SANG BUDDHA, Pengetahu Segenap Alam

SENI SOSIAL

SANG BUDDHA, Guru Agung bagi para Dewa dan para Manusia

Question: Mengapa sang Buddha disebut sebagai si pengetahu segenap alam?

Brief Answer: Sang Buddha akibat telah tercerahkan sempurna, maka tidak lagi terbelenggu oleh kekotoran batin maupun kebodohan batin, karenanya menjadi pengetahu segenap lapisan alam kehidupan yang tampak maupun tidak tampak di seluruh penjuru semesta. Sebagai contoh, ketika Sang Buddha menatap ke suatu arah, Beliau bisa menatap dan mengamati berbagai lapisan alam kehidupan yang tidak terlihat, jauh ke setiap tingkatan alam kehidupan baik alam manusia maupun yang alam-alam diluar itu. Salah satu contohnya dapat kita temukan dalam Āānāiya Sutta, dimana tatapan mata maupun pengamatan Sang Buddha bisa jauh melampaui sekadar “mata dewa”. Karena itulah Sang Buddha juga memiliki julukan sebagai “Guru Agung bagi para dewa dan para manusia”.

PEMBAHASAN:

Āānāiya Sutta

1. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Puncak Hering. Dan Empat Raja Dewa, bersama serombongan besar yakkha, gandhabba, kumbhaṇḍa dan nāga, setelah membuat pengawalan, barisan pertahanan, panjagaan di empat penjuru, ketika malam hampir berlalu, pergi menjumpai Sang Bhagavā, menerangi seluruh Puncak Hering dengan cahaya tubuh mereka, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Dan beberapa yakkha memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi, beberapa saling bertukar sapa dengan Beliau sebelum duduk, beberapa memberi hormat dengan merangkapkan tangan, beberapa menyebutkan nama dan suku mereka, dan beberapa duduk berdiam diri.

2. Kemudian setelah duduk di satu sisi, Raja Vessavaṇa berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, ada beberapa yakkha tingkat tinggi yang tidak berkeyakinan kepada Sang Bhagavā, dan yang lainnya berkeyakinan; dan demikian pula ada yakkha peringkat menengah dan rendah yang tidak berkeyakinan terhadap Sang Bhagavā, dan yang lainnya berkeyakinan. Tetapi, Bhagavā, sebagian besar yakkha tidak berkeyakinan kepada Sang Bhagavā. Mengapakah? Sang Bhagavā mengajarkan menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari pelanggaran seksuil, menghindari berbohong, dan menghindari minuman keras dan obar-obat yang menyebabkan kelambanan. Tetapi sebagian besar yakhha tidak menghindari hal-hal ini, dan melakukan hal-hal ini adalah tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi mereka. Sekarang, Bhagavā, ada para siswa Sang Bhagavā yang menetap di tengah hutan belantara yang jauh, dimana hanya ada sedikit suara atau teriakan, cocok untuk melatih diri. Dan ada yakkha tingkat tinggi yang menetap di sana yang tidak berkeyakinan kepada Sang Bhagavā. Dengan tujuan untuk memberikan kepercayaan diri kepada orang-orang ini, Sudilah Bhagavā mempelajari syair-syair perlindungan Āṭānāṭā, yang dengannya para bhikkhu dan bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan akan dikawal, dilindungi, tidak dicelakai dan merasa nyaman.’ dan Sang Bhagavā menyetujuinya dengan berdiam diri.

3. Kemudian Raja Vessavaṇa, setelah memahami persetujuan Sang Bhagavā, segera membacakan syair-syair perlindungan Āṭānāṭā:

‘Terpujilah Vipassī,

Yang megah berpenglihatan tajam.

Terpujilah Sikhī juga,

Yang penuh belas kasihan terhadap semua makhluk.

Terpujilah Vessabhū,

Yang mandi dalam pertapaan murni.

Terpujilah Kakusandha,

Penakluk bala tentara Māra,

Terpujilah juga Koṇāgamana

Sang Brahmana sempurna.

Terpujilah Kassapa,

Terbebaskan dalam segala hal,

Terpujilah Angīrasa,

Putra Sakya yang bersinar,

Sang Guru Dhamma

Yang mengatasi segala penderitaan.

Dan mereka yang terbebaskan dari dunia ini,

Melihat jantung dari segala hal,

Mereka yang lembut bahasanya,

Perkasa dan juga bijaksana,

Kepadanya yang membantu para dewa dan manusia,

Kepada Gotama mereka memuja:

Terlatih dalam kebijaksanaan, juga dalam perilaku,

Perkasa dan juga cerdik.

4. ‘Dari titik di mana matahari muncul,

Anak Aditya, dalam pancaran gemilang,

Yang kemunculannya menyebabkan malam yang menyelimuti

Tersingkirkan dan lenyap,

Sehingga dengan terbitnya matahari

Muncullah apa yang mereka sebut Siang,

Juga ada air yang banyak dan bergerak ini,

Dalam dan lautan yang perkasa bergelombang,

Orang-orang ini mengetahui, dan ini mereka sebut

Samudra atau Lautan Bergelombang.

Arah ini adalah Timur, atau yang Pertama:

Inilah bagaimana orang-orang menyebutnya.

Arah ini dijaga oleh seorang raja.

Memiliki kemasyhuran dan kekuasaan besar,

Raja dari semua gandhabba,

Dhataraṭṭha adalah namanya,

Dihormati oleh para gandhabba.

Nyanyian dan tarian mereka ia nikmati.

Ia memiliki banyak putra perkasa

Delapan puluh, sepuluh dan satu, kata mereka

Dan semuanya memiliki satu nama,

Dipanggil Indra, raja kekuatan,

Dan ketika Sang Buddha menyapa tatapan mereka,

Buddha, kerabat Matahari,

Dari jauh mereka menyembah

Kepada Raja Kebijaksanaan sejati:

“Salam, o Manusia Mulia!

Salam kepadaMu, yang pertama di antara manusia!

Dalam kebaikan Engkau menatap kami,

Siapakah, walaupun bukan manusia, yang menghormati Engkau!

Sering ditanya, apakah kami menghormati

Gotama Sang Penakluk? –

Kami menjawab: ‘Kami memang menghormati

Gotama, Sang Penakluk Agung,

Terlatih dalam kebijaksanaan, juga dalam perilaku,

Buddha Gotama kami menghormat!’”

5. ‘Tempat yang oleh manusia disebut tempat kediaman peta,

Pengucap kata-kata kasar, dan pemfitnah,

Pembunuh dan makhluk-makhluk serakah,

Pencuri dan penipu licik semuanya,

Arah ini adalah Selatan, mereka berkata:

Itulah orang-orang menyebutnya.

Arah ini dijaga oleh seorang raja,

Memiliki kemashyuran dan kekuasaan besar,

Raja dari para kumbhaṇḍa,

Virūḷhaka adalah namanya,

Dihormati oleh para kumbhaṇḍa,

Nyanyian dan tarian mereka ia nikmati …

(dilanjutkan seperti 4)

6. ‘Dari titik di mana matahari terbenam,

Anak Aditya, dalam pancaran agung,

Yang dengannya siang berakhir

Dan malam, Sang Penyelimut, seperti orang-orang mengatakan,

Muncul lagi menggantikan siang,

Juga air yang banyak dan bergerak ini,

Dalam dan lautan yang perkasa bergelombang,

Orang-orang ini mengetahui, dan ini mereka sebut

Samudra atau Lautan Bergelombang.

Arah ini adalah Barat, atau yang Terakhir:

demikianlah orang-orang menyebutnya.

Arah ini dijaga oleh seorang raja,

Memiliki kemasyhuran dan kekuasaan besar,

Raja dari para nāga

Virūpakkha adalah namanya.

Dihormati oleh naga,

Nyanyian dan tarian mereka ia nikmati …

(dilanjutkan seperti 4).

7. ‘Di mana negeri Kuru yang indah di Utara terletak,

Di bawah Neru perkasa yang menarik,

Di sana manusia berdiam, ras yang berbahagia,

Tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki istri.

Mereka tidak perlu menebar benih,

Mereka tidak perlu menarik bajak:

Dari hasil panen yang masak dengan sendirinya

Memberikan dirinya untuk dimakan manusia.

Bebas dari dedak dan dari sekam,

Beraroma harum, beras terbaik,

Ditanak di atas tungku batu-panas,

Makanan demikianlah yang mereka makan.

Sapi dengan satu sadel terpasang,

Demikianlah mereka menunggang berkeliling,

Menggunakan perempuan sebagai tunggangan,

Demikianlah mereka menunggang berkeliling;

Menggunakan laki-laki sebagai tunggangan,

Demikianlah mereka menunggang berkeliling;

Menggunakan gadis perawan sebagai tunggangan,

Demikianlah mereka menunggang berkeliling;

Menggunakan anak-anak laki-laki sebagai tunggangan,

Demikianlah mereka menunggang berkeliling;

Dan demikianlah, dibawa oleh tunggangan demikian,

Semua wilayah mereka lintasi

Untuk melayani raja mereka.

Gajah-gajah mereka tunggangi, kuda-kuda juga,

Kereta-kereta yang layak untuk para dewa juga mereka miliki.

Tandu megah tersedia

Untuk para pengikut kerajaan.

Kota-kota juga mereka miliki, dibangun dengan sempurna,

Menjulang tinggi ke angkasa:

Āṭānāṭā, Kusināṭā,

Parakusināṭā,

Nāṭapuriya adalah milik mereka,

Dan Parakusināṭā.

Kapīvanta di utara,

Janogha, kota-kota lainnya juga,

Navanavatiya, Ambara-

Ambaravatiya,

Āḷakamandā, kota kerajaan,

Tetapi di mana Kuvera berdiam, raja mereka

Disebut Visāṇā, darimana sang raja

Mendapatkan nama Vessavaṇa.

Mereka yang melakukan tugas-tugasnya adalah

Tatolā, Tattalā,

Tototalā, kemudian

Tejasi, Tatojasi,

Sūra, Rājā, Ariṭṭha, Nemi.

Terdapat Dharaṇī air yang perkasa,

Sumber awan-hujan yang tumpah

Ketika musim hujan tiba.

Di sana ada Bhagalavati, sebuah aula

Tempat pertemuan para yakkha,

Dikelilingi pohon-pohon yang berbuah selamanya

Dipenuhi banyak jenis burung,

Di mana merak memekik dan bangau berkicau,

Dan burung tekukur dengan lembut memanggil.

Burung-jīva yang meneriakkan: “Hiduplah terus!”

Dan ia yang menyanyikan: “Bergembiralah!

Ayam hutan, kulīraka,

Bangau hutan, burung-padi juga,

Dan burung-mynah yang menyerupai manusia,

Dan mereka yang bernama “manusia jangkungan”.

Dan di sana terletak yang selamanya indah

Danau-seroja Kuvera yang indah.

Arah ini adalah Utara, mereka berkata:

Itu adalah bagaimana orang-orang menyebutnya.

Arah ini dijaga oleh seorang raja.

Memiliki kemasyhuran dan kekuasaan besar,

Raja dari para yakkha,

Dan Kuvera adalah namanya,

Dihormati oleh para yakkha,

Nyanyian dan tarian mereka ia nikmati.

Ia memiliki banyak putera kuat

Delapan puluh, sepuluh dan satu, kata mereka

Dan semuanya memiliki satu nama,

Dipanggil Indra, raja kekuatan,

Dan ketika Sang Buddha menyapa tatapan mereka,

Buddha, kerabat Matahari,

Dari jauh mereka bersujud

Kepada Raja Kebijaksanaan sejati:

“Salam, o Manusia Mulia!

Salam kepadaMu, Yang Pertama di antara manusia!

Dalam kebaikan Engkau menatap kami,

Siapakah, walaupun bukan manusia, yang menghormati Engkau!

Sering ditanya, apakah kami menghormati

Gotama Sang Penakluk? –

Kami menjawab: ‘Kami memang menghormati

Gotama, Sang Penakluk Agung,

Terlatih dalam kebijaksanaan, juga dalam perilaku,

Buddha Gotama kami menghormat!’”’

8. ‘Ini, Yang Mulia, adalah syair-syair perlindungan Āṭānāṭā, yang dengannya para bhikkhu dan bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan akan dikawal, dilindungi, tidak dicelakai dan merasa nyaman. Dan jika bhikkhu atau bhikkhunī, umat awam laki-laki atau perempuan mana pun juga mempelajari syair-syair ini dengan baik dan menghapalkannya dalam hati, maka jika makhluk bukan manusia mana pun juga, yakkha laki-laki atau perempuan atau anak-anak yakkha, atau pemimpin pelayan atau pelayan yakkha, gandhabba laki-laki atau perempuan, …kumbhaṇḍa, … nāga, … mendatangi orang itu dengan niat jahat ketika ia sedang berjalan atau hendak berjalan, berdiri atau hendak berdiri, duduk atau hendak duduk, berbaring atau hendak berbaring, maka makhluk bukan manusia itu tidak akan dihormati dan disembah di desa atau pemukiman. Makhluk itu tidak akan mendapatkan tempat tinggal di ibukotaku Āḷakamandā, ia tidak akan diizinkan menghadiri pertemuan para yakkha, juga tidak diterima dalam suatu pernikahan. Dan semua makhluk bukan manusia, dengan kemarahan, akan mengecamnya. Kemudian mereka akan membungkukkan kepalanya seperti mangkuk kosong, dan mereka akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping.

9. ‘Ada, Yang Mulia, beberapa makhluk bukan manusia, yang ganas, liar dan mengerikan. Mereka tidak mematuhi Raja-rajanya, juga tidak kepada para menterinya, juga tidak kepada para pelayannya. Mereka dikatakan memberontak melawan Raja-raja Dewa. Bagaikan pemimpin-penjahat yang ditaklukkan oleh Raja Magadha tidak mematuhi Raja Magadha, atau menterinya atau pelayannya, demikian pula mereka bersikap. Sekarang jika ada yakkha atau anak-anak yakkha yang manapun, … gandhabba, … mendatangi bhikkhu atau bhikkhunī, umat awam laki-laki atau perempuan mana pun dengan niat jahat, maka orang itu harus waspada, memanggil dan meneriakkan nama para yakkha, yakkha tinggi, para pemimpin dan jenderal mereka, dengan mengatakan: “Yakkha ini telah menangkapku, menyakitiku, mencelakaiku, melukaiku dan tidak melepaskan aku!”

10. ‘Yang manakah yakkha, yakkha tinggi, para pemimpin dan jenderal yakkha itu? Mereka adalah:

Inda, Soma, Varuṇa,

Bhāradvāja, Pajāpati,

Candana, Kāmaseṭṭha,

Kinnughaṇḍu dan Nighaṇḍu,

Panāda, Opamañña,

Devasutta, Mātali,

Cittasena Sang Gandhabba,

Naḷa, Rājā, Janesabha,

Sātāgira, Hemavata,

Puṇṇaka, Karatiya, Gula,

Sīvaka, Mucalinda juga,

Vessāmitta, Yugandhara,

Gopāla, Suppagedha juga,

Hirī, Netti dan Mandiya,

Pañcālacaṇḍa, Āḷavaka,

Pajunna, Sumana, Sumukha,

Dadimukha, Maṇi juga,

Kemudian Mānicara, Dīgha,

Dan, yang terakhir, Serissaka.

Ini adalah yakkha, yakkha tinggi, para pemimpin dan jenderal yakkha yang harus dipanggil jika terjadi serangan demikian.

11. ‘Dan ini, Yang Mulia, adalah syair-syair perlindungan Āṭānāṭā, yang dengannya para bhikkhu dan bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan akan dikawal, dilindungi, tidak dicelakai dan merasa nyaman. Dan sekarang, Yang Mulia, kami harus pergi: kami mempunyai banyak tugas, banyak hal yang harus dikerjakan.’ ‘Lakukanlah Raja, apa yang kalian anggap baik.’

Dan Empat Raja Dewa berdiri, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā, dan lenyap dari sana. Dan para yakkha berdiri, dan beberapa memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā, dan lenyap dari sana, dan beberapa saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, beberapa memberi hormat kepada Beliau dengan merangkapkan tangan, beberapa menyebutkan nama dan suku mereka, dan mereka semuanya lenyap.

12. Dan ketika malam berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, tadi malam Empat Raja Dewa … mendatangiKu … (ulangi seluruh paragraf 1-11).

13. ‘Para bhikkhu, kalian harus mempelajari syair-syair perlindungan Āṭānāṭā, menguasainya dan menghapalkannya. Itu adalah untuk keuntungan kalian, dan dengannya para bhikkhu dan bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan akan dikawal, dilindungi, tidak dicelakai dan merasa nyaman.’

Demikianlah Sang Bhagavā berbicara dan para bhikkhu senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.

 

~ Āṭānāṭiyasuttaṃ ~

[Huruf Pali “ṃ”, m dengan titik dibawahnya, dibaca “ng”. Sementara huruf Pali “v”, dilafalkan sebagai “w”. Semisal “Evaṃ me sutaṃ” dibaca “Ewang me sutang”.

Huruf Pali “ñ”, dibaca “ng”. Garis diatas huruf vokal, dibaca secara panjang. Huruf Pali “e” dan “o”, dibaca panjang. Semisal “purisājañña” dibaca “purisaa-jany-nya”, “cattāro” dibaca “cat-taa-roo”.

Sutta-sutta ini dikatakan efektif di seluruh sepuluh ribu alam semesta.]

Ekaṃ samayaṃ bhagavā rājagahe viharati gijjhakūṭe pabbate. Atha kho cattāro mahārājā mahatiyā ca yakkhasenāya mahatiyā ca gandhabbasenāya mahatiyā ca kumbhaṇḍasenāya mahatiyā ca nāgasenāya catuddisaṃ rakkhaṃ ṭhapetvā catuddisaṃ gumbaṃ ṭhapetvā catuddisaṃ ovaraṇaṃ ṭhapetvā abhikkantāya rattiyā abhikkantavaṇṇā kevalakappaṃ gijjhakūṭaṃ pabbataṃ obhāsetvā yena bhagavā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu. Tepi kho yakkhā appekacce bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu, appekacce bhagavatā saddhiṃ sammodiṃsu, sammodanīyaṃ kathaṃ sāraṇīyaṃ vītisāretvā ekamantaṃ nisīdiṃsu, appekacce yena bhagavā tenañjaliṃ paṇāmetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu, appekacce nāmagottaṃ sāvetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu, appekacce tuṇhībhūtā ekamantaṃ nisīdiṃsu.

Ekamantaṃ nisinno kho vessavaṇo mahārājā bhagavantaṃ etadavoca – ‘‘santi hi, bhante, uḷārā yakkhā bhagavato appasannā. Santi hi, bhante, uḷārā yakkhā bhagavato pasannā. Santi hi, bhante, majjhimā yakkhā bhagavato appasannā. Santi hi, bhante, majjhimā yakkhā bhagavato pasannā. Santi hi, bhante, nīcā yakkhā bhagavato appasannā. Santi hi, bhante, nīcā yakkhā bhagavato pasannā. Yebhuyyena kho pana, bhante, yakkhā appasannāyeva bhagavato. Taṃ kissa hetu? Bhagavā hi, bhante, pāṇātipātā veramaṇiyā dhammaṃ deseti, adinnādānā veramaṇiyā dhammaṃ deseti, kāmesumicchācārā veramaṇiyā dhammaṃ deseti, musāvādā veramaṇiyā dhammaṃ deseti, surāmerayamajjappamādaṭṭhānā veramaṇiyā dhammaṃ deseti. Yebhuyyena kho pana, bhante, yakkhā appaṭiviratāyeva pāṇātipātā, appaṭiviratā adinnādānā, appaṭiviratā kāmesumicchācārā, appaṭiviratā musāvādā, appaṭiviratā surāmerayamajjappamādaṭṭhānā. Tesaṃ taṃ hoti appiyaṃ amanāpaṃ. Santi hi, bhante, bhagavato sāvakā araññavanapatthāni pantāni senāsanāni paṭisevanti appasaddāni appanigghosāni vijanavātāni manussarāhasseyyakāni paṭisallānasāruppāni. Tattha santi uḷārā yakkhā nivāsino, ye imasmiṃ bhagavato pāvacane appasannā. Tesaṃ pasādāya uggaṇhātu, bhante, bhagavā āṭānāṭiyaṃ rakkhaṃ bhikkhūnaṃ bhikkhunīnaṃ upāsakānaṃ upāsikānaṃ guttiyā rakkhāya avihiṃsāya phāsuvihārāyā’’ti. Adhivāsesi bhagavā tuṇhībhāvena.

Atha kho vessavaṇo mahārājā bhagavato adhivāsanaṃ viditvā tāyaṃ velāyaṃ imaṃ āṭānāṭiyaṃ rakkhaṃ abhāsi –

    ‘‘Vipassissa ca namatthu, cakkhumantassa sirīmato.

    Sikhissapi ca namatthu, sabbabhūtānukampino.

    ‘‘Vessabhussa ca namatthu, nhātakassa tapassino;

    Namatthu kakusandhassa, mārasenāpamaddino.

    ‘‘Koṇāgamanassa namatthu, brāhmaṇassa vusīmato;

    Kassapassa ca namatthu, vippamuttassa sabbadhi.

    ‘‘Aṅgīrasassa namatthu, sakyaputtassa sirīmato;

    Yo imaṃ dhammaṃ desesi, sabbadukkhāpanūdanaṃ.

    ‘‘Ye cāpi nibbutā loke, yathābhūtaṃ vipassisuṃ;

    Te janā apisuṇātha, mahantā vītasāradā.

    ‘‘Hitaṃ devamanussānaṃ, yaṃ namassanti gotamaṃ;

    Vijjācaraṇasampannaṃ, mahantaṃ vītasāradaṃ.

    ‘‘Yato uggacchati sūriyo, ādicco maṇḍalī mahā.

    Yassa cuggacchamānassa, saṃvarīpi nirujjhati;

    Yassa cuggate sūriye, ‘divaso’ti pavuccati.

    ‘‘Rahadopi tattha gambhīro, samuddo saritodako;

    Evaṃ taṃ tattha jānanti, ‘samuddo saritodako’.

    ‘‘Ito ‘sā purimā disā’, iti naṃ ācikkhatī jano;

    Yaṃ disaṃ abhipāleti, mahārājā yasassi so.

    ‘‘Gandhabbānaṃ ādhipati, ‘dhataraṭṭho’ti nāmaso;

    Ramatī naccagītehi, gandhabbehi purakkhato.

    ‘‘Puttāpi tassa bahavo, ekanāmāti me sutaṃ;

    Asīti dasa eko ca, indanāmā mahabbalā.

    Te cāpi buddhaṃ disvāna, buddhaṃ ādiccabandhunaṃ;

    Dūratova namassanti, mahantaṃ vītasāradaṃ.

    ‘‘Namo te purisājañña, namo te purisuttama;

    Kusalena samekkhasi, amanussāpi taṃ vandanti;

    Sutaṃ netaṃ abhiṇhaso, tasmā evaṃ vademase.

 

    ‘‘‘Jinaṃ vandatha gotamaṃ, jinaṃ vandāma gotamaṃ;

    Vijjācaraṇasampannaṃ, buddhaṃ vandāma gotamaṃ’.

 

    ‘‘Yena petā pavuccanti, pisuṇā piṭṭhimaṃsikā.

 

    Pāṇātipātino luddā, corā nekatikā janā.

 

    ‘‘Ito ‘sā dakkhiṇā disā’, iti naṃ ācikkhatī jano;

    Yaṃ disaṃ abhipāleti, mahārājā yasassi so.

 

    ‘‘Kumbhaṇḍānaṃ adhipati, ‘virūḷho’ iti nāmaso;

    Ramatī naccagītehi, kumbhaṇḍehi purakkhato.

 

    ‘‘Puttāpi tassa bahavo, ekanāmāti me sutaṃ;

    Asīti dasa eko ca, indanāmā mahabbalā.

 

    Te cāpi buddhaṃ disvāna, buddhaṃ ādiccabandhunaṃ;

    Dūratova namassanti, mahantaṃ vītasāradaṃ.

 

    ‘‘Namo te purisājañña, namo te purisuttama;

    Kusalena samekkhasi, amanussāpi taṃ vandanti;

    Sutaṃ netaṃ abhiṇhaso, tasmā evaṃ vademase.

 

    ‘‘‘Jinaṃ vandatha gotamaṃ, jinaṃ vandāma gotamaṃ;

    Vijjācaraṇasampannaṃ, buddhaṃ vandāma gotamaṃ’.

 

    ‘‘Yattha coggacchati sūriyo, ādicco maṇḍalī mahā.

 

    Yassa coggacchamānassa, divasopi nirujjhati;

    Yassa coggate sūriye, ‘saṃvarī’ti pavuccati.

 

    ‘‘Rahadopi tattha gambhīro, samuddo saritodako;

    Evaṃ taṃ tattha jānanti, ‘samuddo saritodako’.

 

    ‘‘Ito ‘sā pacchimā disā’, iti naṃ ācikkhatī jano;

    Yaṃ disaṃ abhipāleti, mahārājā yasassi so.

 

    ‘‘Nāgānañca adhipati, ‘virūpakkho’ti nāmaso;

    Ramatī naccagītehi, nāgeheva purakkhato.

 

    ‘‘Puttāpi tassa bahavo, ekanāmāti me sutaṃ;

    Asīti dasa eko ca, indanāmā mahabbalā.

 

    Te cāpi buddhaṃ disvāna, buddhaṃ ādiccabandhunaṃ;

    Dūratova namassanti, mahantaṃ vītasāradaṃ.

 

    ‘‘Namo te purisājañña, namo te purisuttama;

    Kusalena samekkhasi, amanussāpi taṃ vandanti;

    Sutaṃ netaṃ abhiṇhaso, tasmā evaṃ vademase.

 

    ‘‘‘Jinaṃ vandatha gotamaṃ, jinaṃ vandāma gotamaṃ;

    Vijjācaraṇasampannaṃ, buddhaṃ vandāma gotamaṃ’.

 

    ‘‘Yena uttarakurū rammā, mahāneru sudassano.

 

    Manussā tattha jāyanti, amamā apariggahā.

 

    ‘‘Na te bījaṃ pavapanti, napi nīyanti naṅgalā;

    Akaṭṭhapākimaṃ sāliṃ, paribhuñjanti mānusā.

 

    ‘‘Akaṇaṃ athusaṃ suddhaṃ, sugandhaṃ taṇḍulapphalaṃ;

    Tuṇḍikīre pacitvāna, tato bhuñjanti bhojanaṃ.

 

    ‘‘Gāviṃ ekakhuraṃ katvā, anuyanti disodisaṃ;

    Pasuṃ ekakhuraṃ katvā, anuyanti disodisaṃ.

 

    ‘‘Itthī-vāhanaṃ katvā, anuyanti disodisaṃ;

    Purisaṃ vāhanaṃ katvā, anuyanti disodisaṃ.

 

    ‘‘Kumāriṃ vāhanaṃ katvā, anuyanti disodisaṃ;

    Kumāraṃ vāhanaṃ katvā, anuyanti disodisaṃ.

 

    ‘‘Te yāne abhiruhitvā,

    Sabbā disā anupariyanti;

    Pacārā tassa rājino.

 

    ‘‘Hatthiyānaṃ assayānaṃ, dibbaṃ yānaṃ upaṭṭhitaṃ;

    Pāsādā sivikā ceva, mahārājassa yasassino.

 

    ‘‘Tassa ca nagarā ahu,

    Antalikkhe sumāpitā;

    Āṭānāṭā kusināṭā parakusināṭā,

    Nāṭapuriyā parakusiṭanāṭā.

 

    ‘‘Uttarena kapivanto,

    Janoghamaparena ca;

    Navanavutiyo ambaraambaravatiyo,

    Āḷakamandā nāma rājadhānī.

 

    ‘‘Kuverassa kho pana, mārisa, mahārājassa visāṇā nāma rājadhānī;

    Tasmā kuvero mahārājā, ‘vessavaṇo’ti pavuccati.

 

    ‘‘Paccesanto pakāsenti, tatolā tattalā tatotalā;

    Ojasi tejasi tatojasī, sūro rājā ariṭṭho nemi.

 

    ‘‘Rahadopi tattha dharaṇī nāma, yato meghā pavassanti;

    Vassā yato patāyanti, sabhāpi tattha sālavatī nāma.

 

    ‘‘Yattha yakkhā payirupāsanti, tattha niccaphalā rukkhā;

    Nānā dijagaṇā yutā, mayūrakoñcābhirudā;

    Kokilādīhi vagguhi.

 

    ‘‘Jīvañjīvakasaddettha, atho oṭṭhavacittakā;

    Kukutthakā kuḷīrakā, vane pokkharasātakā.

 

    ‘‘Sukasāḷikasaddettha, daṇḍamāṇavakāni ca;

    Sobhati sabbakālaṃ sā, kuveranaḷinī sadā.

 

    ‘‘Ito ‘sā uttarā disā’, iti naṃ ācikkhatī jano;

    Yaṃ disaṃ abhipāleti, mahārājā yasassi so.

 

    ‘‘Yakkhānañca adhipati, ‘kuvero’ iti nāmaso;

    Ramatī naccagītehi, yakkheheva purakkhato.

 

    ‘‘Puttāpi tassa bahavo, ekanāmāti me sutaṃ;

    Asīti dasa eko ca, indanāmā mahabbalā.

 

    ‘‘Te cāpi buddhaṃ disvāna, buddhaṃ ādiccabandhunaṃ;

    Dūratova namassanti, mahantaṃ vītasāradaṃ.

 

    ‘‘Namo te purisājañña, namo te purisuttama;

    Kusalena samekkhasi, amanussāpi taṃ vandanti;

    Sutaṃ netaṃ abhiṇhaso, tasmā evaṃ vademase.

 

    ‘‘‘Jinaṃ vandatha gotamaṃ, jinaṃ vandāma gotamaṃ;

    Vijjācaraṇasampannaṃ, buddhaṃ vandāma gotama’’’nti.

‘‘Ayaṃ kho sā, mārisa, āṭānāṭiyā rakkhā bhikkhūnaṃ bhikkhunīnaṃ upāsakānaṃ upāsikānaṃ guttiyā rakkhāya avihiṃsāya phāsuvihārāya.

‘‘Yassa kassaci, mārisa, bhikkhussa vā bhikkhuniyā vā upāsakassa vā upāsikāya vā ayaṃ āṭānāṭiyā rakkhā suggahitā bhavissati samattā pariyāpuṭā. Taṃ ce amanusso yakkho vā yakkhinī vā yakkhapotako vā yakkhapotikā vā yakkhamahāmatto vā yakkhapārisajjo vā yakkhapacāro vā, gandhabbo vā gandhabbī vā gandhabbapotako vā gandhabbapotikā vā gandhabbamahāmatto vā gandhabbapārisajjo vā gandhabbapacāro vā, kumbhaṇḍo vā kumbhaṇḍī vā kumbhaṇḍapotako vā kumbhaṇḍapotikā vā kumbhaṇḍamahāmatto vā kumbhaṇḍapārisajjo vā kumbhaṇḍapacāro vā, nāgo vā nāgī vā nāgapotako vā nāgapotikā vā nāgamahāmatto vā nāgapārisajjo vā nāgapacāro vā, paduṭṭhacitto bhikkhuṃ vā bhikkhuniṃ vā upāsakaṃ vā upāsikaṃ vā gacchantaṃ vā anugaccheyya, ṭhitaṃ vā upatiṭṭheyya, nisinnaṃ vā upanisīdeyya, nipannaṃ vā upanipajjeyya. Na me so, mārisa, amanusso labheyya gāmesu vā nigamesu vā sakkāraṃ vā garukāraṃ vā. Na me so, mārisa, amanusso labheyya āḷakamandāya nāma rājadhāniyā vatthuṃ vā vāsaṃ vā. Na me so, mārisa, amanusso labheyya yakkhānaṃ samitiṃ gantuṃ. Apissu naṃ, mārisa, amanussā anāvayhampi naṃ kareyyuṃ avivayhaṃ. Apissu naṃ, mārisa, amanussā attāhipi paripuṇṇāhi paribhāsāhi paribhāseyyuṃ. Apissu naṃ, mārisa, amanussā rittaṃpissa pattaṃ sīse nikkujjeyyuṃ. Apissu naṃ, mārisa, amanussā sattadhāpissa muddhaṃ phāleyyuṃ.

‘‘Santi hi, mārisa, amanussā caṇḍā ruddhā rabhasā, te neva mahārājānaṃ ādiyanti, na mahārājānaṃ purisakānaṃ ādiyanti, na mahārājānaṃ purisakānaṃ purisakānaṃ ādiyanti. Te kho te, mārisa, amanussā mahārājānaṃ avaruddhā nāma vuccanti. Seyyathāpi, mārisa, rañño māgadhassa vijite mahācorā. Te neva rañño māgadhassa ādiyanti, na rañño māgadhassa purisakānaṃ ādiyanti, na rañño māgadhassa purisakānaṃ purisakānaṃ ādiyanti. Te kho te, mārisa, mahācorā rañño māgadhassa avaruddhā nāma vuccanti. Evameva kho, mārisa, santi amanussā caṇḍā ruddhā rabhasā, te neva mahārājānaṃ ādiyanti, na mahārājānaṃ purisakānaṃ ādiyanti, na mahārājānaṃ purisakānaṃ purisakānaṃ ādiyanti. Te kho te, mārisa, amanussā mahārājānaṃ avaruddhā nāma vuccanti. Yo hi koci, mārisa, amanusso yakkho vā yakkhinī vā yakkhapotako vā yakkhapotikā vā yakkhamahāmatto vā yakkhapārisajjo vā yakkhapacāro vā, gandhabbo vā gandhabbī vā gandhabbapotako vā gandhabbapotikā vā gandhabbamahāmatto vā gandhabbapārisajjo vā gandhabbapacāro vā, kumbhaṇḍo vā kumbhaṇḍī vā kumbhaṇḍapotako vā kumbhaṇḍapotikā vā kumbhaṇḍamahāmatto vā kumbhaṇḍapārisajjo vā kumbhaṇḍapacāro vā, nāgo vā nāgī vā nāgapotako vā nāgapotikā vā nāgamahāmatto vā nāgapārisajjo vā nāgapacāro vā paduṭṭhacitto bhikkhuṃ vā bhikkhuniṃ vā upāsakaṃ vā upāsikaṃ vā gacchantaṃ vā anugaccheyya, ṭhitaṃ vā upatiṭṭheyya, nisinnaṃ vā upanisīdeyya, nipannaṃ vā upanipajjeyya. Imesaṃ yakkhānaṃ mahāyakkhānaṃ senāpatīnaṃ mahāsenāpatīnaṃ ujjhāpetabbaṃ vikkanditabbaṃ viravitabbaṃ – ‘ayaṃ yakkho gaṇhāti, ayaṃ yakkho āvisati, ayaṃ yakkho heṭheti, ayaṃ yakkho viheṭheti, ayaṃ yakkho hiṃsati, ayaṃ yakkho vihiṃsati, ayaṃ yakkho na muñcatī’ti.

    ‘‘Katamesaṃ yakkhānaṃ mahāyakkhānaṃ senāpatīnaṃ mahāsenāpatīnaṃ?

 

    ‘‘Indo somo varuṇo ca, bhāradvājo pajāpati;

    Candano kāmaseṭṭho ca, kinnughaṇḍu nighaṇḍu ca.

 

    ‘‘Panādo opamañño ca, devasūto ca mātali;

    Cittaseno ca gandhabbo, naḷo rājā janesabho.

 

    ‘‘Sātāgiro hemavato, puṇṇako karatiyo guḷo;

    Sivako mucalindo ca, vessāmitto yugandharo.

 

    ‘‘Gopālo suppagedho ca, hirī nettī ca mandiyo;

    Pañcālacaṇḍo āḷavako, pajjunno sumano sumukho;

    Dadhimukho maṇi mānicaro dīgho, atho serīsako saha.

‘‘Imesaṃ yakkhānaṃ mahāyakkhānaṃ senāpatīnaṃ mahāsenāpatīnaṃ ujjhāpetabbaṃ vikkanditabbaṃ viravitabbaṃ – ‘ayaṃ yakkho gaṇhāti, ayaṃ yakkho āvisati, ayaṃ yakkho heṭheti, ayaṃ yakkho viheṭheti, ayaṃ yakkho hiṃsati, ayaṃ yakkho vihiṃsati, ayaṃ yakkho na muñcatī’ti.

‘‘Ayaṃ kho sā, mārisa, āṭānāṭiyā rakkhā bhikkhūnaṃ bhikkhunīnaṃ upāsakānaṃ upāsikānaṃ guttiyā rakkhāya avihiṃsāya phāsuvihārāya. Handa ca dāni mayaṃ, mārisa, gacchāma bahukiccā mayaṃ bahukaraṇīyā’’ti. ‘‘Yassadāni tumhe mahārājāno kālaṃ maññathā’’ti.

Atha kho cattāro mahārājā uṭṭhāyāsanā bhagavantaṃ abhivādetvā padakkhiṇaṃ katvā tatthevantaradhāyiṃsu. Tepi kho yakkhā uṭṭhāyāsanā appekacce bhagavantaṃ abhivādetvā padakkhiṇaṃ katvā tatthevantaradhāyiṃsu. Appekacce bhagavatā saddhiṃ sammodiṃsu, sammodanīyaṃ kathaṃ sāraṇīyaṃ vītisāretvā tatthevantaradhāyiṃsu. Appekacce yena bhagavā tenañjaliṃ paṇāmetvā tatthevantaradhāyiṃsu. Appekacce nāmagottaṃ sāvetvā tatthevantaradhāyiṃsu. Appekacce tuṇhībhūtā tatthevantaradhāyiṃsūti.

Paṭhamabhāṇavāro niṭṭhito.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.