Sebaiknya Pilih Leasing ataukah Kredit Kendaraan Bermotor

LEGAL OPINION
Question: Perusahaan kami bergerak dibidang alat-alat berat. Untuk memenuhi kebutuhan alat-alat berat untuk operasional kantor, sebaiknya perusahaan kami memakai leasing atau kredit ke bank?
Brief Answer: Dari segi praktik bisnis maupun regulasi yang ada, jangan pernah menggunakan layanan jasa perusahaan leasing (lessor), namun sebaiknya menggunakan fasilitas “Kredit Kendaraan Bermotor” (ataupun alat berat) yang ditawarkan perbankan dengan ikatan Fidusia. Ketika kita mencampur-aduk pilihan bisnis untuk menyewa atau menjadi pemilik dengan kredit, yang terjadi ialah kerancuan lembaga leasing yang cenderung “menjebak” dan “menjerat” dengan iming-iming “hak opsi” yang semu sifatnya.
PEMBAHASAN:
Perlu kita pahami, terdapat perbedaan konsepsi yuridis secara kontras antara “sewa guna usaha” (leasing) terhadap kredit barang-barang modal seperti antara lain kendaraan maupun alat-alat berat yang menjadi faktor produksi dari debitor maupun pihak lessee (pihak penyewa objek leasing). Yang dalam hal ini perlu dipahami ialah perbedaan konsepsi dalam hal kepemilikan objek benda bergerak.
Bila dalam kredit kepemilikan kendaraan bermotor maupun alat berat dan barang-barang produksi lainnya yang bersifat bergerak, perbankan selaku lembaga keuangan berkedudukan selaku kreditor sekaligus pemegang ikatan jaminan Fidusia terhadap objek barang yang diberikan kredit, sementara pihak debitor telah efektif sebagai pemilik objek kredit (sehingga objek Fidusia telah atas nama debitor bersangkutan), hanya saja objek barang bergerak dipercayakan untuk dipegang dan dikelola sebagai faktor produksi pihak debitor meski statusnya sebagai agunan / jaminan pelunasan piutang.
Konsekuensi dari kepemilikan objek Fidusia, ialah dimiliki oleh pihak debitor, maka ketika debitor mengalami kredit macet, wanprestasi, pailit, atau menunggak dan segala bentuk cidera janji lainnya, maka pihak kreditor pemberi kredit tidak dapat secara sekehendak hati menjual objek benda bergerak secara “dibawah tangan” dan juga tidak dapat dengan harga sekehendak hati pihak kreditor, namun terikat oleh prosedur eksekusi Fidusia yang disaat bersamaan memberi perlindungan hukum bagi pihak debitor tereksekusi—dimana lelang eksekusi harus bersifat prosedur formil sebagaimana aturan perihal lelang eksekusi di hadapan umum serta kaedah-kaedah dalam Undang-Undang Fidusia itu sendiri.
Sebaliknya, dalam konstruksi hukum leasing, yang sebenarnya terjadi hanyalah “sewa-menyewa dengan hak opsi untuk membeli diakhir periode sewa”. Oleh karena itulah, leasing dikenal juga dengan istilah sebagai “sewa guna usaha”, alias sekadar sebatas “sewa-menyewa”. Konsekuensinya, karena hubungan hukum yang terjalin hanya sebatas “sewa-menyewa”, maka pihak pengguna jasa leasing hanya berposisi selaku “penyewa”, bukan sebagai pemilik objek benda bergerak tersebut.
Karena perusahaan leasing berposisi sebagai pemilik objek benda sewa, maka pihak lessor tidak memiliki kewajiban untuk mengikat objek benda bergerak yang disewakan dengan jaminan ikatan Fidusia, sehingga pengawasannya menjadi tidak seketat lembaga Fidusia dalam hal eksekusinya. Konsekuensi yuridis dibalik itu, tiada perlindungan hukum bagi pihak pengguna jasa (konsumen sewa-menyewa objek benda bergerak) ini.
Sewaktu-waktu pihak lessor dapat menarik objek barang bergerak secara paksa dan sepihak dari tangan lessee, karena memang bukan atas nama kepemilikan pihak pengguna jasa sewa, dan setelah itu menjualnya dengan harga yang sangat rendah secara “dibawah tangan”—serta dengan nominal penjualan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak lessor tanpa harus dilakukan di pelelangan umum.
Alhasil, tagihan terhadap pihak konsumen pengguna jasa sewa guna usaha (leasing) menjadi membengkak, sementara harga jual “dibawah tangan” yang dilakukan oleh pihak lessor demikian rendah, modus yang terjadi selanjutnya ialah mempailitkan pihak penyewa (pengguna jasa leasing), dengan alasan hutang-piutang tidak tertagih dan masih terdapat tunggakan yang tertunggak meski objek benda bergerak telah dijual sendiri secara sepihak oleh perusahaan leasing secara “dibawah tangan” dengan harga “banting harga”.
Bagi korporasi yang bergerak dibidang alat-alat berat, transportasi, maupun permesinan dan produksi yang menggunakan alat-alat produksi benda bergerak, hendaknya memperhatikan betul perbedaan konsepsi serta konsekuensi hukum dibalik kedua lembaga tersebut diatas, karena praktik-praktik di lapangan memperlihatkan kecenderungan kerugian yang sangat rentan terjadi terhadap konsumen jasa leasing, ketimbang kredit perbankan.
Bila Anda memang hanya berniat menyewa, maka lakukanlah perbuatan hukum “menyewa”, jangan memaksakan diri menjadi konsumen jasa “sewa guna usaha”, dengan konsekuensinya ketika masa sewa berakhir, segera kembalikan objek sewa, dan ketika tidak lagi sanggup membayar biaya sewa, segera kembalikan objek sewa sehingga tidak akan timbul istilah “kreditor” dan “debitor” terhadap konsumen jasa sewa yang menunggak biaya sewa atau bahkan tetap menggunakan objek sewa meski belum membayar perpanjangan masa sewa.
Bila tujuannya ialah memang untuk memiliki objek benda bergerak yang menjadi faktor produksi perusahaan, maka opsi kredit yang ditawarkan lembaga keuangan, adalah solusi yang paling ideal, dengan bersedia melakukan perikatan Fidusia, maka baik pihak kreditor maupun pihak debitor sama-sama saling mendapat perlindungan hukum.
Perjanjian Sewa Guna usaha (leasing), cenderung “mengecoh” secara psikologis. Sebagai contoh, ketika terjadi keadaan “menunggak” (alias tidak membayar biaya sewa bulanan sebagaimana rincian dalam perjanjian), karena konsumen lembaga pembiayaan merasa memiliki kesan sebagai “pemilik” objek leasing (alias “terkecoh”), maka dirinya akan tetap menguasai dan menggunakan objek leasing. Alhasil, pihak perusahaan leasing seketika berkedudukan sebagai kreditor karena memiliki hak tagih. Pada titik itulah “jebakan mental” bermula.
Atau ketika terjadi kerusakan pada mesin, maka konsumen tidak dapat meminta untuk mengganti objek sewa kepada perusahaan pemilik objek sewa guna usaha, dan harus tetap dibebani untuk membayar biaya leasing bulanan, karena terikat oleh perjanjian leasing demikian meski objek leasing dalam kondisi tidak dapat dipakai.
Akan sangat berbeda dengan konstruksi sewa-menyewa murni, dimana biasanya biaya sewa dibayar dimuka, yang mana akan berakhir tanpa perlu dipaksakan pihak manapun ketika masa sewa berakhir dan tiada biaya perpanjangan masa sewa yang disepakati dan dibayar dimuka. Mengakhiri perjanjian sewa jauh lebih mudah daripada perjanjian sewa guna usaha yang cenderung menyandera pihak lessee.
Dengan demikian pihak konsumen tidak akan terjerumus menjelma menjadi “debitor” yang bahkan serta-merta dapat dipailitkan, sebagaimana kerap terjadi dalam praktik akibat nilai jual “dibawah tangan” secara sepihak oleh pihak perusahaan leasing yang ditetapkan sangat rendah, tidak mampu menutupi total tunggakan sang konsumen lembaga pembiayaan.
Hal lainnya yang juga jarang diketahui masyarakat umum, menjadi konsumen jasa sewa-menyewa “murni” dapat mengajukan sengketa ke hadapan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen setempat sebagai lembaga penyelesai sengketa konsumen. Namun sebagai konsumen jasa lembaga pembiayaan maupun lembaga keuangan, tidak dapat diajukan ke hadapan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, namun ke hadapan Pengadilan Negeri sebagai Kompetensi Absolutnya.
Kecurangan terbesar lembaga pembiayaan, yakni modus menarik objek leasing ketika dinyatakan lessee telah menunggak, lalu menjualnya “dibawah tangan” secara sepihak oleh pihak perusahaan leasing, setelah itu membebani pihak lessee sejumlah biaya leasing hingga masa Perjanjian Leasing berakhir, meski sejatinya pihak lessee sudah tidak lagi dapat menggunakan objek sewa yang telah dijual oleh pihak lessor dengan harga sangat rendah.
Modus yang sudah kerap terjadi di lapangan demikian sebagaimana pengalaman SHIETRA & PARTNERS, salah satunya dicerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sengketa pembiayaan register Nomor 154/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. tanggal 28 Nopember 2012, perkara antara:
- PT. ORIX INDONESIA FINANCE, sebagai Penggugat; melawan
- Para Pengurus CV. ARIEF NUSA RAYA, selaku Tergugat.
Dalam perkara ini, pihak perusahaan leasing (lessor) yang justru menggugat pihak lessee, menuntut agar sang lessee membayar seluruh masa sewa hingga akhir masa perjanjian—meski, ditengah perjalanannya ketika pihak lessee menunggak biaya sewa bulanan, pihak lessor menarik secara sepihak objek leasing, menjualnya secara sepihak “dibawah tangan” dengan harga sepihak, namun harga jual tersebut yang dibawah nilai kontrak leasing membuat pihak lessor merasa berhak untuk menggugat sang lessee.
Adapun bantahan pihak lessee (selaku Tergugat dalam perkara ini), kedudukan pihak lessee hanya sebagai penyewa kendaraan sebagaimana tertuang secara jelas dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha : “Bahwa atas permintaan Lesse, Lessor menyetujui untuk membeli Kendaraan serta menyewakan Kendaraan kepada Lessee secara sewa guna usaha dengan hak opsi bagi Lessee dan Lesse setuju untuk menyewa dari Lessor secara sewa guna usaha dengan hak opsi berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan Perjanjian ini.”
Karena itu menjadi tidak logis apabila ternyata Penggugat telah menjual barang miliknya sendiri, atas inisiatifnya sendiri dengan harga jual yang ditentukannya sendiri kemudian membebankan kerugian kepada Tergugat. Penggugat telah menjual objek barang sewa guna usaha dengan harga yang sama atas barang yang berbeda.
Tergugat telah membayar biaya sewa kendaraan sesuai dengan penggunaannya, dan ada keterlambatan pembayaran sewa kendaraan, yang menyebabkan Penggugat melakukan penarikan kendaraan, baik penyerahan sukarela dari Tergugat, maupun pengambilan paksa. Walaupun tidak ada Akta Fidusia, dalam prosesnya pun Tergugat, tidak menghalangi Penggugat dalam usahanya melakukan penarikan objek barang sewa guna usaha karena memang objek Kendaraan tersebut milik Penggugat.
Sebagaimana ternyata diakui sendiri oleh pihak Penggugat selaku lessor, objek sewa guna usaha telah dijual secara “dibawah tangan” (onderhands) atau tanpa lelang (public auction) oleh Penggugat, saat Tergugat terlambat membayar angsuran sewa, sehingga upaya tersebut sepihak dan disinyalir kental nuansa rekayasa.
Kondisi objek sewa guna usaha selama dimanfaatkan oleh Tergugat (lessee) cukup layak dan produktif. Andaikata benar dan wajar upaya penarikan / penjualan dimaksud oleh Penggugat dan harga penjualan sebesar Rp 50.000.000,- untuk setiap unit truk, dengan ditariknya objek sewa guna usaha dari tangan Tergugat, maka kewajiban Tergugat selaku lessee atas obyek barang, beralih menjadi kewajiban dan tanggung-jawab Penggugat, sehingga resiko ekonomis atas obyek dimaksud ada pada Penggugat sejak diambil-alih.
Menjadi absurd, bila pembebanan kewajiban atas barang objek kendaraan yang telah ditarik dan dijual oleh Penggugat sehingga tidak lagi dapat digunakannya objek sewa tersebut sejak diambil-alihnya kendaraan, sehingga tidak lagi dapat dinikmati oleh Tergugat, adalah tidak wajar apabila dibebankan kepada Tergugat. Pembebanan biaya sewa yang belum terjadi dan tidak dapat dinikmatinya objek sewa karena telah ditarik dan dijual oleh pihak Penggugat, tentu melukai nurani keadilan pihak Tergugat.
Yang menjadi pokok keberatan pihak lessee, jika objek leasing telah ditarik dan dijual secara sepihak oleh pihak lessor ditengah berlangsungnya masa perjanjian leasing yang masih belum berakhir, maka mengapa pihak leassee dibebani untuk membayar biaya “sewa” hingga akhir masa Perjanjian Leasing? Dengan demikian pihak “penyewa” dibebani biaya “sewa” atas sewa yang tidak dinikmati pihak lessee selepas objek leasing ditarik dan dijual secara sepihak oleh pihak lessor.
Singkatnya, dengan sudah diserahkanya Objek Sewa Guna Usaha dan menjadi kewenangan sepenuhnya Penggugat terhadap obyek tersebut, menyebabkan kewajiban Tergugat hanya sebatas masa waktu pemakaian efektif objek sewa yang pernah dinikmati yang belum dibayar sewanya—bukan dibebani sisa masa sewa yang belum terpakai karena objek leasing telah ditarik dan dijual oleh pihak lessor.
Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa finance lease mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
a. Objek leasing tetap milik lessor sampai dilakukannya hak opsi;
b. Barang modal bisa dalam bentuk barang bergerak / tidak bergerak;
c. Masa sewa barang modal sama dengan umur ekonomisnya;
“Menimbang, bahwa Majelis memperhatikan dan mempelajari Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ... , Nomor ... , Nomor ... dan Nomor: ..., ternyata keempat perjanjian tersebut di atas termasuk atau merupakan kategori bentuk klausula baku atau biasa disebut dengan istilah standard kontrak (standaard contract) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tercantum pada Angka 10 yaitu bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen;
“Menimbang, bahwa isi perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, pada umumnya lebih banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 18 mengatur tetang larangan pencantuman klausula baku, dengan tujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha, berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak;
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atau barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan langsung dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau yang pengungkapannya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ketentuan ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan batal demi hukum;
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini;
“Menimbang, bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku asalkan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Apabila dalam perjanjian ada yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka klausul tersebut batal demi hukum, tetapi tidak berarti batalnya perjanjian seluruhnya; pelaku usaha wajib menyesuaikan isi perjanjian baku dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen;
“Menimbang, bahwa empat perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi yang dilakukan oleh Penggugat dengan Tergugat I tersebut di atas, juga memenuhi kriteria atau ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus yaitu:
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi / ekonominya kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama menentukan isi perjanjian;
3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuk tertentu;
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif;
“Menimbang, bahwa Ketentuan Pasal 14 butir 14.2 huruf b dan Pasal 15 butir 2. dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi yang dilakukan antara Penggugat dengan Tergugat I yaitu Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ..., Nomor ... , Nomor ... dan Nomor ... , yaitu Pasal 14 butir 14.2 butir b yang menyatakan bahwa:
‘Dalam hal terjadi salah satu Kejadian Kelalaian, Lessor berhak dengan suatu pemberitahuan tertulis kepada Lessee (dan bila dianggap perlu oleh Lessor, dengan tembusan ke pihak lain yang menurut Lessor berkepentingan) melakukan satu atau lebih dari hal-hal berikut ini:
(a) mengakhiri perjanjian ini;
(b) menyatakan seluruh jumlah Angsuran Sewa Guna Usaha untuk seluruh Masa Sewa Guna Usaha, baik yang sudah jatuh tempo maupun yang belum jatuh tempo menurut jadwal Angsuran Sewa Guna Usaha, Bunga Tunggakan Hutang, pajak yang timbul, ganti rugi dan jumlah lain berdasarkan Perjanjian ini dan hukum yang berlaku semua harus seketika dibayar secara tunai dan penuh sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam pemberitahuan tertulis Lessor tersebut.’
Dan berdasarkan Pasal 15 butir 15.2 yang menyatakan sebagai berikut:
‘Lessor berhak meminta Lesse untuk melunasi lebih awal kewajibannya kepada Lessor yaitu termasuk namun tidak terbatas pada Angsuran Sewa Guna Usaha, Bunga Tunggakan Hutang, biaya pajak yang timbuk berdasarkan Perjanjian ini dalam hal terjadi salah satau atau lebih dari hal-hal tersebut di bawah ini: ... 15.2. Lesse tidak melaksanakan kewajibannya yang lain kepada Lessor.’
“Ketentuan tersebut betentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena memperlihatkan posisi tawar yang kuat dari Penggugat sebagai pelaku usaha (lessor) dengan pengalihan atau pembebanan tanggung-jawab ke Tergugat sebagai lessee, sehingga Penggugat dapat melakukan tindakan hukum sepihak yang tidak sesuai dengan kepatutan;
“Menimbang, bahwa Penggugat dengan menganggap Tergugat telah melakukan kelalaian atau wanprestasi, Penggugat mempunyai kewenangan untuk melakukan penghentian perjanjian secara sepihak tanpa menunggu putusan pengadilan (bertentangan dengan Pasal 1266 KUH Perdata). Hal ini tentunya bertentangan pula dengan Pasal 1339 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas diperjanjikan, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifatnya diharuskan sesuai dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Penghentian perjanjian secara sepihak tentunya bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut di atas maka Pasal 14 dan Pasal 15 dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ... , Nomor ... , Nomor ... dan Nomor ... yang merupakan klausula baku yang dibuat oleh Penggugat untuk melindungi kepentingannya tanpa mempertimbangkan perlindungan kepentingan Konsumen dalam hal ini Para Tergugat yang seharusnya dilindungi dan jamin serta tidak boleh menciptakan ketidakadilan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Pasal 14 dan Pasal 15 Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ..., Nomor ... , Nomor ... dan Nomor ... merupakan klausul baku yang tidak patut dan tidak berkeadilan karena hanya untuk melindungi kepentingan Penggugat, demikian pula dengan permintaan Penggugat supaya Para Tergugat membayar total sisa angsuran sewa guna usaha yang belum dibayar dan total bunga tunggakan hutang secara sekaligus sebesar Rp. 1.184.235.026,-  merupakan perbuatan yang tidak patut dan majelis akan mempertimbangkan sendiri mengenai sisa angsuran yang harus dibayar;
“Menimbang, bahwa karena Penggugat secara sepihak pada bulan Maret 2011 secara bertahap telah menarik / mengambil kendaraan yang menjadi obyek perjanjian-perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi tersebut di atas dan pada tanggal 6 September 2011 telah pula menjual kendaraan-kendaraan yang menjadi obyek perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi Nomor ..., Nomor ... dan Nomor ... dengan harga masing-masing Rp. 50.000.000,- serta pada tanggal 3 Agustus 2011 telah pula menjual kendaraan-kendaraan pada obyek perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi Nomor ... dengan harga penjualan Rp. 700.000.000,-;
“Menimbang, bahwa dengan telah ditariknya kendaraan obyek perjajian sewa guna usaha tersebut, maka:
1. Tergugat sudah tidak dapat memperoleh manfaat lagi dari kendaraan obyek sengketa;
2. Kendaraan kembali ke Penggugat selaku Lessor (Pemilik Kendaraan);
3. Semua kendaraan obyek dalam perjanjian Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ... , Nomor ... , Nomor ... dan Nomor ... telah dijual oleh Penggugat selaku pemilik kendaraan;
4. Merupakan hal yang tidak patut dan tidak adil apabila Para Tergugat dibebani untuk membayar angsuran sewa beserta bunganya sampai akhir masa sewa sedangkan kendaraan obyek sewa guna usaha sudah ditarik dan dijual oleh Penggugat atau Lessor sebagai pemilik kendaraan;
5. Bahwa besarnya angsuran sewa guna usaha didalamnya sudah meliputi biaya perolehan, bunga, dan keuntungan Lessor (Penggugat);
6. Biaya pemeliharaan dan perawatan kendaraan obyek sewa guna usaha merupakan beban Lessee (Tergugat);
7. Dipandang patut dan adil apabila Para Tergugat dibebani untuk membayar angsuran sewa guna usaha yang belum terbayarkan sampai tanggal 31 Maret 2011 (pada saat kendaraan secara bertahap diambil oleh Penggugat) beserta bunga tunggakan hutang sebesar 0,2% per hari sesuai besaran bungan dalam perjanjian;
“Menimbang, bahwa untuk Perjanjian Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi Untuk Kendaraan Bermotor Nomor ... tertanggal 8 September 2009, Majelis memperhitungkan sebagai berikut:
a. Tunggakan Angsuran Sewa Guna Usaha bulan Januari 2011 sampai Maret 2011 sebesar Rp. ...;
b. Tunggakan bunga (angsuran bulan pada bulan Oktober 2010 s/d 31 Maret 2011) = Rp. ...;
c. Jumlah yang harus dibayar oleh Para Tergugat Rp. ...,-;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Para Tergugat telah melakukan wanprestasi (ingkar janji);
3. Menghukum Para Tergugat untuk membayar sisa angsuran sewa guna usaha dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Nomor ... , Nomor ... , Nomor ... dan Nomor ... sebesar Rp. 376.564.870,- sejak putusan perkara aquo telah berkekuatan hukum tetap;
4. Menghukum TERGUGAT membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditaksir sebesar Rp. 1.916.000,-;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.