Sertifikat BPN Vs.Surat Keterangan Tanah Kepala Desa, Ambiguitas Sistem Pertanahan Nasional akibat Dualistis Rezim Pendaftaran

LEGAL OPINION
Question: Ini bagaimana bisa terjadi, sudah punya SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), tapi bisa ada terbit surat keterangan tanah dari kantor desa untuk orang lain yang menerangkan bahwa tanah itu atas nama orang lain itu? Mengapa bisa ada kesan seolah ada dua lembaga berbeda yang berwenang menetapkan siapa pemilik tanah, antara BPN dan kepala desa?
Brief Answer: Permasalahan hukum pertanahan di Indonesia, berakar pada sistem pendaftaran tanah masih bersifat dualistis, dalam artian Buku Daftar Tanah Girik (tanah adat) di pegang oleh Lurah atau Kepada Desa (yang juga berfungsi untuk dokumentasi tertib retribusi daerah berupa Pajak Bumi dan Bangunan), sementara pendaftaran tanah berdasarkan Undang-Undang tentang Pokok Agraria (UUPA) berada di Kantor Pertanahan. Hendak kita ingat, bahwa tanah Girik juga merupakan hak atas tanah yang bersertifikat, yakni Sertifikat Tanah Girik—hal penting untuk SHIETRA & PARTNERS kemukakan agar tidak ambigu dalam memaknai istilah sumir “sertifikat”.
Kendala tidak dapat dihindari, ketika manajemen dokumentasi secara terpisah demikian tidak sinkron satu sama lain. Dalam artian, diatas tanah Girik yang dikonversi atau dikuatkan menjadi Sertifikat hak atas tanah seperti SHM, SHGB, SGHU, atau Hak Pakai, maka masing-masing instansi saling berjalan sendiri—antara Kantor Kepala Desa dan Kantor Pertanahan.
Karena tiada sinkronisasi, dapat terjadi “masing-masing” seolah berjalan sendiri-sendiri. Pihak Kepala Desa menyatakan suatu bidang tanah atas nama kepemilikan seorang warga, namun Kantor Pertanahan menyatakan bidang tanah bersangkutan telah diterbitkan Sertifikat hak atas tanah dari Kantor Pertanahan—sehingga terjadilah titik persinggungan berupa sengketa pertanahan, yang mana masing-masing memiliki sertifikatnya sendiri.
Kita tidak dapat mengatakan SHM akan atau harus selalu dimenangkan, ketika dihadapkan pada Sertifikat Girik yang overlaping kepemilikannya. Karena bagaimana pun catatan pada Buku Tanah Desa menjadi landasan paling awal bagi Kantor Pertanahan untuk memproses dan mem-verifikasi permohonan pendaftaran hak atas tanah sebelum terbit SHM, SHGB, SHGU, dsb. Sengketa pertanahan kerap terjadi akibat mal-administrasi Kantor Pertanahan yang secara serta-merta mengamputasi catatan dalam Data Yuridis maupun Data Fisik pada Buku Tanah di Kantor Desa.
PEMBAHASAN:
Kompleksitas sifat dokumentasi secara dualistis demikian akan tampak secara kasat mata, lewat representatif sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Sampit sengketa tanah register Nomor 04/Pdt.G/2012/PN.Spt. tanggal 24 Oktober 2012, perkara antara:
- SARANA PRIMA MULTI NIAGA, sebagai Penggugat; melawan
- 9 orang warga, selaku Para Tergugat.
Dimana terhadapnya gugat-menggugat para pihak yang saling mengkalim sebagai pemilik bidang tanah yang paling berhak, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan dalil-dalil kedua belah pihak terdapat fakta hukum yang tidak perlu dibuktikan lagi yang diakui baik oleh Penggugat maupun para Tergugat yakni:
1. Bahwa benar tanah obyek sengketa adalah merupakan bahagian dari sertifikat HGU atas nama tergugat yaitu nomor ... tanggal 15 Mei 2006;
2. Bahwa sebagian tanah obyek sengketa oleh pihak tergugat sudah ditanami dengan tanaman sawit yang saat ini sudah berumur kira-kira 6 (enam) tahun;
3. Bahwa tanah obyek sengketa yang sudah ditanami sawit oleh pihak tergugat tersebut saat ini dalam keadaan vakum dan tidak ada perawatan baik dari pihak penggugat maupun pihak para tergugat, sehingga buah sawit dibiarkan rusak;
4. Bahwa benar tanah obyek sengketa adalah masuk dalam wilayah desa Seluncing;
5. Bahwa desa Seluncing baru terbentuk pada tahun 2010;
“Menimbang, bahwa setelah majelis hakim mempelajari dengan seksama seluruh berkas perkara yang menjadi inti pokok gugatan Penggugat adalah:
1. Apakah benar Penggugat berhak terhadap objek sengketa dalam perkara ini?
2. Apakah perbuatan para Tergugat menguasai objek sengketa a quo adalah perbuatan melawan hukum?
“Menimbang, bahwa dari bukti surat P-1, dikaitkan dengan bukti P-1 A, P-2, P-3 PT. SPMN / penggugat telah mendapatkan Sertifikat Hak Guna Usaha seluas 7.114,17 Ha yang terletak di Desa / Kelurahan Pelantaran, Pundu dan Bajarau Kecamatan Cempaga Hulu dan Parenggean Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah;
“Menimbang, bahwa dari keterangan ahli Jamaludin prosedur untuk mendapatkan Sertifikat Hak Guna Usaha adalah secara berurutan harus terlebih dahulu ada Ijin-ijin yang mendahuluinya yaitu : 1. Prinsip dari Bupati, 2. Ijin Lokasi dari Bupati dan 3. Kadasteral;
“Menimbang, bahwa kemudian baru diajukan Permohonan HGU yang ditujukan kepada Kanwil BPN, atas permohonan HGU tersebut kemudian dibentuk tim panitia B yang bertugas untuk memeriksa dokumen serta menilai apakah layak atau tidak suatu permohonan HGU dikabulkan;
“Menimbang, bahwa apabila panitia B dalam menilai dokumen belum yakin maka akan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) yang mempunyai tugas melakukan pendataan terhadap tanah-tanah yang dimohonkan HGU-nya, menginventarisasi dan memverifikasi data-data, kemudian Satgas memberikan kesimpulannya apakah permohonan Hak Guna Usaha layak diberikan atau tidak, berdasarkan laporan Satgas tersebut apabila dianggap layak dan dilaporkan ke Panitia B, maka BPN atas rekomendasi Panitia B menerbitkan SK Kepala BPN Pusat tentang Hak Guna Usaha, yang kemudian SK tersebut didaftarkan ke BPN setempat dan diterbitkan Sertifikat Hak Guna Usaha;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1, P-1 A, P-2 dan P-3 dihubungkan dengan keterangan ahli ternyata perolehan hak atas tanah atas nama penggugat adalah sudah melalui mekanisme dan prosedur yang benar;
“Menimbang, bahwa dari bukti P-3 yaitu SK Kepala BPN tentang Pemberian Hak Guna Usaha atas nama penggugat pada bagian konsideran huruf c disebutkan terdapat tanah seluas 62,95 Ha yaitu milik Junaidi, terlihat dalam peta kadastrel terdapat pada blok A seluas 25,12 ha dan blok B seluas 37,83 ha;
“Menimbang, bahwa dari bukti P-6 tentang Hasil Laporan Pemeriksaan dan Pendataan / Inventarisasi Serta Survey Pemetaan Penggunaan Tanah Pada Lokasi Permohonan Hak Guna Usaha Atas Nama PT. SPMN yang dilakukan oleh kanwil Badan pertanahan propinsi kalteng disebutkan bahwa pada lokasi tanah yang dimohonkan oleh PT. SPMN, tanah garapan yang dikuasai oleh Junaidi seluas + 25 Ha;
“Menimbang, bahwa dari bukti P-7 Berita Acara Pengembalian Batas a/n Junaidi, bahwa tanah milik Junaidi seluas + 25 Ha di lokasi PT. SPMN telah di-enclave (dikeluarkan dari lahan PT. SPMN), hal mana sesuai dengan hasil pemeriksaan setempat (PS) ternyata terhadap tanah di blok A seluas 25,12 ha oleh pihak penggugat sudah dikeluarkan / enclave dari HGU nomor 6 tahun 2006 dan sampai sekarang masih dikuasai oleh pemiliknya yaitu tergugat;
“Menimbang, bahwa dari keterangan ahli Jamaludin tanah Junaidi yang di inclave sebagaimana konsideran huruf c SK kepala BPN yakni seluas 62,95 Ha terdiri dari blok A seluas + 25 Ha dan blok B seluas 37,83 Ha, kedua blok tersebut sesuai dengan peta hasil kadestral letaknya tidak merupakan satu hamparan akan tetapi berlokasi di tempat yang terpisah, dalam bukti P-2/T.I-VI peta bidang tanah, letak tanah Junaidi yang di inclave ada pada keterangan huruf A (+ 25 Ha) dan huruf B (+ 37,83 Ha);
“Menimbang, bahwa dari pemeriksaan setempat terhadap objek perkara yang dilakukan oleh Majelis Hakim, objek yang dijadikan sengketa dalam perkara ini sebagaimana dalam surat gugatan Penggugat sesuai dengan hasil pemeriksaan setempat baik tempat maupun ukurannya, demikian juga menurut versi para Tergugat;
“Menimbang, bahwa para Tergugat mengajukan bukti surat yang bertanda T.I-1, ... dan T.VI-1 yang semuanya berupa Surat Keterangan Pernyataan Tanah yang terletak di wilayah PT. SPNM Desa Selucing, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah tertanggal 25 Agustus 2010 yang diketahui oleh Kepala Desa Selucing dan Camat Cempaga Hulu;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Wim RK Benung yang dihadirkan Kuasa para Tergugat, saksi tersebut adalah Camat Cempaga Hulu yang pada saat itu menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Tanah sebagimana bukti bertanda T.I-1, ... dan T.VI-1, bahwa saksi menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Tanah tersebut semata-mata ingin melindungi hak masyarakat dan di kantor kecamatan tidak ada data-data tentang kepemilikannya maka saksi berani menandatanganinya;
“Menimbang, bahwa apabila diteliti bukti T.I-1, ... dan T.VI-1 dengan teliti ternyata dalam berita acara pemeriksaan tanah pada masing-masing bukti tersebut tidak semua pemilik tanah yang berbatasan menanda-tangani dalam berita acara hasil pemeriksaan tanah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi WIN RK BENONG (saksi tergugat) menyatakan bahwa apabila ada berita acara pemeriksaan tanah tidak ditanda-tangani oleh pemilik tanah yang berbatasan maka saksi tidak akan menandatangi SKT-nya;
“Menimbang, bahwa saksi Wim RK Benung menerangkan bahwa saksi mengetahui ada permasalahan antara penggugat dengan tergugat berupa klaim dari Junaidi di wilayah PT. SPMN tahun 2006 dan puncaknya pada tahun 2009 dimana Junaidi tidak diperbolehkan oleh PT. SPMN memanen di lokasi yang diklaimnya tersebut, bahkan saksi selaku Camat saat itu berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memberi beberapa opsi, namun tidak tercapai kesepakatan;
“Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Wim RK Benung (camat cempaga hulu) diatas dihubungkan dengan dengan bukti surat bertanda T.I-1, ... dan T.VI-1 ternyata saksi Wim RK Benung sebenarnya telah mengetahui adanya sengketa tanah antara Junaidi dengan PT. SPNM di wilayah PT. SPNM sejak tahun 2006 bahkan saksi ada mempertemukan kedua pihak yang bersengketa pada tahun 2009, ketika masih belum ada penyelesaian mengenai masalah antara penggugat dengan tergugat tersebut saksi pada tahun 2010 menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Tanah yang dibuat oleh Junaidi dkk yaitu berupa T.I-1, ... dan T.VI-1;
“Menimbang, bahwa saksi Wim RK Benung berani menandatangani surat berupa bukti T.I-1, ... dan T.VI-1 oleh karena di kantor kecamatan Cempaga Hulu tidak ada dokumen mengenai status tanah HGU atas nama penggugat juga oleh karena keinginan untuk melindungi hak-hak masyarakat yang tanahnya digarap oleh pihak penggugat;
“Menimbang, bahwa terhadap surat bukti–surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak tersebut maka akan diuji bukti manakah yang lebih kuat, yaitu sebagai berikut;
“Menimbang, bahwa pihak penggugat telah mengajukan bukti sertifikat HGU nomor ... tahun 2006 (bukti P-1) sebagai dasar penguasaan terhadap tanah obyek sengketa, sedangkan pihak para tergugat telah mengajukan bukti surat keterangan penguasaan tanah sebagai bukti kepemilikan (T.I-1, ... dan T.VI-1);
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan UUPA Pasal 16 ayat (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) ialah :
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan.
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 32:
1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
“Menimbang, bahwa surat keterangan tanah sesuai dengan yurisprudensi mahkamah agung RI nomor : 907 K/Sip/1972 tgl. 20-8-1975 ‘keterangan keputusan Kepala Desa Andir tanggal 9 Oktober 1968 yang dikuatkan oleh Camat, I.P.D. tanggal 3 Desember 1966 No. 282/18, peta form 32 A/41O/69 tanggal 10 Oktober 1968 dan peta tanggal 24 April; bukan merupakan akta autentik seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang.’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal Pasal 16 ayat (1)  an 31 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 907 K/Sip/1972. tgl. 20-8-1975 tersebut jelas bahwa sertifikat HGU bukti P-1 adalah merupakan bukti kepemilikan sempurna, sedangkan surat keterangan tanah berupa bukti T.I-1, ... dan T.VI-1 adalah bukan merupakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa apabila di konfrotir antara bukti P-1 dengan bukti T.I-1, ... dan T.VI-1 apabila dilihat tahun penerbitannya maka terlihat bahwa bukti P-1 yang merupakan landasan hak penggugat terbit tahun 2006 sedangkan bukti T.I-1, ... dan T.VI-1 terbit tahun 2010, sehingga jelas bahwa bukti P-1 terbit terlebih dahulu;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka oleh karena telah ternyata tanah obyek sengketa adalah merupakan bagian dari areal sebagaimana dalam sertifikat HGU atas nama Penggugat nomor 6 tahun 2006, maka penggugat adalah yang berhak atas tanah obyek sengketa sehingga Penggugat dapat membuktikan inti pokok gugatan dalam poin ke-1;
“Menimbang, bahwa pengertian perbuatan melawan hukum undang-undang tidak memberikan definisi. Perbuatan melawan hukum pada awalnya didefinisikan sebagai perbuatan yang melawan hukum dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi sejak adanya Arrest HIR 1919 yaitu dalam kasus Lindebaum VS Cohen pengertian perbuatan melawan hukum mengalami pergeseran, dimana pengertian perbuatan melawan hukum diartikan suatu perbuatan yang walaupun tidak bertentangan dengan undang-undang sudah dianggap melawan hukum apabila ternyata bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat;
“Menimbang, bahwa dalam perkembangannya menurut doktrin dan Yurisprudensi bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPerdata apabila perbuatan tersebut memenuhi salah satu kriteria atau unsur sebagai berikut:
- Perbuatan tersebut melanggar hak subyektif orang lain; atau
- Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau
- Melanggar kesusilaan; atau
- Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, sikap hatihati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama warga.
“Menimbang, bahwa oleh karena bersifat alternatif, maka suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum, apabila salah satu dari keempat kriteria tersebut terpenuhi oleh suatu perbuatan;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim bertitik tolak dari doktrin dan yurisprudensi tersebut diatas selanjutnya akan dipertimbangkan apakah perbuatan pihak Tergugat, yang menguasai tanah obyek sengketa dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau tidak;
“Menimbang, bahwa karena objek sengketa dalam perkara ini pada saat ini dikuasai oleh para Tergugat, sedangkan pada pembuktian inti pokok gugatan poin ke 1 Penggugat berhasil membuktikannya, maka penguasaan objek sengketa oleh para Tergugat adalah merupakan ‘perbuatan melawan hukum’;
“Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat pada petitum poin ke-3 karena inti pokok gugatan dapat dibuktikan, maka petitum ini dapat dikabulkan karenanya terhadap objek sengketa a quo harus dinyatakan Penggugat sebagai pemegang hak;
“Menimbang, bahwa terhadap petitum gugatan para Penggugat pada poin ke-4 karena objek sengketa telah dinyatakan Penggugat sebagai pemegang hak, maka tuntutan agar para Tergugat dihukum menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan kosong untuk dapat dikuasai dan diusahai secara bebas tanpa suatu halangan berupa apapun sebagai pemegang Hak Guna Usaha yang sah, dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa terhadap petitum gugatan para Penggugat poin ke-5 karena Penggugat dinyatakan sebagai pemegang hak yang sahm, maka tuntutan perjanjian jual-beli tanah terperkara antara Tergugat I dengan Tergugat VIII dan Tergugat IX atau pihak ketiga yang mendapat hak daru para Tergugat adalah tidak sah dan batal demi, hukum dapat dikabulkan;
“Menimbang, terhadap petitum poin ke-7, karena tanah terperkara telah dinyatakan bahwa Penggugat sebagai pemegang hak, maka tuntutan agar seluruh surat-surat yang berkaitan dengan tanah terperkara yang diterbitkan dan dimiliki oleh para Tergugat atau pihak ketiga yang memperoleh hak dari para Tergugat, adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum dapat dikabulkan;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad);
3. Menyatakan tanah terperkara seluas 67,86 Ha beserta tanaman kelapa sawit diatasnya yang menjadi sengketa, adalah Hak Guna Usaha yang sah dan milik dari Penggugat yang terletak di ... dengan batas-batas : ... , adalah sah HGU Penggugat sebagaimana disebut pada posita 3 (tiga) gugatan, merupakan bagian dari sertifikat HGU Nomor 34 tanggal 07 Juli 2006 atas nama pemegang hak / Penggugat (in casu PT. Sarana Prima Multi Niaga);
4. Menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan kosong untuk dapat dikuasasi dan diusahai secara bebas tanpa suatu halangan berupa apapun sebagai pemegang Hak Guna Usaha yang sah;
5. Menyatakan perjanjian jual beli tanah terperkara antara Tergugat I dengan Tergugat VIII dan Tergugat IX atau pihak ketiga yang mendapat hak dari Para Tergugat, adalah tidak sah dan batal demi hukum;
6. Menyatakan seluruh surat-surat yang berkaitan dengan tanah terperkara yang diterbitkan dan dimiliki oleh Para Tergugat atau pihak ketiga yang memperoleh hak dari Para Tergugat, adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum;
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.