Menikmati Buah Manis Kompetisi / Persaingan Usaha yang Sehat antar Perlaku Usaha

Regulator Idealnya Mengatur secara Inovatif serta Pelayanan Berbasis Pengalaman Pengguna (Users Experience), agar Pelayanan Publik dapat Terselenggara secara Optimal

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Memangnya mengapa dan untuk tujuan apakah, pemerintah dalam hal ini lewat otoritas semacam KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) maupun seperti Kementerian Perdagangan harus atur dan intervensi pasar, harga komoditas, distribusi niaga, dan sebagainya?

Brief Answer: Antara orientasi pelaku usaha dan orientasi masyarakat selaku konsumen, tentu saling tarik-menarik kepentingan, karena itu pendekatannya perlu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, yakni publik. Dalam rangka menghindari atau menekan potensi praktik monopoli usaha yang, ataupun seperti praktik-praktik persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha yang kerap menetapkan kartel harga secara terselubung, maka negara harus hadir lewat kebijakan serta intervensi pembentukan “jaring pengaman” (safety nett) untuk melindungi masyarakat luas sebagai basis utamanya, agar tidak menjadi objek eksploitasi pelaku usaha yang berniaga secara tidak etis. Negara harus hadir ditengah-tengah masyarakat, sebagai tugas dan fungsi utama pembentukan suatu negara bernama republik, dimana aturan hukumnya perlu dibentuk secara demokratis serta penegakan hukumnya harus secara komunist!k.

Begitupula praktik berniaga di negara-negara lainnya, bahkan di seluruh negara, termasuk maskot negara liberalis sekalipun seperti Amerika Serikat, otoritas semacam Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat kita jumpai beroperasi untuk memastikan tiada segala bentuk terselubung ekploitasi konsumen lewat persaingan usaha tidak sehat. Karenanya, sistem ekonomi “pasar bebas” yang dicetuskan oleh Bapak Liberalisme Ekonomi, Adam Smith, praktis hanya berlaku pada konteks pasar yang amat sangat sederhana sifatnya, tidak melibatkan korporasi raksasa, pemodal kuat, maupun penguasa jaringan dari hulu hingga hilir, serta juga tiada melibatkan komponen sindikasi semacam persekongkolan antar pelaku usaha seperti tren dewasa ini—praktik-praktik tidak sehat dan terselubung demikian tumbuh-subur pada era modern industrialisasi ini dengan kedok wadah berupa / bernama “asosiasi” antar pelaku usaha dimana mereka dapat saling berkumpul, bersepakat, dan bersekongkol membagi pangsa pasar ataupun menetapkan kartel harga.

PEMBAHASAN:

Ilustrasi sederhana berikut baru-baru ini penulis amati, sebagai fenomena yang cukup menarik sekaligus cukup mewakili penjelasan pentingnya maupun faedah dibalik kompetisi usaha yang sehat, sekaligus menggambarkan bahaya dibalik kompetisi usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha, terutama imbasnya bagi pelayanan dan kualitas pelayanan terkait konsumen atau pengguna barang maupun jasa. Saat ulasan ini disusun, harga bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan telah dinaikkan pemerintah sehingga mengikuti mekanisme harga pasar minyak global tanpa lagi disubsidi oleh pemerintah. Secara logika dan kalkulasi bisnis, semestinya ongkos kirim paket ataupun dokumen via kurir atau perusahaan ekspedisi, turut naik sebagai imbas kenaikan harga BBM.

Namun, penulis mendapati pihak ekspedisi yang penulis kunjungi justru menawarkan program baru yang mana ongkos kirim paket ataupun dokumen menjadi jauh lebih murah dan lebih terjangkau bagi masyarakat—mampu lebih efisien—yang artinya ialah lebih meringankan beban konsumen pengguna jasa. Berkat persaingan usaha yang sengit dan ketat, para pelaku usaha dibidang pengiriman paket menjadi terdorong terus berinovasi, agar usahanya bisa bertahan dengan tetap memiliki pelanggan, atau bahkan bisa berkembang menghimpun pelanggan baru. Pada era arus lalu-lintas barang yang kian masif dewasa ini, berbagai perusahaan ekspedisi bermunculan bak cendawan dimusim penghujan. Pada gilirannya, para pelaku usaha berlomba-lomba menarik minat konsumen baru maupun mempertahankan pelanggannya, dengan menghadirkan berbagai inovasi dan pelayanan prima paling optimal yang mereka mampu hadirkan agar “tetap melekat di hati konsumennya, tanpa pindah ke lain hati”.

Singkatnya, tingkat kepuasan konsumen, dalam hal ini pengalaman pengguna (users experience), menjadi barometer atau tolak-ukur keberhasilan dan eksistensi pelaku usaha untuk bisa bertahan atau justru terpuruk dan tersungkur akibat kalah bersaing serta tidak berhasil menarik pelanggan baru ataupun mempertahankan tingkat loyalitas masyarakat konsumennya. Hidup maupun bisnis memang “kejam”, namun umat manusia daspat beradabtasi untuk bisa bertahan hidup (survival of the fittest), tidak terkecuali pelaku usaha perlu ber-evolusi untuk dapat bertahan ditengah-tengah kian ketatnya pelaku usaha yang masuk ke dalam ceruk pasar yang sama dan saling bersaing memperebutkan “kue”, atau bahkan membuat / membuka / menciptakan “pangsa pasar” yang baru.

Contoh lainnya, ialah perbankan swasta maupun berbagai perbankan “plat merah” milik Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah, turut mewarnai persaingan usaha dibidang lembaga keuangan di Indonesia, dimana belasan perbankan maupun Bank Perkreditan Rakyat terjun di bisnis yang sama untuk dapat dipilih konsumen sesuai minat. Alhasil, nasabah dilayani bak seorang raja, dimana bila nasabah merasa dikecewakan, cukup semudah berpindah ke lain hati dengan mentransfer seluruh dana dalam rekening ke bank lain, tanpa kendala yang berarti. Tidak bisa lagi kalangan perbankan bersikap “sok jual mahal” kepada masyarakat, agar masyarakat berminat menjadi nasabah tentu pihak bank harus berinovasi agar “dekat di hati pelanggan / konsumen”.

Jika saja sistem birokrasi pemerintahan kita di Indonesia, ketika memberikan pelayanan publik yang notabene kewajiban mereka (yang artinya menjadi hak dari publik sipil), mengedepankan prinsip yang sama, yakni budaya egalitarian atau “merit sistem” (meritokrasi), maka daya tawar publik selaku masyarakat sipil akan meningkat, yang pada gilirannya pelayanan publik akan menjadi optimal dan benar-benar para Aparatur Sipil Negara kita layak disebut atau menyandang gelar sebagai “civil servant”. Tidak seperti selama ini, seburuk apapun pelayanan Pegawai Negeri Sipil kita, sekalipun publik merasa kecewa, dan tiadanya basis kinerja yang jelas, mereka tetap mendapat upah setiap bulannya dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, sehingga daya tawar masyarakat menjadi lemah akibat menghadapi monopolistik birokrasi pemerintahan.

Sebenarnya, sebagai salah satu contoh, pada era sertifikat tanah digital atau sertifikat tanah elektronik ini, dimungkinkan saja warga pemilik tanah di Jakarta Barat, memohon pelayanan pendaftaran pertanahan di Kantor Pertanahan Jakarta Utara, karena merasa kecewa dengan pelayanan yang buruk dan penuh pungutan liar oleh oknum-oknum di Kantor Pertanahan Jakarta Barat. Alhasil, bila banyak masyarakat yang lebih memilih Kantor Pertanahan yang sesuai dengan hati mereka (user friendly), maka dengan sendirinya Kantor Pertanahan Jakarta Barat yang terdeteksi buruk laporan kinerjanya, akan terlihat dengan jelas, menjadi transparan serta akuntabel secara sendirinya. Selama ini, akibat monopolistik, masyarakat yang kerap dikecewakan tetap harus mendatangi Kantor Pertanahan Jakarta Barat, suka maupun tidak suka, sekalipun di-“ping pong”, di-“pungli”, maupun ditelantarkan.

Akibatnya, tiada prinsip meritokrasi ataupun egalitarian, dimana sebagai imbasnya ialah pelayanan publik yang terbalik, dalam artian publik yang harus melayani segala kemauan dan keinginan para oknum-oknum berjemaah pada institusi pemerintahan bersangkutan. Idealnya, sebagai contoh lain bilamana memang pemerintah kita punya “political will” untuk itu, masyarakat anggota peserta Jaminan Kesehatan Nasional dibebaskan memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan sesuai minat hati mereka, agar fasilitas kesehatan yang tidak ramah dan tidak menghormati ataupun tidak menghargai pasien, dapat sepi dari pasien pengunjung. Dengan begitu, evaluasi kinerja dapat dengan mudah diidentifikasi oleh pemerintah pusat, mana yang kinerjanya buruk dan mana yang kinerjanya perlu dipertahankan.

Prinsip sebaliknya dapat kita terapkan, dimana banyak pelaku usaha yang berbisnis secara tidak etis, semisal tidak “tertib niaga” dengan membangun tempat usaha di trotoar, bahkan merampas hak pejalan kaki dengan berjualan atau menggelar lapak hingga kios semi-permanen di sempadan bangunan, namun pemerintah setempat selaku otoritas kerap abai dan terkesan membiarkan segala ketidak-tertiban demikian, maka kita selaku masyarakat luas punya kekuatan sebagai konsumen untuk memberikan “punishment” (the power of customers), yakni dengan tidak membeli produk-produk yang dijajakan secara tidak tertib ataupun tidak etis demikian, tidak terkecuali penjualan barang secara “online” yang mengalihfungsikan lingkungan pemukiman dan perumahan sehingga menimbulkan dampak sosial seperti parkir liar, kegaduhan, dsb, yang mengganggu kenyamanan hidup warga pemukim—sistem boikot berjemaah. Pada gilirannya, secara langsung maupun secara tidak langsung, tiada lagi yang menggelar barang dagangan ataupun berjualan secara tidak tertib.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.