Agama SUCI Vs. Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Bukankah berbuat keliru, adalah manusiawi sifatnya dan semua orang bisa serta telah pernah berbuat keliru?
Brief Answer: Betul bahwa siapa saja dapat dan telah pernah
berbuat keliru, namun seorang manusia yang manusiawi harus bertanggung-jawab
atas kekeliruannya baik karena disengaja ataupun akibat kelalaiannya. Baru
menjadi keliru, ketika kekeliruan umat manusia lalu disikapi dengan sikap
tercela dan tidak bertanggung-jawab seperti memohon “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa”. Seorang ksatria, tidak “melarikan diri” juga
tidak akan pernah “tabrak lari” terhadap korban-korbannya.
PEMBAHASAN:
Tanpa usaha, maka tanpa resiko.
Setiap usaha, pasti akan disertai resiko, resiko usaha. Setiap usaha berniaga,
semisal berdagang, maka bisa untung juga bisa merugi, itulah resiko usaha
berniaga. Bahkan, hidup dan kehidupan itu sendiri memiliki resiko itu sendiri,
yakni untuk melangsungkan hidup maka kita harus merawat diri dengan baik serta
rutin mengonsumsi kecukupan gizi, vitamin, serta nutrisi disamping kabohidrat yang
dibutuhkan oleh tubuh. Memang, bila kita hanya bersikap pasif, tanpa membuat
upaya apapun, seolah kita tidak menghadapi serta tidak menanggung resiko
apapun, semata berkubang dan bergelung dalam “zona aman” maupun “zona nyaman”—namun
demikian, resiko tetap menyertai, yakni kita tidak akan bergerak kemana-mana alias
berjalan di tempat, dengan waktu serta umur yang terbuang sia-sia, tanpa ada
hasil ataupun kemajuan apapun, alias tidak produktif dan tidak akan pernah
mencapai solusi atas suatu permasalahan mengingat kehidupan akan penuh masalah
yang perlu diselesaikan secara konkret serta segera.
Ketika kita berupaya, maka kita
sejatinya memiliki keberanian untuk mengambil resiko, semisal mengalami
kecelakaan kerja, dan lain sebagainya yang tidak pernah kita kehendaki untuk
terjadinya. Apapun itu, kita tidak bisa mempermasalahkan mereka yang dengan berani
memilih untuk mengambil resiko, karena diharuskan oleh keadaan, semisal
memperbaiki pagar rumah yang rusak, maka ketika terjadi kecelakaan kerja, kita yang
sekadar menjadi penonton tidak berhak menghakimi, mengingat kecelakaan kerja
tersebut sejatinya tidak dapat diprediksi atau tidak terduga-duga akan terjadi
sebelumnya. Ketika sudah terjadi atau paska kejadian insiden, barulah kita
mengetahui, semisal bahwa pagar besi tersebut harus dipegang oleh tiga orang,
tidak cukup dua orang dewasa agar tidak terjatuh dan menimpa pekerja. Bila itu
memang resiko usaha, maka kita harus menghormati dan menghargai mereka yang mau
bersedia mengambil resiko usaha, tanpa menghakimi mereka agar mereka tidak
menjadi trauma karena mengambil resiko usaha.
Kini kita berlanjut pada
pembahasan perihal tiga kategorisasi jenis manusia, yang telah pernah berbuat
keliru, sebagai responsnya, akan lebih cenderung memilih untuk menjadi umat
pemeluk “Agama SUCI”, “Agama KSATRIA”, ataukah “Agama DOSA”. Kita mulai dari “Agama
SUCI”—dimana umat pemeluknya disebut sebagai Suciwan, yang tidak pernah
memerlukan ideologi korup “too good to be
true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming korup bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” demikian.
Seorang Suciwan, disebut
sebagai kaum yang suci karena hidup secara penuh pengendalian diri, mawas diri,
eling sepenuhnya, berlatih dalam disiplin diri dan moralitas yang ketat,
disamping memerhatikan setiap tindak-tanduk maupun isi pikirannya sendiri. Sungguh
sukar untuk dapat menjadi seorang Suciwan bila kita hidup sebagai
perumah-tangga, karenanya perlu dikondisikan dengan hidup selibat dan mem-biara
dalam lingkungan monastik yang mendukung dan memadai bagi latihan mereka untuk
terus berkesadaran (mindfulness).
Kini kita beralih kepada tipe
yang kedua, yakni seorang Ksatria yang menjadi umat pemeluk “Agama KSATRIA”. Betul
bahwa sebagai seorang perumah-tangga, kita pastilah telah pernah berbuat
keliru, entah karena disengaja ataupun akibat kurangnya kewaspadaan kita. Namun
yang membedakan antara seorang Ksatria dan seorang Pendosa, ialah cara mereka
merespons atau menindak-lanjuti perbuatan keliru mereka sendiri, sangat kontras
dan saling bertolak-belakang. Bila para Pendosa memilih untuk melempar
tanggung-jawab dosa-dosa mereka kepada nabi ataupun Tuhan yang mereka sembah,
entah meminta “penghapusan / pengampunan dosa” maupun memohon “penebusan dosa”,
tanpa mau merepotkan diri untuk bertanggung-jawab, maka seorang Ksatria dengan gagah-berani
memilih untuk seketika tampil dan siap-sedia dimintakan pertanggung-jawaban
serta bertanggung-jawab tanpa perlu pihak korban harus menuntut, menagih,
ataupun mengemis-ngemis tanggung-jawab dari sang Ksatria.
Bahkan, sang korban tidak harus
perlu merasa takut pelaku yang telah merugikan, menyakiti, ataupun melukainya
akan melarikan diri bila tidak dituntut pertanggung-jawaban. Bahkan pula, sang
Ksatria tidak akan “lempar batu sembunyi tangan” bilamana sang korban tidak
menyadari bahwa dirinya telah dirugikan ataupun dilukai. Para Ksatria begitu
transparan dan akuntabel, mereka adalah sosok yang “otentik” tanpa topeng dan
tanpa tipu-daya. Kontras dengan ketika korban menjadi korban para Pendosa, maka
sang korban yang harus berjuang mati-matian untuk menuntut keadilan, jika perlu
mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku, dimana sudah jelas dan
sudah dapat dipastikan bahwa sang Pendosa (pelaku) tidak akan memiliki
kesadaran pribadi untuk bertanggung-jawab, bahkan “tabrak lari” jika perlu “lebih
galak sang pelaku daripada sang korban”, ataupun bilamana sudah dihukum oleh
hakim di pengadilan tetap saja tidak bersedia untuk patuh dan bertanggung-jawab.
Kini kita masuk pada bahasan
perihal “Agama DOSA”—dimana umat pemeluknya disebut sebagai Pendosa yang
berdosa dan penuh dosa, penyembah serta pelanggan tetap ideologi korup berupa iming-iming
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Bagi para kalangan Pendosa
tersebut, bertanggung-jawab atau dituntut pertanggung-jawaban oleh sang korban,
adalah MERUGI. Sebaliknya, tidak bertanggung-jawab sekalipun telah merugikan, menyakiti,
ataupun melukai orang lain, atau bahkan kembali menyakiti dan merugikan sang
korban untuk kesekian kalinya, merupakan KEUNTUNGAN.
Motto atau slogan khas yang terkenal
dari para Pendosa pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa” tersebut ialah, “BUAT
DOSA, SIAPA TAKUT?!” Bagi para Pendosa tersebut, dogma-dogma (iming-iming) “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan “kabar gembira” (bagi
para pendosa)—dimana disaat bersamaan menjadi “kabar buruk” bagi para korban-korbannya,
seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap para “pendosa penjilat penuh dosa” yang
berkubang dalam lumpur dosa tersebut, dimana seolah-olah juga Tuhan lebih memilih
untuk menganaktirikan para korban dari para Pendosa dan penjilat tersebut. Bagaimana
mungkin, Tuhan membiarkan dirinya tercemar oleh para Pendosa yang mengharap
untuk bersatu dengan Tuhan di alam surgawi?
Berangkat dari pengetahuan
perihal tiga kategorisasi jenis manusia serta tiga golongan agama demikian,
kita mulai memahami, bahwa berbuat keliru memang manusiawi adanya, namun tidak
lagi “humanis” sifatnya bilamana sang pelakunya yang telah menyakiti, melukai,
ataupun merugikan pihak-pihak lainnya, baik secara lalai ataupun disengaja,
lalu berdelusi bahwa dosa-dosa perbuatannya tersebut seakan-akan dapat
dihapuskan semudah menyembah dan melantunkan puja-puji kepada Tuhan yang mereka
sembah, tanpa perlu merepotkan diri untuk bertanggung-jawab. “Tabrak lari”
artinya UNTUNG, BERUNTUNG, dan MENGUNTUNGKAN—itulah paradigma berpikir khas para
pemeluk “Agama DOSA”.
Bagi mereka, kaum Pendosa,
menanam benih Karma Baik ialah merepotkan, mereka (para Pendosa dan pemalas)
lebih memilih untuk semudah menjadi “penjilat”. Bagi mereka pula, para Pendosa
tersebut, bertanggung-jawab atau tidak berbuat kejahatan ialah menakutkan,
mereka lebih memilih menggadaikan jiwa mereka dengan menjadi penyembah-sujud
dan pelanggan tetap ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”. Itulah sebabnya, para Pendosa pemeluk “Agama DOSA” tersebut layak untuk mendapat
gelar sebagai “manusia PENGECUT” dan patut disebut sebagai “PECUNDANG kehidupan”.
Singkat kata, yang membedakan manusia
yang satu dengan manusia yang lain, ialah kualitas keberanian mereka untuk
bertanggung-jawab, kemampuan mengontrol / mengendalikan / mengawasi diri, serta
kesanggupan untuk menaklukkan dirinya sendiri. Para pemberani dan pemenang
kehidupan ialah, mereka yang dengan tekun dan rajin menanam banyak benih Karma
Baik, menghindari diri dari perbuatan buruk, serta mensucikan hati dan pikiran dengan
usaha dan pencapaiannya sendiri, alias sikap-sikap yang penuh tanggung-jawab,
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang-orang di sekitarnya. Dunia ini
indah bila dihuni oleh orang-orang yang bertanggung-jawab, dan dunia ini adalah
kelam dan suram bila diisi dan dipenuh-sesaki oleh para Pendosa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.