Yang Hebat Itu yang Bisa SELF-CONTROL, Hidup Selibat, Bukan yang Bisa Menikahi Belasan Istri

Umat Manusia Tidak akan Punah Sekalipun Ada Sebagian diantara Masyarakat Kita yang Memilih untuk Menjalani Hidup sebagai Petapa yang Berlatih SELF-CONTROL dengan Hidup Selibat

Yang Hebat ialah yang Mampu Melepas, Bukan yang Mengambil dan Menjadikan Milik (Memiliki dan Melekatinya)

Dalam Buddhisme, hidup adalah pilihan, dimana kehendak bebas (free will) dihargai dan dihormati sebagai hak asasi manusia itu sendiri. Tidak ada dogma-dogma berisi ancaman dalam Buddhistik, baik Anda memilih untuk menikah ataukah tidak menikah. Selebihnya, ialah perihal konsekuensi dibalik setiap pilihan. Karenanya, rumusan dalam Buddhisme menjadi sebagai berikut : hidup adalah pilihan, lengkap dengan masing-masing konsekuensinya. Meminjam istilah dari Ajahn Brahm, bhikkhu asal Inggris yang setelah menjalani latihan hidup sebagai “bhikkhu hutan” di Thailand sebelum kemudian menjadi kepala dari salah satu vihara di Australia, membagi menjadi dua konsekuensi dibalik pilihan bagi seseorang untuk berumah-tangga atau untuk hidup selibat, yakni “dukkha orang yang hidup berumah-tangga” dan “dukkha orang yang hidup selibat”.

Ada suatu keyakinan keagamaan, yang dengan cukup picik dan dangkal gaya berpikirnya, menyatakan bahwa menikah dan beranak-pinak adalah tugas dari Tuhan kepada umat manusia. Tidak mengherankan bilamana umat agama bersangkutan tiada yang hidup secara selibat, terlebih dapat disebut sebagai “suciwan”. Hubungan intim antar kelamin, merupakan bentuk ekstrem dari kekotoran batin alias miskinnya “self-control”, dibakar dan terbakar oleh birahi. Hanya para petapa selibat, yang benar-benar dapat disebut sebagai makhluk suci, terkendali keenam inderawinya, hanya memiliki sedikit “kekotoran batin” yang tersisa sebelum terkikis habis dalam latihan pengendalian diri yang ketat.

Apakah itu artinya, agama bersangkutan juga hendak menyatakan bahwa, umat manusia maupun kaum Buddhist yang memilih untuk hidup tidak berumah-tangga, membujang (jomblo), alias hidup selibat, adalah melanggar “kodrat” dari Tuhan dan menjadi berdosa karenanya? Bagaimana mungkin, seseorang yang hidup dalam latihan pengendalian diri yang ketat, dimana butuh pengorbanan diri yang tidak sedikit untuk itu, terkontrol dari segi inderawi, lantas disebut sebagai pendosa yang telah berdosa serta dimasukkan ke dalam neraka? Penulis lantang menyebut dogma demikian sebagai “sesat” seutuhnya. Yang hebat bukanlah mereka yang menyerah pada nafsu birahi dalam diri mereka dan mengikuti segala kemauannya yang tiada habis dan tiada terpuaskan, namun mereka yang mampu mengendalikan dan menaklukkan diri mereka sendiri. Semua orang mau dan sanggup untuk menikah dan membangun rumah-tangga. Namun, tidak semua orang mau dan sanggup untuk hidup selibat. Jika memang ada sistem meritokrasi (reward and punishment), tentulah ada sebentuk penghargaan bagi mereka yang memilih untuk melepaskan kemungkinan untuk menikah, dan memilih untuk hidup tanpa berumah-tangga, entah menjadi seorang bhikkhu maupun sebagai umat awam yang selibat.

Analoginya, semua orang mau dan senang hati mengoleksi segudang dosa-dosa dan berkubang dalam maksiat, dalam rangka menikmati iming-iming ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sebelum kemudian menjelma sebagai pencandu alias pelanggan tetap ideologi sesat demikian. Namun, tidak semua orang sanggup dan mau untuk berkomitmen-diri untuk memiliki gaya hidup higienis dari dosa maupun maksiat. Itulah yang membedakan antara kaum suciwan yang higienis dari dosa-dosa (Agama SUCI), kaum ksatria yang siap sedia bertanggung-jawab atas setiap perbuatan kelirunya (Agama KSATRIA), dan kaum pendosa-pengecut-pemalas yang terlampau malas untuk menanam karma baik dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan buruknya (Agama DOSA).

Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming “too good to be true” bernama “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya (abolition of sins). Bagaimana mungkin, kaum suciwan maupun ksatriawan dicampakkan ke neraka, sementara itu kaum dosawan-pengecut-pemalas tersebut dimasukkan ke surga? Keyakinan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip meritokrasi, tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah agama sesat yang menyesatkan disamping mendegradasi “standar moral” umat manusia. Kembali ke topik utama kita perihal pilihan bebas untuk menikah ataupun untuk selibat. Yang hidup berumah-tangga, tidak perlu menghakimi mereka yang hidup selibat, juga sebaliknya. Masing-masing cukup berfokus menjalani peran mereka masing-masing, barulah tercipta harmonis dalam bermasyarakat tanpa adanya segregasi sosial, namun saling menghormati satu sama lainnya.

Yang mau hidup berumah-tangga, maka menjadi umat perumah-tangga. Yang memilih hidup selibat tanpa manjalani kehidupan monastik, juga dipersilahkan. Sementara itu bagi mereka yang merasa terpanggil untuk menjalani hidup monastik, selibat lengkap dengan segala aturan disiplin kebhikkhuan (vinaya) yang sangat ketat dan penuh latihan pengendalian diri, juga dipersilahkan. Itulah Buddhisme, memberdayakan manusia tanpa mengasingkan mereka dari kodrat sejati mereka, yakni memiliki “kehendak bebas”, bahkan membuka potensi masing-masing dari mereka hingga ke jenjang lebih tinggi secara paling optimal, alih-alih memasung dan membonsai para siswa-siswi Sang Buddha.

Alibi konyol dari agama yang gaya berpikirnya dangkal dan sempit (picik) perihal “kawin adalah wajib hukumnya” ialah, manusia harus menikah agar dapat berkembang biak dan melangsungkan keturunan. Maka, kita membuat tanggapan sebagai berikut : MEMANGNYA HEWAN? Menghewankan manusia, menjadikan manusia tidak ubahnya hewan, yakni dengan pola hidup berupa : makan, bersetubuh (insting untuk berkembang biak), dan tidur. Masih banyak tugas besar seorang umat manusia, ketimbang secara dangkal menghewankan diri sendiri. Seorang manusia, disebut demikian, karena memiliki “akal budi”, sehingga bisa memilih untuk “melawan arus” nafsu ataupun keinginan dari dalam diri, berbeda dengan kalangan hewan yang sekadar menjadi budak dari naluri kehewanan mereka. Tanpa diperintahkan untuk kawin pun, para hewan tersebut secara alamiahnya akan kawin dan berkembang biak secara sendirinya.

Pilihan ada di tangan masing-masing dari diri Anda sendiri, apakah hendak menjadi seekor “manusia hewan”, seorang “manusia manusia”, ataukah sekaliber level “manusia dewa”? Demikian Sang Buddha menantang kita, dimana tentunya kalangan pecundang akan memilih untuk mengikuti arus kehewanan dan menjadi budak (diperbudak) oleh limbik “otak reptil” yang bersarang dalam kepala dan mendominasi cara kerja otak mereka. Buddhistik, karenanya, menekankan pada praktik egaliter, egalitarian diutamakan diatas segala cara hidup konvensional yang selama ini dipraktikkan beragam masyarakat. Seperti apakah, tantangan dibalik hidup memilih “melawan arus”? Berikut kutipan sabda dari Sang Buddha:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Ada yang menyebutkan, dorongan alamiah seorang manusia ialah menyakiti dan merugikan orang lain, bahkan juga menyakiti dan merugikan diri kita sendiri. Karenanya, untuk berbuat baik dan untuk mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, kita perlu belajar serta berlatih. Kita tidak perlu belajar untuk menjadi orang jahat, karena setiap umat manusia terlahir akibat manifestasi sisa “kekotoran batin” (kilesa) dari kehidupan lampau sebelumnya, entah “kekotoran batin” yang masih tebal ataukah yang sudah menipis. Manusia tidaklah lahir seperti selembar kain yang putih-bersih dan polos, namun membawa bakat negatif bernama “kekotoran / kebodohan batin”.

Kita tidak perlu menjadi orang jahat, agar polisi dapat memiliki pekerjaan. Akan selalu ada orang-orang jahat di luar sana, dimana dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang jahat. Sama halnya, kita tidak perlu menambah banyak kotoran bagi dunia ini agar petugas kebersihan memiliki pekerjaan untuk membersihkan halaman gedung dari kotoran, dunia ini tidak pernah kekurangan kotoran yang perlu untuk dibersihkan, dimana daun-daun kering berguguran secara sendirinya dan rumput liar tumbuh tanpa diminta. Janganlah menjadi seorang “pengeruh dunia”, demikian kami diajarkan oleh sikap hidup ala Buddhisme, dunia ini sudah cukup keruh. Sama halnya, Tuhan tidaklah mungkin mencobai manusia, karena hidup ini sendiri sudah cukup sukar untuk dijalani—dimana kita perlu mencari makan beberapa kali dalam sehari, mencari obat ketika sakit, menjadi tua dan lemah, sebelum kemudian meninggal dunia—dimana juga bencana alam seperti gempa bumi atau gunung meletus memang merupakan alamiah saja sifatnya, alias tanpa adanya campur tangan makhluk adikodrati. Usia umat manusia sudah sama tuanya dengan umur Planet Bumi ini, Tuhan konon “Maha Tahu”, bukan menyerupai “Profesor LING-LUNG” masih merasa perlu mencoba-cobai, meski Einstein pernah berpesan : “Melakukan hal yang sama, namun mengharap hasil yang berbeda, adalah INSANE!”

Hidup secara selibat, artinya melepaskan suatu potensi kehidupan berumah-tangga. Sebaliknya, berumah-tangga, artinya mengambil dan memiliki, dimana Sang Buddha menyebutkan bahwa istri dan anak merupakan belenggu yang tertinggi, dimana kemelekatan bisa sangat erat-menjerat hingga mencekik. Seseorang rela untuk melakukan tindakan kriminal, dengan alasan demi menafkahi keluarga yang perlu dinafkahi. Yang hebat, ialah yang mampu melepas, bukan yang sebaliknya. Ini serupa dengan keberanian seorang Pangeran Siddhatta Gotama yang melepaskan potensi tahkta kerajaan, memilih untuk menapaki kehidupan sunyi-sepi selayaknya seorang petapa, dalam rangka memasuki tujuan yang lebih tinggi, yakni memurnikan diri dan mencapai pencerahan sempurna demi kebahagiaan banyak makhluk. Tidak akan ada Sang Buddha Gotama, bilamana saat itu Pangeran Siddhatta Gotama memilih untuk mewarisi tahkta kerajaan dan hidup berumah-tangga, juga tidak akan ada Dhamma maupun persamuan kebhikkhuan.

Sebagai penutup, tidak lengkap tanpa kita menyimak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana kita juga bisa memilih lingkungan pertemanan kita dalam rangka membuat peng-kondisian bagi diri yang kondusif agar tidak terseret dalam pergaulan yang keliru, dengan kutipan sebagai berikut:

42 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan. Apakah dua ini? Kumpulan dangkal dan kumpulan dalam.

“Dan apakah kumpulan dangkal? Kumpulan di mana para bhikkhu gelisah, pongah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa arah, dengan perhatian yang kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria yang kendur, disebut kumpulan dangkal.

“Dan apakah kumpulan dalam? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak gelisah, tidak pongah, tidak tinggi hati, tidak banyak bicara, tidak berbicara tanpa arah, melainkan dengan perhatian yang kokoh, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria yang terkendali, disebut kumpulan dalam.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan dalam adalah yang terunggul.”

43 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terpecah dan kumpulan yang harmonis.

“Dan apakah kumpulan yang terpecah? Kumpulan di mana para bhikkhu terbiasa berdebat dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, disebut kumpulan yang terpecah.

“Dan apakah kumpulan yang harmonis? Kumpulan di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, disebut kumpulan yang harmonis.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang harmonis adalah yang terunggul.”

44 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang rendah dan kumpulan orang-orang unggul.

“Dan apakah kumpulan orang-orang rendah? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti jejak mereka. Mereka juga hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang rendah.

[Kitab Komentar : Dengan melakukan apa yang dilakukan oleh penahbis dan guru-guru mereka, mereka mengikuti sesuai dengan praktik yang mereka lihat.]

“Dan apakah kumpulan orang-orang unggul? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang unggul.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang unggul adalah yang terunggul.”

45 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang mulia dan kumpulan orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah kumpulan orang-orang tidak mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ disebut kumpulan orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah kumpulan orang-orang mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asalmula penderitaan’; [72] memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ disebut kumpulan orang-orang mulia.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang mulia adalah yang terunggul.”

46 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Ampas dari suatu kumpulan dan krim dari suatu kumpulan.

“Dan apakah ampas dari suatu kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu memasuki jalan salah karena keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut ampas dari suatu kumpulan.

“Dan apakah krim dari suatu kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memasuki jalan salah karena keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut krim dari suatu kumpulan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, krim dari suatu kumpulan adalah yang terunggul.”

47 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan omong-kosong, bukan dalam tanya jawab, dan kumpulan yang terlatih dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong.

“Dan apakah kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan omong-kosong, bukan dalam tanya jawab? Di sini, dalam kumpulan jenis ini, ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dilafalkan yang dalam, mendalam secara makna, melampaui-keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, para bhikkhu tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Tetapi ketika khotbah-khotbah itu sedang dilafalkan yang hanya sekedar syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka ingin mendengarnya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Dan setelah mempelajari ajaran-ajaran itu, mereka tidak saling bertanya jawab satu sama lain tentang ajaran-ajaran itu atau memeriksanya secara seksama, [73] [dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal ini?’ Mereka tidak mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan tidak menjelaskan apa yang tidak jelas, atau menghapuskan kebingungan sehubungan dengan banyak hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan omong-kosong, bukan dalam tanya jawab.

“Dan apakah kumpulan yang terlatih dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong? Di sini, ketika khotbah-khotbah itu sedang dilafalkan yang hanya sekedar syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka tidak ingin mendengarnya, tidak menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Tetapi ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dilafalkan yang dalam, mendalam secara makna, melampaui-keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, para bhikkhu ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Dan setelah mempelajari ajaran-ajaran itu, mereka saling bertanya jawab satu sama lain tentang ajaran-ajaran itu dan memeriksanya secara seksama, [dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal ini?’ Mereka mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghapuskan kebingungan sehubungan dengan banyak hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang terlatih dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong, adalah yang terunggul.”

48 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini?

Kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati, dan kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi.

“Dan apakah kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu saling memuji satu sama lain di hadapan para perumah tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang yang terbebaskan dalam kedua cara; yang itu adalah seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan; [74] yang itu adalah seorang saksi-tubuh; yang itu adalah seorang yang mencapai pandangan; yang itu adalah seorang yang terbebaskan melalui keyakinan; yang itu adalah seorang pengikut-Dhamma; yang itu adalah seorang pengikut-keyakinan; yang itu adalah seorang yang bermoral dan berkarakter baik; yang itu adalah seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk.’ Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka gunakan dengan terikat padanya, tergila-gila padanya, secara membuta terserap di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak memahami jalan membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati.

“Dan apakah kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu tidak saling memuji satu sama lain di hadapan para perumah tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang yang terbebaskan dalam kedua cara … yang itu adalah seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk.’ Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka gunakan dengan tidak terikat padanya, tidak tergila-gila padanya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi, adalah yang terunggul.”

49 (8)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang tidak bajik dan kumpulan yang bajik.

“Dan apakah kumpulan yang tidak bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijelaskan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin dijelaskan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijelaskan. Ini, para bhikkhu, disebut kumpulan yang tidak bajik. Adalah karena tidak bajik maka dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan … [75] … dan tindakan disiplin yang sesuai dengan disiplin tidak dijelaskan.

“Dan apakah kumpulan yang bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijelaskan dan tindakan disiplin yang bertentangan Dhamma tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijelaskan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan. Ini, para bhikkhu, disebut kumpulan yang bajik. Adalah karena bajik maka dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan … [75] … dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang bajik adalah yang terunggul.”

50 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang bertindak bertentangan dengan Dhamma dan kumpulan yang bertindak sesuai Dhamma … [seperti pada 2:49] … “Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang bertindak sesuai Dhamma adalah yang terunggul.”

51 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma dan kumpulan yang membicarakan Dhamma.

“Dan apakah kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu terlibat dalam suatu persoalan disiplin, satu yang mungkin sesuai Dhamma atau yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka tidak saling meyakinkan satu sama lain dan tidak membiarkan diri mereka diyakinkan; mereka tidak berunding dan tidak menerima perundingan. Tanpa adanya kekuatan tindakan saling meyakinkan dan kekuatan perundingan, [76] tidak bersedia melepaskan pendapat mereka, mereka secara keliru menggenggam persoalan disiplin tersebut bahkan lebih erat lagi, dan dengan melekati posisi mereka, mereka menyatakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma.

“Dan apakah kumpulan yang membicarakan Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu terlibat dalam suatu persoalan disiplin, satu yang mungkin sesuai Dhamma atau yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka saling meyakinkan satu sama lain atau membiarkan diri mereka diyakinkan; mereka berunding dan menerima perundingan. Dengan adanya kekuatan tindakan saling meyakinkan dan kekuatan perundingan, bersedia melepaskan pendapat mereka, mereka tidak secara keliru menggenggam persoalan disiplin tersebut bahkan lebih erat lagi, juga tidak dengan melekati posisi mereka, mereka menyatakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut kumpulan yang membicarakan Dhamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang membicarakan Dhamma adalah yang terunggul.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.