Bila Anda konsisten mendukung “HUKUM MATI KORUPTOR!”, maka Anda pun harus mendukung “HUKUM MATI KORUPTOR DOSA!”

Agama Samawi Membuat Umatnya RENTAN, Tanpa Pulau Pelindung Apapun

Cara Membangun PULAU PERLINDUNGAN DIRI Tempat Kita Mengamankan Diri Kita

Question: Dalam ajaran Agama Buddha, disebutkan bahwa kita perlu membangun “pulau pelindung diri”. Seperti apakah yang dimaksud dengan “pulau pelindung diri” itu?

Brief Answer: Yang dimaksud dengan pulau perlindungan diri, ialah suatu upaya membangun kondisi dimana kita mengumpulkan “modal hidup” berupa menanam banyak perbuatan bajik, menghindari perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksanawan, serta berlatih memurnikan pikiran lewat praktek disiplin-diri yang ketat bernama “self-control”. Ketika ada seseorang menyakiti orang baik ataupun orang yang masih dapat berbuat keliru namun siap-berani bertanggung-jawab kepada korban—terlebih orang suci—maka bagaikan bumerang, buah Karma Buruknya dapat sangat fatal.

Semisal, melukai Sang Buddha yang telah suci sempurna, Devadatta terjeblos ke alam neraka. Sebaliknya, orang-orang dengan moralitas rendah dan dangkal, yang sepanjang hidupnya rajin mengoleksi perbuatan-perbuatan jahat, produktif dalam hal perilaku tercela, sikap yang tidak bertanggung-jawab, indera-indera yang tidak terkontrol, maka ketika mereka pada gilirannya dilukai, disakiti, ataupun dirugikan oleh orang lain, maka orang yang menjahati sang orang jahat hanya akan mendapatkan buah Karma Buruk yang sangat minim. Itulah mengapa, orang jahat menjadi sangat rentan, tanpa perlindungan apapun.

Sehingga, moralitas ibarat ladang. Moralitas yang baik, umpama ladang yang subur, dimana sebutir biji mangga dapat bertumbuh menjadi pohon mangga yang subur dan berbuah lebat (eksponensial). Sebaliknya, moralitas yang buruk, umpama ladang yang tandus, sukar untuk menanam benih apapun agar tumbuh di atasnya. Memberi kebaikan kepada orang suci, buah Karma Baiknya sangat luar biasa besar. Sebaliknya, memberi kepada orang jahat, buah Karma Baiknya bahkan bisa jadi lebih sedikit daripada memberi makan seekor anjing. Itulah sebabnya, hanya orang dungu yang tanpa takut atau bahkan dengan merasa senang, menyakiti orang baik. Sebaliknya, adalah delusi ketika orang jahat merasa dirinya berhak atas keadilan maupun perlindungan.

PEMBAHASAN:

Tiada yang lebih damai, hidup sebagai “siswa Kebaikan”, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

54 (1) Tidak Dinyatakan

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [68] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, mengapakah keragu-raguan itu tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan?”

[Kitab Komentar : Hal-hal yang tidak dinyatakan (abyākatavatthūni) adalah sepuluh persoalan yang tidak dinyatakan oleh Sang Buddha: apakah dunia adalah kekal atau tidak kekal, apakah dunia adalah terbatas atau tidak terbatas, apakah prinsip-kehidupan sama dengan jasmani atau berbeda, dan empat alternatif sehubungan dengan status Sang Tathāgata setelah kematian.]

“Dengan lenyapnya pandangan-pandangan, bhikkhu, keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

(1) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan.

“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

“Mengetahui demikian, bhikkhu, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

(2) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan ketagihan … (3) … ini [69] melibatkan persepsi … (4) … suatu anggapan … (5) … proliferasi … (6) melibatkan kemelekatan … (7) … [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan; atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan.

“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan. [70]

“Bhikkhu, ini adalah mengapa keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.”

Sebaliknya, dogma atau ajaran yang justru mempromosikan kemelekatan pada kekotoran batin berikut, menjadikan umat pemeluknya menjadi riskan ketika menjadi korban kejahatan, dimana si pelaku kejahatan pun menjadi berhak untuk menikmati serta mencandu “PENGHAPUSAN DOSA”. Sebagaimana pepatah telah mengatakan : yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Merampas hak-hak korban atas keadilan, maka ketika giliran yang bersangkutan disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh pihak lain, pihak lain tersebut pun berhak untuk merampas hak-hak sang pendosawan atas keadilan—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Tidak diragukan lagi, sang “nabi rasul Allah” berikut adalah “RAJANYA PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA”, karenanya baik moralitas maupun karakternya amat sangat bobrok dan beracun serusak-rusaknya manusia, karenanya mengeksekusi mati “KORUPTOR DOSA” semacam ini akan sangat minim buah Karma Buruknya, bahkan dapat membawa kedamaian bagi semesta bila “manusia toxic” demikian dilenyapkan untuk selamanya. Bila Anda konsisten mendukung “HUKUM MATI KORUPTOR!”, maka Anda pun harus mendukung “HUKUM MATI KORUPTOR DOSA!”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]