(DROP DOWN MENU)

Makna ISLAMI : Mabuk dan Kecanduan PENGHAPUSAN DOSA

Misi Hidup Umat Agama Islam (Muslim) : menjadi PENJAHAT (PENDOSA yang Mabuk dan Kecanduan PENGHAPUSAN DOSA)

Jadi Orang Baik-Baik, Barulah Tidak “ISLAMI”. Menjadi PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA”, Barulah “ISLAMI” dan Tidak “Merugi”

Question: Tidak jarang saya mengenal atau berjumpa muslimah yang mengenakan busana agamais (jilbab atau hijab), tapi ternyata moralnya bobrok, suka bohong, nipu, culas, ingkar janji, menyakiti, ataupun kejahatan lainnya. Itu adalah muslimah yang disebut “oknum”, ataukah memang seperti itu umat muslim yang sejati?

Brief Answer: PECANDU PENGHAPUSAN DOSA adalah penjahat (pendosa), dimana hanya penjahat (pendosa) yang butuh iming-iming KORUP semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”. Karenanya, dapat kita simpulkan sekaligus tidak menjadi mengherankan, para PECANDU PENGHAPUSAN DOSA notabene atau senyatanya adalah orang-orang JAHAT—orang-orang JAHAT mana dibalut dengan busana “agamais”. Untuk itu, sebagai langkah antisipatif, kita tidak dapat “berbaik sangka” ketika berhadapan atau berurusan dengan seorang maupun para muslim / muslimah, namun kita patut serta perlu untuk “berburuk sangka” bahwa yang kita hadapi ialah seorang atau para orang JAHAT bernama muslim / muslimah.

Hanya PENJAHAT (PENDOSA) yang butuh ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), Lebih tepatnya lagi, hanya KORUPTOR DOSA” yang butuh dogma-dogma kotor, rendah, dangkal, tercela, hina, serta busuk dan jahat demikian. Adapun “PENGHAPUSAN DOSA”, sifatnya selalu bundling alias komplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Karenanya, jika ada muslim / muslimah yang baik hati serta jujur dan lurus orangnya, maka itulah yang baru dapat disebut sebagai “oknum”—bukan sebaliknya.

PEMBAHASAN:

Babi, disebut “HARAM”. Akan tetapi, disaat bersamaan, bagai “bermuka dua”, dogma-dogma tercela dan jahat semacam “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya. Orang baik ataupun orang suci manakah, yang butuh ideologi kotor demikian?) justru disebut sebagai “HALAL” serta dijadikan sebagai maskot “HALAL LIFESTYLE”. Terhadap dosa dan maksiat, mereka demikian kompromistik. Akan tetapi terhadap kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran. Itulah pola “standar ganda” yang paling khas dari kaum muslim di seluruh dunia.

Mereka adalah kaum pemalas yang begitu pemalas menyingsingkan lengan baju untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya di kehidupan mendatang, dan disaat bersamaan para pengecut tersebut begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya—baik terhadap nonmuslim maupun terhadap sesama muslim. Mereka, para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut begitu sibuk mabuk tenggelam dalam ritual-ritual permohonan “PENGHAPUSAN DOSA”, alih-alih sibuk bertanggung-jawab atas perbuatan mereka sendiri.

Tetap saja, kaum yang sejatinya kasta paling rendah, kotor, hina, tercela, bengkok, dangkal, buruk serta busuk tersebut berdelusi sebagai kaum paling superior yang merasa berhak menjadi “polisi moral” yang menghakimi kaum lainnya. Sekalipun dalam kesehariannya berkubang dalam samudera dosa, memproduksi segudang dosa, mengoleksi segunung dosa, menimbun diri dengan timbunan dosa, dan bersimbah dosa, secara ilusioner para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka.

Di mata kaum muslim, adalah “merugi” bila tidak menjadi PECANDU PENGHAPUSAN DOSA alias “merugi tidak menjadi PENDOSA” (mubazir tidak menikmati “PENGAMPUNAN DOSA”?)—berkebalikan atau bertolak-belakang dengan khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

II. Cāpāla

61 (1) Keinginan

“Para bhikkhu, ada delapan jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia gagal memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

[Kitab Komentar menerangkan, “keuntungan” di atas maknanya ialah “untuk memperoleh empat kebutuhan”, yaitu jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.]

(2) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(3) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(4) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(5) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(6) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(7) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(8) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

“Ini adalah kedelapan jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [296]

Sebaliknya, jika ada muslim / muslimah yang mau repot-repot bertanggung-jawab, maka itu artinya yang bersangkutan tidak “islami” disamping “merugi”. Jika muslim / muslimah tersebut “maling teriak maling” ataupun “lempar batu sembunyi tangan” dan “HIT AND RUN”, barulah ia dapat disebut sebagai “islami”. Jika ada muslim / muslimah yang mau melunasi hutang-hutangnya, maka itu artinya yang bersangkutan tidak “islami”. Jika muslim / muslimah tersebut menunggak sampai mati, barulah ia dapat disebut sebagai “islami”.

Jika ada muslim / muslimah yang anti kekerasan dan humanis, maka itu artinya yang bersangkutan tidak “islami”. Jika muslim / muslimah tersebut melanggar hak asasi manusia, barulah ia dapat disebut sebagai “islami”. Jika ada muslim / muslimah yang “ahimsa” (tidak melakukan kekerasan secara eksplisit maupun secara terselubung), maka itu artinya yang bersangkutan tidak “islami”. Jika muslim / muslimah tersebut “suka main kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” alias “premanis”, “hewanis”, dan “predatoris”, barulah ia dapat disebut sebagai “islami”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

“PENGHAPUSAN DOSA” dipromosikan, alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” lewat “self-control”, itulah yang disebut sebagai “Agama DOSA”. PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, baik, mulia, lurus, adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, berlomba-lomba dan berbondong-bondong dengan bangga penuh percaya-diri mereka terperosok menuju lembah-jurang-nista yang begitu gelap nan kelam. “Kabar gembira” bagi pelaku kejahatan (pendosa), sama artinya “kabar buruk dan duka” bagi kalangan korban. Dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”, sejatinya hanya dinikmati oleh kalangan “KORUPTOR DOSA”. Adapun “standar moral”-nya kaum muslim ialah berupa “teladan” (yang “toxic”) berikut—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]