Ternyata Manusia Tidak Akan Mati karena Hanya Makan 1 (Satu) Kali per Hari, justru Bisa jadi Pola Hidup Sehat
Question: Dulu, nenek moyang kita tidak punya semacam lemari pendingin makanan, pengawet, makanan kalengan, dan sebagainya. Jika sedang tidak ada panen, maka tidak makan atau makan sejarang mungkin. Ternyata, nenek moyang kita bisa survive. Apakah betul, Buddha hanya makan 1 kali sehari, dan apakah itu bisa kita tiru juga sebagai umat manusia biasa?
Brief Answer: Nasehat paling jujur tentang menjaga kesehatan,
bukanlah makan sesering mungkin, juga bukan makan sesedikit mungkin, akan
tetapi makan sesejarang mungkin—semisal makan cukup dibatasi 2 (dua) kali
sehari atau bila sudah terlatih dan terbiasa dapat cukup makan 1 (satu) kali
dalam sehari, TANPA MENGECIL cemilan gorengan, snack, dan sebagainya. Betul
bahwa Sang Buddha dan para siswa-Nya, merujuk Sutta Pitaka, hanya makan 1
(satu) kali dalam sehari, yakni pada pagi hari.
Selebihnya, tidak makan sampai esok pagi berikutnya.
Telah ternyata, manusia modern dewasa kini pun tidak akan mati karena kelaparan
dengan menerapkan gaya atau pola makan 1 (satu) kali dalam sehari. Cobalah
untuk memulai makan maksimal 2 (dua) kali dalam sehari. Lalu berlanjut pada
tahap berikutnya, yakni makan 1 (kali) sehari selama satu dari tujuh hari dalam
seminggu, sebelum kemudian mencoba 2 (dua) hari dalam seminggu hanya memakan
makanan sebanyak 1 (satu) kali sehari, dan seterusnya. Ehipassiko,
datang dan buktikan sendiri—sebagaimana telah penulis buktikan sendiri
efektivitasnya.
Hasilnya, alih-alih jatuh sakit, kita akan mulai
merasa bugar dan tubuh terasa ringan, serta terhindar dari penyakit degeneratif
seperti diabetes, kolesterol, jantung koroner, obesitas, hipertensi, gangguan
metabolisme tubuh, gangguan pencernaan, dsb. Bagi yang telah memasuki tingkat “advance”,
dapat memulai makan 1 (satu) kali sehari untuk setiap harinya. Bahkan, ada yang
menyarankan agar mencoba untuk tidak makan sama sekali dalam hari hari untuk
satu dari tujuh hari dalam seminggu.
PEMBAHASAN:
Terdapat seorang peneliti dari
Jepang, menemukan fakta ilmiah bahwa sel-sel penyebab kanker dapat dimusnahkan oleh
tubuh kita sendiri, ketika tubuh manusia mengalami KELAPARAN. Itu terjadi
karena tubuh yang sedang kelaparan, akan memakan sel-sel dalam tubuh kita
sendiri, dimana yang akan dimakan ialah sel-sel tubuh kita sendiri dimana termasuk
juga memakan sel-sel kanker penyebab penyakit. Peneliti lain secara senada
menemukan fakta ilmiah, bahwa pertumbuhan manusia yang lambat, memperpanjang
usia hidupnya.
Dalam Buddhisme, dikenal puasa
(intermittent fasting) yang bernama Uposatha, dimana kita berlatih untuk
hanya makan pada saat matahari menyingsing terbit di pagi hari, sampai matahari
tepat di atas kepala kita, yang kurang-lebih selama 6 (enam) jam waktu untuk
makan, baik makan sebanyak 1 kali ataukah sebanyak 2 kali dalam sehari.
Selebihnya, selama 18 jam, tidak makan. Kita dapat menyebutnya sebagai 6 : 18,
alias enam jam waktu untuk makan dan 18 jam tidak makan sama sekali.
Apa yang terjadi pada
metabolisme tubuh kita, ketika kita mengistirahatkan pencernaan kita dari
proses mencerna makanan? Ketika kita menjalankan “intermittent fasting”
seperti demikian, hormon insulin dari organ pankreas tidak diproduksi sepanjang
hari, namun hanya diproduksi selama masa waktu kita makan, sehingga pencernaan
kita dapat beristirahat untuk memulihkan diri dan menjaga bakteri baik di
sistem pencernaan terutama usus kita. Ketika hormon insulin diproduksi dan
dilepaskan ke aliran darah sebagai
respon atas pencernaan yang mendeteksi adanya karbohidrat yang terkena
enzim amilase dalam air liur yang mengubah karbohidrat menjadi glukosa, ataupun
ketika adanya fruktosa dari buah ataupun pangan lainnya, maka tubuh memasuki
“mode” penyimpanan lemak ke dalam sel-sel tubuh. Alhasil, energi yang dipakai
oleh tubuh untuk bergerak dan beraktivitas, diambil dari kalori yang terkandung
dalam “massa otot”. Bila itu terus terjadi, “massa otot” kita dapat menjadi
mengecil tanpa kita sadari.
Hanya ketika hormon insulin
tidak diproduksi karena “tidak makan”, gula darah maupun kalori yang tersimpan
dalam sel-sel tubuh, dapat digunakan untuk proses pembakaran yang menghasilkan
energi bagi kita untuk beraktivitas, sehingga “massa otot” tidak terancam
mengecil. Sebaliknya, ketika kita makan 3 (tiga) kali dalam sehari atau bahkan
diselingi cemilan berupa snack, gorengan, atau “makanan ringan” lainnya,
mengakibatkan sepanjang hari sistem pencernaan kita bekerja keras, dimana
hormon insulin akan dilepaskan ke dalam tubuh sepanjang hari itu pula,
mengakibatkan terjadinya “resistensi insulin”.
Ketika terjadi “resistensi
insulin” alias insulin tidak lagi efektif mengatasi gula darah, maka malapetaka
pun bermula, dimana kita akan terkecoh seolah kekurangan gula darah meski
senyatanya selama ini berlebihan, mengalami obesitas, kolesterol tidak
terkontrol, disamping berbagai penyakit lainnya semisal “asam urat” dimana
“asam urat” bukan hanya terbentuk karena mengonsumsi bahan pangan yang
mengandung tinggi zat purin, namun bisa juga diakibatkan oleh fruktosa yang
dibentuk oleh buah-buahan tinggi gula seperti apel, jeruk, nanas, mangga.
Menurut penelitian, kontribusi pangan tinggi purin menyumbang 1/3 dari asam
urat dalam tubuh manusia, dimana 2/3 selebihnya disebabkan oleh fruktosa, yakni
gula dari senyawa buah-buahan yang kita makan dimana fruktosa dalam prosesnya
di pencernaan akan berubah menjadi asam urat penyebab inflamasi atau radang
sendi.
Cobalah untuk mengindari produk
berbasis tepung, karena tidak lagi mengandung “fiber” atau serat pangan yang
dihilangkan dalam proses produksinya agar tidak cepat membusuk. Fungsi dari
fiber, yakni memperlambat penyerapan gula dari karbohidrat yang kita konsumsi.
Banyak kalangan profesi dokter maupun ahli gizi yang menyesatkan publik, karena
mereka sejatinya merupakan marketing penuh “titipan kepentingan” dari industri
farmasi, medis, serta rumah sakit, alias punya “konflik kepentingan”. Contoh “misleading”
menyesatkan oleh sebagian besar “oknum berjemaah” berkedok seragam dokter
maupun ahli gizi, ialah nasehat sesat seperti “makan sesering mungkin, jangan
sampai lapar ataupun perut kosong, selingi dengan cemilan”. Faktanya, bukti
penelitian ilmiah berkata lain, makan harus sejarang mungkin demi menjaga
kesehatan tubuh dimana kesehatan pencernaan menjadi faktor kunci kesehatan
ekosistem tubuh secara keseluruhan.
Contoh nasehat menyesatkan dari
ahli gizi sesat, makan boleh memakan apapun, tidak perlu ada aturan makan buah terlebih
dahulu, karena semuanya akan tercampur di dalam lambung. Penelitian berkata
lain, makanlah pangan mengandung serat terlebih dahulu, sehingga serat dari
sayur ataupun buah tersebut dapat menjadi semacam “barrier” pelapis yang
melapisi sistem pencernaan usus kita agar tidak mudah menyerap gula dalam
pangan karbohidrat yang kita konsumsi. Sehingga, rumusnya ialah : makan pangan
mengandung serat terlebih dahulu seperti sayur maupun buah, kemudian makan
pangan sumber kalori, sebelum kemudian memakan pangan berbasis karbohidrat.
“Ultra proses food”
(UPF) baik yang bukan berbahan dasar tepung-tepungan (seperti roti, mie,
spageti, bakso, ayam goreng tepung) maupun yang bukan yang berbahan dasar
tepung, dapat membuat kita kecanduan namun disaat bersamaan merusak sistem
pencernaan kita secara sistemik karena mengandung bahan-bahan kimiawi yang
tidak ramah bagi sistem pencernaan tubuh, mulai dari pewarna buatan yang
efektif merusak neurotransmitter otak, pengawet, lemak, MSG, gula, garam, dan
bahan-bahan berkualitas rendah dan murahan lainnya. UPF terbukti membajak mata,
lidah, hidung, dan otak kita, dan disaat bersamaan merampas kesehatan sistem
metabolisme tubuh kita. Cobalah buktikan dengan berpuasa UPF selama setidaknya
2 minggu, maka lidah kita akan kembali sensitif dan menyukai “whole food”
semacam umbi-umbian seperti wortel, ubi ungu, ubi merah, ubi cilembu, ubi
putih, ubi jepang maupun sayur-sayuran seperti jagung, timun, dsb.
Sebenarnya, makanan-makanan
yang tampak “primitif” atau “purba” tidak bergengsi demikian, sangat menyerupai
makanan yang direkomendasikan bagi pengidap sindrom autis, yakni “whole food”.
Begitupula nenek-moyang kita, bisa hidup bahagia dan sehat semata dengan “whole
food”. Sehingga, kita tidak perlu merasa iri melihat orang atau anak lain “menikmati”
UPF—mereka sedang berenang-renang ke tepian sebelum kemudian berakit-rakit ke
hulu.
Bagaimana dengan granola yang oleh
“influencer bayaran” disebut sebagai makanan mahal namun sehat? Granola
sangat amat tinggi gula tambahan (sweetener), karenanya justru merusak
kesehatan konsumennya alih-alih menyehatkan. Bagaimana dengan minuman yogurt
maupun susu cair “segar” kemasan? Lagi dan lagi, kandungan atau komponen
utamanya ialah gula, dimana pihak produsen selaku industri minuman berpemanis
ini membuat gimmick embel-embel “sari buah” namun hanya sekian “nol koma sekian”
persen, selebihnya pewarna dan perasa sintetik. Terlebih susu kental manis,
sejatinya merupakan karamel gula yang hampir nihil kandungan susunya.
Berhati-hatilah terhadap kurma
yang oleh influencer diklaim sebagai dapat mengatasi diabetes, mengingat faktanya
kurma yang beredar di pasaran, mayoritas atau bahkan hampir seluruhnya telah
ditambahkan gula serta zat pengawet sehingga masa kadaluarsanya bisa tahunan. Terutama
kurma yang telah mengering, kurma yang telah kering daging buahnya akan kehilangan
rasa manis. Sehingga, bila Anda menemukan kurma yang telah kering namun terasa
manis, maka itu dapat dipastikan gula tambahan.
Tanpa gula tambahan sekalipun,
kurma sejatinya telah tinggi fruktosa, yang bila ditambahkan dengan gula, maka
jadilah pemicu diabetes yang efektif bagi tubuh yang memakannya. Kurma, adalah
buah. Buah yang tinggi kadar gula seperti kurma, alamiahnya cepat membusuk
sebagaimana buah lainnya. Anda patut curiga, bila ada buah yang masa
kadaluarsanya lebih dari satu bulan, terlebih bila diklaim dapat bertahan untuk
dikonsumsi selama bertahun-tahun di suhu ruang.
Buah yang direkomendasikan
untuk kita konsumsi untuk menjaga kesehatan sistem pencernaan yang menjadi
pusat dari segala metabolisme tubuh, ialah jeruk nipis dan lemon. Kini, pasaran
Indonesia terdapat beragam jenis lemon, mulai dari lemon impor, lemon
california yang telah dibudidayakan secara lokal bibitnya di Indonesia, serta
lemon lokal. Namun, seperti kata pepatah, yang manis jangan langsung ditelan dan
yang asam jangan langsung dibuang. Pertimbangkanlah kembali bila Anda berniat untuk
menambahkan madu ke cairan perasan lemon, karena mayoritas madu di pasaran
telah dicampur fruktosa yang dari segi tekstur, warna, dan rasa, sangat
menyerupai madu. Madu memang merupakan “paracetamol alami” yang dapat
menurunkan panas ketika demam, namun bila dikonsumsi setiap hari secara rutin, tetap
saja apa yang manis adalah “gula” apapun variannya baik yang alami maupun yang artifisial.
Penelitian mengungkap,
abnormalnya kadar garam dalam tubuh bukan disebabkan oleh asupan garam yang
dimasukkan ke masakan rumah kita yang kemudian disajikan ke meja makan dalam
bentuk hidangan, namun dari produk-produk “UPF”. Dalam proses produksinya,
bahan-bahan penyusun UPF diproduksi dalam mesin-mesin berbahan metal, stainless
atau besi. Alhasil, produk hasil produksi industri mengakibatkan produk mereka
bercitarasa BESI dan LOGAM. Untuk mengakalinya, produsen kemudian menambahkan
ramuan komposisi berupa gula dan GARAM dalam tingkat tinggi, dengan tujuan
menyamarkan citarasa besi dan logam dalam produk mereka.
Semua pewarna, sekalipun itu
pewarna pangan, alias bukan pewarna tekstil, telah terbukti mengakibatkan
orang-orang yang memakannya memiliki gangguan emosional hingga menjadi agresif
atau bahkan tingkat yang lebih parah ialah menjadi pemarah, tempramental, dan
dorongan untuk bunuh diri. FDA (Food and Drug Administration) di Amerika
Serikat, semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia, mengakui
bahwa pewarna makanan merusak sistem saraf manusia. Namun mereka tetap
membiarkannya beredar di pasaran akibat lobi-lobi industri makanan. Pernah
terdapat laporan penelitian yang menyebutkan, narapidana kelas berat dengan
tingkat agresivitas tinggi, ketika bahan pewarna benar-benar dieliminir dari
makanan bagi mereka di keseharian, tingkat agresivitas mereka menurun secara
dramatis.
Masyarakat di Indonesia, banyak
dicelakai oleh produk-produk berlabel “HALAL”—yang penting bukan babi. Namun,
ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” bagi KORUPTOR DOSA justru disebut “halal
lifestyle”—dimana para muslim konsumennya tidak perlu banyak berpikir kritis
dan banyak protes, dimana yang berlabel “halal” adalah halal untuk dimakan,
sekalipun itu adalah produk UPF semacam sosis ataupun bakso yang salah satu
kandungan ingredient atau bahan penyusunnya ialah “nitrit” yang terbukti
menyebabkan kanker—namun oleh pemerintah masih dibiarkan produknya beredar di
toko-toko swalayan akibat lobi-lobi industri UPF yang besar modal
kapitalisasinya.
Lalu, kaum muslim mencoba
merasionalisasi, yakni konsumsi yang “halal” serta yang “sehat”. Artinya, yang
“tidak sehat” pun adalah “halal”? Itulah, cerminan ketololan intelektual kaum
muslim. Pendosa pemalas—disebut pemalas, semata karena begitu pemalasnya mereka
untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya
di kehidupan mendatang—serta pengecut—disebut pengecut, mengingat mereka tidak
berani mengambil tanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka
sendiri—berdelusi sebagai kaum paling superior yang berhak menghakimi kaum
lainnya, sekalipun yang mereka peluk ialah “Agama DOSA”, bukan “Agama SUCI”,
mengingat mereka mempromosikan “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” alih-alih
mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa dan maksiat, alias “kasta” paling
rendah di muka bumi.
Yang konyol karena tidak
menyehatkan namun tetap terus dipraktikkan, ialah “Puasa Ramadhan”—dimana
justru makan di malam dan di subuh hari saat tubuh justru tidak bergerak,
dimana juga konsumsi justru meningkat disamping pesta-pora PENGHAPUSAN DOSA
(dosa-dosa setahun dihapuskan)—yang nyata-nyata tidak sehat akan tetapi
dipromosikan dan dikampanyekan sebagai sehat. Sehat dimanakah, apa mereka tidak
bisa lihat perut-perut buncit para kaum muslim dan muslimah disamping merusak
“standar moral” umat manusia yang berpesta-pora setelah setahun penuh
memproduksi “dosa-dosa untuk dihapuskan”, lalu minta dihormati, mengharap libur
panjang, kerja bermalas-malasan, konsumsi meningkat, menghakimi orang lain yang
buka tempat makan, premanisme minta THR?
Puasa itu sehat, betul bila
konteksnya ialah baru makan di pagi atau siang hari dan tidak makan di malam
ataupun subuh hari, namun tidak untuk “puasanya kaum butawan” bernama “puasa
ramadhan”. Dalam islam, kesemuanya terbolak-balik. Sang Buddha pernah bersabda,
apa yang oleh orang kebanyakan dipandang sebagai kenikmatan, adalah dukkha di
mata seorang Buddha. Apa yang semestinya memalukan dan tercela sehingga perlu
di-tabu-kan dan dihindari, justru dipromosikan dan dikampanyekan oleh kaum
pengecut bernama “PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA” tanpa rasa malu. Merusak
lingkungan hidup sekalipun, menjadi “halal” hukumnya, karena dosa sebesar isi
bumi pun akan dihapuskan—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan
membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya,
maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.”
- No. 4857 : “Barang
siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji
bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya
akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No. 4863 : “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam
dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4864 : “Apabila
ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya
tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii
warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku
dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4865 : “Ya
Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai
berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia
mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas
radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam,
selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni
dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun
kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau
menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak
isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku
datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]
PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral,
hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa
ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para
BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista,
dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam
keseharian lebih sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA
maupun KORUPTOR DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta
mengakui perbuatan buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih
menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka, lebih sibuk
lari dari tanggung-jawab ketimbang sibuk untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya sendiri. Tergila-gila memohon “PENGHAPUSAN DOSA”, artinya
sepanjang hidupnya kecanduan “mencetak dosa-dosa yang serupa ataupun dosa-dosa
baru lainnya” tanpa pernah jera ataupun bertobat—juga masih dikutip dari Hadis
Muslim:
- No. 4891. “Saya
pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4892. “Aku
bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang
telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No. 4893. “dari
'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca:
‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4896. “dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai
berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan,
kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]