ETIKA KOMUNIKASI saat Lawan Bicara notabene Berbeda Agama dengan Kita

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Umat Agama yang Rendah EQ-nya, Dicirikan lewat Tiadanya Etika Komunikasi dengan Membawa-Bawa serta Melontarkan Istilah Agama Tertentu kepada Lawan Bicara

Question: Sudah jelas-jelas saya bukan beragama Islam, dan ia tahu itu, mengapa juga ya orang Islam selalu secara sengaja suka bawa-bawa istilah agamanya saat berbicara dengan saya yang jadi lawan bicara ia? Orang-orang Nasrani juga seperti itu, memakai atribut-atribut keagamaan. Mereka suka memakai atribut keagamaan mereka sendiri, seperti kalung berliontin, busana berupa kerudung, dan sebagainya, itu masih bisa kita toleransi sebagai bagian dari ekspresi dan kebebasan berbusana dan beratribut. Namun, yang tidak bisa diberi ruang toleransi ialah ketika mereka berbicara dengan lawan bicara, mengapa mereka tidak punya apa yang disebut sebagai etika komunikasi terhadap orang lain yang berbeda agama? Terlagipula ini adalah Negara Indonesia, bukan Arab, dan kita pun suah punya SUMPAH PEMUDA, mengapa justru kemudian dilanggar oleh bangsa kita sendiri?

Brief Answer: Karena umat Muslim memang sudah terbiasa dan dibiasakan bahkan diajarkan untuk bersikap intoleran terhadap kaum non-Muslim, salah satunya ialah kebiasana mereka yang gemar “mengkafir-kafirkan” kaum yang berbeda keyakinan maupun yang berbeda mazhab / sekte keagamaan. Memang betul bahwa norma sosial di Indonesia belum “sehat” adanya. Bila para umat Muslim benar-benar tulus menaruh hormat barang sedikit saja terhadap agama yang dianut lawan bicara yang berbeda keyakinan, maka mereka akan menghindari penggunaan bahasa atau istilah-istilah yang “berbau” agama, sehingga memilih komunikasi dengan bahasa netral, yakni Bahasa Indonesia itu sendiri.

Selalu terbuka kemungkinan bahwa lawan bicara adalah umat dari keyakinan keagamaan yang berbeda dengan kita, sehingga bila kita tetap ingin menggunakan istilah-istilah agama pribadi kita, untuk itu perlu dipastikan betul apakah lawan bicara berlatar-belakang keyakinan keagamaan yang sama dengan kita. Ketika belum apa-apa saja atau selalu saja memakai istilah-istilah keagamaan diri yang bersangkutan saat berkomunikasi dengan lawan bicara, sebagaimana juga kerap penulis alami dan hadapi, maka yang bersangkutan seyogianya menggunakan EQ untuk berpikir, apakah orang lain suka dan senang diperlakukan demikian atau dilontarkan istilah-istilah agama pribadi si pembicara untuk diperdengarkan kepada yang berlainan keyakinan?

Bagi penulis secara pribadi, praktik demikian menyerupai sebentuk “pemerkosaan verbal” terhadap agama yang penulis anut, sikap yang arogan karena sangat tidak menaruh hormat terhadap agama yang dianut lawan bicara. Bila suatu bangsa hendak menjadi bangsa yang intoleran dan majemuk dalam “kebhinnekaan” namun “tunggal dan ika”, maka perlu dimulai dari toleransi dalam hal yang paling mendasar dalam keseharian, yakni betul-betul memerhatikan etika dalam berkomunikasi itu sendiri.

Memang betul bahwa di negeri bernama Indonesia ini, banyak penduduknya yang mencoba meng-Arab-Arab-kan ataupun ke-Barat-Barat-an, bukan lagi tren baru, dengan memakai banyak istilah berkonotasi Arab ataupun istilah agama tertentu. Bahasa Indonesia, merupakan bahasa kohesi yang diharapkan dapat mempersatukan dan tetap mengeratkan bangsa dari pengkotak-kotakkan berdasarkan suku, agama, maupun ras yang amat beragam dan majemuk. Namun kesenjangan dalam segregasi sekat keagamaan terus saja dilestarikan lewat praktik berkomunikasi yang tidak dilandasi etika dengan semata membawa-bawa anasir agama tertentu.

Terlagi pula memang sudah terdapat padanan kata untuk semisal istilah penyebutan untuk bersyukur, permisi, selamat pagi / siang / malam, semoga, dan lain sebagainya. Arogansi berbahasa, ditandai dengan dibawa-bawanya istilah suatu agama tertentu untuk dilontarkan atau bahkan “dilemparkan” ke wajah lawan bicara yang notabene bisa jadi atau bahkan sudah jelas-jelas berbeda keyakinan keagamaan. Praktik intoleransi berbahasa demikian diperkeruh oleh pemimpin negara yang turut memberikan teladan buruk yang tidak mencerminkan toleransi antar umat beragama yang mejemuk, secara “latah” bersikap ke-Arab-Arab-an sekalipun rakyat yang dipimpin oleh sang Kepala Negara ialah Bangsa Indonesia, yang disaat bersamaan telah melanggar pula Sumpah Pemuda.

PEMBAHASAN:

Bangsa yang kuat, adalah bangsa yang tidak semudah itu melupakan sejarah bangsanya sendiri, demikian pepatah klasik telah pernah mengingatkan kita selaku generasi penerus. Ada banyak pihak yang pernah menyebutkan, bahwasannya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang “pelupa”, termasuk lupa atas sejarah bangsa dan sumpahnya sendiri sebagaimana bangsa ini telah pernah mengucapkan ikrar bersejarah berupa apa yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda (salah satu peristiwa bersejarah sekaligus paling monumental di Indonesia, yang tercatat pada tanggal 28 Oktober 1928), dengan kutipan sebagai berikut:

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Mereka yang tidak menjiwai dan tidak juga menghayati ikrar dalam Sumpah Pemuda, bukanlah seorang nasionalis tulen. Terdapat kisah yang menarik mengenai cerminan bangsa yang telah beradab pada salah satu negara Eropa, tepatnya di Norwegia, yang dapat memberikan kita pemahaman lugas perihal etika komunikasi yang baik dan toleran terhadap lawan bicara yang bisa jadi berlainan latar-belakang keyakinan maupun berlainan suku bangsa dengan kita. Orang-orang Norwegia menunjukkan sikap respek terhadap orang asing (foreigners) yang mengunjungi negara Norwegia, dengan cara seketika mengganti (“switch”) bahasa mereka dari semula memakai Bahasa Norwegia ke Inggris yang dinilai lebih umum dapat dikenali oleh masyarakat internasional, ketika mereka mendapati bahwa lawan bicaranya adalah “foreigner” yang tidak bisa berbicara juga tidak mengerti bahasa Norwegia.

Kebiasaan, etika, atau budaya berkomunikasi masyarakat di Norwegia, demikian kontras dengan praktik komunikasi para Muslim maupun para umat Nasrani di Indonesia yang suka sekali “memperkosa” agama orang lain yang menjadi lawan bicaranya, sekalipun mereka mengetahui jelas-jelas bahwa lawan bicaranya adalah berbeda keyakinan dengannya, dengan memakai istilah-istilah dalam agamanya sendiri tanpa mau menghargai ataupun menghormati agama lawan bicara, sehingga menjadi cerminan konkret betapa tidak respek-nya mereka terhadap lawan bicara yang sedikit-banyak akan merasa agamanya sedang “diperkosa” oleh para Muslim maupun para Nasrani.

Pernah benar-benar penulis alami sendiri, seorang teman kuliah yang beragama Muslim ketika tiba hari raya agamanya, yakni Idul Fitri, mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepada penulis, lengkap dengan kutipan ayat-ayat kitab agamanya plus huruf-huruf Arab via messenger ke nomor kontak pribadi penulis, sekalipun dirinya jelas-jelas mengetahui bahwa penulis adalah seorang Buddhist. Tahukah Anda apa yang kemudian terjadi? Penulis kirim balik ayat-ayat Agama Buddha kepadanya, dan menyatakan dirinya telah Murtad saat membaca pesan balasan yang penulis kirimkan. Jika kita benar-benar menghormati agama sahabat atau rekan-rekan kita, maka berikan mereka ucapan hari raya sesuai agama mereka masing-masing, bukan semata sesuai agama pribadi diri kita.

Praktik demikian sekaligus menjadi bukti nyata tidak terbantahkan, bahwa rata-rata umat Muslim maupun Nasrani di Indonesia memiliki EQ yang sangat dangkal juga memprihatinkan. Perhatikan, pernahkah umat Buddhist membawa-bawa ataupun memakai istilah Agama Buddha ketika berbincang dengan lawan bicara yang berlatar-belakang non-Buddhist? Menjadi kian jelas, umat agama manakah yang selama ini sejatinya paling toleran serta yang paling tidak toleran terhadap sesama warga yang berlainan keyakinan keagamaan.

Yang paling memprihatinkan ialah, ketika kita menyadari bahwa masyarakat di Indonesia masih bersifat patronase, artinya menjadikan sosok pemimpin bangsa sebagai panutan untuk ditiru dan diteladani, namun telah ternyata para pemimin sekelas Kepala Negara bernama Presiden Republik Indonesia, alih-alih memberikan contoh toleransi dalam berkomunikasi kepada publik lewat liputan media massa yang dirilis secara meluas dan umum, selalu menggunakan atribut keagamaan tertentu berupa istilah-istilah agama yang dianut oleh pribadi sang pejabat Presiden ketika berbicara ataupun berpidato, sekalipun sang Presiden mengatahui bahwa audiens-nya berlatar-belakang majemuk di negeri yang “bhinneka”.

Seorang Kepala Negera semestinya memberi contoh yang baik dan ideal di negeri yang serba majemuk ini, dengan hanya memakai serta memberi teladan disamping mengajak masyarakatnya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang netral saat berkomunikasi di depan umum maupun di publik. Untuk itu seorang Kepala Negara saat konferensi pers, pilihan katanya haruslah disadari untuk disaring dari segala anasir keagamaan tertentu, yang mana notabene sudah terdapat padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, sehingga untuk apa lagi bersikap ke-Arab-Arab-an ataupun ke-Inggris-Inggris-an? Oh, Sumpah Pemuda, nasibmu kini di republik yang mengkhianati sumpah dan ikrar para pendahulunya.