Makna & Contoh MANUSIA ADALAH MAKHLUK IRASIONAL

SENI PIKIR & TULIS

Manusia Tidak Terlahir dalam Kondisi Putih Bersih seperti Asumsi pada Umumnya

Question: Seperti apa maksudnya, ketika disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang irasional?

Brief Answer: Pada dasarnya, setiap individu terlahir tidak dalam kondisi “murni” dalam artian bebas dari keserakahan, emosi negatif, maupun kebodohan / kotoran batin, karenanya masih terbelenggu oleh rantai karma yang menyebabkan seseorang terjebak dalam siklus lingkaran samsara. Lihatlah, seorang balita bisa demikian egois terhadap saudara balitanya yang lain, bisa menunjukkan emosi negatif seperti amarah, maupun bentuk-bentuk kotoran batin lainnya semacam menuntut secara merengek—dimana tanpa kesemua faktor kekotoran batin demikian, maka tidak mungkin seseorang dapat terlahir kembali pada kehidupan masa kini. Yang membedakan manusia satu dan lainnya, ialah derajat gradasi potensi kekotoran batinnya.

Sama halnya, seseorang anak perlu belajar ketika tumbuh dewasa, semata agar wawasan dan khazanah pandangannya dapat lebih luas, tidak sempit maupun dangkal sebagaimana orang-orang yang kurang dari segi pendidikan formal maupun informal, dibiarkan begitu saja tumbuh “liar” dan mengalir bagaikan aliran air yang mengalir—sekalipun kita mengetahui, bahwa air pada dasariahnya “by nature” mengalir ke arah bawah, bukan sifat alaminya untuk bergerak ke arah atas.

Begitupula sifat-sifat tidak logis dan tidak rasional, senantiasa melekat pada setiap individu yang terlahirkan, selain karena faktor kedua orangtuanya yang juga irasional, dapat kita simak dari perilaku para balita yang suka memungut dan mencoba memakan benda apapun yang ditemukan olehnya, atau memandang benda-benda yang tidak berharga di mata orang dewasa sebagai harta benda yang sangat bernilai bagi sang balita sehingga dipegang erat-erat. Di mata seorang Buddha, apa yang dianggap sebagai kesenangan bagi para manusia umumnya merupakan sumber derita bagi seorang Buddha. Di mata seorang Buddha, kemelekatan, tidak terkecuali kemelekatan terhadap kepemilikan harta benda maupun pasangan hidup, merupakan sumber penderitaan.

Kita tidak bisa menjadi bijaksana secara begitu saja seiring bertambahnya umur dan usia. Tanpa proses pembelajaran, yang ada ialah menjadi tua dan menua, rambut memutih, namun “kopong” dan kosong kebijaksanaannya. Karena itulah, kalangan orangtua perlu belajar ilmu pengetahuan mengenai “parenting”—dan disaat bersamaan baik anak-anak, para remaja, maupun orang dewasa, perlu belajar mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun ilmu spiritual seperti Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Namun, yang kerap terjadi, sebagai contoh, para orangtua muda maupun orangtua yang sudah puluhan tahun melahirkan anak, berdelusi bahwa mereka telah paham cara mendidik dan cara menjadi orangtua yang baik bagi putera dan puterinya.

Justru karena umat manusia terlahir dalam kondisi irasional, meski bukan bermakna tidak dapat berjuang untuk mengikis sifat irasional diri sendiri, maka sosok teladan dan ajaran dari Sang Buddha menjadi relevan serta penting peranannya. Sang Buddha itu sendiri disebut juga sebagai sosok yang telah “tercerahkan” dan “sempurna”, semata karena berkat usahanya sendiri telah berhasil menaklukkan sifat dan sikap irasional dalam pikiran maupun kehidupan-Nya.

PEMBAHASAN:

Kerap kali terjadi, setelah melakukan introspeksi diri dan perenungan mendalam dengan dilandasi pikiran yang jernih (sehingga tajam dan transparan), barulah kita menyadari kekeliruan maupun kekeliru-tahuan yang selama ini bersarang dalam pikiran maupun cara hidup kita—pada momen itulah, tepatnya, ketika kita merasa adanya kebutuhan atau kemendesakan untuk “mendidik diri kita sendiri” dan menggantikan berbagai pola berpikir irasional yang bercokol dalam diri kita untuk dicabut, dan digantikan serta dibiasakan dengan berbagai pola atau cara berpikir baru yang lebih rasional.

Mengingat pertimbangan itulah juga, mendidik diri sendiri menjadi bagian tidak terpisahkan sepanjang hayat hidup kita sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat, dalam rangka membuat diri kita lebih rasional atau setidaknya tidak terlampau irasional dalam setiap aspek hidup kita. Saling menyakiti antar manusia, selalu terjadi akibat faktor irasional salah satu ataupun kedua belah pihak yang saling menyakiti, seolah-olah dapat merampas hak orang lain tanpa dapat dihukum adalah sebentuk “keuntungan” tersendiri sehingga layak diambil resikonya.

Ketika kita berhasil menemukan sifat-sifat maupun cara berpikir ataupun pola hidup kita yang irasional, kita merasakan adanya semacam dorongan spontan untuk berseru “WOW, mengapa baru kusadari saat kini?!”—suatu respon spontan yang wajar sifatnya terjadi setiap kali kita menyadari adanya yang keliru dengan cara pikir atau gaya hidup kita, betapa selama ini kita berpikir dan hidup secara irasional, dan adanya kemendesakan untuk menggantikannya dengan cara pikir maupun pola hidup yang lebih mendekati rasional. Guru dan pendidik terbaik, sungguh adalah diri kita sendiri, sekaligus sebagai penyesat terhebat juga adalah diri kita sendiri.

Untuk itu, kita perlu membuka mata lebar-lebar, membuka telinga lebar-lebar, pikiran yang jernih, menyadari secara sadar apa adanya, dan jujur pada diri kita sendiri, bukan kepada dunia luar eksternal diri kita, namun lebih kepada gerakan penyadaran kedalam diri internal kita itu sendiri. Hambatan paling utamanya ialah apa yang dinamakan sebagai “EGO”, merasa (berdelusi) bahwa dirinya selalu benar, telah sempurna, pasti tepat, tidak pernah keliru, paling tahu, dan segala kekeliru-tahuan lainnya, sehingga seseorang tersebut kerap mengabaikan pentingnya nilai dibalik introspeksi diri, dan disaat bersamaan tidak menyadari bahaya dibalik cara berpikir maupun gaya hidup yang irasional—semata karena faktor kebiasaan ataupun pola asuh / didik sedari sejak muda, yang terus terbawa hingga beranjak dewasa sehingga memandangnya sebagai suatu kelaziman atau hal yang sudah lumrah saja adanya tanpa rasa kemendesakan perlu dievaluasi ulang, maupun akibat faktor kultur atau budaya sosial suatu bangsa yang belum tentu sehat adanya. Kita memerlukan “akal sehat milik orang sehat”, alih-alih “akal sakit milik orang sakit”.

Sebagai contoh, ketika kita mencuci piring sehabis makan, masyarakat kita pada umumnya kerap berasumsi bahwa membersihkan piring adalah dengan cara membuka keran air sebesar-besarnya dimana aliran air yang deras identik dengan piring yang bersih—yang terjadi sejatinya ialah pemborosan sumber daya air bersih, dimana para warga lain mungkin lebih membutuhkan pasokan air bersih dari jaringan air bersih. Sejatinya, kedua hal tersebut saling tidak relevan. Pernahkah Anda melihat kondisi permukaan daun di pepohonan yang hidup di pinggir jalan suatu jalan yang kerap ditutupi oleh debu yang mengerak, sekalipun saat itu sedang musim penghujan? Sebanyak apapun air hujan mengguyur (sekadar membilas) daun tersebut, tetap saja debu menempel diatas permukaan daun tersebut, dan hanya bila kita menggosoknya barulah debu tersebut dapat disingkap.

Contoh lainnya, ada sebuah suku di benua lain, yang memiliki budaya yang sangat tidak rasional, dimana mereka meyakini bahwa sosok wujud almarhum paska kematian rohnya akan serupa seperti kondisi / wujud tubuh terakhir kalinya ia meninggal dunia. Ketika seseorang warga mereka meninggal dalam usia yang teramat sangat tua, maka rohnya akan berwujud amat sangat uzur. Karenanya, mereka memiliki tradisi membunuh sanak-keluarganya sendiri, dengan keyakinan bahwa itu adalah perbuatan baik yang memang dikehendaki oleh yang anggota keluarga yang dibunuh, sebagai bentuk bahasa “kasih”.

Begitupula tradisi tempo dulu di Tiongkok, ketika seseorang warga Tiongkok meninggal dunia, terutama seorang suami sebagai kepala keluarga, maka istrinya sekalipun masih hidup dan masih sehat, akan dipaksa dikubur hidup-hidup oleh sanak-keluarga almarhum, sekalipun sang istri tidak bersedia dan menolak dikubur hidup-hidup bersama almarhum suaminya ketika dikebumikan. Bagi paradigma masyarakat kontemporer kita di era modern ini, jelas bahwa tradisi demikian ialah irasional adanya, namun tidak bagi kacamata masyarakat tempo dulu saat kerajaan masih berdiri dan memerintah di Tiongkok sebelum era modernisasi menggantikan era dinasti kerajaan.

Sejatinya, banyak dan masif sifatnya, contoh-contoh keseharian kita yang senantiasa diliputi, bersentuhan, maupun digerakkan oleh cara berpikir irasional—namun baru dapat kita sadari, amati, serta evaluasi, ketika kita memasuki kondisi pikiran yang jernih, tenang, jujur, siap mental mengakui apa adanya, transparan, serta terbuka bagi perubahan. Selama ini kita mungkin tanpa disadari, terus membawa-bawa preferensi maupun kondisi masa lampau kita, dan menjadikannya sebagai bagian dari kita meski sejatinya sudah usang, sudah tidak cocok, dan tidak memadai yang perlu segera dievaluasi ulang seesuai kondisi kekinian.

Kita seyogianya berjuang untuk memperbaiki diri, agar meningkat, bukan justru menuntun diri kita menurun ke dalam lembah kebodohan dengan semata menuruti apa kata tradisi maupun keinginan yang dilandasi oleh keserakahan, emosi negatif, maupun kebodohan diri. Lawan kata dari “mindfull” ialah, “ignorant”. Banyak diantara kita, yang bahkan mengikuti dorongan dari dalam diri untuk menyakiti dan merusak diri kita sendiri, lewat pola hidup yang tidak sehat, maupun upaya-upaya untuk mengakhiri hidup kita sendiri—ataupun dalam bentuk yang sebaliknya : tanpa rasa malu ataupun takut menanam benih Karma Buruk untuk dipetik oleh diri kita sendiri di masa mendatang, seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan makhluk hidup lainnya, seolah-olah kita dapat mencurangi hidup, seakan-akan dapat mencurangi Hukum Karma yang tidak terpisahkan dari semesta kehidupan kita.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.