“Merugi” bagi Umat Agama Samawi, artinya Rugi Tidak Menikmati serta Mencandu Ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”
Ideologi Komun!sme saja Tidak
Mengajarkan Iming-Iming KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” bagi Pengikutnya,
mengapa Agama Samawi justru Tidak Dilarang dan Ditetapkan sebagai Ideologi Terlarang?
Question: Mengapa penulis di website ini, mengatakan bahwa umat agama samawi tidak merasa perlu berbuat kebaikan dalam hidupnya. Bukankah tokoh-tokoh di agama samawi tidak jarang mengatakan bahwa jika perbuatan baiknya lebih banyak daripada dosa-dosanya, maka otomatis akan masuk sorga?
Brief Answer: Agama samawi, nyata-nyata men-demotivasi para umatnya
untuk berbuat kebajikan. Ritual sembah-sujud dijadikan substitusi dari
perbuatan baik kepada makhluk hidup lainnya ataupun kepada sesama manusia. Mereka
adalah kaum pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik,
dan disaat bersamaan merupakan kaum pengecut yang begitu pengecut untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah
atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya. Mereka
adalah PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA—sekalipun hanya
KALANGAN PENDOSAWAN (KORUPTOR DOSA) yang butuh iming-iming KORUP demikian.
Katakanlah dosa-dosa sang umat agama samawi, bila ditimbang,
beratnya ialah 1.000 Ton. Perbuatan baiknya, hanya 1 Kilogram. Berkat iming-iming
“PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), maka dosa-dosa sebesar Bumi dan
setinggi langit itu dihapuskan—apalah artinya dosa hanya sebesar 1.000 Ton,
sementara dosa sebesar isi Bumi pun dihapuskan oleh Allah. Maka, meski
sepanjang hidupnya hanya pernah berbuat kebaikan sebesar total 1 Kilogram, atau
bahkan hanya bermodal 1 Ons, atau 1 Gram, sang umat agama samawi berdelusi
masuk ke surga? Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun terhadap
kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran.
Itulah sebabnya, yang kemudian terjadi ialah para umat
agama samawi MENCANDU dan KECANDUAN “PENGHAPUSAN DOSA” dimana mereka
termotivasi berlomba-lomba memproduksi segudang dosa, mengoleksi segunung dosa,
menimbun diri dengan samudera dosa, dan bersimbah dosa. Itulah sebabnya, kaum
PENDOSAWAN PECANDU PENGHAPUSAN DOSA demikian, mengklaim bahwa kaum NON
merupakan kaum yang “merugi”. Yang perlu masyarakat pahami dan sadari ialah,
antara “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan “PENGHAPUSAN DOSA”, sifatnya ialah
saling bundling, ibarat odol dan sikat gigi. Semakin mereka tergila-gila pada “PENGHAPUSAN
DOSA”, maka semakin pula yang bersangkutan “TENGGELAM DALAM DOSA-DOSA”.
PEMBAHASAN:
Babi, mereka sebut sebagai “haram”.
Namun, ironisnya, ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN
DOSA” (bagi KORUPTOR DOSA, tentunya), diklaim sebagai “halal lifestyle”.
Masih juga mereka mengklaim agama samawi sebagai “Agama SUCI” alih-alih secara
jujur mengakuinya sebagai “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”. Ibarat aliran
air, secara alamiahnya mengalir ke ARAH BAWAH, bukan ke arah atas. Begitupula,
agama samawi hanya cenderung disukai dan dipeluk oleh orang-orang buta maupun
tipikal orang dungu yang dangkal cara berpikirnya.
Tubuh, mereka hakimi sebagai “aurat”,
lalu ditutupi dengan busana dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gaibnya, “AURAT
TERBESAR” seperti berbuat dosa dan maksiat, tidak mereka sebut sebagai “aurat”,
mengingat umat agama samawi mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” lewat ceramah dan
doa-doa mereka yang dikumandangkan tanpa malu ataupun tabu lewat speaker eksternal
tempat ibadah mereka, alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa
dan maksiat. “PENGHAPUSAN DOSA” (yang bundling dengan “DOSA-DOSA UNTUK
DIHAPUSKAN”, tentunya) justru dipertontonkan secara vulgar kepada publik luas.
Sebaliknya dalam Buddhisme, buruk adalah buruk, tercela
adalah tercela, kotor adalah kotor, jahat adalah jahat, busuk adalah busuk, beracun
adalah beracun, pendosa adalah pendosa. Tidak ada kompromi untuk kebenaran dan
kesejatian, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
25 (5) Ketidak-munduran (3)
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah.
Aku akan berbicara.”
“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang
Bhagavā berkata sebagai berikut: [23]
“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip
ketidak-munduran itu?
(1) “Selama para bhikkhu memiliki keyakinan, maka
hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(2) Selama mereka memiliki
rasa malu, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(3) Selama mereka memiliki rasa takut, maka
hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(4) Selama mereka terpelajar, maka hanya
pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(5) Selama mereka bersemangat, maka hanya
pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(6) Selama mereka penuh perhatian, maka hanya
pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
(7) Selama mereka bijaksana, maka hanya
pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.
“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip
ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para
bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti
mereka, bukan kemunduran.”
~0~
33 (2) Rasa Malu
“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut,
sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan
Jeta, [29] mendatangiKu, bersujud kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata
kepadaKu: ‘Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran
seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru,
penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada
latihan, penghormatan kepada konsentrasi, penghormatan kepada rasa malu,
dan penghormatan kepada rasa takut. Ketujuh kualitas ini mengarah pada
ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata
tersebut. Kemudian dewata tersebut bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan
sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”
Hormat kepada Sang Guru,
hormat kepada Dhamma,
hormat kepada Saṅgha,
hormat kepada konsentrasi, bersungguh-sungguh,
sangat menghormati latihan,
memiliki rasa malu dan rasa takut,
sopan dan hormat:
Seorang demikian tidak akan jatuh,
Melainkan dekat pada nibbāna.
Berikut inilah, gaya ibadah dan pola pikir kaum agama
samawi yang mengklaim sebagai kaum paling “superior” sehingga berhak menghakimi
individu-individu lainnya serta memonopoli alam surgawi. Mereka begitu pandai
dan sibuk untuk urusan menghakimi pihak lain, namun tidak terlatih dan tidak
terbiasa untuk mengawasi serta mengendalikan diri mereka sendiri. Mereka bahkan
mendidik diri mereka sendiri menjadi PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA dimana
hidup dan mati mereka telah divonis menjadi sedangkal dan serendah seorang “KORUPTOR
DOSA”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa
kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku
akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.”
- No. 4857 : “Barang
siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji
bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya
akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No. 4863 : “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam
dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4864 : “Apabila
ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya
tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii
warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku
dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4865 : “Ya
Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai
berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia
mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas
radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam,
selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni
dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun
kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau
menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak
isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku
datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]
PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral,
hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa
ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para
BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista,
dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam
keseharian lebih sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA
maupun KORUPTOR DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta
mengakui perbuatan buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih
menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka, lebih sibuk
lari dari tanggung-jawab ketimbang sibuk untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya sendiri, layak diberi gelar “RAJA PECUNDANG nan PENGECUT”—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No. 4891. “Saya
pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4892. “Aku
bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang
telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No. 4893. “dari
'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca:
‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4896. “dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai
berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan,
kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]