Penjelasan Sosiokultural mengapa Indonesia Gagal Membendung Fenomena JUD! ONLINE
Alih-Alih Ditabukan dan Merasa Malu, justru Merasa Bangga,
Mempromosikan, dan Merasa Paling Superior, itulah para PENDOSAWAN Pemeluk AGAMA
DOSA
Sekolah negeri bertaburan di negeri bernama Indonesia ini, dimana setiap tahunnya APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) digelontorkan untuk pembangunan sekolah dan menggaji guru. Berbagai tempat ibadah begitu bersahut-sahutan membahanakan praktik “narsisisme” dan “norakisme”, bahkan seolah bersaing dengan gonggongan anjing warga setempat, dimana ayat-ayat mereka kumandangkan lewat pengeras suara eksternal yang masuk gelombang suaranya hingga ke dalam lubang jamban kediaman warga. Namun telah ternyata, begitu keropos dan rapuhnya fungsi dan peran guru maupun para pemuka agama kita.
Jangankan kita bicara korupsi
yang tidak kunjung berhasil diberantas secara tuntas, apakah ada dosa paling
primitif yang barhasil mereka berantas meski telah diturunkan puluhan nabi dan
rasul? Gimmick “suci”, namun disaat
bersamaan mempromosikan ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan
dosa”, sungguh dua preposisi yang saling menegasikan. Bangsa Indonesia,
merupakan bangsa yang menganggap dan memandang serta mengklaim dirinya sebagai bangsa
yang paling superior semata karena “agamais”, kerap mengumbar ayat-ayat kitab,
berbusana agamais, serba agamais, rajin beribadah, mengaku ber-Tuhan, meng-klaim
memonopoli alam surgawi, namun telah ternyata terhadap dosa-dosa dan maksiat
paling primitif semacam berjud! maupun “jud! online”, Indonesia saat kini babak
belur dan kekayaan bangsa terkuras demi memakmurkan sang bandar.
Kita belum berbicara mengenai kejahatan-kejahatan
dan maksiat-maksiat paling primitif lainnya seperti menipu, menggelapkan,
memalsukan, berzina, memperkosa, menumpahkan darah, merampok, konsumsi barang-barang
madat yang memabukkan, dan lain sebagainya, terlebih kejahatan-kejahatan modern
semacam korupsi, kartel harga, mafia tanah, kejahatan berbasis siber (cyber crime), kejahatan perbankan,
kejahatan “kerah putih”, dan lain sebagainya. Apa boleh dikata, “agamais”-nya “agamais”
apa dahulu? Bila “agamais” terhadap “Agama DOSA”, jadilah “BUAT DOSA DAN MAKSIAT, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA!”—makin “agamais”
maka semakin merasa terjamin masuk surga, maka semakin yang bersangkutan tidak
takut berbuat dosa maupun maksiat. Tubuh ditutupi dan dibalut busana dari ujung
rambut sampai ujung kaki, namun tidak memahami bahwa “berbuat jahat merupakan
AURAT TERTINGGI”. Makanannya “halal”, namun ucapan dan perilakunya penuh
kebusukan, tipu muslihat, kebohongan, pemerasan, manipulatif, dan kaya akan kekotoran
batin.
Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda, begitu intoleran. Alih-alih
meng-kampanyekan gaya hidup bersih dari dosa, yang dipromosikan justru iming-iming
ideologi korup penuh kecurangan yang bernama “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa”—sekalipun kita tahu bahwa hanya seorang pendosa,
yang butuh iming-iming kotor tercela dan dangkal demikian. Itulah sebabnya
ia disebut sebagai “Agama DOSA”, yang bersumber dari “Kitab DOSA”, namun merasa
paling superior, sebuah delusi kekanakan. Mereka, pada pendosawan tersebut,
begitu pemalas untuk menanam Karma Baik dan disaat bersamaan terlampau pengecut
untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya yang telah menyakiti,
merugikan, ataupun melukai individu-individu lainnya.
Sejatinya, “Agama DOSA”
merupakan agama yang paling rendah serta rendahan, dimana para pendosa menjadi
umatnya dan para umatnya ialah kalangan pendosawan. Di tingkat menengah, ialah “Agama
KSATRIA” dimana para ksatriawan menjadi penganutnya, para ksatria mana masih dapat
berbuat keliru sepanjang hidupnya, namun siap dan sedia selalu untuk
bertanggung-jawab terhadap setiap korbannya. Di tingkat teratas, ialah “Agama
SUCI” dimana para suciwan menjadi umatnya, yang menjalankan praktik latihan
ketat yang bernama “self control”,
alias penuh pengendalian diri dan waspada terhadap pikiran, ucapan, dan
perilaku dirinya sendiri—alih-alih lebih sibuk menghakimi urusan, perilaku, dan
keyakinan orang lain. Semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”
alias pendosawan, namun tidak semua orang sanggup menjadi seorang ksatriawan terlebih
suciwan. Dunia ini bergerak dengan hukum egalitarian alias sistem merit, bukan
politik “jilat-menjilat”. Menumpahkan darah, sepanjang menyebut-nyebut nama (versi)
Tuhan yang mereka sembah, maka menjadi “halal”. Mengatas-namakan agama, merampas
hak pengguna jalan atas jalan umum pun menjadi “halal”. Yang hebat ialah
melepaskan, agar makhluk hidup bisa selamat, bukan merampas nyawa mereka,
dimana sebaliknya kita kerap mendengar istilah “juru sembelih halal”. Bahkan menumpahkan
darah anak sendiri pun, disebut “halal”, demi ke-ego-isan sang ayah yang ingin
bersetubuh dengan puluhan bidadari (kasus Ibrahin / Abraham hendak menyembelih
anak kandungnya sendiri, Ishak / Ismail).
Apa juga yang dapat kita
harapkan dari para pemeluk ideologi-ideologi berikut, dimana para pemeluknya “judge the book by the cover” sebagai “Kitab
SUCI”—bila yang disebut “suci” seperti contoh ayat-ayat dibawah ini, maka bagaimana
dengan yang “sesat”?—antara lain dapat dicerminkan lewat ayat-ayat berikut: [alih-alih
merasa malu ataupun ditabukan, justru merasa bangga]
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia
mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak
diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah
maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan
Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume
2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan
‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat
kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan
MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Bandingkan dengan ajaran Sang
Buddha berikut, akan tampak kontras bagai “surga” Vs. “neraka” dengan ajaran-ajaran
“tidak takut dosa / maksiat” sebelumnya diatas:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang
mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
Sebaliknya, dalam “Agama DOSA”,
tingkatan pemeluknya hanyalah sebatas “pendosa level satu”, “pendosa level dua”,
dan seterusnya, atau “penjilat level satu”, penjilat level dua”, dan
seterusnya, dimana yang paling banyak diantara para pendosawan tersebut ialah “penjilat
pendosa penuh dosa level satu”, “penjilat pendosa penuh dosa level dua”, dan
seterusnya. Berkebalikan dengan itu, yang menjadi khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
154 (9) Penghormatan
“Para bhikkhu, ada tiga jenis
penghormatan ini. Apakah tiga ini? Melalui jasmani, melalui ucapan,
dan melalui pikiran. Ini adalah ketiga jenis penghormatan itu.”
155 (10) Pagi yang Baik
“Para bhikkhu, makhluk-makhluk
yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di pagi hari
memiliki pagi yang baik. Makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di sore hari memiliki sore yang baik. Dan
makhluk-makhluk itu yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan,
dan pikiran di malam hari memiliki malam yang baik.”
Sungguh menyenangkan dan
menguntungkan, fajar yang berbahagia dan terjaga dengan penuh kegembiraan,
momen berharga dan jam yang penuh kebahagiaan akan menghampiri mereka yang mempersembahkan
dana kepada mereka yang menjalani kehidupan spiritual.
Perbuatan jasmani dan ucapan yang lurus, pikiran dan
aspirasi yang lurus: ketika seseorang melakukan apa yang lurus ia akan
memperoleh manfaat yang lurus. Mereka orang-orang bahagia
yang telah memperoleh manfaat demikian akan tumbuh berkembang dalam ajaran
Buddha. Semoga engkau dan sanak saudaramu sehat dan berbahagia! [295]