Agama Samawi Membuat Umatnya RENTAN, Tanpa Pulau Pelindung Apapun
Cara Membangun PULAU PERLINDUNGAN DIRI
Tempat Kita Mengamankan Diri Kita
Question: Dalam ajaran Agama Buddha, disebutkan bahwa kita perlu membangun “pulau pelindung diri”. Seperti apakah yang dimaksud dengan “pulau pelindung diri” itu?
Brief Answer: Yang dimaksud dengan pulau perlindungan diri,
ialah suatu upaya membangun kondisi dimana kita mengumpulkan “modal hidup”
berupa menanam banyak perbuatan bajik, menghindari perbuatan buruk yang dapat dicela
oleh para bijaksanawan, serta berlatih memurnikan pikiran lewat praktek
disiplin-diri yang ketat bernama “self-control”. Ketika ada seseorang menyakiti
orang baik ataupun orang yang masih dapat berbuat keliru namun siap-berani
bertanggung-jawab kepada korban—terlebih orang suci—maka bagaikan bumerang, buah
Karma Buruknya dapat sangat fatal.
Semisal, melukai Sang Buddha yang telah suci
sempurna, Devadatta terjeblos ke alam neraka. Sebaliknya, orang-orang dengan
moralitas rendah dan dangkal, yang sepanjang hidupnya rajin mengoleksi perbuatan-perbuatan
jahat, produktif dalam hal perilaku tercela, sikap yang tidak
bertanggung-jawab, indera-indera yang tidak terkontrol, maka ketika mereka pada
gilirannya dilukai, disakiti, ataupun dirugikan oleh orang lain, maka orang
yang menjahati sang orang jahat hanya akan mendapatkan buah Karma Buruk yang
sangat minim. Itulah mengapa, orang jahat menjadi sangat rentan, tanpa perlindungan
apapun.
Sehingga, moralitas ibarat ladang. Moralitas yang
baik, umpama ladang yang subur, dimana sebutir biji mangga dapat bertumbuh
menjadi pohon mangga yang subur dan berbuah lebat (eksponensial). Sebaliknya,
moralitas yang buruk, umpama ladang yang tandus, sukar untuk menanam benih
apapun agar tumbuh di atasnya. Memberi kebaikan kepada orang suci, buah Karma
Baiknya sangat luar biasa besar. Sebaliknya, memberi kepada orang jahat, buah
Karma Baiknya bahkan bisa jadi lebih sedikit daripada memberi makan seekor
anjing. Itulah sebabnya, hanya orang dungu yang tanpa takut atau bahkan dengan merasa
senang, menyakiti orang baik. Sebaliknya, adalah delusi ketika orang jahat
merasa dirinya berhak atas keadilan maupun perlindungan.
PEMBAHASAN:
Tiada yang lebih damai, hidup sebagai “siswa Kebaikan”,
sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
54 (1) Tidak Dinyatakan
Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud
kepada Beliau, [68] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, mengapakah keragu-raguan
itu tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal
yang tidak dinyatakan?”
[Kitab Komentar : Hal-hal yang
tidak dinyatakan (abyākatavatthūni) adalah sepuluh persoalan yang tidak
dinyatakan oleh Sang Buddha: apakah dunia adalah kekal atau tidak kekal, apakah
dunia adalah terbatas atau tidak terbatas, apakah prinsip-kehidupan sama dengan
jasmani atau berbeda, dan empat alternatif sehubungan dengan status Sang Tathāgata
setelah kematian.]
“Dengan lenyapnya pandangan-pandangan, bhikkhu,
keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan
hal-hal yang tidak dinyatakan.
(1) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini
melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan
pandangan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini
melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada
setelah kematian’: ini melibatkan pandangan.
“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak
memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.
Baginya, pandangan itu meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari
usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan
kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar
memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju
lenyapnya. Baginya, pandangan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran,
dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan
kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia
yang terpelajar tidak menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau:
‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga
tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan
tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia
yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak
dinyatakan.
“Mengetahui demikian, bhikkhu, melihat demikian,
siswa mulia yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak
takut sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.
(2) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini
melibatkan ketagihan … (3) … ini [69] melibatkan persepsi … (4) … suatu
anggapan … (5) … proliferasi … (6) melibatkan kemelekatan …
(7) … [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’:
ini adalah [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga
tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan; atau
‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini
adalah [landasan bagi] penyesalan.
“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak
memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya,
penyesalan itu meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua
dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan;
ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar
memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu
berkurang. Ia terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari
dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari
penderitaan, Aku katakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia
yang terpelajar tidak menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau:
‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga
tidak ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan
tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia
yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak
dinyatakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia
yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut
sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan. [70]
“Bhikkhu, ini adalah mengapa keragu-raguan tidak
muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.”
Sebaliknya, dogma atau ajaran
yang justru mempromosikan kemelekatan pada kekotoran batin berikut, menjadikan
umat pemeluknya menjadi riskan ketika menjadi korban kejahatan, dimana si
pelaku kejahatan pun menjadi berhak untuk menikmati serta mencandu “PENGHAPUSAN
DOSA”. Sebagaimana pepatah telah mengatakan : yang hidup dari pedang, akan mati
karena pedang. Merampas hak-hak korban atas keadilan, maka ketika giliran yang bersangkutan
disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh pihak lain, pihak lain tersebut pun
berhak untuk merampas hak-hak sang pendosawan atas keadilan—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan
membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya,
maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.”
- No. 4857 : “Barang
siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji
bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya
akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No. 4863 : “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam
dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4864 : “Apabila
ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya
tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii
warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku
dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4865 : “Ya
Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai
berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia
mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas
radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam,
selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni
dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun
kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau
menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak
isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku
datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]
PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral,
hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa
ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para
BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista,
dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Tidak diragukan lagi, sang “nabi
rasul Allah” berikut adalah “RAJANYA PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA”,
karenanya baik moralitas maupun karakternya amat sangat bobrok dan beracun
serusak-rusaknya manusia, karenanya mengeksekusi mati “KORUPTOR DOSA” semacam
ini akan sangat minim buah Karma Buruknya, bahkan dapat membawa kedamaian bagi
semesta bila “manusia toxic” demikian dilenyapkan untuk selamanya. Bila Anda
konsisten mendukung “HUKUM MATI KORUPTOR!”, maka Anda pun harus mendukung “HUKUM
MATI KORUPTOR DOSA!”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No. 4891. “Saya
pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4892. “Aku
bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang
telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No. 4893. “dari
'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca:
‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4896. “dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai
berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan,
kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]