Satu buah Kejahatan sudah Terlampau Banyak bagi Orang Baik. Sebaliknya, Satu buah Kejahatan Belum Cukup Banyak bagi Orang-Orang Jahat

Orang Indonesia Tidak Pernah Cukup Berbuat Satu buah Kejahatan / Keburukan

Hidup Berdampingan dengan Orang yang Tidak Malu dan Tidak Takut Berbuat Jahat & Buruk (Dosa) akibat Memakan dan Termakan Ideologi Korup Bernama PENGHAPUSAN DOSA (abolition of sins)

Hanya seorang Pendosa, yang Butuh Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa. Pendosa, hendak Berceramah Perihal Keadilan maupun Hidup Suci?

Question: Mengapa ya, masyarakat kita di Indonesia suka sekali melakukan hal yang buruk terhadap kita, sesama warga, namun ketika kita protes, berkeberatan, melawan, atau membalas perbuatannya, mereka justru kian menjadi-jadi dengan kembali berbuat buruk dan jahat terhadap kita secara lebih jahat lagi sifatnya, seolah-olah melakukan satu buah hal buruk belum terlampau buruk dan belum terlampau jahat bagi mereka? Padahal, negara ini tidak pernah kekurangan orang-orang yang “agamais”, rajin beribadah, dan mengaku ber-Tuhan, serta membungkus tubuhnya dengan busana keagamaan. Singkatnya, mengapa di Indonesia, selalu saja lebih galak yang ditegur daripada korban yang menegur mereka?

Banyak Kesempatan Berbuat Kabaikan dalam Keseharian yang Disia-Siakan Orang Dungu

Tidak Pernah ataupun Jarang Berbuat Baik, sama artinya sedang Bersikap Egois terhadap Dirinya Sendiri

Bukan Tidak Ada Kesempatan Berbuat Baik, namun Manusia Dungu cenderung Mengabaikan dan Menyepelekannya

Tentulah kita pernah atau sering mengamati dan mengalami langsung, bagaimana petugas pelayanan pada loket-loket pelayanan di kantor pemerintahan ataupun petugas pelayan di berbagai minimarket, beragam watak atau karakternya. Namun yang umum kita jumpai di Indonesia ialah, sikap kurang ramah alias aroganistik oleh Aparatur Sipil Negara alias Pegawai Negeri Sipil kita (terutama yang sudah lama bekerja di kantor pemerintahan) maupun pelayanan yang “standar-standar” saja pada pertokoan swasta—seolah-olah hanya kita yang “butuh” mereka, sekalipun sumber gaji mereka ialah apa yang dibayarkan oleh wajib pajak maupun oleh konsumen. Adapun “kami siap melayani dengan hati” masih sekadar jargon, dan mereka tampaknya cukup berpuas diri membodohi publik yang terbodohi lewat umbar jargon yang minim esensi demikian.

Bahaya Distorsi Dibalik HOAX, Kelirutahu (Tahu namun Keliru) & Keliruyakin (Yakin namun Keliru)

Ketika Masih Minoritas, Menuntut dan Menikmati Toleransi. Ketika telah menjadi Mayoritas, para Muslim justru Ingin Meniadakan Toleransi yang Dahulu Mereka Tuntut dan Nikmati, Menggantikannya dengan Intoleransi, Represi, serta Teror (Kitab Jawa DHARMO GHANDUL). Pola yang Sama Selalu Berulang dan Terulang di Setiap Negara

Memakan dan Termakan HOAX, Sebelum Kemudian Turut Reproduksi HOAX tersebut, adalah DOSA—Fitnah Itu Sendiri

Fenomena Sarjana HOAX, Bergelar Sarjana namun Menu Makanannya ialah HOAX

Belum lama ini, penulis berkomunikasi dengan seorang teman satu almamater yang bergelar sarjana bahkan memperoleh Strata-2 dari Fakultas Hukum di Tanah air, yang mana gelar kesarjanaan bermakna yakni mereka yang telah (semestinya dan seharusnya) tergolong intelek—cendekiawan (kalangan cerdik dan pandai) sebagai bagian dari lingkaran kaum intelektual, yang mana seyogianya juga bersikap ilmiah nan empirik, telah ternyata fakta berikut ini memperlihatkan realita yang sebaliknya sekaligus membuktikan betapa bahayanya “hoax”, yang dalam banyak kasus bahkan menyerupai ideologi itu sendiri—meyakini secara membuta, apapun faktanya, meyakini apa yang ia yakini ataupun meyakini apa yang ingin mereka yakini atau meyakini apa yang diyakini oleh mayoritas publik (keyakinan pada umumnya, tidak selalu benar adanya).

Ciri Agama yang KONSISTEN Vs. Agama yang INKONSISTEN

KONSISTENSI artinya, Sebagaimana Apa yang Dikatakan maka Demikianlah yang Dilakukan; Sebagaimana yang Dilakukan maka Demikianlah Dikatakan. Melakukan Apa yang Dikatakan dan Mengatakan Apa yang Benar-Benar Dilakukan—Tiada yang Lebih Indah dari Komitmen Tanpa Cela antara Perbuatan dan Ucapan

Question: Bagaimana cara menilai suatu ideologi berbau keagamaan, apakah agama tersebut memang benar lurus, suci, dan mulia, ataukah seperti tingkah kelakuan para penipu, di mulut dan di wajah tampak baik dan mulia namun kotor dan busuk di hati ataupun didalamnya? Jangan-jangan iblis berwajah dan berbulu malaikat, sangat mengecoh dan menjebak, sungguh berbahaya.

Cara Membedakan antara AGAMA SUCI dan AGAMA DOSA

AGAMA DOSA, Agama yang Mempromosikan Penghapusan Dosa bagi para Pendosa alih-alih Mengkampanyekan Hidup Bersih Bebas dari Perbuatan Dosa

Hanya PENDOSA yang Butuh Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa

Question: Bagaimanakah ciri-ciri atau kiat untuk secara mudahnya bagi kita untuk mampu membedakan mana yang merupakan “agama dosa” dan mana yang merupakan “agama suci”? Sebagaimana kita ketahui, semua marketing pasti akan mengemas produk mereka sebagai “kecap Nomor 1”, sekalipun produk mereka sebenarnya berbahaya bagi kesehatan konsumennya, menutup-nutupi bahaya penggunaan produk yang mereka jajakan kepada masyarakat, menjual iming-iming dan harapan atau khasiat semu semata demi self-interest, tidak terkecuali marketing berbagai “agama dosa” yang diberi kemasan label merek “agama suci” dalam rangka menjaring umat sebanyak-banyaknya sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi mayoritas seperti dewasa ini.

MENGIKUTI ARUS atau MELAWAN ARUS, Pilih yang Mana?

Jangan Bersikap Seolah-Olah Tidak dapat Melangsungkan Hidup Tanpa Bersikap Jujur dan Beretika dalam Berusaha / Berbisnis

Kita akan Hidup Sejahtera, bila Moralitas Kita Terjaga, itulah Ketenteram Hidup, Kebahagiaan dalam Moralitas.

Pernah ada seorang pelaku usaha bernama Eddy Santoso Tjahja yang secara tidak etis menyatakan, bahwa bila pelaku usaha berhasil “mengakali” dan “mengadali” pemerintah, semisal Kantor Pajak, maka kelicikan maupun kelihaian pelaku usaha tersebut patut diganjar “reward” alias diberi apresiasi berupa lepas dari jeratan beban pajak, seolah hidup ini ialah persoalan “adu kelihaian” dan “adu kelicikan”. Namun yang menggelikan ialah, pelaku usaha bernama Eddy Santoso Tjahja ini tidak lama sebelumnya telah menjadi korban modus “transfer pricing” (profit shifting) oleh korporasi “penanam modal asing” bernama JobsDB yang bermarkas-pusat di Hongkong, sehingga tidak pernah mendapatkan hak deviden selaku pemegang saham minoritas sebelum kemudian Eddy Santoso Tjahja dipecat secara tidak hormat oleh PT. JobsDB Indonesia dari jabatan Direksi karena kedapatan melakukan praktik eksploitasi tenaga kerja manusia yakni para pegawai JobsDB, yang menyerupai perbudakan demi kepentingan usaha pribadi Eddy Santoso Tjahja yang memiliki benturan kepentingan sehingga menyalahgunakan kedudukannya selaku direktur pada JobsDB Indonesia.

Agama yang Umatnya Paling BAHAGIA di Dunia

Beribadah Semestinya Melihat ke Dalam Diri, Bukan Justru Lebih Sibuk Menghakimi Kaum Lainnya

Pendosa adalah Busuk, Kotor, Tercela, dan Ternoda, namun Memandang Dirinya sebagai Umat dari “Agama SUCI”? Jika yang Sekotor itu Disebut sebagai Umat dari ”Agama SUCI”, Lantas yang Disebut sebagai “Agama DOSA” seperti apakah?

Yang Kotor dan Tercela Penuh Noda Dosa hendak Bersatu dengan Tuhan? Bagai Minyak hendak Bersatu dengan Air, Api hendak Bersatu dengan Es, Niscaya ataukah Mustahil?

Question: Umat dari agama apakah, yang paling berbagia di Muka Bumi ini?

Menikmati Buah Manis Kompetisi / Persaingan Usaha yang Sehat antar Perlaku Usaha

Regulator Idealnya Mengatur secara Inovatif serta Pelayanan Berbasis Pengalaman Pengguna (Users Experience), agar Pelayanan Publik dapat Terselenggara secara Optimal

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Memangnya mengapa dan untuk tujuan apakah, pemerintah dalam hal ini lewat otoritas semacam KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) maupun seperti Kementerian Perdagangan harus atur dan intervensi pasar, harga komoditas, distribusi niaga, dan sebagainya?

Berbuat Keliru adalah Manusiawi, namun Berbuat Dosa lalu Mengharap Penghapusan Dosa Barulah Tercela dan Biadab

Agama SUCI Vs. Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Bukankah berbuat keliru, adalah manusiawi sifatnya dan semua orang bisa serta telah pernah berbuat keliru?

Mengapa PT. POS Indonesia Tidak Pernah Maju dan Tidak Diminati Masyarakat?

Penyebab PT. POS Indonesia menjadi Duri dalam Daging bagi Rakyat Indonesia

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Sejak era maraknya jual-beli “online” (daring) via marketplace, dimana pembeli cukup berada di rumah dan paket berisi barang belanjaan dikirim oleh kurir sampai ke rumah pembeli, menjadi titik dimulainya fenomena tumbuh subur berbagai pilihan perusahaan ekspedisi yang bertumbuhan, sehingga kini tersedia beragam pilihan kurir ataupun jasa ekspedisi, bahkan dengan ongkos kirim yang kian terjangkau (karena kompetitif) dan semakin memanjakan masyarakat selaku pembeli. Ada pilihan bebas bagi konsumen untuk memilih kurir sesuai minat, sehingga masyarakat kita dewasa ini kian gemar membeli barang secara “online”.

Pertanyaannya, dimana rasanya tidak masuk akal, mengapa PT. POS Indonesia tidak menjadi pilihan warga sebagai perusahaan kurir dalam mengirim paket ataupun dokumen surat serta turut menikmati “kue” peningkatan serta pertumbuhan pemakaian jasa kurir dan pengiriman barang  di Indonesia yang konon tertinggi konsumen pemakai jasa pembelian “online”? Apa yang sebetulnya melatar-belakangi fenomena “lain sendiri” ini, sehingga PT. POS Indonesia selalu tertinggal di belakang sebagai “pemain” dalam industri ekspedisi, bahkan lebih banyak menjadi “penonton”, sementara itu perusahaan ekspedisi swasta serupa kian menjamur kantor cabangnya ataupun merek-nya?

Anak selalu dalam Posisi Terjepit, Serba Salah ketika Menghadapi Orangtua yang Egoistik dan Narsistik

Lebih Dilematis menjadi seorang Anak daripada Orangtua

Question: Mengapa anak yang selalu diposisikan sebagai pihak yang salah, tersudutkan, dan terpojokkan, sekalipun selama ini orangtua memperlakukan anak secara tidak layak dan tidak patut? Mengapa ada aturan (norma sosial) “tidak tertulis” yang berbunyi : Aturan pertama, orangtua selalu benar. Aturan kedua, jika orangtua keliru, lihat Aturan Pertama.

Praktik Pengkurbanan dan yang Dikurbankan dalam Buddhisme, MELEPAS alih-alih MERAMPAS Hak Hidup Makhluk Hidup Lainnya

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Tidak Melakukan Dosa ataupun Kejahatan Apapun, adalah Pengorbanan Tertinggi, Tidak Semua Orang Sanggup Berkorban Diri dengan Tidak Melakukan Dosa ataupun Kejahatan Apapun

Question: Kalau dalam agama Islam ada Idul Adha, hari raya para Muslim yang menyembelih hewan kurban. Bagaimana dengan di Agama Buddha, apakah ada hari raya semacam itu bagi para umatnya?

Agama Versi Fantasi, Umatnya justru Mereproduksi Hoax untuk Menutupi Borok Agama yang Ia Peluk dan Yakini

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Nabi Pedofil, Buruk Wajah Jangan Cermin Dibelah

Keyakinan yang Berdiri Diatas Fondasi Rapuh Bernama Hoax dan Fantasi yang Menyimpang dari Fakta, Memungkiri Kitab Agamanya Sendiri dan Berbangga Diri dalam Fiksi Rekaan

Question: Apakah akan disebut sebagai menista Agama Islam, jika mengatakan bahwa nabi yang disembah umat Muslim adalah seorang nabi yang pedofil?

Ketika Dizolimi Membalas dengan PEMBUNUHAN, Alasan Pembenar (Justifikasi Kejahatan) yang Tidak Proporsional, Hewanis alih-alih Humanis

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Menzolimi Teriak Dizolimi

BELA DIRI dan MELAKUKAN PERLAWANAN ketika Diancam akan Dibunuh, merupakan Hak Asasi Manusia

Salahkan yang Terlebih Dahulu Mengancam dan Menyerang, Bukan yang Sekadar Bela Diri dan Melawan

Question: Disebutkan bahwa umat Muslim dan nabi mereka hanya sekadar membalas penzoliman yang mereka terima dari kaum nonMuslim. Jika memang betul Muslim telah dizolimi pada saat itu, maka mengapa membalas dengan pembunuhan? Apa iya, para nonMuslim begitu menzolimi kaum Muslim tanpa sebab yang mendahului atau melatar-belakanginya? JIka merujuk sejarah agama-agama di daratan Arab ribuan tahun lampau sebelum Islam lahir, sudah banyak agama-agama di sana sebelum Islam lahir, dan satu sama lain rukun hidup berdampingan antar umat beragama yang majemuk. Pastilah ada sebabnya sehingga para nonMuslim kemudian melakukan perlawanan terhadap kaum Muslim, sehingga siapa yang paling patut dipersalahkan jika sudah seperti itu?

Ketika Tuhan Bermain TEKA-TEKI dengan Umat Manusia, Bukan Salah Manusia bila Manusia menjadi Tersesat akibat Salah Baca dan Salah Tafsir

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Question: Semua aksi radikalisme dan ekstremis, terjadi akibat pelaku radikal tersebut yang salah menafsirkan isi kitab agama. Jadi, bukankah mereka sendiri juga merupakan “korban”?

Pernah Dipecat secara Tidak Hormat, lantas Mengharap Mencari Pegawai yang Bermutu? Kasus Dipecatnya EDDY SANTOSO TJAHJA secara Tidak Hormat karena Eksploitasi / Perbudakan Tenaga Manusia

SENI SOSIAL

Pendosa Tidak Berhak Menceramahi Pendosa Lainnya Perihal Hidup Suci dan Baik

Question: Bukankah lucu jadinya, tidak sukses dalam karir lantas hendak menasehati dan mengajari orang lain tentang cara berbisnis? Ada juga orang yang selalu kalah besar di pasar modal, lalu hendak menulis buku tentang kiat bermain di pasar saham. Apa tidak salah?

Akar Musabab Mentalitas Tidak Bertanggung-Jawab, “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? Ada Penghapusan / Pengampunan Dosa”

SENI SOSIAL

Hanya seorang PENDOSA, yang Membutuhkan Iming-Iming Penghapusan / Pengampunan DOSA, bahkan menjadi Menu Sehari-Hari, Produktif Mencetak dan Menimbun DOSA. Semakin BERDOSA, Semakin Mencandu Penghapusan / Pengampunan DOSA

Tanggung Jawab Vs. Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa, Anda yang Manakah?

Question: Mengapa orang-orang bisa begitu tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dan perilakunya sendiri (yang telah melukai, menyakiti, maupun merugikan orang lain)? Bukan hanya itu, tidak jarang mereka bahkan lebih sibuk berkelit dan mencari alibi, bahkan “maling teriak maling”, lebih galak ketika ditegur dan dimintakan pertanggung-jawaban oleh korban-korbannya, tidak punya rasa bersalah bahkan tidak tahu malu kepada korban yang telah mereka korbankan, ketimbang secara jantan mengakui perbuatannya, kesalahannya, dan bertanggung-jawab lewat kesadaran pribadi tanpa perlu ditagih, meski mereka mengaku sebagai ber-agama (“agamais”) dan ber-Tuhan?

Bayar Dahulu ataukah Minta Dilayani Dahulu? Johnsen Tannato dan Fenny Imelda, PENIPU Dibalik Modus ATOMY INDONESIA

LEGAL OPINION

Norma Otonom menjadi Hak Prerogatif Tuan Rumah, Tamu yang Bertamu Wajib Patuh secara Hukum maupun secara Etika Sosial

Modus Penipuan dan Eksploitatif “Johnsen Tannato”, Tamu yang Memperkosa Tuan Rumah, bahkan Memaksakan Aturan Main sang Tamu kepada Tuan Rumah

Question: JIka kita menjual jasa dan mensyaratkan pihak-pihak yang meminta pelayanan jasa kami untuk membayar tarif jasa profesi terlebih dahulu, lalu ada calon pengguna jasa yang memaksakan kehendaknya secara sepihak untuk meminta dilayani terlebih dahulu, maka secara hukum aturan milik siapa yang berlaku dan sahih? Belajar dari banyak pengalaman pahit, dimana banyak pengguna jasa yang kabur begitu saja secara tidak bertanggung-jawab setelah menikmati pelayanan jasa yang kami berikan, apa salah jika kami selaku penyedia jasa menetapkan kebijakan “bayar dahulu sebelum calon pengguna jasa berhak meminta dilayani”?

SANG BUDDHA, Pengetahu Segenap Alam

SENI SOSIAL

SANG BUDDHA, Guru Agung bagi para Dewa dan para Manusia

Question: Mengapa sang Buddha disebut sebagai si pengetahu segenap alam?

Menyembelih dan Mengorbankan Anak, Bukanlah Cinta, namun EGO

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Jika Anak Sendiri Saja Mau dan Tega Disembelih Demi EGO PRIBADI, apalagi terhadap Orang Lain yang Dikorbankan Demi EGO PRIBADI (Termakan Iming-Iming Masuk Surga dan Bidadari)

Question: Bukankah yang semestinya takut ialah orang-orang yang buat jahat seperti menyakiti kita, melukai kita, ataupun merugikan kita? Namun mengapa yang lebih sering terjadi ialah kita sebagai korban atau calon korban, yang lebih takut disakiti orang-orang jahat itu?

Kaitan antara Kualitas Genetik, Seleksi Alam, dan Survival of the Fittest

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: JIka memang penentu bisa lolos atau tidaknya kita sebagai manusia dari “seleksi alam”, ialah faktor genetik manusia masing-masing individu, maka bukankah itu artinya menihilkan peran penting dan arti dibalik sebuah upaya maupun perjuangan? Genetik, seolah-olah kita diasingkan dari hakekat manusia yang berakal-budi, serba mekanistik. Bukankah itu artinya seseorang yang memang punya warisan genetik yang baik dan berkualitas dari ayah-ibu maupun silsilah nenek-moyangnya, sudah “menang” (dan akan lolos dari “seleksi alam”) bahkan sejak masih dalam kandungan dalam rahim ibunya?

ETIKA KOMUNIKASI saat Lawan Bicara notabene Berbeda Agama dengan Kita

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Umat Agama yang Rendah EQ-nya, Dicirikan lewat Tiadanya Etika Komunikasi dengan Membawa-Bawa serta Melontarkan Istilah Agama Tertentu kepada Lawan Bicara

Question: Sudah jelas-jelas saya bukan beragama Islam, dan ia tahu itu, mengapa juga ya orang Islam selalu secara sengaja suka bawa-bawa istilah agamanya saat berbicara dengan saya yang jadi lawan bicara ia? Orang-orang Nasrani juga seperti itu, memakai atribut-atribut keagamaan. Mereka suka memakai atribut keagamaan mereka sendiri, seperti kalung berliontin, busana berupa kerudung, dan sebagainya, itu masih bisa kita toleransi sebagai bagian dari ekspresi dan kebebasan berbusana dan beratribut. Namun, yang tidak bisa diberi ruang toleransi ialah ketika mereka berbicara dengan lawan bicara, mengapa mereka tidak punya apa yang disebut sebagai etika komunikasi terhadap orang lain yang berbeda agama? Terlagipula ini adalah Negara Indonesia, bukan Arab, dan kita pun suah punya SUMPAH PEMUDA, mengapa justru kemudian dilanggar oleh bangsa kita sendiri?

Bulan Penuh Berkah bagi para PENDOSA, Disaat Bersamaan merupakan Bulan Penuh Kabar Buruk bagi KORBAN

SENI PIKIR & TULIS

Menista (Perilaku) UMAT, Tidak dapat Dipidana. Menista UMAT Vs. Menista AGAMA, Dua Hal yang Berbeda Domain

Yang Paling Hebat adalah Orang-Orang yang Berpuasa BUAT DOSA, bukan Mereka yang Berpuasa dari Anti Minta Ampuni Dosa-Dosa (alias Umbar Pengampunan Dosa, Nafsu Itu Sendiri)

Bila tujuan dibalik puasa bukan untuk latihan pengendalian diri maupun dari praktik “korup” semacam pengampunan dosa, maka itu adalah praktik umbar pengampunan dosa dimana menjadi pesta-pora akbar bagi para pendosa, sekaligus disaat bersamaan menjadi mimpi buruk bagi para korban dari para pendosa tersebut. Mengapa juga agama samawi menggambarkan versi Tuhan yang lebih PRO terhadap pendosa alih-alih berpihak kepada korban-korban dari para pendosa tersebut? Berpuasa yang sejati, ialah untuk melatih dan meningkatkan kesucian diri, bukan justru meminta pengampunan dosa (otak picik, licik, dan korup yang mengemuka).

Tes SQ (Spiritual Queotient, Kecerdasan Spiritual) Anda Disini, Keyakinan yang Berstandar-Ganda

Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan Dijawab

Diluar Agama Islam, Semuanya Serba Salah, Sesat, dan Jahat

Apapun yang Mengatasnamakan Islam, Semuanya Serba Benar, Lurus, dan Suci

Sering penulis menuturkan, tingkat SQ seseorang berkorelasi erat dengan tinggi atau rendahnya IQ masing-masing individu. Dalam “test case” berikut di bawah ini, kita akan bersama-sama menguji level atau tingkat SQ Anda, sebagai sebuah “self test”, sekaligus bahan renungan betapa suatu kaum tertentu kerap mengatas-namakan agama untuk menjustifikasi apapun, tidak terkecuali sebagai pembenaran diri untuk perbuatan yang keliru dan tidak dapat dibenarkan secara etika maupun secara moril.

Zolim namun Teriak Dizolimi, sebagai Alasan Pembenar untuk Bersikap Radikal Membunuh, sebuah Modus

SENI JIWA

Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan Dijawab

Sekalipun memang benar telah dizolimi, namun apakah artinya sampai harus membalas dengan sebuah pertumpahan darah, korban jiwa, bahkan hingga pembunuhan? Senggol dikit, bunuh. Singgung dikit, bunuh. Sikut dikit, bunuh. Sungguh pendek “sumbu”-nya, dimana segala sesuatu diselesaikan dengan kekerasan fisik, bahkan pembunuhan untuk membungkam segala sesuatu yang bersifat majemuk atau berbeda. Segala sesuatu, mengatas-namakan agama sebagai alibi untuk perbuatan-perbuatan tercela seperti “parkir liar” (itu sedang dalam rangka beribadah, bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah dan tidak sedang memakai busana agamais?), mengait-kaitkan dengan agama, menjadikan ayat-ayat keagamaan sebagai justifikasi untuk melakukan perbuatan tercela, bahkan mengeluhkan praktik ibadah kaum agama tertentu yang menimbulkan “polusi suara” dipandang sebagai “menista toa speaker pengeras suara = menista agama”.

Anda Pikir Diri Anda adalah Tuhan, yang Merasa Berhak Mencobai atau Menguji Orang Lain?

SENI SOSIAL

Untuk Anak Sendiri, Kok Dicoba-Coba?!

Kampanye Gerakan SAYANG ANAK (maka juga) SAYANG UMAT MANUSIA

Question: Sering dibuat gerah juga geram, betapa tidak, orang-orang kerap membuat saya kesal, dengan alasan sedang menguji kesabaran saya. Mereka pikir diri mereka itu siapa, merasa berhak menguji kesabaran orang lain tanpa diminta? Siapa juga yang suka diuji-uji kesabarannya, lantas seolah untuk itu mereka berhak bertindak seenaknya terhadap diri kita, kemudian masih pula men-cap (memberi label) sebagai tidak lulus ujian kesabaran. Siapa juga yang mau dan yang berhak membuat standar kesabaran.

Jika mau tuntut orang agar lapang dada dan berbesar hati juga penuh kesabaran, sesabar mayat yang hanya bisa diam terbujur kaku disakiti seperti apapun, mengapa tidak mereka tuntut diri mereka sendiri saja alih-alih menuntut orang lain untuk bersikap sabar terhadap mereka? Mereka sendiri ternyata tidak punya kesabaran terhadap orang lain maupun kepada diri mereka sendiri, namun masih juga menuntut orang lain untuk bersikap sabar terhadap mereka.

Siapa yang paling Perlu Belajar HAM, Hak Asasi Manusia?

SENI SOSIAL

Agama DOSA (Kitab DOSA) Vs. Konsep Hak Asasi Manusia Vs. Disiplin Moralitas, yang manakah Anda?

Question: Siapa saja, yang perlu memelajari dan memahami ajaran tentang konsep hak asasi manusia?

Lebih Enak jadi Buddhist, Umat Agama Buddha

SENI PIKIR & TULIS

Hidup Berdampingan dengan para PENDOSA, Nyamankah Anda?

Umat Buddhist sejati, dicirikan oleh wataknya yang damai dan hening (tidak suka merampas hak-hak orang lain, terutama tabiat anti kekerasan, ahimsa), tidak mudah tersulut emosi ataupun “kesetanan” dan sedikit-sedikit “main hakim sendiri” (kekerasan fisik seperti menganiaya, merusak, menghancurkan, membakar, bahkan hingga membunuh) ketika baru sedikit disinggung atau merasa tersinggung (pendek “sumbu”-nya). Umat Buddhist sudah cukup bahagia dengan hidupnya, tanpa perlu merampas hak-hak pihak lain, karenanya lebih damai, lebih hening, dan lebih penuh kepuasan hidup, karenanya tidak mudah “mabuk” harta maupun “kesetanan” (tersulut untuk menganiaya orang lain).

Ciri Bangsa yang PENGECUT Sekaligus PEMALAS

Manusia adalah MAKHLUK YANG IRASIONAL

Betapa Tidak, Sebagian Diantara Kita PELIT dan KIKIR dalam Menanam Benih Karma Baik, Menyia-Nyiakan Kesempatan Berbuat Kebajikan yang Dibiarkan Lewat Begitu Saja di Depan Mata, dan Disaat Bersamaan Tidak Takut Berbuat Dosa untuk Dipetik Sendiri Konsekuensinya

Banyak kesempatan untuk berbuat baik yang sejatinya selalu muncul di hadapan kita, namun lebih banyak disia-siakan dan tidak dihargai berbagai kesempatan berharga tersebut yang justru biarkan lewat berlalu secara begitu saja, bahkan mengganggapnya sekadar sebagai gangguan semata untuk secepatnya disingkirkan—akibat kebodohan batin yang begitu tebal menutupi mata. Banyak diantara masyarakat kita di Indonesia, sebagai fenomena sosial atau memang sudah menjadi kultur, bersikap seolah-olah “sok sibuk”, namun waktu dan kehidupan mereka ternyata hanya diisi oleh kegiatan-kegiatan tidak produktif disamping kesibukan “sok sibuk” itu sendiri. “Sok sibuk” untuk “sok sibuk”, gejala khas fenomena sosial masyarakat urban yang telah menjadi kultur tersendiri di tengah masyarakat kita.

Menjadi Berbeda merupakan Hak Asasi Manusia, Hak untuk menjadi Majemuk dan Tampil Beda, Apa Adanya, menjadi Diri Kita Sendiri

HERY SHIETRA, Menjadi Berbeda merupakan Hak Asasi Manusia, Hak untuk menjadi Majemuk dan Tampil Beda, Apa Adanya, menjadi Diri Kita Sendiri

Banyak hal buruk serta tragedi kemanusiaan tercipta di muka bumi,

Semata karena kita tidak memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa kita memang berbeda dengan mereka,

Dan mengakui betapa kita berbeda adanya dengan mereka.

Apakah Salah, Terlahir sebagai seorang INTROVERT?

SENI SOSIAL

Menjadi seorang INTROVERT (secara Kontras Berkebalikan dari Ekstrovert), Bukanlah sebuah Dosa, Tabu, maupun Aib untuk Dihakimi

FRAMING Versus RE-FRAMING

Question: Apakah salah, tampil apa-adanya sebagai diri kita sendiri? Semisal diri kita adalah seorang introvert murni, maka apakah merupakan hal “tabu” untuk bersikap sebagai seorang introvert apa-adanya, “aib” untuk ditutupi rapat-rapat, ataupun “dosa” sehingga perlu merasa malu? Apakah bila kita memang atau mengakui diri sebagai seorang introvert, lantas orang lain maupun masyarakat menjadi memiliki hak untuk menghakimi, melecehkan, ataupun mendikreditkan orang-orang yang memang dasariahnya memang terlahir dalam kondisi tipe introvert?

Apakah kita harus menguras energi mental dengan bersikap “heboh”, semata-mata agar pada persona (topeng) diri kita tampak atau dikenal sebagai seorang ekstrovert? Saya lebih suka menjadi seorang pendiam dalam kesibukan sendiri ataupun kreativitas diri, daripada memaksakan diri menjadi seorang “norak” dengan kebanggaan konyol-bodoh milik mereka. Sejarah telah membuktikan, para tokoh-tokoh jenius dunia dan produktif dalam ilmu pengetahuan dan inovasi, mereka merupakan para golongan introvert. Menjadi introvert, adalah berkah tersendiri, alih-alih “kutukan”.

Para jenius tersebut, mungkin saja tidak berteman dengan semua atau banyak orang, tapi siapa yang tidak mengenal sosok sang jenius tersebut? Saya lebih suka menggali potensi dalam diri saya sendiri, daripada sibuk membuang waktu produktif yang amat sangat berharga untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang di sekeliling saya ataupun setiap orang yang berjumpa dengan saya. Apakah salah, jika saya punya pendirian yang seolah menentang budaya sosial yang dibentuk (framing, pembingkaian) oleh masyarakat kita yang para ekstrovert semacam itu?

Manusia Terlahir (dalam Kondisi) IRASIONAL dan NAIF, bukan Putih Bersih Polos

SENI PIKIR & TULIS

Belajar dan Evaluasi Diri, Introspeksi Diri dalam Rangka Tidak Menjadi seorang “IGNORANT”

Proses Belajar, Evaluasi, dan Perbaikan Diri menjadi Penting dalam Rangka Menjaga Kemanusiaan Diri

Dalam banyak kesempatan, penulis tidak bosan menyampaikan bahwa kita semua, tanpa terkecuali diri penulis secara pribadi, merupakan para makhluk yang terlahir dalam kondisi tidak rasional—sehingga anekdot anak manusia ibarat kertas yang putih bersih, hanyalah mitos belaka. Singkatnya, penulis hendak mewartakan kabar buruk bahwasannya “manusia merupakan makhluk irasional”, dimana kabar baiknya ialah kita dapat mendidik diri kita sendiri dalam rangka perbaikan diri, terutama terhadap sifat-sifat irasional yang bersemayam dalam benak kita, dengan terlebih dahulu mengidentifikasikannya sebelum kemudian meng-kondisikan kebiasaan berpikir baru yang lebih rasional.

Jangan PERKOSA AGAMA Lawan Bicara Anda

SENI SOSIAL

Agama Baru, Agama MAU MENANG SENDIRI dan MERASA BENAR SENDIRI

Kompromistik terhadap Dosa dan Maksiat (dengan Menjadi Pelanggan Setia Iming-Iming Penghapusan Dosa), namun Disaat Bersamaan demikian Intoleran terhadap Kemajemukan Umat Beragama

Question: Mengapa mengumandangkan ayat-ayat kitab agama pada tempat ibadah kami, dengan menggunakan speaker pengeras suara (eksternal) yang dipasang pada gedung tempat ibadah kami, dianggap atau dipandang sebagai “polusi suara” oleh umat agama lain? Justru saya selaku umat (yang sama dengan agama sebagaimana tempat ibadah yang selama ini memasang speaker pengeras suara eksternal) merasa senang dan suka dengan lantunan ayat-ayat yang dikumandangkan lewat pengeras suara, sejuk rasanya di telinga kami.

Kejahatan Bukan Terjadi Akibat Kecintaan Diri terhadap Diri Kita Sendiri, namun Terjadi Akibat Kurangnya Kecintaan Kita terhadap Diri Kita Sendiri

SENI SOSIAL

Ketergantungan terhadap Alibi, Alibi sungguh Adiktif, Meracuni, dan Pemakai Alibi akan Mencandu Alibi

Question: Tidak sedikit kita telah pernah menjumpai seseorang, yang menjadi pemabuk atau pecandu nikotin tembakau atau bahkan obat-obatan terlarang, dengan alasan keluarganya berantakan, tekanan pekerjaan atau sebaliknya karena faktor penganguran, tekanan ekonomi atau sebaliknya karena terlampau banyak uang namun merasa belum memiliki kepuasan hidup sehingga mencari penyakit sendiri atau sensasi, bahkan hingga alasan putus cinta karena diputus oleh pacar. Apakah alasan-alasan semacam itu, benar adanya atau hanya alasan pembenar saja untuk membenarkan kebiasaan tidak sehat mereka itu sendiri?

Makna & Contoh MANUSIA ADALAH MAKHLUK IRASIONAL

SENI PIKIR & TULIS

Manusia Tidak Terlahir dalam Kondisi Putih Bersih seperti Asumsi pada Umumnya

Question: Seperti apa maksudnya, ketika disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang irasional?

Apakah EQ artinya Banyak Teman?

SENI SOSIAL

EQ, Emotional Quotient atau Kecerdasan Emosional dimaknai sebagai Kemampuan Berempati, Pengendalian Diri, Kebijaksanaan, Berkeadilan, Bertanggung-jawab, serta Memiliki “Sense of Justice

Question: Mengapa masyarakat kita, semudah itu menghakimi orang-orang dengan tipe introvert sebagai anti sosial bahkan disebut dan diberi stigma sebagai ber-EQ rendah? Memangnya EQ diartikan sebagai banyak teman?