Mahkamah Agung RI dapat Mengamputasi Norma Undang-Undang lewat PRESEDEN, Uji Materiil ‘Terselubung’, Penerapan Prinsip ‘Law in Concreto’

LEGAL OPINION
Question: Apakah untuk bisa dianulirnya seuatu ketentuan hukum dalam suatu undang-undang, hanya bisa lewat uji materiil ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?
Brief Answer: Tidak juga, bahkan Mahkamah Agung RI kerap kali membatalkan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan—bahkan norma hukum sebuah undang-undang—lewat praktik peradilan yang membentuk semacam “pendirian hakim” dalam praktik peradilan berdasarkan paradigma “law in concreto” (sebagai lawan kata dari “law in abstrakto” norma undang-undang) guna rasionalisasi terhadap norma peraturan perundang-undangan yang dinilai dapat mengandung muatan moral hazard bila diterapkan atau bila dibiarkan berlarut-larut tanpa intervensi “pembentukan hukum nasional” melalui pembentukan “preseden” itu sendiri.
Salah satu norma hukum yang pernah di-intervensi hakim lewat praktik peradilan maupun di Mahkamah Agung RI, ialah ketentuan norma hukum Pasal 102 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berikut:
1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan, yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.
4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.
Norma hukum pada Pasal 102 Ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut di atas ternyata dalam praktik peradilan (preseden), telah diamputasi keberlakuannya, sekalipun belum pernah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan norma hukum dalam undang-undang tersebut adalah inkonstitusional sehingga dalam Lembaran Negara dinyatakan batal serta tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Karenanya, bila memang suatu warga negara memiliki alasan yuridis yang kuat serta tidak terbantahkan, tidak selalu “uji materiil” menjadi hambatan, karena dapat diatasi lewat gugatan perdata yang disusun secara “logis” dan relevan dalil-dalil atau alasan dan cara berpikirnya agar dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim baik pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung RI.
Karenanya, mempelajari “hukum” akan sangat jauh berbeda dengan mempelajari “undang-undang” belaka. Akan sangat berbahaya, jika kita hanya mengandalkan bunyi undang-undang belaka semata. Tanpa menguasai preseden, bunyi perundang-undangan dapat menjelma “menyesatkan” dan bahkan mampu “mengecoh”.
Hukum bersifat konkret, dimana “konteks” terdapatnya hanya pada preseden praktik peradilan, sementara Undang-Undang banyak dapat kita jumpai kaedah / norma yang ambigu, “tekstual” semata, kerapkali banyak terdapat norma yang tidak relevan bahkan tidak efektif dalam penerapannya, serta juga banyak “celah hukum” yang ternyata tidak jarang telah diisi oleh praktik peradilan (preseden) itu sendiri.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah bukti konkret bagaimana Mahkamah Agung dalam praktik peradilan (preseden) memiliki kewenangan (berdasarkan “best practice”) mengamputasi norma hukum dalam peraturan perundang-undangan (sekalipun itu norma dalam undang-undang), sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa korporasi register Nomor 1150 K/Pdt/2015 tanggal 27 Agustus 2015, perkara antara:
1. ISMERDA LEBANG, sebagai Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat IV;
2. DOKTORANDUS AGUS DARYANTO, INSINYUR BOBBY ANDHIKA, JUANDA PUTJE SYARFUAN, sebagai Para Pemohon Kasasi II dahulu selaku Tergugat I, II, III; melawan
- HANJIN OVERSEAS BULK LIMITED, sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Inggris, sebagai Pemohon Kasasi III dahulu selaku Turut Tergugat II;
- PT. HUMPUS INTERMODA TRANSPORTASI, Tbk., selaku Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat; dan
- KHAIRIANSYAH SALMAN, sebagai Turut Termohon Kasasi I dahulu selaku Tergugat V;
- MATERNAL OWNING COMPANY LIMITED, sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Marshall Islands, selaku Turut Termohon Kasasi II dahulu sebagai Turut Tergugat I;
- BULK INVESMENT 1 Inc., sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan Hukum Panama, sebagai Turut Termohon Kasasi III dahulu selaku  Turut Tergugat III;
- GENUINE MARITIME, Ltd. S.A., sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Panama, sebagai Turut Termohon Kasasi IV dahulu sebagai Turut Tergugat IV.
Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III merupakan para mantan anggota direksi pada Penggugat yang terlibat secara langsung dalam tindakan hukum pemberian atau penerbitan “jaminan perusahaan” (Corporate Guarantee) kepada dan untuk kepentingan Turut Tergugat II, sebagaimana tertuang dalam dua buah Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008.
Adapun Tergugat IV dan Tergugat V, yang pada saat diterbitkannya “jaminan perusahaan” dimaksud di atas, masing-masing secara berturut-turut menjabat sebagai komisaris utama dan komisaris pada Penggugat dan secara bersama-sama bertindak sebagai dewan komisaris yang telah menyetujui dan mensahkan pemberian “jaminan perusahaan” dimaksud.
Turut Tergugat I adalah pemilik asal kapal M.V. Barito (dahulu bernama M.V. Lanzarote) yang berdasarkan Memorandum of Agreement tertanggal 13 Maret 2008, menjual M.V. Barito kepada Turut Tergugat III. Singkatnya, berdasarkan Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 yang ditujukan kepada dan untuk kepentingan Turut Tergugat II, Tergugat I (untuk dan atas nama serta mewakili Penggugat) menyatakan bahwa atas permintaan Turut Tergugat I dan pada saat kapan pun ketika nilai tanggungan dibawah USD10,000,000.00 menyediakan kepada Turut Tergugat I tambahan jaminan dengan ditanda-tanganinya Letter of Undertaking.
Perbuatan hukum Tergugat I yang mengataskan-namakan serta mewakili Penggugat dalam menerbitkan “jaminan perusahaan” (Corporate Guarantee) memang telah disetujui dan disahkan oleh Tergugat IV dan Tergugat V, yang pada saat itu keduanya menjabat sebagai Dewan Komisaris pada Penggugat, persetujuan mana tertuang dalam keputusan Dewan Komisaris secara sirkulair (Circular Resolutions of The Board of Commissioners PT. Humpuss Intermoda Transportasi, Tbk. tertanggal 18 Juni 2008).
Berdasarkan Bare Boat Charter Contract tertanggal 29 Maret 2008 yang pelaksanaannya dijamin oleh Corporate Guarantee dimaksud, Turut Tergugat IV berkewajiban untuk membayar kepada Turut Tergugat II atau penggantinya, yang dalam hal ini adalah Turut Tergugat III, sewa kapal M.V. Barito sebesar USD37,500 per hari selama jangka waktu 1.826 hari atau 5 tahun yang merupakan masa waktu sewa, serta pembayaran final harga pembelian kapal M.V. Barito pada akhir jangka waktu sewa sebesar USD25,300,000.00.
Menurut pihak Penggugat, penerbitan Corporate Guarantee oleh direksi dan pengesahannya oleh komisaris, merupakan tindakan, pengurusan, dan pengawasan yang dilakukan Para Tergugat tanpa didasari adanya pertimbangan bisnis yang cermat dan memadai, terutama sikap kehati-hatian karena tidak melakukan kalkulasi yang matang, sehingga melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Karenanya, menurut pendirian Penggugat, tindakan penjaminan demikian tidaklah dapat dibenarkan menurut hukum karena patut diduga tidak dilandasi oleh suatu iktikad baik, telah melanggar asas kepatutan berusaha serta prinsip tata kelola perusahaan yang baik, mengingat berdasarkan norma Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kewenangan bertindak direksi dalam menjalankan kepengurusan suatu perseroan terbatas dan kewenangan bertindak dewan komisaris dalam menjalankan kepengawasan suatu perseroan terbatas selain tunduk pada ketentuan Undang-Undang maupun Anggaran Dasar perseroan, menurut hukum tunduk pula pada asas iktikad baik (te goeder trouw), asas, disamping prinsip tata kelola perseroan yang baik.
Para Tergugat sepatutnya mengetahui bahwa manuver bisnis yang berimplikasi ikatan hukum demikian, dapat menimbulkan kerugian terhadap Penggugat dan membahayakan eksistensi Penggugat yang notabene merupakan perseroan terbuka.
Tergugat I yang pada saat itu menjabat sebagai direktur utama Penggugat mewakili direksi, Tergugat II dan Tergugat III sepatutnya mengetahui bahwa pemberian Corporate Guarantee demikian dapat dipastikan akan merugikan Penggugat dan membahayakan keberlangsungan hidup perusahaan, karena didasarkan pada pertimbangan bisnis yang tidak matang, terindikasi dari selain harga yang tidak wajar untuk sebuah harga sewa dengan “hak opsi” demikian, penerbitan Corporate Guarantee sepatutnya diketahui serta harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham selaku Rrgan Perseroan, mengingat nilai pembelian kapal. M.V. Barito yang wajib dibayar oleh Turut Tergugat IV kepada Turut Tergugat II atau penggantinya, yaitu sebesar USD65,000,000 merupakan “transaksi material” yang mensyaratkan adanya persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham sebelum dilangsungkannya perikatan demikian, namun dilanggar oleh Para Tergugat.
Penerbitan Corporate Guarantee dilatar-belakangi oleh transaksi sewa-beli kapal M.V. Barito berdasarkan Bare Boat Charter Contract tertanggal 29 Maret 2008 yang sepatutnya diketahui oleh pebisnis profesional manapun sebagai “over value”, tidak layak, sehingga berpotensi merugikan keadaan finansial perseroan karena total harga sewa dan harga pembelian kapal M.V. Barito yang wajib dibayar oleh Turut Tergugat IV dan dijamin oleh Penggugat adalah mencapai sebesar USD93,775,000—sehingga jelas-jelas menunjukkan adanya selisih nilai yang signifikan jika dibandingkan dengan pembelian secara langsung tanpa sewa yaitu hanya senilai USD65,000,000.
Karenanya, manuver bisnis demikian menjadi tampak kontras dan tidak wajar dalam dunia bisnis yang menekankan kalkulasi untung dan rugi—terlebih nilainya terpaut jauh sekali jika memilih opsi membeli langsung dari awal tanpa “hak opsi” layaknya “sewa-beli”. Tindakan Para Tergugat seolah justru mencari rugi, alih-alih mencari untung bagi perseroan. Praktik bisnis menekankan best practice dunia niaga, dimana kalkulasi untung-rugi selalu menjadi tumpuan utamanya. Tidak melakukan kalkulasi dapat disamakan dengan kesalahan berat dalam dunia niaga.
Tergugat I hingga Tergugat III selaku para mantan direksi dinilai tidak benar-benar menjalankan pengurusan Penggugat dengan baik, penuh tanggung jawab, serta iktikad baik sebagaimana diamanatkan norma Pasal 97 ayat (2) UU PT, karena tindakan kepengurusan perseroan oleh para mantan direksi ternyata tidak untuk kepentingan terbaik perseroan karena tidak wajar dalam menerapkan strategi bisnis.
Begitupula Tergugat IV dan Tergugat V yang merupakan mantan Komisaris, tidak benar-benar menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana tugas utamanya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 114 ayat (2) UU PT. Singkatnya, Para Tergugat tidak menjaga kepercayaan (fiduciary duty) yang diberikan oleh para pemegang saham perseroan, terutama telah “dilangkahinya” kewenangan prerogatif RUPS untuk menyetujui ataupun menolak suatu Corporate Guarantee demikian—sehingga bersifat “ultra vires” alias melampaui kewenangannya.
Mengingat Corporate Guarantee yang diterbitkan oleh Tergugat I atas nama perseroan didasarkan pada suatu transaksi esensial yang belum memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka adalah sudah sepatutnya apabila Corporate Guarantee demikian beserta segala akibat hukum yang melekat terhadapnya, dinyatakan tidak sah dan batal dimana selanjutnya menjadi tanggung-jawab pribadi Para Tergugat untuk menanggungnya secara renteng.
Sementara itu pihak Tergugat dalam sanggahannya mendalilkan, Pengadilan Indonesia tidak berwenang mengadili perkara ini, mengingat kontrak Sales and BBC Back Agreement (SBBC) tertanggal 7 Maret 2008, salah satunya telah mengatur tentang “Governing Law And Arbitration”, maupun Bare Boat Charter Contract (BBC) tertanggal 29 Maret 2008, serta sesuai dengan kedua dokumen Letter of Undertaking (LOU) tertanggal 17 Juni 2008, telah ditegaskan bahwa baik SBBC, BBC maupun LOI tersebut berlaku dan tunduk pada hukum Negara Inggris, serta terhadap segala perselisihan yang timbul dari atau terkait dengan BBC tersebut diselesaikan melalui arbitrase di London.
Untuk itu pihak Tergugat mengutip ketentuan SBBC tertanggal 7 Maret 2008, Article XI , telah mengatur : “This Agreement shall be construed and the relations between parties determined in accordance with the laws of England and any dispute arising out of this agreement shall be referred to arbitration in London.”
Begitupula perikatan dalam BBC tertanggal 29 Maret 2008, Bagian 11  mengatur : “This contract shall be governed by and construed in accordance with English Law and any dispute arising out of or in connection with this contract shall be referred to arbitration in London.”
Senada dengan itu, pada bagian akhir LOU telah tegas diatur dan disepakati : “This letter shall be governed by and construed in accordance with English Law.”
Dari berbagai perjanjian di atas, bahwasannya hukum Negara Inggris yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian demikian, dimana lembaga arbitrase di London telah dipilih dan disepakati para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul sebagai akibat dan atau terkait dengan perikatan perdata diantara para pihak. Karenanya Pengadilan Negeri di Indonesia tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara gugatan pembatalan perjanjian Corporate Guarantee ini.
Menurut asas pacta sunt servanda yang berlaku universal, ketika para pihak dalam perjanjian telah sepakat memilih forum penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lokal maupun asing, maka Pengadilan Negeri lokal di Indonesia tidak memiliki “Kompetensi Absolut” untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang terjadi terkait pelaksanaan perjanjian dimaksud, sebagaimana telah secara tegas diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa : “Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Terhadap gugatan pihak Perseroan terhadap mantan direksi dan komisarisnya tersebut di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk itu memberikan putusannya sebagaimana register perkara Nomor 1354/PDT.G/2009/PN.JKT.SEL. tanggal 10 Agustus 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas maka telah terbukti secara jelas dan nyata bahwa Para Tergugat dalam rangka penerbitan 2 (dua) buah Letter of Undertaking, keduanya tertanggal 17 Juni 2008 tidak menjalankan kewajiban fidusia (fiduciary duty) dalam pengurusan perseroan Penggugat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 97 Ayat (1) dan (2) UUPT, serta tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini ketentuan dibidang pasar modal;
“Menimbang, bahwa terhadap petitum nomor 3, Majelis Hakim mempertimbangkan oleh karena terbukti Para Tergugat dalam rangka penerbitan 2 (dua) buah Letter of Undertaking, keduanya tertanggal 17 Juni 2008 tidak benar-benar menjalankan pengurusan Penggugat dengan baik, penuh tanggung jawab dan iktikad baik maka menurut ketentuan Pasal 97 (3) UUPT dan Pasal 114 (3) UUPT, setiap anggota direksi / anggota komisaris bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apa bila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
“Dengan demikian kedua Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 tersebut tidak mengikat bagi Penggugat dan menjadi tanggung jawab Para Tergugat secara tanggung renteng, oleh karena itu petitum agar menyatakan tidak sah dan batal kedua Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 tersebut tidak dapat dikabulkan, namun memenuhi permintaan agar dijatuhkan putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono) dapatlah dikabulkan dengan perubahan redaksional yang pada pokoknya menyatakan kedua Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 menjadi tanggung jawab Para Tergugat secara tanggung renteng;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Annual Report Laporan Tahunan 2008 Penggugat (surat bukti P-11) diperoleh fakta bahwa dalam laporan keuangan pada asset tetap (fixed asset) sebagai asset sewa kapal senilai Rp725.985.000.000,00 (setara dengan USD66.300.000 apabila dihitung kurs 1 USD = Rp10.950), dibandingkan dengan ekuitas Penggugat per 31 Desember 2008 sebesar Rp1.606.165.568.000,00 maka dapat disimpulkan nilai pembelian aktiva tetap tersebut lebih besar dari 20% (atau kurang lebih 40%) dari ekuitas Penggugat, dengan demikian tunduk pada ketentuan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-02/PM/2001 tanggal 20 Februari 2001 artinya tindakan Para Tergugat menandatangani Transaksi Sale & BBC Back Agreement tanggal 29 Maret 2008 dan menerbitkan kedua letter of undertaking tanggal 17 Juni 2008 tersebut wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham dari Perseroan (Penggugat);
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
- Menyatakan Para Tergugat dalam penerbitan kedua Letter of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 tidak menjalankan tugas kepercayaan (fiduciary duty), tidak mematuhi peraturan perundang-undangan serta telah melanggar asas-asas umum yang membatasi kewenangan Para Tergugat dalam melakukan tindakan hukum pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan (Penggugat);
- Menyatakan kedua Letter Of Undertaking tertanggal 17 Juni 2008 tidak mengikat Penggugat, selanjutnya menjadi tanggung jawab Para Tergugat secara tanggung renteng.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I, II, III, IV, dan Turut Tergugat II, putusan Pengadilan Negeri di atas ternyata dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 225/PDT/2012/PT.DKI tanggal 27 September 2012.
Sang mantan direksi dan komisaris mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan mengenai tindakan hukum pemberian jaminan perusahaan (corporate guarantee) kepada dan untuk kepentingan pihak lain. Sang komisaris untuk mengutip ketentuan norma Pasal 114 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyebutkan:
”Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. Telah melakukan pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b. Tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian, dan;
c. Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”
Ditambahkan oleh sang mantan Dewan Komisaris, pengurus maupun pengawas tidak dapat dipertanggung-jawabkan, mengingat dalam perkara ini kerugian sebagaimana tuduhan Penggugat adalah belum nyata eksistensinya, dimana Penggugat hanya mengklaim “berpotensi merugi”. Sementara pihak mantan direksi mendalilkan ketentuan Pasal 97 ayat (5) huruf b Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pengadilan menilai bahwa transaksi yang dilakukan Para Tergugat termasuk kategori “transaksi material” yang wajib memperoleh persetujuan RUPS karena transaksi tersebut merupakan transaksi pembelian, dimana Keputusan RUPS perseroan tidak memberikan persetujuan secara specific untuk pembelian secara sewa beli kapal MV. Barito.
Para mantan direksi mendalilkan, Anggaran Dasar perseroan per tanggal 30 Mei 2008 mengatur, penerbitan jaminan perusahaan hanya memerlukan persetujuan dari Dewan Komisaris, dengan kutipan : “Direksi berhak mewakili perseroan ... serta menjalankan segala tindakan, baik yang mengenai kepengurusan maupun kepemilikan, akan tetapi dengan pembatasan bahwa untuk : ... b. meminjamkan uang Perseroan atau mengikat Perseroan sebagai penjamin, harus dengan persetujuan tertulis dari dan atau akta yang bersangkutan turut ditanda-tangani oleh Dewan Komisaris.” Dewan Komisaris telah meng-ACC niat Direksi, dimana Anggaran Dasar tidak mensyaratkan persetujuan RUPS, dimana UU PT selalu menegaskan, “kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar”.
Seolah hendak berkelit dari tanggung jawab, maka dimanfaatkan alibi untuk “berlindung” berdasarkan Pasal 102 (1) dan (4) UU PT, perbuatan hukum tertentu oleh Direksi harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari RUPS. Perbuatan ini termasuk, antara lain, menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Namun demikian, tanpa persetujuan RUPS, perbuatan tersebut tetap mengikat Perseroan.
Para mantan direksi dan komisaris merasa berkeberatan terhadap pertimbangan hukum pengadilan yang menyatakan bahwa kedua perjanjian Corporate Guarantee tidak mengikat perseroan karena ketiadaan dari persetujuan RUPS terlebih dahulu dalam pembuatannya. Sebagaimana telah diatur secara tegas oleh Pasal 102 UU PT, perjanjian penjaminan tetap mengikat perseroan, karenanya kewajiban-kewajiban perseroan berdasarkan perjanjian Corporate Guarantee demikian tidak dapat dialihkan kepada Para Tergugat.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal ... dan jawaban memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa penerbitan 2 LoU adalah termasuk dalam transaksi material sehingga wajib memerlukan persetujuan RUPS. RUPS luar biasa yang diadakan bukan secara spesifik memberi persetujuan untuk pembelian secara sewa beli kapal MV. Barito;
“Bahwa tindakan Tergugat I mewakili direksi yaitu menerbitkan 2 LoU tanggal 17 Juni 2008 tanpa melalui RUPS, dan keputusan dewan komisaris dalam rapat dewan komisaris tanggal 18 Juni 2008, isinya menyetujui dan mengesahkan tindakan Tergugat I menerbitkan kedua LoU, adalah tidak menjalankan tugas kepercayaan (fiduciary duty) sebagaimana yang diamanatkan Pasal 97 dan 114 Undang-Undang Perseroan Terbatas dan tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan dibidang pasar modal;
“Bahwa akibat kesalahan dari direksi dan komisaris tersebut, maka yang bersangkutan secara pribadi bersama-sama dan tanggung renteng bertanggung jawab atas kedua LoU tersebut, sehingga putusan Judex Facti bukan merupakan ultra petita karena hal itu merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 dan Pasal 114 Undang-Undang Perseroan terbatas;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Pemohon Kasasi I: Tuan Ismerda Lebang, Para Pemohon Kasasi II: Tuan Doktorandus Agus Daryanto, dan kawan-kawan, dan Pemohon Kasasi III : Hanjin Overseas Bulk Limited tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Tuan ISMERDA LEBANG, Para Pemohon Kasasi II: 1. TUAN DOKTORANDUS AGUS DARYANTO, 2. Tuan INSINYUR BOBBY ANDHIKA, 3. Tuan JUANDA PUTJE SYARFUAN, dan Pemohon Kasasi III : HANJIN OVERSEAS BULK LIMITED tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.