Gaya Berpikir Picik, Sikap cenderung Kerdil dan Dangkal Cara Berpikirnya

Jangan seperti Katak dalam Tempurung yang Dangkal dan Kerdil Cara Berpikir maupun dalam Bersikap

Question: Mengapa di dunia ini, masih saja ada banyak manusia yang menyebalkan, seolah-olah dunia ini kekurangan orang-orang yang “toxic” maupun yang menyebalkan?

Brief Answer: Mungkin karena mereka kurang melihat dunia ini atau mungkin karena mereka justru mengikuti arus dunia ini setelah melihat arus manusia. Penting bagi kita berjumpa orang-orang hebat, agar kita mampu mengadopsi cara “berpikir besar” milik orang-orang besar, dimana kita menjadi terinspirasi dan meyakini bahwa apa yang kita impikan niscaya benar-benar dapat terwujud sebagaimana para orang-orang besar tersebut merealisasikan mimpi-mimpi mereka.

Sama halnya, kita baru akan menyadari dan mengetahui, betapa menyebalkannya diri kita, ketika kita melihat sosok cerminan diri kita sebagimana lewat sikap menyebalkan orang lain terhadap diri kita, barulah pada saat itu kita menyadari betapa menyebalkannya sikap diri kita selama ini terhadap orang lain, dimana kemudian “kecerdasan emosional” ataupun “kecerdasan sosialisasi” kita pun menjadi terasah dan kian terampil—semata karena kita melihat cerminan diri kita terpantul dari sikap menyebalkan orang lain terhadap diri kita, dimana kita menjadi tahu betapa tidak menyenangkannya berhadapan ataupun berjumpa dengan orang-orang menyebalkan dengan sikap menyebalkannya tersebut, karenanya kita pun terdorong untuk menangggalkan sikap-sikap menyebalkan demikian ketika kita berhadapan dengan orang lain.

Begitupula, kita perlu meng-kondisikan lingkungan pergaulan kita. Untuk menjadi orang baik dan suci, masuklah ke dalam lingkaran komunitas ataupun lingkungan pergaulan yang berisi orang-orang suci atau baik, dimana kita menjadi terpanggil untuk mengikuti cara hidup dan cara berpikir orang-orang baik maupun suci. Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang dungu maupun jahat, cepat atau lambat kejahatan-kejahatan atau sifat jahat mereka akan menulari dan menjangkiti cara berpikir kita. Karena itulah, meng-kondisikan serta peng-kondisian menjadi penting tanpa dapat kita remehkan dampaknya.

PEMBAHASAN:

Faktor kemungkinan pertama, ialah faktor “mengikuti arus” atau sebaliknya, “melawan arus”. Contoh-contoh kasus fenomena psikologi semacam “stockholme syndrome”, terjadi akibat korban yang justru mengikuti arus kejahatan dengan meniru atau mimikri sifat-sifat jahat para kriminil yang telah pernah menyakiti, merugikan, ataupun melukai sang korban, dimana sang korban pun dikemudian hari menjelma sebagai pelaku kejahatan serupa sekalipun sebelumnya yakni pada masa lampau dirinya notabene merupakan kalangan korban. Buddhisme, kerap mengispirasi kita untuk “melawan arus” mainstream—arus mana kerap berisi kebodohan batin—agar kita tidak terseret mengikuti arus kebodohan batin demikian:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Kini, kita beralih pada faktor kedua, yakni kurangnya melihat dunia atau kurangnya kecermatan dalam melihat fenomena sosial. Pernah terjadi, ketika penulis mengunjungi suatu rumah makan untuk membeli makanan, penulis yang baru pertama kali berkunjung hendak terlebih dahulu mengetahui menu apa saja yang tersedia dan berapa harganya. Namun alih-alih dilayani bak raja (customer is a KING), penulis justru diperintahkan berjalan masuk ke bagian dalam alih-alih pihak penjual yang merepotkan diri keluar ke bagian depan tempat usahanya untuk melayani calon konsumen. Pernah pula terjadi, ketika spion kendaraan bermotor roda dua penulis pecah di jalan akibat suatu tragedi sosial masyarakat di Indonesia yang masih sangat rasis serta kerap “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”, hal yang sama kembali terulang.

Ketika penulis sekadar bertanya, spion motor apa yang dijual oleh sang penjual pada kios di pinggir jalan, sang pemilik kios penjual spion motor tanpa mau keluar dari dalam “liang”-nya di bagian dalam kios, dengan nada melecehkan seolah memerintahkan seorang “babu”, penulis diperintahkan untuk masuk ke dalam. Memangnya konsumennya siapa, maling? Mengapa konsumen yang notabene “KING”, justru diperintahkan bak seorang “babu”? Mengapa pihak penjual yang justru memerintahkan calon konsumen? Baru jadi calon konsumen, sudah begitu dilecehkan, bagaimana jika sudah jadi konsumen?

Kita tidak perlu membiarkan diri kita dilecehkan secara tidak patut demikian, dimana kita bisa memilih untuk ber-“positive thinking” bahwa masih banyak opsi tersedia berupa tempat lain untuk kita membeli barang kebutuhan—dan benarlah, di tempat lain ternyata dijual spion lebih murah dan lebih berkualitas, dimana tempat usaha kiosnya lebih manusiawi juga pelayanannya lebih ramah. Sejak saat itulah, pengalaman tidak menyenangkan demikian menjadi bahan renungan serta introspoeksi diri bagi penulis yang notabene berprofesi sebagai penyedia jasa dibidang konseling dibidang hukum, bahkan kita harus melayani konsumen sebagaimana kita melayani atau meladeni seorang “RAJA”—jangan pernah memerintahkan ataupun melecehkan seorang “RAJA”, terlebih membuat mereka merasa tidak nyaman ataupun tersinggung, dimana kita yang harus melayani mereka alih-alih sebaliknya minta dilayani. Menjadi penting, bagi kita untuk sensitif “customers experience” ketika kita mengalami diperlakukan secara kurang menyenangkan oleh suatu pelaku usaha saat kita hendak membeli sesuatu.

Penting juga bagi kita untuk memiliki mentor yang baik dan bijaksana yang mampu memberikan kita teladan, inspirasi, petunjuk, arahan, serta jalan untuk menjadi lebih baik dan lebih sukses, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “upaya” dengan kutipan wejangan sebagai berikut:

19 (9) Penjaga Toko (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tidak tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai.”

20 (10) Penjaga Toko (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang penjaga toko mengetahui suatu barang: ‘Jika barang ini dibeli dengan harga ini dan dijual dengan harga itu, maka barang ini memerlukan modal sebesar ini dan menghasilkan keuntungan sebesar itu.’ Demikianlah seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko bertanggung jawab? Di sini, seorang penjaga toko terampil dalam membeli dan menjual barang-barang. Demikianlah seorang penjaga toko bertanggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko memiliki penyokong? Di sini, para perumah tangga dan para putra perumah tangga yang kaya, dengan kekayaan berlimpah mengenalinya sebagai berikut: ‘Penjaga toko yang baik ini memiliki mata yang tajam dan bertanggung jawab; ia mampu menyokong istri dan anak-anaknya dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’ Maka mereka menyimpan kekayaan mereka padanya, dengan berkata: ‘Setelah memperoleh kekayaan dengan ini, sahabat penjaga toko, sokonglah istri dan anak-anakmu dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’ Demikianlah seorang penjaga toko memiliki penyokong.

“Dengan memiliki ketiga faktor ini, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1) “Dan bagaimanakah, seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Demikianlah seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu bertanggung jawab? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan memperoleh kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Demikianlah seorang bhikkhu bertanggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penyokong? Di sini, dari waktu ke waktu seorang bhikkhu mendatangi para bhikkhu yang terpelajar, pewaris warisan pusaka, ahli-ahli Dhamma, ahli-ahli disiplin, ahli-ahli kerangka, dan mempertanyakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Kemudian para mulia itu mengungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang samar-samar, dan menghalau kebingungan tentang berbagai hal membingungkan. Demikianlah seorang bhikkhu memiliki penyokong.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang besar dan berlimpah.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.