Bahaya Distorsi Dibalik HOAX, Kelirutahu (Tahu namun Keliru) & Keliruyakin (Yakin namun Keliru)

Ketika Masih Minoritas, Menuntut dan Menikmati Toleransi. Ketika telah menjadi Mayoritas, para Muslim justru Ingin Meniadakan Toleransi yang Dahulu Mereka Tuntut dan Nikmati, Menggantikannya dengan Intoleransi, Represi, serta Teror (Kitab Jawa DHARMO GHANDUL). Pola yang Sama Selalu Berulang dan Terulang di Setiap Negara

Memakan dan Termakan HOAX, Sebelum Kemudian Turut Reproduksi HOAX tersebut, adalah DOSA—Fitnah Itu Sendiri

Fenomena Sarjana HOAX, Bergelar Sarjana namun Menu Makanannya ialah HOAX

Belum lama ini, penulis berkomunikasi dengan seorang teman satu almamater yang bergelar sarjana bahkan memperoleh Strata-2 dari Fakultas Hukum di Tanah air, yang mana gelar kesarjanaan bermakna yakni mereka yang telah (semestinya dan seharusnya) tergolong intelek—cendekiawan (kalangan cerdik dan pandai) sebagai bagian dari lingkaran kaum intelektual, yang mana seyogianya juga bersikap ilmiah nan empirik, telah ternyata fakta berikut ini memperlihatkan realita yang sebaliknya sekaligus membuktikan betapa bahayanya “hoax”, yang dalam banyak kasus bahkan menyerupai ideologi itu sendiri—meyakini secara membuta, apapun faktanya, meyakini apa yang ia yakini ataupun meyakini apa yang ingin mereka yakini atau meyakini apa yang diyakini oleh mayoritas publik (keyakinan pada umumnya, tidak selalu benar adanya).

Komunikasi ialah perbincangan seputar pemberitaan pelarangan pendirian rumah ibadah bagi agama non-islam, yang terjadi sepanjang tahunnya, dari tahun ke tahun, di berbagai provinsi di Tanah Air. Namun, penulis mendapati satu keganjilan yang sangat kentara, yakni “standar ganda”, seolah-olah hanya umat islam yang memiliki keistimewaan untuk diberi toleransi, sementara itu umat beragama lainnya boleh-boleh saja dan sahih-sahih saja dilarang ibadah, direpresi keyakinannya lewat kriminalisasi ala “penistaan agama”, maupun pendirian rumah ibadahnya sebagaimana praktik di Timur Tengah. Di negara minoritas muslim, para muslim menuntut diberi toleransi dan dihargai cara mereka beribadah.

Namun, di negara-negara mayoritas muslim, para muslim tersebut justru tidak toleran terhadap umat beragama non-muslim. Sejarah Nusantara sendiri, masuknya islam pada abad ke-15 Masehi ialah berkat toleransi yang diberikan Kerajaan Majapahit yang notabene kerajaan Buddhist—agama nenek-moyang bangsa Indonesia ialah Buddhist, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-15 Masehi—namun ketika islam menjadi mayoritas, para muslim kini ingin memberangus toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati. Kawan satu almamater yang kini menjadi lawan bicara penulis, berkulit putih dan tampaknya bukan muslim, namun secara ganjil dan tendensius justru tampak memakan dan termakan oleh “hoax”, juga kemudian mengalihkan isu ke topik-topik seputar Rohingya dan Uighur.

Terhadap yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa Uighur merupakan “kaum / etnik minoritas tertindas” oleh China, maupun Rohingya yang juga “kaum tertindas” oleh Myanmar, telah penulis nyatakan bahwa kesemua itu adalah “hoax” belaka, sekalipun beberapa tahun yang lampau pihak pembuat “hoax” dan penyebarnya, yakni geng bernama “Saracen” dan “Muslim Cyber Army” telah divonis pidana penjara sebagai pelaku penyebaran berita bohong di Tanah Air, tetap saja ia bersikukuh dengan keyakinannya tersebut—bahkan terkesan membuta serta tidak rasional, karena tidak didasari oleh “evidences-based” maupun “based on scientific evidence” sebagaimana seorang ilmuan yang semestinya memiliki paradigma berpikir yang ilmiah, bukan semata memakan dan termakan oleh “hoax” yang tidak jelas sumber, objektivitas, maupun kredibilitasnya.

Sekalipun telah penulis nyatakan serta tegaskan bahwa apa yang ia sebutkan sebagaimana tudingannya hanyalah “hoax”, namun yang bersangkutan mendesak penulis untuk memberikan bukti bahwa itu adalah “hoax”—bukankah aneh serta ganjil, beban pembuktian untuk membantah justru dibebankan kepada pundak penulis, alih-alih ia yang dibebani beban pembuktian untuk membuktikan dalil-dalil sebagaimana yang ia klaim untuk kali pertamanya diskusi berlangsung. Itulah bahaya pertama dibalik termakan dan memakan “hoax”, bagaikan mereka yang meyakini suatu keyakinan keagamaan yang irasional sekalipun, tanpa bukti empirik, namun itulah yang mereka pegang teguh sebagai keyakinan yang mereka yakini secara membabi-buta. Sukar sekali menghadapi tipikal orang-orang semacam demikian, meski fakta dan realita sudah ada persis di depan mata mereka sendiri. Akibat delusi serta distorsi persepsi, ibarat pepatah “gajah di depan mata tidak tampak, namun semut di seberang samudera ditunjuk-tunjuk”, demikianlah fenomena orang-orang yang memakan serta termakan oleh “hoax”, sebuah “hiper-realitas”.

Selalu saja, yang didengung-dengungkan ialah “play victim” kalangan muslim, dimana tiada satupun dari masyarakat kita di Indonesia yang pernah menyinggung-nyinggung kekejaman Arab Saudi yang menjajah dan menginvasi masyarakat Yaman yang tidak berdosa, penjajahan Turki atas Libya, perang saudara saling bunuh (muslim Vs. muslim dan negara islam Vs. negara islam, bencana kemanusiaan yang menyerupai kutukan abadi di kawasan Timur Tengah) yang tidak berkesudahan antar muslim di negara-negara Timur Tengah, dan lain sebagainya—suatu “standar ganda” itu sendiri, alias kepentingan politis kaum muslim yang hendak meluaskan hegemoninya. Akibat tiadanya kemauan untuk beradabtasi, kalangan muslim banyak bersikap “rewel” terhadap bangsa maupun negara tempat dimana mereka berada, semisal Abu Sayaf di Filipina Selatan, begitupula kondisi kaum muslim separatis di Thailand Selatan yang kerap membunuhi para bhikkhu.

Telah penulis jelaskan, meski pemberitaan juga cukup masif, bahwa Rohingya kerap melakukan aksi kekerasan bersenjata selayaknya para Kelompok Kriminal Bersenjata yang meresahkan di Papua meski mereka telah diberi alokasi dana khusus untuk Otonomi Daerah. Bahkan Rohingya di Rakhine-Myanmar kerap melakukan aksi teror!sme, pelatihan bersenjata militeristik, dan kekerasan yang meresahkan masyarakat Buddhist di Myanmar, juga aksi teror!sme di India sehingga India menolak keras keberadaan Rohingya. Begitupula ketika Rohingya mengungsi ke negara lain, meski Rohingya sejatinya berasal dari Bangladesh—yang artinya juga merupakan sebagai pengungsi di Myanmar—namun telah ternyata negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan termasuk Indonesia sendiri menolak pengungsi dari etnik Rohingya.

Pernah suatu kali, Rohingya disambut oleh masyarakat “agamais” Aceh dengan tangan terbuka, namun Rohingya yang tidak mampu beradabtasi dengan masyarakat setempat, membuat keonaran, sehingga pada akhirnya terlontar ucapan berikut dari mulut para pengungsi tersebut : “Aceh (negara) miskin, kami mau mengungsi ke Australia dan Amerika Serikat (negara-negara kafir).” Publik pun kerap dbuat heboh oleh berbagai keonaran etnik Rohingya yang hanya menjadi beban sosial bagi negara dimana mereka ditampung. Sekalipun telah bertahun-tahun ditampung di Indonesia, mereka bersikukuh dan kerap berdemo agar diizinkan mengungsi ke Australia sekalipun mereka akan lebih bebas beribadah sesuai agama mereka di Indonesia. Keganjilan juga tampak dari fenomena eksodusnya para warga Suriah maupun negara-negara berkonflik di Timur Tengah yang justru mengungsi ke Eropa alih-alih ke negara-negara muslim lainnya di kawasan Timur Tengah.

Begitupula fakta bahwa beberapa dekade lampau, Junta Militer Myanmar membakari ribuan vihara maupun ribuan bhikkhu di Myanmar, sehingga apa yang dialami Rohingya oleh Junta Miliar Myanmar, tiada kaitan dengan agama—namun masyarakat “agamis” di-Indonesia selalu mengkait-kaitkannya dengan isu ras maupun agama. Beberapa tahun lampau, Junta kembali bermanuver dengan pertumpahan darah, yakni menggulingkan pemerintahan demokratis di Myanmar, akibatnya ribuan atau mungkin puluhan ribu warga Myanmar (para Buddhist) melarikan diri dan menjadi pengungsi ke negara-negara tetangganya. Mengapa tiada yang menyebut peristiwa tersebut sebagai “genosida terhadap umat Buddhist” ataupun “koin selamatkan Buddhist Myanmar” oleh masyarakat di Indonesia yang “agamais” ini?

Sang teman satu almamater, meski seorang Sarjana Hukum bahkan menyandang gelar sebagai Magister Kenotariatan dari Universitas Swasta ternama di Indonesia, menyebut peristiwa Rohingya sebagai “genosida”—penyebutan yang membuat penulis merasa “geli” sekaligus “miris”, dimana setelah penulis paparkan kesemua fakta-fakta yang penulis bahas di atas, barulah dirinya mengakui bahwa kejadian di Myanmar ialah faktor kekejaman militer, tidak terkait agama, dan tidak lagi berani menyebut-nyebut istilah “genosida”. Kita tidak boleh ber-“standar ganda”, maka kita pun harus menyebut bahwa Orang Jawa melakukan “genosida” di Aceh, di Timor Timur, maupun di Papua.

Berlanjut pada perdebatan panjang dari sang teman satu almamater, tanpa mau belajar dari kelirutahu dirinya perihal kasus di Rakhine-Myanmar, kini dirinya beralih kepada isu Uighur di Provinsi Sinjiang-China, yang juga disebut olehnya hendak di-“genosida” oleh etnik China. Dalam hati penulis bertanya-tanya, yang bersangkutan ini sebetulnya Sarjana Hukum, ataukah “Sarjana (Pemakan) HOAX”? Dengan sangat terpaksa, penulis meluangkan waktu yang semestinya untuk kegiatan produktif, dialokasikan untuk keperluan urgensi mendebat sang “Sarjana HOAX”, dengan kutipan berikut ini yang tidak lagi dapat dibantah oleh sang “Sarjana HOAX”—sekaligus memperlihatkan betapa masyarakat kita di Indonesia, meski berpendidikan tinggi, namun telah ternyata tidak menjamin tingkat intelejensi yang bersangkutan:

Mau bukti soal kondisi Uighur?

Saya kutip dari https:// news.detik .com/berita/d-4027365/benarkah-muslim-ditindas-di-xinjiang-china (silahkan buka link-nya langsung jika tidak percaya)

Ini kutipannya:

Benarkah Muslim Ditindas di Xinjiang China?

Fitraya Ramadhanny - detikNews

Jumat, 18 Mei 2018 17:50 WIB

Urumqi - Cerita sedih soal Muslim di Xinjiang, China suka beredar di media sosial Indonesia. Tapi benarkah itu terjadi?

detikcom mencari tahu jawabannya dengan mendatangi langsung Xinjiang pada 3-11 Mei 2018 lalu. Di Ibukota Provinsi Xinjiang Uyghur Autonomous Region, Kota Urumqi, wartawan beberapa negara berjumpa dengan State Council Information Office China, Information Office Xinjiang Uyghur Autonomous Region dan Xinjiang Islamic Institute.

Presiden Xinjiang Islamic Institute, Abdurakib Bin Tumurniyaz adalah seorang pria tinggi besar bersuara berat. Dia tahu betul betapa pemberitaan negatif soal Xinjiang beredar luas di luar negeri.

“Berita soal puasa Ramadan dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan lihat langsung. Tidak ada aturan larangan. Saya memelihara janggut panjang begini apa saya ditangkap? Kan tidak,” kata Abdurakib.

Lantas, bagaimana dengan kerusuhan besar yang pernah terjadi di Xinjiang tahun 2009? Hal itu kemudian diikuti dengan beberapa kali insiden di tahun-tahun berikutnya.

Abdurakib mengatakan kerusuhan itu bukan karena masalah agama Islam. Xinjiang menghadapi masalah ekstremisme yang melibatkan kekerasan. Padahal ajaran Islam sendiri cinta damai, dan pemerintah China menurut Abdurakib menjamin kebebasan pemeluk agama.

“Berdasar UU di China dan peraturan agama di Xinjang, setiap warga negara berhak mendapatkan kebebasan menjalankan agama. Gerakan ekstremisme internasional mempengaruhi Xinjiang, mereka anti agama dan anti masyarakat. Mereka merusak persatuan masyarakat. Sehingga melawan ekstremisme adalah untuk kepentingan semua orang,” kata dia.

Dalam penelusuran detikcom, kerusuhan di Provinsi Xinjiang memang bagai benang kusut. Yang paling banyak disorot adalah kerusuhan di Kota Urumqi dengan korban tewas lebih dari 197 orang.

Konflik ini bukan dipicu oleh agama. Kerusuhan diawali konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han. Namun penting diketahui, konflik ini tidak bisa digebyah-uyah sebagai konflik semua muslim di Xinjiang. Faktanya, etnis muslim Hui tidak terlibat bahkan mereka tidak mau menjadi bagian dari konflik.

Khusus untuk etnis muslim Uyghur, rupanya ada sejarah panjang soal separatisme sejak tahun 1960 yang dimotori beberapa kelompok, seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM), dan yang terakhir adalah Turkistan Islamic Party (TIP). Seperti halnya juga di Indonesia, ada pengaruh kelompok teror seperti Al Qaeda sampai ISIS yang membuat urusan separatisme Uyghur ini makin keruh.

Sikap keras dan represif pemerintah China dalam menghadapi kelompok ini juga perlu dikritisi. Pendekatan humanis perlu dikedepankan. Dari penjelasan Abdurakib, sepertinya pemerintah China juga menyadari itu.

Xinjiang Islamic Institute yang berdiri tahun 1982 dengan izin Partai Komunis China (PKC) dan pemerintah Xinjiang, kini menjadi lembaga pendidikan untuk mempromosikan Islam yang damai.

“Dari lembaga kecil sampai sebesar ini juga kita didukung PKC. Tahun 2014 kita bikin kampus baru dan selesai tahun 2017. Pemerintah lokal Xinjiang bantu dana. Kita punya 71 pengajar yang digaji pemerintah Xinjiang dan 480 murid. 5 Tahun kuliah, jadi sarjana dan lulusan kami jadi imam di berbagai kota di China,” kata dia.

Abdurakib lantas mengajak detikcom dan wartawan negara-negara lain melihat masjid mereka yang baru dan megah. Kemudian kami melihat proses belajar di kampus. Para mahasiswa belajar agama, mengaji dan bahasa mandarin.

Abdurakib tidak menampik fakta bahwa anak-anak Muslim di sekolah milik pemerintah China, belum boleh menjalankan ibadah. Pemerintah komunis China memang meniadakan urusan agama dari segala kantor pemerintahan dan institusinya.

“Jika itu institusi pemerintah memang begitu aturannya. Tapi selepas dari sana, mereka bisa belajar agama Islam di sini,” kata Abdurakib mencoba berkompromi.

Menurut Abdurakib, pihaknya mengedepankan pembangunan budaya etnis minoritas. Mereka membuka kerja sama dengan dunia internasional dengan dasar saling menghormati dan bukan intervensi.

“Kita bikin pameran budaya ke Indonesia dan negara lain. Setiap kebebasan beragama diperhatikan dan pemerintah juga memperbaiki diri. Xinjiang sebagai Jalur Sutra Baru, kami mempromosikan dialog antaragama dan antarwilayah,” jelasnya.

Secara terpisah, detikcom juga bertanya kepada Sultan Mahmood Hali, wartawan senior Nawa-i-Waqt, Pakistan yang sering bolak-balik ke Xinjiang. Dia mengatakan pembangunan Xinjiang Islamic Institute memang sungguhan.

“Dulu kantornya gedung tua bukan di sini tempatnya. Ini gedung baru, saya juga baru lihat dan memang besar dan bagus,” kata Mahmood Hali.

Jika mau melihatnya secara objektif, kedua pihak memang ada salahnya. Pemerintah China tidak ingin ada separatisme, itu bisa dimaklumi. Namun menghadapi kelompok minoritas dengan sikap represif itu tidak bisa dibenarkan. Kita juga tahu bagaimana China menghadapi Falun Gong.

Di sisi lain, Uyghur merasakan kecemburuan etnis dengan Han. Namun memakai jalan kekerasan, separatisme dan terorisme seperti yang dilakukan sekelompok kecil oknum masyarakat Uyghur, itu juga salah. Belum tentu semua etnis muslim Uyghur menghendaki cara seperti ini.

Dari kunjungan langsung ke Xinjiang, bisa dilihat memang ini masalah kesenjangan antar etnis dari faktor historis yang cukup panjang, baik aspek ekonomi dan politik. Orang Uyghur cemburu karena orang Han lebih sejahtera secara ekonomi. Orang Han cemburu karena orang Uyghur tidak terkena One Child Policy dan boleh punya anak lebih dari satu.

Sayangnya, ada pihak-pihak yang menutupi akar masalahnya dengan bungkus konflik agama. Hal itu tampaknya supaya isu Xinjiang ini laku dijual untuk mendapatkan simpati umat Islam di dunia. Namun, hal itu tidak menyelesaikan akar masalah.

Pemerintah China harus bersikap lebih lunak lagi. Etnis Uyghur pun harus mengedepankan cara-cara damai. Hentikan kekerasan. Etnis-etnis minoritas lain di Xinjiang harus membuka komunikasi dan dialog. Xinjiang adalah pekerjaan rumah yang belum selesai untuk China.

 

Orang Uighur sendiri di berita detik.com tersebut bilang, dan ngaku, berita yang memojokkan China itu HOAX!

So, mohon Chan*** jangan turut forward hoax ke orang lain, dosa.

Lalu, apa bedanya dengan rohingya di Myanmar? Sama saja dengan kasus uighur di China, identik.

Barusan tuh ada HTI yang mau tembak jokowi ke istana presiden, Chan*** dengar beritanya?

Arsyad Mbai, mantan kepala BNPT bilang, ciri khas teror!s, ialah suka mengkafir2kan (paham fafkiri). Anak2 kecil dekat rumah saya, suka sekali itu meledeki yang non seperti itu, kafir kafir kafir... mata saya pernah hampir buta dianiaya muslim, kepala ibu saya dihajar sampai jatuh oleh muslim2 haus darah itu. Dari kecil, sampai saya dewasa, kenyang saya menghadapi teror!s2 itu.

 

Journal of Social Science Teaching, Vol. 4 No. 1 Tahun 2020 https:// journal.iainkudus .ac.id — PDF (ada di internet), ada kutipan berikut:

“Permasalahan kemanusiaan muslim Uighur di Cina menjadi salah satu bahasan dunia ... berdirinya negara Cina, umat muslim cukup mendapat perlakuan yang baik.”

 

Ini sumber yang lebih sahih: https:// mui. or.id/berita/25371/kunjungi-china-mui-tabayyun-masalah-muslim-uighur/

Ini kutipannya, atau buka sendiri link-nya:

Kedatangan delegasi MUI ini merupakan undangan dari pihak China. Tujuannya melakukan tabayyun terhadap berita diskriminasi kepada Muslim Uighur yang selama ini sudah beredar dari media masa maupun media sosial. Delegasi MUI mendatangi CIA terlebih dahulu selain silaturahmi, juga menambahkan informasi yang seimbang dalam proses tabayyun ini.

“Karena beredar informasi di media sosial tentang kondisi Muslim Uighur, kami perlu mendapatkan informasi sebagai penyeimbang. Kami tidak sepenuhnya percaya dengan pemberitaan tersebut, kami percaya masih ada ruang untuk dapatkan info lebih akurat,” paparnya.

Ketua CIA, Syekh Hasan Yan Faming mengatakan, level kebebasan menjalankan perintah agama di China berangsur-angsur membaik pasca adanya kebijakan birokrasi dan informasi oleh pemerintah. Tahun ini, ungkapnya, China resmi menapaki tahun ke 40 sejak pemberlakuan kebijakan birokrasi pertama kali. Kehidupan di China pun berjalan semakin baik.

“Indeks kebahagiaan China juga meningkat. Lebih banyak yang bisa beribadah. Empat tahun lalu orang yang bisa beribadah lebih dari 12 ribu orang. Saat ini, beribadah di di China bisa secara aman, teratur, beradab. Di bawah dukungan pemerintah, sekarang kami bisa koordinasikan pemberangkatan muslim ke Mekah dari enam kota,” pungkasnya.

Dipaksa, tidak mau dan menolak secara keras serta menuntut diberi toleransi. Namun sebaliknya, memaksa, menjadi wajah keseharian mereka yang berbangsa secara intoleran semata karena telah menjadi mayoritas. Ketika masih minoritas, menuntut dan menikmati toleransi. Namun ketika sudah menjelma mayoritas, para muslim justru ingin memberangus toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati (lihat Kitab Jawa bernilai sejarah bernama DHARMO GHANDUL yang sudah tersedia versi terjemahannya).

Pemberitaan berikut akan memperlihatkan disaat bersamaan membuktikan kepada kita, betapa serta siapa yang sesungguhnya selama ini beriskap “intoleran namun menuntut diberi toleransi” serta “intoleran teriak intoleran”, yakni berita bertajuk Pemaksaan Busana dengan Identitas Keagamaan Tertentu, diakses tanggal 23 November 2022, sumber https:// www. hukumonline .com/berita/a/4-rekomendasi-komnas-perempuan-soal-pemaksaan-pakaian-identitas-agama-lt63031beb5442b/

Tercatat sampai tahun 2021, ada 62 kebijakan terkait pengaturan busana yang memuat unsur diskriminasi. Termasuk 13 daerah menerbitkan aturan yang mewajibkan PNS mengenakan seragam berdasarkan ajaran agama tertentu.

Kasus pemaksanaan pakaian dengan identitas agama tertentu kerap terjadi di beberapa daerah. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan lembaganya prihatin terhadap berulangnya kasus pemaksaan pakaian dengan identitas agama tertentu seperti yang terjadi di Bantul, Yogyakarta.

“Komnas Perempuan mencatat, peristiwa serupa terus berulang dan banyak dialami oleh siswi maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai daerah,” kata Andy ketika dikonfirmasi, Senin (22/8/2022).

Sepanjang 2014 sampai sekarang, Komnas Perempuan mencatat kasus yang menimpa korban ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan terhadap penggunaan busana dari ajaran agama tertentu oleh pihak sekolah. Pemaksaan itu berkaitan dengan kebijakan di daerah, seperti Perda dan Perkada.

“Dikhawatirkan masih banyak kebijakan serupa di lingkungan pendidikan, lembaga pemerintahan dan disertai sanksi,” kaya Andy.

Andy mengingatkan kebijakan daerah berdasarkan agama tertentu bertentangan dengan UU No.15 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya pada asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan lainnya. Sampai tahun 2021, masih ada 62 kebijakan yang efektif berlaku terkait pengaturan busana yang memuat unsur diskriminasi. Termasuk diantaranya 13 daerah yang menerbitkan aturan yang mewajibkan PNS mengenakan seragam berdasarkan ajaran agama tertentu.

Menurut Andy, pemaksaan pakaian itu mengakibatkan traumatis berkepanjangan, ketakutan, hilangnya rasa aman, dan perlindungan untuk berbuat sesuatu. Dia menduga banyak korban yang tidak melaporkan tindak pemaksaan dan pelarangan itu karena merasa takut dan tidak aman. Berulangnya peristiwa serupa menunjukkan masih kuatnya politik identitas berkaitan dengan praktik diskriminasi.