Tidak Selamanya Cek Kosong identik dengan Penipuan, Sengketa Perdata Semata, Bukan Ranah Pidana

LEGAL OPINION
Question: Apabila pernah memberikan cek yang jatuh temponya dikemudian hari, yang rencananya akan ada cukup sejumlah dana yang bisa dicairkan sebesar nilai tercantum dalam cek yang saya berikan itu, namun namanya juga bisnis, sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan, lalu jumlah dana dalam giro ternyata meleset dari perkiraan semula sehingga cek tidak dapat dicairkan oleh orang yang saya berikan cek, maka apa otomatis saya bisa dilaporkan sebagai pidana penipuan ke polisi? Bukan tidak mau membayar, namun perkiraan saya meleset, tidak ada niat untuk memberikan cek kosong.
Brief Answer: Bila seorang Terdakwa pemberi “cek kosong” ternyata pada proses pembuktian perkara pidana mampu membuktikan, adanya kondisi diluar kendali dan diluar kalkulasi sang Terdakwa, semisal terjadinya “force majeur” ataupun “over macht” sehingga yang sejatinya sejak semula dikalkulasi olehnya akan mampu mengisi saldo pada rekening giro miliknya agar cek ataupun bilyet giro yang sebelumnya diberikan oleh Terlapor / Terdakwa dapat dicairkan saat jatuh tempo, maka hal demikian semata merupakan kategorisasi sengketa “wanprestasi” (ranah perdata), mengingat tiadanya niat batin (mens rea) untuk menipu, dengan syarat pihak Terdakwa secara terbuka dan transparan menginformasikan kondisi demikian sesegera mungkin kepada penerima cek ataupun bilyet giro sehingga tidak merasa dipermainkan dan diberikan “harapan kosong” berupa “cek kosong” yang berusaha dan bersusah-payah dicairkan oleh penerima cek namun ternyata dana tidak mencukupi atau bahkan rekening giro sudah dalam status ditutup. Sehingga menjadi penting, pihak pemberi cek atau bilyet giro menunjukkan itikad baiknya, sekalipun rekening giro tidak mencukupi saldo untuk ditarik oleh pihak penerima cek saat cek jatuh tempo.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang sangat representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “cek kosong” register Nomor 670 K/PID/2016 tanggal 15 September 2016, dimana Terdakwa didakwakan karena telah secara berturut-turut telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 64 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bermula ketika Terdakwa memesan barang berupa obat-obatan kepada sebuah distributor bernama PT. AMS senilai Rp97.813.716, kemudian Terdakwa melakukan pembayaran dengan mengunakan cek yang ternyata dananya “kosong” alias “cek kosong”. Terdakwa selaku pemilik dari Apotek Mulya Abadi Farma, selain menjual obat-obatan dan juga melayani pesanan obat-obatan dari perusahaan lain.
Surat pemesanan barang (SP) diterbitkan oleh Apotek Mula Abadi Farma yang ditujukan kepada PT AMS sebagaimana tertuang dalam faktur pemesanan, dan telah diterima obat-obatannya. Dimana total barang yang belum dibayar oleh Terdakwa kepada PT. AMS, mencapai senilai Rp97.830.634,00.
Terdakwa sebagai pemilik dari Apotek pemesan, untuk pembayaran terhadap pemesanan obat-obatan tersebut kepada PT. AMS telah berjanji dan berkata bohong dengan cara kredit maksimal jatuh tempo pelunasan selama 30 hari dari semenjak barang diterima oleh Apotek milik Terdakwa, namun setelah jatuh tempo pelunasan dari pihak PT. AMS sempat melakukan penagihan beberapa kali, akan tetapi Terdakwa sebagai pemilik dari Apotek tidak kunjung membayar.
Pihak PT. AMS meminta kepastian pembayaran kepada Terdakwa, dimana untuk itu selanjutnya pihak Terdakwa memberikan tiga lembar cek atas nama Terdakwa, kepada pihak PT. AMS yang menagih piutangnya. Namun saat ketiga cek tersebut hendak dicairkan ke bank oleh pihak PT AMS guna dilakukan kliring, setelah diproses oleh pihak perbankan ternyata ketiga cek tersebut dananya tidak mencukupi (kosong) sehingga tidak bisa dicairkan.
Setelahnya dikonfirmasi kepada Terdakwa perihal cek yang kurang nilai saldonya (kosong) atas pembayaran sejumlah obat-obatan tersebut, Terdakwa beralasan bahwa obat-obat setelah dikirim oleh PT. AMS kemudian Terdakwa jual kembali kepada pihak lain, namun hingga saat kini belum dibayarkan kepada Terdakwa sehingga Terdakwa kekurangan dana cair untuk melunasi distributornya. PT. AMS merasa telah dirugikan, untuk itu melaporkan Terdakwa selaku pemilik Apotek kepada pihak berwajib.
Sementara dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena secara berturut-turut telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut telah dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 39/Pid.B/2016/PN.GRT pada tanggal 07 April 2016, dengan amar:
MENGADILI :
1. Menyatakan perbuatan Terdakwa IHSAN MUNAWAR, SE. bin H. MUDIN terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum tetapi bukan merupakan tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari seluruh tuntutan hukum;
3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
4. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.”
Pihak Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa berdasarkan Yurisprudensi Nomor 1352 K/PID/2009 tanggal 22 Oktober 2009 dalam perkara atas nama Kalaiwanan, terdapat kaedah norma yurisprudensi bahwa walaupun antara Terdakwa dengan korban ada hubungan keperdataan, tetapi tidaklah dapat diartikan tidak ada tindak pidana, apabila dapat dibuktikan ada tindakan Terdakwa yang memenuhi kualifikasi unsur-unsur tindak pidana. Jangan sampai, “celah” hukum demikian menjadi modus praktik-praktik penipuan dimana pelaku semudah mengatas-namakan barang yang dipasok sang distributor telah dijual kembali kepada pihak ketiga, dan dana penjualan kembali tersebut belum diserahkan kepada Terdakwa sehingga Terdakwa tidak dapat membayar distributornya dengan alasan tidak memiliki dana.
Menurut pihak Jaksa, janji-janji berupa iming-iming akan melunasi pembayaran kepada sang distributor yang merugi karena tagihannya tertunggak, merupakan alat atau cara yang dipandang sebagai “modus operandi” untuk menyakinkan / mengelabui korbannya, dikarenakan pada saat pihak korban melakukan penagihan kepada Terdakwa ternyata barang-barang yang telah dipesan oleh Terdakwa dari pihak korban statusnya sudah tidak berada di apotek milik Terdakwa, atau dengan kata lain barang-barang milik korban telah berpindah-tangan sekalipun barang-barang tersebut belum merupakan hak milik Terdakwa sehingga merupakan “penggelapan terhadap barang” jika tidak dapat disebut “penipuan”.
Sang Jaksa menyebutkan pula, hingga permohonan kasasi ini diajukan, Kejaksaan belum mendapatkan putusan lengkap Pengadilan Negeri yang melepaskan Terdakwa, sekalipun Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2009 tentang Penyerahan / Pengiriman Petikan dan Salinan Putusan telah mengatur, bahwasannya untuk pengiriman salinan putusan hendaknya berpedoman pada SEMA Nomor 21 Tahun 1983 tentang Batas Waktu Pengiriman Salinan Putusan pada Jaksa, batas waktu paling lambat 1 (satu) minggu sejak putusan tersebut diucapkan sudah harus dikirimkan oleh Panitera kepada Jaksa, sementara batas waktu mengajukan upaya hukum maupun memori Kasasi sudah harus diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan judex factie.
Untuk kepentingan menyusun permohonan Kasasi, Jaksa Penuntut Umum telah meminta putusan lengkap, akan tetapi sampai dengan memori kasasi ini disusun dan diserahkan, belum juga diterima, sekalipun secara normatif-imperatif kepaniteraan Pengadilan Negeri wajib memberikan salinan putusan, dimana putusan lengkap merupakan bahan bagi Kejaksaan untuk dievaluasi dan dieksaminasi. Akibatnya, dalam menyusun memori Kasasi ini, Penuntut Umum hanya berdasarkan catatan yang pernah didengar di persidangan sewaktu putusan dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri.
Hukum penintensier (hukum pemidanaan) menghendaki adanya aspek psikologi yang membuat efek jera bagi pelaku maupun bagi orang lain yang mempunyai niat untuk melakukan perbuatan yang serupa, mengingat perbuatan Terdakwa telah merugikan korban yang secara langsung mengancam keberlangsungan usahanya di bidang distribusi obat kesehatan.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara berpanjang-lebar (diluar kebiasaan), sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri yang melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum telah tepat dan tidak salah menerapkan hukum. Putusan Judex Facti telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, tidak ternyata Terdakwa secara melawan hukum telah merugikan saksi korban PT. Antar Mitra Sembada (AMS) milik saksi Bakhtaruddin alias Rudi senilai Rp97.813.716,00 sehingga perbuatan Terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana Pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan, Terdakwa selaku pemilik Apotek Mulya Abadi Farma Garut telah memesan obat kepada PT. AMS pada tanggal 31 Mei 2014, tanggal 25 Juni 2014 dan tanggal 30 Juni 2014 dengan harga seluruhnya Rp117.426.375,00; setelah pesanan diterima Terdakwa sebahagian obat dikembalikan yakni seharga Rp19.595.741,00 sehingga sisa yang diterima Terdakwa seharga Rp97.830.634,00.
- Bahwa Terdakwa berjanji akan membayar lunas sebulan kemudian, oleh karena obat-obat tersebut dijual kembali kepada Sutoyo yang bekerja pada PT. Pharos Farma, sehingga pembayarannya menunggu pelunasan dari Sutoyo.
- Bahwa Terdakwa tidak dapat melunasi pembayaran kepada PT. AMS tepat pada waktunya oleh karena Sutoyo belum membayar kepada Terdakwa karena uang penjualan obat tersebut dipakai Sutoyo untuk kepentingan menutupi target perusahaan tempat Sutoyo bekerja.
- Bahwa kemudian antara Terdakwa, Sutoyo, dan PT. AMS telah mengadakan pertemuan penyelesaian pembayaran dan Sutoyo berjanji akan melunasi hutangnya kepada Terdakwa paling lambat tanggal 29 September 2014, dan atas kesanggupan Sutoyo tersebut Terdakwa menerbitkan 3 (tiga) cek untuk pembayaran kepada PT. AMS, yakni tanggal 30 September 2014 sebesar Rp50.000.000,00; tanggal 31 Oktober 2014 sebesar Rp10.000.000,00 dan tanggal 30 November 2014 sebesar Rp37.426.000,00.
- Bahwa oleh karena Sutoyo tidak dapat melunasi hutangnya kepada Terdakwa tepat waktu sesuai yang diperjanjikan paling lama tanggal 29 September 2014, maka ketiga cek yang dikeluarkan Terdakwa setelah diuangkan oleh PT. AMS tidak dapat dicairkan (kosong) sesuai penolakan bank yang bersangkutan.
- Bahwa oleh karena antara Terdakwa, Sutoyo, dan PT. AMS telah mengadakan kesepakatan sendiri tentang pelunasan pembayaran Terdakwa kepada PT. AMS digantungkan pada pembayaran Sutoyo kepada Terdakwa, sehingga ketiga cek yang dikeluarkan Terdakwa tersebut kosong bukan atas tipu-daya atau perbuatan melawan hukum pidana dari Terdakwa kepada PT. AMS, melainkan masalah wanprestasi dari Sutoyo kepada Terdakwa yang berakibat Terdakwa wanprestasi pula kepada PT. AMS yang diwakili oleh Bakhtaruddin alias Rudi. [Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan kata lain, telah terdapat sebentuk usaha yang sungguh-sungguh serta itikad baik dari pihak Terdakwa, sehingga diberikannya cek bukanlah karena faktor kesengajaan “kosong”, akan tetapi sifatnya masih digantungkan pada sebuah “syarat”. Faktor-faktor empirik seperti fakta hukum telah terdapat usaha serta itikad baik pihak Terdakwa, yang mengakibatkan Terdakwa dinyatakan memiliki “alasan pemaaf” dalam stelsel pemidanaan.]
“Berdasarkan keadaan dan pertimbangan tersebut di atas perbuatan Terdakwa benar sesuai dakwaan Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI GARUT tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.