SENI PIKIR & TULIS
Belajar dan Evaluasi Diri, Introspeksi Diri dalam Rangka Tidak Menjadi seorang “IGNORANT”
Proses Belajar, Evaluasi, dan Perbaikan Diri menjadi
Penting dalam Rangka Menjaga Kemanusiaan Diri
Dalam banyak kesempatan, penulis tidak bosan menyampaikan bahwa kita semua, tanpa terkecuali diri penulis secara pribadi, merupakan para makhluk yang terlahir dalam kondisi tidak rasional—sehingga anekdot anak manusia ibarat kertas yang putih bersih, hanyalah mitos belaka. Singkatnya, penulis hendak mewartakan kabar buruk bahwasannya “manusia merupakan makhluk irasional”, dimana kabar baiknya ialah kita dapat mendidik diri kita sendiri dalam rangka perbaikan diri, terutama terhadap sifat-sifat irasional yang bersemayam dalam benak kita, dengan terlebih dahulu mengidentifikasikannya sebelum kemudian meng-kondisikan kebiasaan berpikir baru yang lebih rasional.
Karenanya, kita mengenal dua
jenis budaya, yakni kultur sosial eksternal diri kita, dan juga budaya internal
yang berada dalam ekosistem pikir dalam diri kita sendiri masing-masing—yang
mana keduanya tidak luput dari sikap hidup dan cara berpikir irasional. Contoh,
di negara-negara dengan jumlah tindak kriminalitas relatif rendah, sebuah
kejadian kriminal yang tampak “sepele” di mata kita masyarakat Indonesia, akan
direspon dengan sangat sigap dan penuh keseriusan oleh aparatur berwajib.
Pernah terjadi, pada salah satu perfektur di Jepang, selama bertahun-tahun
tiada satupun laporan tindak kejahatan kriminal yang dilaporkan warga, sampai
pada akhirnya suatu hari masuk laporan dari warga setempat yang mendapatkan
ancaman berupa “surat kaleng”.
Pihak berwajib yang bertugas di
perfektur tersebut, dengan sangat serius dan penuh antusias menanggapi dan
melakukan penyelidikan secara intensif dan giat bersemangat, seolah-olah kasus
demikian merupakan peristiwa besar untuk diungkap dan dipecahkan, untuk
menemukan siapa yang telah membuat ancaman dengan “surat kaleng” dan membawanya
ke meja hijau untuk disidangkan. Telah ternyata, ketika polisi berhasil membekuk
pelakunya, ditemukan bahwa yang bersangkutan adalah seorang anak sekolahan,
sebuah kenakalan remaja (juvenile delinquency).
Proses laporan pidana segera
saja dimajukan ke tahap penuntutan di persidangan, dan menyedot perhatian
publik Jepang karena baik Jaksa Penuntut maupun pengacara Terdakwa sama-sama bertarung
argumentasi secara sengit—sementara itu bila kejadian yang sama terjadi di
Indonesia, akan bermuara pada “diversi” semata atau bahkan tidak pernah
dihiraukan oleh pihak berwajib, yang lebih besar kemungkinannya ialah tidak
akan pernah diproses untuk diselidiki terlebih dituntut untuk disidangkan.
Mengapa? Semata karena terlampau banyak dan masifnya kejahatan yang terjadi di
Indonesia, dimana lebih banyak laporan atau aduan korban pelapor yang diabaikan
/ ditelantarkan oleh pihak berwajib daripada yang diproses hingga tahap
penuntutan dan penghukuman. Jadilah, anekdot “bila tidak di-viral-kan, maka tidak akan diproses. Percuma lapor
polisi!”
Padahal, kejahatan tetap saja
kejahatan, dimana pelaku kejahatannya harus dihukum sesuai ketentuan hukum yang
berlaku, tidak dipaksakan relevansinya dengan masif atau tidaknya kejahatan
terjadi di negeri tersebut, ataupun sensasional atau tidaknya suatu peristiwa
kejahatan oleh seorang warga terhadap warga lainnya—seolah-olah yang bila
kejahatan terjadi secara masif dan berjemaah, maka kejahatan tersebut menjadi
hal yang lumrah dan lazim saja terjadinya sehingga seakan-akan tidak perlu mendapat
perhatian publik ataupun direspon untuk diproses pidana, ditangkap, dan
dihukum.
Lihat saja kejahatan-kejahatan seperti
pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, vandalisme, penganiayaan, penyerobotan,
pencurian, penipuan, kekerasan diserta ancaman senjata tajam, dan aksi
perampokan bersenjata atau kejahatan-kejahatan paling primitif sekaligus paling
biadab lainnya yang selama ini kita kenal, sangat masif terjadi di Indonesia namun
luput dari perhatian publik, sebagaimana dapat kita temukan kebenaran tersebut
dalam database putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat menjadi sumber
informasi bagi dalam mengamati barometer tingkat peradaban Bangsa Indonesia
dari tahun ke tahun, namun jarang diliput oleh media massa. Tanya mengapa?
Karena masyarakat kita sudah
jenuh dengan kekejian maupun berbagai kebiadaban yang terjadi ditengah-tengah masyarakat
kita itu sendiri, sehingga seolah sudah menjadi suatu kelaziman, kultur
(termasuk budaya korupsi yang sudah disebut banyak warga sebagai telah
membudaya mendarah-daging di Indonesia), tidak terkecuali di mata para aparatur
penegak hukum yang kian memandang sebelah mata kejahatan-kejahatan maupun
tindak kriminil semacam itu. Tidak ada habis-habisnya untuk diliput ataupun
untuk diberantas pelakunya, sekalipun fakta realita telah memperlihatkan betapa
berbagai penjara kita di Indonesia telah “overload”
dan “overcapacity” hampir 200%
kapasitas normal penghunian, disamping sudah menjadi masalah klise sejak
puluhan tahun lampau, sekalipun juga fakta realitanya lebih banyak aduan korban
pelapor yang tidak diproses dan tidak ditindak-lanjuti oleh aparatur penegak
hukum—dimana lebih banyak lagi masyarakat yang apatis ketika mendapati dirinya
menjadi korban, merasa percuma melapor kepada polisi dan disaat bersamaan kepolisian
mengklaim jumlah aduan masyarakat menurun sebagai dasar bagi mereka ketika
konferensi pers kepada media bahwa tingkat kejahatan di masyarakat Indonesia telah
menurun berkat “kerja keras polisi”.
Tetap saja, yang senantiasa dihujat
dan dikutuk oleh masyarakat kita ialah bila bukan Yahudi, maka orang Nasrani,
Barat, Cina, dan Kafir, sekalipun selama ini bangsa kita disakiti dan kerap
berulang-kali dizolimi oleh sesama anak bangsa yakni masyarakat kita itu
sendiri, dan bahkan tidak pernah mereka berjumpa dengan kaum yang setiap
harinya mereka kutuk. Begitupula sempat mendapat sorotan publik luas, kasus
terbunuhnya seorang wanita muda oleh sesama teman wanitanya, di sebuah kafe, dengan
modus memasukkan racun sianida ke dalam gelas kopi sang korban.
Kasus pembunuhan, terjadi
sepanjang tahunnya secara masif di republik “agamais namun tidak takut berbuat dosa”
ini, namun mengapa pembunuhan dengan kopi beracun sianida yang mendapat sorotan
publik seolah-olah kasus korban pembunuhan (dengan cara konvensional) lainnya tidak
kalah mengguncang dan menggembarkan sanak-keluarga korban yang ditinggal pergi
almarhum korban? Kelak, ketika modus pembunuhan dengan racun sianida telah
menjadi “tren baru”, maka efek psikologisnya pun akan senada dengan kasus-kasus
“klise” lainnya, dianggap hal yang lumrah dan sudah biasa sehingga tidak lagi
sensasional. Disini, kita bicara perihal “psikologi massa”, yang telah ternyata
berlaku atau dapat menjelaskan pula psikologi para aparatur penegak hukum yang
kian meremehkan berbagai kejahatan sekalipun itu tetap saja tercela maupun biadab
derajat kekejiannya.
Jarang atau minimnya tindak
kejahatan terjadi pada suatu negeri, penegak hukum seharusnya tetap profesional
menjalankan tugas dan kewenangan monopolistiknya untuk menegakkan hukum—dimana
jika tidak, terjadilah aksi “main hakim sendiri” oleh masyarakat yang merasa
negara lewat aparatur penegak hukumnya “tidak pernah benar-benar hadir di
tengah masyarakat”, sehingga banyak praktik preman pelaku aksi premanisme
tumbuh tubuh berkeliaran di jalan-jalan umum bak dipelihara oleh negara yang
setiap harinya meresahkan masyarakat umum, dimana seolah yang selama ini
berlaku ialah “hukum rimba jalanan”.
Adapun pemikiran irasional yang
timbul dan mencuat di benak kalangan aparatur penegak hukum di Indonesia,
merepotkan diri memberantas kejahatan di Indonesia ibarat “mati satu tumbuh
seribu”, sebuah “mission (yang) impossible” untuk dituntaskan, tetap
saja maksiat-maksiat warisan zaman purbakala tidak pernah punah dan tidak
terkendalikan di republik ini, sebagaimana halnya lembaga semacam KPK yang
merupakan akronim dari “Komisi PEMBERANTASAN Korupsi”, telah ternyata hingga
puluhan tahun usia berdirinya lembaga KPK, korupsi tetap saja tumbuh subur bak
cendawan di musim penghujan, dimana korupsi tidak benar-benar dapat diberantas,
dimana bahkan mencuat polemik dan wacana dari pihak internal KPK, bahwasannya
untuk korupsi yang nilainya tidak mencapai miliaran rupiah maka pelakunya
dibiarkan saja “bebas berkeliaran” tanpa perlu disentuh KPK dan juga tidak
perlu diproses pidana, mengingat keterbatasan sumber daya anggaran maupun
sumber daya manusia internal lembaga KPK.
Berlanjut pada irasional kedua
yang juga telah membudaya, sebuah budaya “tidak logis” dimana pihak korban
kejahatan yang dilukai sehingga terluka, merugi karena dirugikan, ataupun sakit
karena disakiti, seolah-olah adalah sebongkah mayat yang terbujur kaku atau
sebonggol kayu bisu yang hanya diperbolehkan untuk diam disakiti tanpa boleh
menjerit ataupun melakukan perlawanan, dimana masyarakat umum kita masih juga
mendiskredit korban yang menjerit sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, ataupun verbal bullying lainnya—jika itu yang
terjadi, maka para pembaca dapat menjawab dengan tanggapan sebagai berikut:
“Lucu sekali, saya selaku
korban justru Anda lecehkan, sementara itu pelaku yang telah menyakiti saya
justru Anda bela dengan tidak Anda kritik ataupun cela perbuatannya. Jika
Anda adalah seorang hakim, maka Anda adalah hakim yang sangat buruk dan tidak
punya empati, EQ, maupun ‘sense of justice’!”
Terlebih-lebih irasional,
ketika seorang pendosa mengharap memasuki alam surgawi, pendosa yang hendak
berceramah perihal hidup baik dan mulia, maupun para pelanggan tetap
iming-iming janji-janji surgawi yang “korup” semacam “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa”, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap seorang
pendosa alih-alih mendengarkan aspirasi korban dan memberikan keadilan bagi
nasib para korban dari sang pendosa. Dari kultur yang sangat tidak logis begitu
saja, kita sudah dapat menemukan fakta betapa irasional bangsa kita,
ketidak-logisan yang dijadikan hal lumrah karena sudah terlampau lazim terjadi
dalam praktik secara vulgar dan “berjemaah” di ruang publik bahkan
dikampanyekan lewat speaker pengeras suara tempat ibadah—bangga mengkampanyekan
“penghapusan dosa”, alih-alih merasa malu dan tabu.
Termasuk, ketika agama yang
mempromosikan kompromi terhadap dosa maupun maksiat, dan disaat bersamaan
mengkampanyekan intoleransi terhadap kaum yang berbeda keyakinan, dikemas
dengan merek “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”—alih-alih
menyebutnya secara apa adanya sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab
DOSA”. Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming penuh kecurangan
semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Hanya mereka
yang masih bersikukuh dengan irasionalitas dalam dirinya dan juga melekatinya,
yang masih menjadi pelanggan setia ideologi penuh kecurangan demikian, yang
mana “too good to be true”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.