Ambiguitas Kewenangan Mengadili Akta yang Mengatur Choice of Forum, Sengketa Perdata Menjadi Serba Rancu dan Bias

LEGAL OPINION
Question: Mengapa SHIETRA & PARTNERS merekomendasikan agar menghindari tanda-tangan kontrak yang ada aturan tentang arbitrase di dalamnya? Resiko terbesar seperti apakah yang mungkin dapat terjadi, bila perusahaan tanda-tangan perjanjian yang ada pasal tentang arbitrase sebagai forum “dispute settlement”-nya?
Brief Answer: Kompleksitas karakteristik sebagai dampak tidak langsung dari keberadaan “klausula arbitrase” maupun “klausula Choice of Forum peradilan di luar Indonesia”, ialah menjadi demikian kompleksnya hubungan hukum maupun sengketa perdata yang mungkin dapat terjadi. Sebagai contoh, Mahkamah Agung RI dalam perkara tingkat kasasi, kerap kali hanya membaca berkas perkara secara sepintas-lalu serta memutus secara sumir, tanpa mencermati seluruh duduk perkara dan alat-alat bukti yang terkait perkara. Semisal, sebuah Perseroan Terbatas menggugat direkturnya karena telah menanda-tangani sebuah kontrak bisnis dengan suatu entitas hukum lainnya, akan tetapi tanpa seizin pihak komisaris perseroan maupun Rapat Umum Pemegang Saham, namun kontrak bisnis yang ditanda-tangani oleh sang direktur memuat “klausula forum peradilan yang berwenang mengadili” (choice of forum). Ketika Perseroan Terbatas dimaksud hendak menggugat direkturnya terkait pembuatan kontrak bisnis yang melanggar ketentuan dimaksud, apakah Pengadilan Negeri lokal di Indonesia berwenang mengadili?
Pernah terjadi, Mahkamah Agung RI akibat kebijakan “mengejar kuantitas putusan ketimbang kualitas putusan”, secara sumir mengkaitkan sengketa berupa gugatan perdata yang diajukan Perseroan Terbatas (selaku Penggugat) kepada direkturnya (selaku Tergugat) ialah terkait kontrak bisnis dimaksud, yang seketika itu juga akan terjebak fokus perhatiannya pada “klausula Arbitrase”, akibatnya secara sumir amar putusan menyatakan “gugatan tidak dapat diterima” karena gugatan diajukan di Pengadilan Negeri alih-alih di Arbitrase—sekalipun, pokok gugatan bukan terkait materi / substansi kontrak bisnis dimaksud, namun perihal prosedur (formal) pembentukannya oleh sang direktur.
Kemelut kedua, tidak manarik serta pihak ketiga yang menanda-tangani kontrak bisnis tersebut, dengan tujuan berfokus pada kesalahan formil yang dilakukan oleh sang direktur sehingga isu hukum perihal keberadaan “klausula Choice of Forum” dapat dimitigasi, tetap terdapat peluang resiko lainnya yakni gugatan akan dinyatakan “kurang pihak” lewat “eksepsi” pihak Tergugat. Dari berbagai pengalaman praktik peradilan, kontrak bisnis dengan “klausula Abritrase” maupun “klausula Choice of Forum peradilan di negara asing” jauh lebih banyak membawa mudarat ketimbang faedahnya, karena masalah hukum lain yang melingkupinya dapat menjadi demikian kontraproduktif.
PEMBAHASAN:
Kekhawatiran dampak negatif “choice of forum” berupa klausul yang menunjuk peradilan di luar Indonesia sebagai satu-satunya peradilan yang berwenang memutus sengketa terkait kontrak bisnis yang mengikat para pihak yang bersengketa, terdapat sebuah ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata korporasi register Nomor 2387 K/Pdt/2016 tanggal 14 Desember 2016, perkara antara:
1. Tuan Doktorandus INSMERDA LEBANG; 2. PARBULK II AS, sebagai Pemohon Kasasi I, II, semula selaku Tergugat IV juga Turut Tergugat II; melawan
- PT. HUMPUS INTERMODA TRANSPORTASI Tbk., sebagai Termohon Kasasi semula selaku Penggugat; dan
1. Tuan Doktorandus AGUS DARYANTO; 2. Tuan Insinyur BOBBY ANDHIKA; 3. Tuan JUNANDA PUTJE SYARFUAN; 4. Tuan Insinyur RUSMAN PURBA; 5. PATERNAL OWNING COMPANY LIMITED of MAJURO; 6. HERITAGE MARITIME, Ltd.SA.; sebagai Para Turut Termohon Kasasi, semula selaku dahulu Tergugat I, II, III, V, Turut Tergugat I, III.
Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III semula merupakan anggota Direksi pada Penggugat yang terlibat secara langsung dalam tindakan hukum pemberian atau penerbitan jaminan perusahaan (Corporate Guaratee) kepada dan untuk kepentingan Turut Tergugat I, berupa “Akta Garansi” tertanggal 11 Desember 2007.
Sementara itu, Tergugat IV dan Tergugat V, pada saat diterbitkannya Akta Garansi, masing-masing menjabat sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Penggugat dan secara bersama-sama bertindak sebagai Dewan Komisaris Penggugat yang menyetujui dan mensahkan pemberian jaminan perusahaan berdasarkan Akta Garansi.
Turut Tergugat I merupakan pemilik asal kapal M.V. Mahakam, yang berdasarkan Memorandum of Agreement tanggal 7 Agustus 2007, menyepakati untuk menjual M.V. Mahakam kepada Penggugat atau pihak yang ditunjuk Penggugat sebagai pembeli aktual kapal M.V. Mahakam.
Turut Tergugat II adalah : (i) pemilik kapal M.V Mahakam yang berdasarkan Memorandum of Agreement tertanggal 11 Desember 2007 membeli kapal M.V. Mahakam dari Turut Tergugat III; dan sekaligus (ii) pihak yang menyewakan kapal M.V. Mahakam kepada Turut Tergugat III berdasarkan Bareboat Charter tanggal 11 Desember 2007. Adapun Turut tergugat III adalah “cucu perusahaan (dari) Penggugat” yang menyewa kapal M.V. Mahakam dari Turut Tergugat II berdasarkan Bareboat Charter tanggal 11 Desember 2007.
Permasalahan bermula pada tanggal 11 Desember 2007, Tergugat I yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Penggugat mewakili Penggugat yang pada waktu itu terdiri dari Tergugat I sendiri, Tergugat II dan Tergugat III, telah menanda-tangani dokumen jaminan perusahaan berupa Akta Garansi untuk kepentingan Turut Tergugat III.
Berdasarkan Akta Garansi yang ditujukan kepada serta untuk kepentingan Turut Tergugat II, Tergugat I (untuk atas nama Penggugat) menyatakan secara tidak dapat ditarik kembali dan tanpa syarat menjamin kepada Turut Tergugat II tentang pembayaran secara tepat waktu dan patuh oleh Turut Tergugat III atas seluruh jumlah yang setiap saat wajib dibayar berdasarkan Bareboat Charter tanggal 11 Desember 2007, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, biaya sewa kapal, bunga kelalaian, ongkos dan pembebanan lainnya, serta menjamin pembayaran secara tepat waktu dan patuh oleh Turut Tergugat III atas setiap dan seluruh kewajiban Turut Tergugat III.
Perbuatan hukum Tergugat I (untuk dan atas nama serta mewakili Penggugat) dalam menerbitkan Akta Garansi telah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Tergugat IV dan Tergugat V, yang pada saat itu bertindak selaku Dewan Komisaris Penggugat, sebagaimana tertuang dalam keputusan Dewan Komisaris di Luar Rapat Dewan Komisaris (Circular Resolutions of the Board of Commissioners PT. Humpus Intermoda Transportasi Tbk. In Lieu of a Meeting of the Board of Commissioners) tertanggal 5 Desember 2007.
Dengan kata lain, Bareboat Charter tanggal 11 Desember 2007 pelaksanaannya dijamin oleh Akta Garansi, Turut Tergugat III berkewajiban untuk membayar kewajiban kepada Turut Tergugat II, Ongkos sewa kapal M.V Mahakam sebesar USD 38,500.00 bersih per hari selama jangka waktu 60 bulan sejak tanggal penyerahan kapal.
Pemberian Jaminan Perusahaan oleh Direksi Penggugat, dinilai Tidak Mencerminkan Tindakan Pengurusan Penggugat untuk Kepentingan Penggugat. Norma Pasal 92 Ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyebutkan bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Selanjutnya Pasal 97 Ayat (2) menyatakan, bahwa pengurusan Perseroan oleh Direksi sebagaimana dimaksud, wajib dilaksanakan oleh setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung-jawab.
Pemberian jaminan perusahaan dalam bentuk Akta Garansi yang ditanda-tangani oleh Direksi Penggugat maupun pengesahannya oleh Komisaris Penggugat, tidak mencerminkan tindakan pengurusan maupun pengawasan untuk kepentingan Penggugat, karena tanpa didasari adanya pertimbangan bisnis yang Matang, sikap kehati-hatian serta melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Para Tergugat sepatutnya mengetahui bahwa tindakan bisnis berisiko demikian dapat menimbulkan potensi kerugian terhadap Penggugat serta membahayakan eksistensi Penggugat sebagai perseroan terbuka “.tbk”. Parat Tergugat yang menerbitkan Akta Garansi demikian, akan merugikan Penggugat dan membahayakan eksistensi Penggugat sebagai perseroan terbuka karena:
i. Penerbitan Akta Garansi yang dimaksudkan untuk menjamin kewajiban pembayaran ongkos sewa kapal M.V. Mahakam secara tepat waktu oleh Turut Tergugat III kepada Turut Tergugat II, dilatar-belakangi oleh transaksi sewa kapal yang dilakukan Tergugat III tanpa mengukur kebutuhan pasar atau tanpa didukung oleh suatu transaksi sewa lain dengan pihak ketiga, sehingga kepentingan Penggugat sebagai penjamin tidak terlindungi;
ii. Penerbitan Akta Garansi dilatar-belakangi oleh transaksi pembelian kapal oleh Turut Tergugat III, diketahui harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Penggugat, mengingat nilai pembeilian kapal M.V. Mahakam yang wajib dibayar oleh Turut Tergugat III kepada Turut Tergugat I, yaitu sebesar USD 63,000,000.00 merupakan “transaksi material” bagi Penggugat yang mensyaratkan adanya persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Penggugat sebelum dilangsungkannya transaksi tersebut, hal mana dilanggar oleh Para Tergugat.
iii. Penerbitan Akta Garansi yang dilatar-belakangi oleh transaksi pembelian kapal M.V. Mahakam oleh Tergugat III, sepatutnya diketahui harus ditindak-lanjuti dengan penyampaian laporan kepada Bapepam dan Pengumuman kepada masyarakat sesuai ketentuan Pasal 86 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juncto Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-86/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik mengingat pembelian kapal M.V Mahakam oleh Tergugat III dari Tergugat I serta perolehan kontrak sewa kapal M.V. Mahakam termasuk informasi atau fakta material; dan
iv. Penerbitan Akta Garansi dilatar-belakangi oleh transaksi sewa dengan “opsi beli” yang sepatutnya diketahui overvalue, tidak layak untuk dilaksanakan dan dapat merugikan keuangan Penggugat karena total harga sewa selama Jangka Waktu Sewa ditambah dengan jumlah yang wajib dibayar dalam hal Tergugat III melaksanakan “opsi beli” adalah sebesar USD 94,550,000.00 jelas-jelas menunjukkan harga beli yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan pembelian secara langsung yaitu sebesar USD 63,000,000.00 yang didanai dari pinjaman bank atau lembaga keuangan non-bank.
Pembelian awal kapal M.V. Mahakam oleh Turut Tergugat III (selaku nominee Penggugat, membuktikan adanya intensi dari Para Tergugat semenjak awal transaksi untuk menjadikan Penggugat hanya sebagai pemilik sementara dari M.V. Mahakam. Pembelian kapal M.V. Mahakam oleh Turut Tergugat II dari Turut Tergugat III, tidaklah mungkin dilaksanakan oleh Turut Tergugat II apabila sejak awal tidak “dikonstruksikan” bahwa Turut Tergugat III akan menyewa kapal dari Turut Tergugat II dan transaksi sewa kapal tersebut tidak dijamin oleh Penggugat. Terutama, total pembayaran harga pembelian lewat skama “opsi beli” yang diluar kepatutan / kewajaran praktik bisnis sehingga jelas hanya akan merugikan kepentingan Penggugat.
Para Tergugat dengan demikian diliant telah tidak menjalankan tugas kepercayaan (fiduciary duty) yang diamanatkan oleh UUPT, tidak telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap Penggugat pada khususnya ketentuan dibidang pasar modal, serta telah melanggar asas-asas umum yang membatasi kewenangan Para Tergugat dalam melakukan tindakan hukum pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan.
Akta Jaminan Perusahaan yang diterbitkan oleh Tergugat I atas nama Penggugat didasarkan pada suatu “transaksi material” yang belum memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan, maka adalah pantas dan sudah sepatutnya apabila Jaminan Perusahaan beserta segala akibat hukum yang melekat di dalamnya dinyatakan tidak sah dan batal.
Terhadap gugatan pihak perseroan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 1485/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Mei 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
”Menimbang, bahwa penggugat dalam dalil gugatannya pada pokoknya mengaskan bahwa penggugat adalah sebuah perseroan terbuka atau perseroan publik yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia dan tunduk pada ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia dibidang pasar modal, dimana tergugat I s/d Tergugat III mantan Anggota Direksi Penggugat dan Tergugat IV dan V adalah para Komisaris yang kesemuanya terlibat dalam Penerbitan Jaminan Perusahaan sebagaimana tertuang dalam Akta Garansi tertanggal 11 Desember 2007 yang mana penerbitan Akta Garansi tersebut tanpa didasari adanya pertimbangan bisnis yang matang atau cermat dan sikap kehati-hatian serta melanggar prinsip tata kelola perseroan yang baik (good corporate governance) sehingga melanggar ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 97 (2), juncto Pasal 114 (2) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”), dan tanpa adanya persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Penggugat sebelum dilakukannya transaksi tersebut sehingga melanggar ketentuan Keputusan Ketua Pengawas Pasar Modal Nomor Kep.02/PM/2001 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama tanggal 20 Februari 2001;
”Bahwa dengan demikian Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah tidak benar-benar menjalankan pengurusan Penggugat dengan baik, penuh tanggung jawab dan itikad baik sebagaimana diamanatkan Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, sedangkan Tergugat IV dan Tergugat V tidak benar-benar menjalankan pengawasan tindakan Pengurusan Penggugat oleh Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan terbaik Penggugat sebagaimana diamanatkan Pasal 114 ayat (2) dan ayat (3) UU PT;
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Menolak Eksepsi Para Tergugat tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan para Tergugat dalam penerbitan Akta Garansi tertanggal 11 Desember 2007 tidak menjalankan tugas kepercayaan (fiduciary duty), tidak mematuhi peraturan perundang-undangan serta telah melanggar asas-asas umum yang membatasi kewenangan para Tergugat dalam melakukan tindakan hukum pengurusan dan pengawasan terhadap Perseroan (Penggugat);
3. Menyatakan Akta Garansi tertanggal 11 Desember 2007 tidak mengikat Penggugat, melainkan menjadi tanggung-jawab Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V (Para Tergugat) secara tanggung renteng;
4. Menghukum Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III (Para Turut tergugat) untuk tunduk dan taat atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Para Tergugat, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut di atas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta lewat putusannya Nomor 238/PDT/2013/PT.DKI, tanggal 17 September 2013.
Para Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Negeri di Indonesia tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini, karena para pihak sebagaimana terinci dalam Akta Garansi telah setuju / sepakat bahwa Akta Garansi harus diatur dan ditafsirkan berdasarkan hukum Inggris dan bahwa forum penyelesaian sengketa sehubungan dengan Akta Garansi adalah melalui “Pengadilan di Negara Inggris”, karenanya pengadilan lokal di Indonesia tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara gugatan perseroan di Indonesia terkait perbuatan direksi dan komisarisnya sebagaimana perkara ini.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II tersebut dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa meskipun terkait dengan pelaksanaan tugas Para Tergugat dalam menjalankan perusahaan tetapi pokok perkara a quo adalah mengenai sah-tidak sahnya Akta Garansi tanggal 11 Desember 2007 yang dibuat oleh Tergugat I, II, III sebagai Direksi Komisaris Penggugat untuk menjamin terpenuhi kewajiban Turut Tergugat III kepada Turut Tergugat II yang didalamnya (Pasal 12) memuat ketentuan mengenai forum penyelesaian sengketa sehingga eksepsi Para Tergugat dapat diterima bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo;
“Bahwa oleh karena itu putusan Judex Facti harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Tuan Doktorandus INSMERDA LEBANG dan PARBULK II AS dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 238/PDT/2013/PT.DKI, tanggal 17 September 2013 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1485 /Pdt.G/2009/PN. Jkt.Sel, tanggal 11 Mei 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi 1. Tuan Doktorandus INSMERDA LEBANG dan 2. PARBULK II AS tersebut;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 238/PDT/2013/PT.DKI, tanggal 17 September 2013 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1485/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Mei 2011;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Menerima eksepsi Tergugat I, II, III tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.