Kekuatan Rasa Malu (hiri) dan Rasa Takut (ottappa)
Question: Ada kalangan umat dari agama-agama samawi, yang merasa paling superior dan begitu bangga menjadi pemeluknya sampai-sampai mengajak hingga memaksa orang lain untuk masuk ke agama mereka. Tapi, apakah artinya betul mereka agama yang kaya akan ajaran baik dan kesucian?
Brief Answer: Tong kosong, nyaring bunyinya. Air beriak, tanda
tidak dalam. Orang yang betul-betul kaya, tidak norak, juga bergeming ketika
dituding sebagai miskin. Orang baik, juga hanya akan bergeming ketika dituduh
sebagai orang jahat. Orang jenius, hanya akan bergeming ketika dipandang
sebagai idiot. Orang benar, pun hanya akan bergeming ketika dirinya difitnah,
karena ia tahu betul apa yang pernah ia lakukan dan apa yang tidak pernah ia
lakukan. Agama yang kaya, tidak pamer, juga tidak perlu mengobral agamanya
untuk dipeluk kalangan lain.
PEMBAHASAN:
Bagi “Agama DOSA”, berhasil
berbuat jahat sama artinya beruntung dan nikmat, bahkan izin dari Tuhan—mengingat
agar berupa iming-iming ideologi korup bernama “pengampunan / penghapusan dosa”
maupun “penebusan dosa” tidak menjadi mubazir. Hanya dalam Buddhisme, niat
jahat yang gagal dalam eksekusinya, adalah keberuntungan bagi si pelaku yang
memiliki niat jahat. Para umat agama samawi, begitu pemalas untuk
menanam benih-benih karma baik untuk mereka petik sendiri. Mereka lebih suka
menjadi penjilat untuk kemudian memohon dan meminta-minta dari Tuhan.
Disaat bersamaan, para umat
agama samawi juga dikenal sebagai kaum paling pengecut di muka Bumi ini,
berlindung di balik ideologi korup “penghapusan dosa” alih-alih bertanggung-jawab
terhadap perbuatan buruk mereka yang telah pernah melukai, menyakiti, ataupun merugikan
orang lain—namun paling besar mulut dan bicaranya perihal agama dan Tuhan,
dimana setiap harinya berdoa memohon “penghapusan dosa”, setiap hari raya,
bahkan ketika sanak keluarganya meninggal dunia, tanpa pernah sekalipun
memikirkan nasib korban-korban mereka, ironis.
Betapa kayanya Buddhisme,
permata yang tiada taranya dan sungguh beruntung bagi seseorang yang mengenal dan
mempraktikkan Dhamma, dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan kutipan:
2 (2) Secara Terperinci
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada
lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan
keyakinan, kekuatan rasa malu, kekuatan rasa takut, kekuatan kegigihan, dan
kekuatan kebijaksanaan.
(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan
keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan
pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang
Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan
perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik
bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang
Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan.
(2) “Dan apakah kekuatan
rasa malu? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa malu; ia malu atas
perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu dalam
memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut
kekuatan rasa malu.
(3) “Dan apakah kekuatan
rasa takut? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa takut; ia takut
terhadap perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut
dalam memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut
kekuatan rasa takut.
(4) “Dan apakah kekuatan
kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk
meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan
kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan
tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.
(5) “Dan apakah kekuatan
kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki
kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus
dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kekuatan kebijaksanaan.
[Kitab Komentar menjelaskan, menjelaskan
udayatthagāminī paññā, “kebijaksanaan
yang melihat muncul dan lenyapnya,” sebagai “kebijaksanaan yang mampu menembus
muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan (pañcannaṃ khandhānaṃ udayavayagāminiyā udayañca vayañca paṭivijjhituṃ samathāya). Ini adalah kebijaksanaan sang jalan bersama dengan kebijaksanaan
pandangan terang (vipasanāpaññāya c’eva maggapaññāya).”
“Ini adalah kelima kekuatan
dari seorang yang masih berlatih itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian
harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu
kekuatan dari seorang yang masih berlatih; kami akan memiliki kekuatan rasa malu,
satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; kami akan memiliki kekuatan
rasa takut, [3] satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; kami akan
memiliki kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; kami akan
memiliki kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih
berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”
Tidak ada tokoh ataupun nabi
dalam agama-agama samawi yang suci. Hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan
dosa” atau apapun itu istilahnya yang merujuk kepada sifat-sifat tidak
bertanggung-jawab bernama “abolition of
sins”. Berkat termakan dan memakan iming-iming ideologi korup demikian,
para umat “Agama DOSA”—disebut demikian, mengingat justru mempromosikan “penghapusan
dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa. Sejak saat itulah,
“standar moral” umat manusia terdegradasi dari semula tidak penjahat yang yakin
akan masuk alam surgawi setelah kematiannya, menjelma para penjahat terjamin
dan yakin masuk alam surgawi setelah ajal tiba, sehingga para pendosa pun berbondong-bondong
memeluk agama samawi serta terperangkap didalamnya akibat dosa-dosa mereka
telah “too big to be fall”.
“Penghapusan dosa” justru
di-halal-kan—pada gilirannya memiliki semboyan hidup “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!”
Tidak malu berbuat dosa, juga tidak malu, justru bangga melekati dan
melestarikan “kekotoran batin” dalam dirinya, dimana iming-iming “penghapusan
dosa” dianggap dan dipandang sebagai “anugerah” tertinggi dan terutama dari Tuhan
dimana para umat agama samawi dapat dipastikan akan keluar dan tidak lagi
memeluk agama samawi bilamana tidak ada iming-iming korup demikian. Bandingkan dengan
ajaran-ajaran berikut, yang selama ini merasa paling berhak menjadi “polisi
moral” dengan lebih sibuk mengurusi keyakinan orang lain ketimbang mengamati dan
mengurusi kekotoran batinnya sendiri:
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan
‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat
kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan
MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]