”, dan ia
tidak bekerja; ia berkata: “aku terlalu kenyang”, dan ia tidak bekerja.
Dengan demikian semua yang
harus ia kerjakan tetap tidak dikerjakan, harta kekayaan baru tidak ia peroleh,
dan harta kekayaan yang sudah ia miliki menjadi habis. Demikian sabda Sang Bhagava.
14. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Beberapa teman hanyalah kawan
minum;
Beberapa teman adalah mereka
yang di hadapanmu akan berkata :
Sahabat baik! Sahabat baik!
Tetapi seseorang yang
menyatakan kawan pada saat engkau membutuhkan,
Maka dia sesungguhnya yang
layak disebut kawan olehmu.
Tidur sewaktu matahari telah
terbit, perzinahan,
Terlibat dalam pertengkaran dan
berbuat merugikan,
Bersahabat dengan orang-orang
jahat dan berhati kejam :
Inilah enam sebab yang
menjadikan keruntuhan seseorang.
Ia yang berteman dan bersahabat
dengan orang-orang jahat
Ia yang dalam hidupnya
melakukan hal-hal buruk, maka
Baik di alam ini maupun di
alam berikutnya
Orang itu akan mengalami
keruntuhan yang menyedihkan.
Berjud! dan wanita, minuman
keras, tari-tarian dan nyanyian
Tidur pada siang hari dan
berkeliaran pada malam hari.
Bersahabat dengan orang-orang
jahat, berhati kejam :
Inilah enam sebab yang
menjadikan keruntuhan seseorang.
Bermain dadu, minum-minuman
keras, ia pergi kepada
Wanita-wanita yang amat
dicintai laki-laki lain,
Mengikuti yang berpikiran
rendah, bukan yang berpikiran mulia,
Maka ia akan menjadi suram
bagai bulan yang menyusut pada masa bulan-gelap.
Pecandu minuman keras, miskin,
melarat,
Seorang yang haus sewaktu
minum, pengejar kedai minuman,
Demikian ia tenggelam dalam
hutang-hutang, bagai batu dalam air;
Cepat sekali ia membawa nista
pada keluarganya.
Ia yang mempunyai kebiasaan
tidur pada waktu siang,
Yang menganggap malam sebagai
waktu untuk berjaga,
Ia yang selalu tidak
bertanggung jawab, dipenuhi dengan anggur,
Ia yang tidak cakap untuk
membina rumah tangga.
Terlalu dingin! Terlalu panas!
Terlalu siang! demikian keluhannya,
Dengan cara begitu orang malas
menghindari pekerjaan yang menanti,
Sehingga kesempatan baik akan
berlalu.
Tetapi ia yang menganggap dingin
dan panas sebagai hal yang remeh
Dengan cara apa pun ia tidak
akan kehilangan kebahagiaannya.
15. “O putra kepala keluarga, terdapat
empat macam orang yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi
sahabat (amittamittapatirupaka) : Yaitu orang yang tamak
(annadatthuharo); orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa
(vaci paramo); penjilat (annuppiyabhani); kawan pemboros (apayasahayo).
16. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, orang yang tamak harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat : ia tamak; ia memberi sedikit dan meminta
banyak; ia melakukan kewajibannya karena takut; ia hanya ingat
akan kepentingannya sendiri. O putra kepala keluarga, atas empat dasar
inilah orang yang tamak harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi
sahabat.
17. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa harus
dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat: ia menyatakan
persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang lampau; ia menyatakan persahabatan
berkenaan dengan hal-hal mendatang; ia berusaha untuk mendapatkan simpati
dengan kata-kata kosong; bila ada kesempatan untuk membantu ia
menyatakan tidak sanggup. O putra kepala keluarga; atas empat dasar inilah
orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa harus dianggap sebagai
musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
18. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, seorang penjilat harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat: ia menyetujui hal-hal yang salah; juga ia
tidak menganjurkan hal-hal yang benar; ia akan memuji dirimu di
hadapanmu; ia berbicara jelek tentang dirimu di hadapan orang-orang lain. O
putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah seorang penjilat harus dianggap
sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
19. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, seorang kawan pemboros harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat: ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar akan
minum-minuman keras; ia menjadi kawanmu apabila engkau sering herkeliaran di
jalan-jalan pada waktu yang tidak pantas; ia menjadi kawanmu apabila engkau
mengejar tempat-tempat hiburan dan pertunjukan; ia menjadi kawanmu apabila
engkau gemar berjud!. O putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah seorang
kawan pemboros harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
Demikian sabda Sang Bhagava.
20. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Sahabat yang selalu mencari apa-apa untuk diambil,
Sahabat yang kata-katanya berlainan dengan perbuatannya
Sahabat yang menjilat, lagi pula hanya berusaha membuat
engkau senang
Sahabat yang bergembira dengan cara-cara jahat
Empat ini adalah musuh-musuh
Setelah menyadarinya demikian
Biarlah orang bijaksana menghindari mereka dari jauh,
Seakan mereka jalan yang berbahaya dan menakutkan.
21. “O putra kepala keluarga, terdapat
empat macam sahabat yang harus dipandang berhati tulus (suhada) : yaitu sahabat
penolong (upakaro mitto); sahabat pada waktu senang dan susah
(samanasukha dukkhomitto); sahabat yang memberi nasehat baik (atthakhaya
mitto); sahabat yang bersimpati (anukampako-mitto).
22. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat penolong harus dipandang berhati tulus: ia menjaga
dirimu sewaktu engkau lengah; ia menjaga milikmu sewaktu engkau lengah;
ia menjadi pelindung dirimu sewaktu engkau dalam keadaan ketakutan; ia memberikan
bantuan dua kali daripada apa yang kau perlukan. O putra kepala keluarga,
atas empat dasar inilah sahabat penolong harus dipandang berhati tulus.
23. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat pada waktu senang dan susah harus dipandang
berhati tulus: ia menceritakan rahasia-rahasia dirinya kepadamu; ia menjaga
rahasia-rahasia dirimu; ia tidak akan meninggalkan dirimu sewaktu engkau berada
dalam kesulitan; ia bahkan bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.
O putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah sahabat pada waktu senang dan
susah harus dipandang berhati tulus.
24. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat yang menasehatkan apa yang perlu engkau lakukan harus
dipandang berhati tulus: Ia mencegah engkau berbuat jahat; ia menganjurkan
engkau untuk berbuat yang benar; ia memberitahukan apa yang belum engkau pernah
dengar; ia menunjukkan engkau jalan ke surga. O putra kepala keluarga, atas
empat dasar inilah sahabat yang menasehatkan apa yang perlu engkau lakukan
harus dipandang berhati tulus.
25. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat yang bersimpati harus dipandang berhati tulus :
ia tidak bergembira atas kesengsaraanmu; ia merasa senang atas
kesejahteraanmu, ia mencegah orang lain berbicara jelek tentang dirimu, ia
membenarkan orang lain yang memuji dirimu. O putra kepala keluarga, atas
empat dasar inilah sahabat yang bersimpati harus dipandang berhati tulus.
Demikian sabda Sang Bhagava.
26. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Sahabat yang menjadi
penolong, dan sahabat
Pada hari-hari terang dan gelap;
ia yang menunjukkan
Apa yang engkau perlukan, dan
ia yang bergetar dengan simpati
Untuk dirimu : empat macam
orang ini, seorang bijaksana harus mengenali
Sebagai sahabat-sahabat, dan ia
harus membaktikan dirinya kepada mereka
Seperti seorang ibu kepada
anaknya sendiri, anak kesayangannya.
Siapa pun yang bajik dan pandai
Bercahaya seperti api yang
menyala di bukit
Baginya, mengumpulkan
kekayaan adalah seperti lebah berterbangan
Yang mengumpulkan madu tanpa
mengganggu siapapun
Kekayaan menumpuk tinggi bagaikan
timbunan bukit semut
Bila kekayaan orang berkeluarga
yang baik telah terkumpul seperti itu
Dapatlah ia memberi manfaat
warganya
Biarlah ia membagi kekayaannya
dalam empat bagian
Demikianlah ia mengikat
kehidupannya dengan hal-hal yang baik
Satu bagian biarlah
dipergunakan dan dinikmati sebagai buah usaha,
Dua bagian untuk melangsungkan
usahanya
Bagian keempat biarlah
dicadangkan dan ditabung
Sehingga ada persediaan pada
saat yang sulit.
27. O putra kepala keluarga,
bagaimana caranya siswa Ariya melindungi enam arah itu? O putra kepala
keluarga, enam arah itu harus dipandang sebagai berikut : ibu dan ayah
seperti arah Timur, para guru seperti arah Selatan; istri dan anak-anak seperti
arah Barat; sahabat-sahabat dan kawan-kawan seperti arah Utara; pelayan-pelayan
dan karyawan-karyawan seperti arah bawah; guru-guru agama dan brahmana-brahmana
seperti arah atas.
28. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah
Timur: dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka; aku
akan memikul beban kewajiban-kewajiban mereka; aku akan mempertahankan
keturunan dan tradisi keluarga; aku akan menjadikan diriku pantas
menerima warisan; aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama
setelah mereka meninggal dunia.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, orang tua yang diperlakukan demikian oleh seorang anak seperti
arah Timur, menunjukkan kecintaan mereka kepadanya: mereka mencegahnya
berbuat jahat; mereka mendorongnya berbuat baik; mereka melatihnya dalam suatu
profesi; mereka mencarikan pasangan (istri) yang pantas baginya; dan pada
waktu yang tepat, mereka menyerahkan warisan mereka kepadanya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang anak memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur.
Dalam lima cara inilah orang tua menunjukkan kecintaan mereka kepadanya.
Demikianlah arah timur ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.
29. O putra kepala keluarga, dalam
lima cara siswa-siswa harus memperlakukan guru-guru mereka seperti arah
Selatan: dengan bangkit (dari tempat duduk untuk memberi hormat); dengan
melayani mereka; dengan bersemangat untuk belajar; dengan memberikan
jasa-jasa kepada mereka; dengan memberikan perhatian sewaktu menerima ajaran
dari mereka.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, guru-guru yang diperlakukan demikian oleh siswa-siswa mereka
seperti arah Selatan, mencintai siswa-siswa mereka: mereka melatihnya
sedemikian rupa sehingga ia terlalu baik; mereka membuatnya menguasai apa yang
telah diajarkan; mereka mengajarnya secara menyeluruh dalam berbagai ilmu dan
seni; mereka berbicara baik tentang dirinya di antara sahabat-sahabatnya dan
kawan-kawannya; mereka menjaga keselamatannya di semua tempat.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah siswa-siswa memperlakukan guru-guru mereka seperti arah
Selatan. Dalam lima cara inilah guru-guru mencintai siswa-siswa mereka.
Demikianlah arah Selatan ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.
30. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang istri harus diperlakukan oleh suaminya seperti arah
Barat: dengan menghormati; dengan bersikap ramah-tamah; dengan kesetiaan;
dengan menyerahkan kekuasaan rumah tangga kepadanya; dengan memberi
barang-barang perhiasan kepadanya.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, seorang istri yang diperlakukan demikian oleh suaminya seperti
arah Barat, mencintainya: menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik;
bersikap ramah-tamah terhadap sanak-keluarga kedua belah pihak; dengan
kesetiaan; dengan menjaga barang-barang yang diberikan suaminya; pandai dan
rajin dalam melaksanakan segala tanggung-jawabnya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang suami memperlakukan istrinya seperti arah Barat. Dalam
lima cara ini seorang istri mencintai suaminya. Demikianlah arah barat ini
dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.
31. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan
kawan-kawannya seperti arah Utara: dengan bermurah hati; berlaku ramah
tamah; memberikan bantuan; dengan memperlakukan mereka seperti ia memperlakukan
dirinya sendiri; dengan berbuat sebaik ucapannya.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, sahabat-sahabat dan kawan-kawan yang diperlakukan demikian
oleh seorang warga keluarga seperti arah Utara, mencintainya: mereka
melindunginya sewaktu ia lengah; mereka melindungi harta miliknya sewaktu ia
lengah; mereka menjadi pelindung sewaktu ia berada dalam bahaya; mereka tidak
akan meninggalkannya sewaktu ia sedang dalam kesulitan; mereka menghormati
keluarganya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan
kawan-kawannya seperti arah Utara. Dalam lima cara inilah sahabat sahabat dan
kawan-kawan mencintainya. Demikianlah arah utara ini dilindungi, diselamatkan
den diamankan olehnya.
32. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan
karyawan-karyawannya seperti arah bawah : dengan memberikan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan mereka; dengan memberikan mereka makanan dan upah;
dengan merawat mereka sewaktu mereka sakit; dengan membagi barang-barang
kebutuhan hidupnya; dengan memberikan cuti pada waktu-waktu tertentu.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan yang diperlakukan
demikian oleh seorang majikan seperti arah bawah, akan mencintainya : mereka
bangun lebih pagi daripadanya; mereka merebahkan diri untuk beristirahat setelahnya;
mereka merasa puas dengan apa yang diberikan kepada mereka; mereka melakukan
kewajiban-kewajiban mereka dengan baik; di manapun mereka berada mereka akan
memuji majikannya, memuji keharuman namanya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan
karyawan-karyawannya seperti arah bawah. Dalam lima cara inilah pelayan-pelayan
dan karyawan-karyawan mencintainya. Demikianlah arah bawah ini dilindungi,
diselamatkan dan diamankan olehnya.
33. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang warga keluarga harus memperlakukan para pertapa dan
brahmana seperti arah atas : dengan cinta kasih dalam perbuatan; dengan
cinta kasih dalam perkataan; dengan cinta kasih dalam pikiran; membuka pintu
rumah bagi mereka (mempersilahkan mereka); menunjang kebutuhan hidup mereka
pada waktu-waktu tertentu.
Dalam enam cara ini, O putra
kepala keluarga, para pertapa dan brahmana yang diperlakukan demikian oleh
seorang warga keluarga seperti arah atas, akan menunjukkan kecintaan mereka : mereka
mencegah ia berbuat jahat; mereka menganjurkan ia berbuat baik; mereka
mencintainya dengan pikiran penuh kasih sayang; mereka mengajarkan apa yang
belum pernah ia dengar; mereka membenarkan dan memurnikan apa yang pernah ia
dengar; mereka menunjukkan ia jalan ke surga.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana
seperti arah atas. Dalam enam cara inilah para pertapa dan brahmana menunjukkan
kecintaan mereka kepadanya. Demikianlah arah atas ini dilindungi, diselamatkan
dan diamankan olehnya.
Demikian sabda Sang Bhagava.
34. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Ibu dan ayah adalah arah timur,
Dan guru-guru adalah arah
selatan
Istri den anak-anak adalah arah
barat,
Dan sahabat-sahabat serta sanak
keluarga adalah arah utara;
Para pelayan dan karyawan
adalah arah bawah
Dan arah atas adalah para
pertapa dan brahmana
Semua arah ini harus disembah
oleh orang yang
Pantas menjabat sebagai kepala
keluarga dalam warganya.
Ia yang bijaksana, terlatih
dalam cara-cara bajik
Lemah lembut dan pandai dalam
pemujaan ini,
Rendah hati dan patuh, maka ia
akan memperoleh kehormatan.
Bangun pagi-pagi, musuh pada
kemalasan,
Tak goyah dalam kemalangan-kemalangan,
kehidupannya
Tanpa cacat, bijaksana, maka
ia akan memperoleh kehormatan
Bila ia telah mendapatkan
cara-cara dan membuat sahabat-sahabat
Menyambut dengan kata-kata yang
ramah dan hati yang tulus
Dan ia dapat memberi petunjuk
dan nasehat yang bijaksana
Dan membimbing
sahabat-sahabatnya, maka ia akan memperoleh kehormatan.
Tangan pemberi,
ucapan ramah tamah
Kehidupan penuh pengabdian,
tak membedakan diri sendiri
Dengan orang lain,
seperti diminta keadaan :
Inilah yang membuat dunia berputar
Seperti poros memberikan jasa
pada majunya kereta
Dan bila hal-hal demikian tidak
ada, tiada seorang ibu akan menerima
Penghormatan dan penghargaan
yang seharusnya diberikan oleh anak-anaknya
Juga sang ayah yang seharusnya
memperoleh hal-hal ini dari anak-anaknya
Dan karena para bijaksana
dengan tepat memuji akan hal-hal ini
Mereka memperoleh keluhuran dan
pujian manusia.
Setelah Beliau selesai berkata
demikian, Sigala, putra kepala keluarga itu, berkata kepada Sang Bhagava:
“Sungguh mengagumkan, Bhante!
Sungguh mengagumkan, Bhante! Sama halnya seperti seseorang menegakkan kembali
apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan
benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan: agar mereka
yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula,
dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Bhagava kepadaku.
Dan sekarang, Bhante, aku menyatakan berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma
serta Sangha. Semoga Sang Bhagava berkenan menerima aku sebagai seorang
upasaka, yang sejak hari ini sampai selama-lamanya telah menyatakan berlindung
kepada Buddha, Dhamma serta Sangha.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.