Tidak Pernah ataupun Jarang Berbuat Baik, sama artinya sedang Bersikap Egois terhadap Dirinya Sendiri
Bukan Tidak Ada Kesempatan Berbuat Baik, namun
Manusia Dungu cenderung Mengabaikan dan Menyepelekannya
Tentulah kita pernah atau sering mengamati dan mengalami langsung, bagaimana petugas pelayanan pada loket-loket pelayanan di kantor pemerintahan ataupun petugas pelayan di berbagai minimarket, beragam watak atau karakternya. Namun yang umum kita jumpai di Indonesia ialah, sikap kurang ramah alias aroganistik oleh Aparatur Sipil Negara alias Pegawai Negeri Sipil kita (terutama yang sudah lama bekerja di kantor pemerintahan) maupun pelayanan yang “standar-standar” saja pada pertokoan swasta—seolah-olah hanya kita yang “butuh” mereka, sekalipun sumber gaji mereka ialah apa yang dibayarkan oleh wajib pajak maupun oleh konsumen. Adapun “kami siap melayani dengan hati” masih sekadar jargon, dan mereka tampaknya cukup berpuas diri membodohi publik yang terbodohi lewat umbar jargon yang minim esensi demikian.
Corak ragam yang dapat kita
jumpai dari mereka saat melayani publik ataupun pengunjung, pembeli, pelanggan,
antara lain seperti sikap ekstrem semacam “bila bisa dipersulit, untuk apa
dipermudah”, sikap-sikap seolah daya tawar masyarakat lebih lemah semata karena
aparatur kita memonopoli pelayanan publik, hingga ajang pungutan liar
(pemerasan) pada berbagai kantor pemerintahan—sekalipun para Aparatur Sipil
Negara tersebut digaji oleh pajak yang dibayar oleh para warga pembayar pajak,
serta mereka di-“sumpah jabatan” maupun memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat.
Akan tetapi, kepedulian mereka begitu minim, “toh bekerja secara buruk pun akan tetap di gaji sampai pensiun nanti”,
“toh kultur, budaya, atau etos kerja
pegawai di sini semua seperti itu kebanyakannya”, “toh
bekerja ekstra letih pun tidak ada faedahnya bagi saya”, atau “toh, meski masyarakat tidak suka diberi
pelayanan yang buruk di sini, tetap saja mereka datang ke sini”.
Begitupula pada berbagai gerai
minimarket, sebagai contoh, akan kita jumpai pelayanan kasir yang mulai dari ramah,
bersahabat, melayani dengan tulus, antusias, penuh perhatian, dan menyenangkan.
Akan tetapi, setelah beberapa waktu mereka bekerja di tempat tersebut, sikap-sikap
positif demikian menjadi “luntur” seiring dengan waktu, tergantikan oleh sikap
pragmatis seperti pola berpikir “bekerja standar-standar
saja pun tidak ada perbedaannya dengan apa yang diterima oleh pekerja lain yang
bekerja penuh tanggung-jawab dan penuh semangat kepada pengunjung maupun
customer”.
Sikap-sikap atau gaya bahasa
yang kurang bersahabat, malas-malas-an alias ogah-ogah-an, “jutek”, tidak “hangat”,
“masak bodoh”, dimana mereka bertugas melayani sebatas secara normatif saja,
tidak ada “human touch” dalam tugas
mereka melayani pembeli, bahkan tidak jarang membuat pembeli / konsumen merasa
kurang nyaman dimana petugas demikian sejatinya dapat digantikan oleh peran
sebuah robot yang tampaknya tidak lama lagi pun petugas kasir kita di gerai-gerai
minimarket akan tergantikan peran dan tugasnya oleh pekerja robot. Sebenarnya tidak
salah, bila mereka bekerja tanpa menyertakan pelayanan prima yang “plus” hati
dan ketulusan, mereka tetap bekerja secara bertanggung-jawab sesuai SOP
internal perusahaan mereka, namun sejatinya mereka “merugi”—mengingat mereka
melewatkan kesempatan baik untuk menanam benih-benih Karma Baik dalam
keseharian mereka bekerja dan beraktivitas.
Berbuat baik, kebaikan,
kebajikan, menanam Karma Baik, atau apapun itu istilahnya, tidak harus selalu
berupa berdonasi sejumlah uang, namun juga bisa dalam bentuk waktu, tenaga,
perhatian, bahkan sebuah senyum ataupun pelayanan yang ramah dan berdedikasi
saat bekerja, sehingga membawa kebahagiaan bagi konsumennya maupun bagi pemberi
kerja. Mereka sebetulnya memiliki peluang berharga untuk dalam keseharian dan
aktivitasnya berbagi kehangatan, senyum, kenyamanan, persahabatan, ketulusan,
empati, perhatian, penghargaan, penghormatan, maupun sikap-sikap positif
lainnya saat berhadapan dan melayani masyarakat, pengunjung, maupun konsumennya—ibarat
sekali mendayung, dua pulau terlampaui; atau ibarat sambil menyelam, minum air.
Mereka mendapat upah / gaji dari pekerjaan rutin mereka, sekaligus menanam benih-benih
kebajikan dalam keseharian mereka saat bertugas / bekerja—“two in one”, bekerja dapat gaji plus dapat pula Karma Baik.
Jangan remehkan perbuatan baik,
meski kecil, jika diakumulasikan dalam keseharian mereka melayani ratusan
hingga ribuan orang, maka dalam setahun mereka sudah menabung begitu banyak
Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya di masa / kehidupan
mendatang. Mungkin karena sebagian besar diantara kita masih memiliki paradigma
berpikir yang meremehkan / menyepelekan perbuatan-perbuatan baik secara kecil
inilah—meski kuantitasnya dapat masif karena terkait ratusan hingga ribuan
orang yang dilayani setiap harinya—sehingga mereka melewatkan kesempatan baik
ini. Kesempatan emas yang mereka lewatkan sehari-harinya, ada tepat persis di
depan mata mereka, namun mereka biarkan berlalu begitu saja sekalipun
kesempatan demikian begitu berharga disamping tidak perlu mengeluarkan sejumlah
modal dana, cukup bermodalkan ketulusan dan pelayanan secara “plus”.
Ketika mereka mendekati ajal
dan mendapati diri mereka sangat miskin tabungan Karma Baik yang ditanam selama
hidupnya, mereka beralasan tidak punya kesempatan untuk berbuat kebaikan—kesempatan-kesempatan
berbuat kebajikan dalam keseharian mana sejatinya mereka sia-siakan begitu
saja. Sekadar melayani “sekadarnya”, tidak dapat disebut sebagai perbuatan
baik, karena itu memang sudah tugas atau kewajibannya—sudah digaji untuk
mengerjakannya, yakni melayani publik / konsumen—sehingga tidaklah dapat
dimaknai sebagai perbuatan bajik. Namun, ketika mereka melayani secara “plus”,
setidaknya berupa keramahan dan senyum penuh kehangatan, itu sudah berupa
pelayanan secara “plus” yang dapat membantu maupun memancarkan kebahagiaan
terhadap siapapun yang mereka layani. Terlebih bila layanan “plus” berupa
kepedulian, empatik, penuh pengertian, penuh kesabaran, toleran, mau menghargai
dan menghormati, bersikap antusias, mau memahami, bersedia mendengarkan, menawarkan
bantuan, dan lain sebagainya.
Berbuat kebaikan, pada muaranya ialah demi kebaikan diri si pembuat
kebaikan itu sendiri, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang menguraikan bahaya dibalik
berbuat kejahatan dan kerugian dibalik tidak berbuat kebaikan, sebagai berikut:
Tanpa Takut
Brahmana
Jānussoṇī mendatangi Sang Bhagavā
dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi,
ia berkata kepada Sang Bhagavā:
“Guru
Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada seorang pun yang
tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.”
“Brahmana,
ada mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian,
tetapi ada juga mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak
takut pada kematian.
“Dan,
brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada
kematian?
(1) “Di
sini, seseorang yang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga,
hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami
sakit keras dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria
yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan
kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia
menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini adalah seorang
yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.
(2)
“Kemudian, seseorang yang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang,
dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku,
dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia berdukacita, merana, dan
meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini, juga,
adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.
(3)
“Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang baik dan
bermanfaat atau membuat naungan untuk dirinya sendiri, melainkan telah
melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika ia mengalami sakit keras
dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku
tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk
diriku sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor.
Ketika aku meninggal dunia, aku akan mengalami takdir yang sesuai.’ Ia
berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan
menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk pada kematian
yang gentar dan takut pada kematian.
(4)
“Kemudian, seseorang di sini bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap
Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit keras dan melemahkan, ia berpikir:
‘Aduh, aku bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati.’
Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan
menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk pada kematian yang
gentar dan takut pada kematian.
“Ini
adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada
kematian.
“Dan,
brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak
takut pada kematian?
(1) “Di
sini, seseorang yang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat,
dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit
keras dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria
yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan
kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan
tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi
kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan
tidak takut pada kematian.
(2)
“Kemudian, seseorang yang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga,
hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan
meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia tidak
berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul
dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk
pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
(3)
“Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan
kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat
naungan untuk dirinya sendiri. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia berpikir: ‘Sesungguhnya,
aku tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah
melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk diriku
sendiri. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’
Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil
memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang
yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
(4)
“Kemudian, seseorang di sini tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak
bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit keras dan melemahkan,
ia berpikir: ‘Aku tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang
terhadap Dhamma sejati.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap;
ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga,
adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada
kematian.
“Ini,
brahmana, adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang tidak gentar
dan tidak takut pada kematian.”
“Bagus
sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan
Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik,
mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang
berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada
Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku
sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur
hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.