LEGAL OPINION
Question: Katanya perjanjian tidak boleh dibuat dengan
melanggar norma undang-undang. Semisal perusahaan mau mem-PHK (memutus hubungan
kerja) pegawai dengan alasan efisiensi pabrik, tapi draf Perjanjian Bersama
hanya menyebutkan kompensasi PHK efisiensi sebesar 1 kali pembayaran pesangon.
Apakah bisa, Perjanjian Bersama itu bila
disepakati antara pihak manajemen dan pihak Serikat Pekerja, sewaktu-waktu digugat
pembatalan oleh pegawai dengan menuntut pesangon 2 kali ketentuan, karena bila menurut
undang-undang kompensasi PHK dengan alasan adanya efisiensi usaha maka pegawai
berhak atas dua kali ketentuan pesangon normal?
Brief Answer: Betul bahwa Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menegaskan bahwa kesepakatan tidak dapat melanggar ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Namun ada kalanya kesepakatan dengan bobot dibawah
ketentuan hak normatif yang diatur dalam undang-undang, dapat dimaknai sebagai secara
penuh kesadaran telah “melepaskan separuh hak” dirinya.
Perjanjian Bersama sangatlah menyerupai
konstruksi Akta Perdamaian, dalam artian berlaku sebagai wadah “win win solution”. Selisih terjadi
ketika ada tarik-menarik kepentingan, maka dari itu para pihak, baik dari pihak
Pemberi Kerja maupun dari pihak Pekerja, saling mencari “titik tengah” yang
moderat untuk mengakomodasi kepentingan para pihak—sehingga tampak seolah baik
dari pihak Pengusaha maupun dari pihak Pekerja masing-masing saling mengalah “mundur
satu langkah”.
Oleh karena itu, bersepakat harus dimaknai
sebagai sesuatu yang sakral dan mengikat, tidak dapat menjadi alasan untuk
dibatalkan dikemudian hari bila sejak semula konsekuensinya telah disadari dan
disepakati dengan penuh kesadaran. Sehingga patut menjadi pertanyaan secara
falsafah hukum: jika sudah mengetahui demikian, mengapa masih juga disepakati? Mengikatkan
diri haruslah dengan dilandasi itikad baik, tidak dapat dibenarkan untuk
diingkari secara sepihak.
Undang-Undang hanya mengatur perihal hak normatif
ketenagakerjaan, namun “hak” tidak dapat dipaksakan mengingat sifatnya “fakultatif”
dari sudut pandang seorang Buruh / Pekerja, meski menjadi bersifat “imperatif”
bagi sudut pandang Pemberi Kerja. Namun bila dari kalangan Pekerja itu sendiri
bersepakat untuk melepaskan separuh “hak”-nya, maka apa yang telah disepakati
sejatinya mengikat para pihak, juga mengikat hakim ketika memutus sengketa yang
akan terjadi antar pihak-pihak bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kaedah norma
bentukan preseden yang sangat relevan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS
ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register
Nomor 630 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 5 Juli 2017, perkara antara:
- PT. GATRAMAS INTERNUSA, sebagai
Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 22 orang Pekerja, selaku Para
Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan karyawan Tergugat, dengan status karyawan tetap.
Perselisihan timbul ketika Tergugat, secara sepihak telah memutus hubungan
kerja terhadap Para Penggugat pada tanggal yang berbeda-beda, yaitu pada tanggal
31 Juli 2015, 14 Agustus 2015, 15 Agustus 2015, dan 31 Agustus 2015.
Adapun alasan Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Para
Penggugat, baik lisan maupun tertulis sebagaimana dalam suratnya, yaitu: “kondisi perusahaan yang dalam beberapa bulan
terakhir mengalami kesulitan keuangan ...”
Para Penggugat mendalilkan, secara terpaksa, disamping “ketidak-tahuan” tentang
hukum ketenagakerjaan, menerima PHK yang telah dipersiapkan secara matang dan
baik sebelumnya oleh pihak Tergugat, meskipun rencana PHK demikian tidak pernah
dirundingkan antara Para Penggugat dengan Tergugat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
yang mengandung norma imperatif:
“Dalam hal segala upaya telah
dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekeria / buruh apabila pekerja / buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja / buruh.”
Klaim pihak manajemen yang menyatakan mengalami kesulitan keuangan, tidak
pernah diketahui Para Penggugat sebelumnya, baik dengan penjelasan Tergugat
kepada Para Penggugat maupun lewat bukti-bukti laporan keuangan Tergugat yang menjelaskan
keuangan Tergugat dalam keadaan sukar.
Alasan mana, menurut Para Penggugat patut diduga hanya sebagai alibi Tergugat
untuk “menyingkirkan” (memberhentikan para Pekerjanya), terbukti ternyata
Tergugat sampai dengan gugatan ini didaftarkan, Tergugat masih berjalan dengan
baik bahkan semakin berkembang.
Para Penggugat selama masa kerjanya, tidak pernah menerima peringatan
dan/atau teguran terkait kinerja terlebih pelanggaran terhadap peraturan
perusahaan atau tindak pidana lainnya selama menjadi karyawan di perusahaan Tergugat.
Dalam kenyataannya, terbukti Para Penggugat tidak pernah diajak berunding
oleh Tergugat untuk rencana PHK, sehingga Tergugat secara sepihak hanya
bersedia membayar kompensasi pesangon senilai satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat
(2) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sebelum Para Penggugat menerima surat PHK, Para Penggugat sebelumnya
sudah tidak menerima gaji dari Tergugat, mulai dari 1 hingga 3 bulan Para
Penggugat tidak mendapat gaji, namun Para Penggugat tetap menjalankan
pekerjaannya seperti biasa.
Sejak diberikannya surat PHK kepada masing-masing Pekerja, maka Para
Penggugat dengan sendirinya tidak lagi melaksanakan tugas / pekerjaan
sebagaimana biasanya, dan Para Penggugat sesuai dengan surat pernyataan serta
janji Tergugat akan memberikan seluruhnya apa yang menjadi hak-hak Para
Penggugat sebagaimana dalam masing-masing Surat Pernyataan, sampai dengan saat ini
Penggugat masih menunggu realisasi apa yang dijanjikan Tergugat tersebut.
Dibalik “ketidak-tahuan” Para Penggugat akan hukum ketenagakerjaan,
Tergugat selalu berkelit dan tidak mempunyai iktikad baik untuk memberikan
secara lunas apa yang menjadi hak-hak normatif Para Penggugat, yang sebelumnya
telah dirancang Tergugat besar nominalnya sesuai dengan keinginan Tergugat.
Adapun jumlah keseluruhan hak-hak normatif Para Penggugat sesuai dengan pehitungan
Tergugat meliputi upah yang belum dibayar, THR, Pesangon sebesar satu kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003, Uang Penghargaan Masa
Kerja dan Uang Penggantian Hak Para Penggugat, yakni senilai Rp1.319.418.952,00.
Namun hingga kini pihak perusahaan mengingkari kewajiban untuk membayarnya.
Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan kumudian memediasi perselisihan, yang
akhirnya menerbitkan Anjuran kepada Para Penggugat dan Tergugat tertanggal 5
Pebruari 2016, namun substansinya ditolak oleh pihak Pekerja dengan alasan
bahwa pihak Mediator tidak cermat mempertimbangkan dan menganalisa semua
klausul yang terdapat dalam Perjanjian Bersama tertanggal 10 September 2015,
yang salah satu butirnya menyatakan:
- Butir 3 : Bahwa apabila Pihak
Pertama (Tergugat) tidak melaksanakan poin 1 tersebut diatas, maka Pihak
Pertama (Tergugat) akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda keterlambatan upah
kepada Pihak Kedua (Para Penggugat) sesuai dengan peraturan perundang undangan.
- Butir 4 : Bahwa dengan
diterimanya uang pengakhiran hubungan kerja tersebut oleh Pihak Kedua (Para
Penggugat), maka demi hukum berakhirlah hubungan kerja antara Pihak Pertama dan
Pihak Kedua.
Berhubung karena belum dibayarkan secara lunas seluruh kewajiban Tergugat
kepada Para Penggugat, maka menimbulkan akibat hukum bagi Tergugat, berupa:
1. Membayar denda keterlambatan
kepada Para Penggugat, dan
2. Hubungan kerja antara Para
Penggugat dan Tergugat belum efektif berakhir, sehingga secara hukum Para Penggugat
berhak untuk menuntut upah setiap bulannya sampai dengan pemenuhan seluruh
hak-hak normatif Pekerja dibayar lunas oleh Tergugat.
Keberatan kedua pihak Pekerja, Mediator menganjurkan agar Penggugat tetap
menghormati Perjanjian Bersama tertanggal 10 September 2015 yang isinya
menyatakan bahwa Penggugat hanya berhak atas pesangon sebesar satu kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Meski Perjanjian Bersama mengatur bahwa pihak perusahaan akan
menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Pekerja dengan cara mencicil sebanyak
tiga kali, selambat-lambatnya pada tanggal 20 Desember 2015, akan tetapi hingga
kini tidak ada realisasi pelunasan pembayaran. Pihak perusahaan baru telah
mencicil sebagian hak Para Penggugat berjumlah Rp167.717.567,00.
Tergugat tidak pernah menunjukkan Laporan Keuangan perusahaan tahun 2013
dan 2014 yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang independen ataupun mendapat
pengesahan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perseroan, terlebih alasan Tergugat
hanya menunjukkan kesulitan keuangan beberapa bulan terakhir dimana fluktuatif
usaha adalah hal yang wajar, maka PHK demikian disinyalir kuat sebagai upaya
Tergugat untuk melakukan efisiensi (penghematan) keuangan, sebagaimana
disebutkan dalam norma Pasal 164 UU Ketenagakerjaan:
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada avat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit
oleh akuntannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekeria /
buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun
berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekeria / buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 avat (2).
Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Dengan demikian pihak Pekerja menuntut agar diberikan pesangon sebesar dua
kali ketentuan normal. Sehingga lewat gugatan ini, pihak Pekerja sekaligus
menuntut agar salah satu klausul dalam Perjanjian Bersama yang menyatakan PHK
dengan disertai kompensasi pesangon senilai satu kali ketentuan normal, agar dikesampingkan
dalam perkara ini.
Pihak Pekerja disamping menuntut upah, juga menuntut tunjangan hari raya
yang belum dibayar, serta pesangon sebesar dua kali ketentuan normal, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, dengan jumlah seluruhnya
Rp1.951.645.202,00.
Begitu pula, sesuai dengan butir ke-4 Perjanjian Bersama yang pada pokoknya
menyatakan bahwa dengan belum diterimanya seluruh hak normatif pihak Pekerja
sampai dengan tanggal 20 Desember 2015, maka demi hukum hubungan kerja Para
Penggugat dengan Tergugat harus dianggap belum berakhir, maka Pekerja berhak
atas upah setiap bulannya (Upah Proses) terhitung mulai tanggal 20 Desember 2015
sampai dengan kompensasi PHk dibayar lunas oleh pihak perusahaan.
Dengan demikian, yang menjadi pokok tuntutan para Pekerja dalam gugatan
ini, ialah meminta agar Pengadilan Hubungan Industrial membuat putusan, agar:
- Menyatakan perbuatan Tergugat
melakukan PHK dengan alasan efisiensi dengan norma Pasal 164 ayat (3) Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003;
- Menghukum Tergugat untuk
membayar secara lunas dan seketika seluruh
hak normatif Para Penggugat meliputi THR, pesangon sebesar dua kali ketentuan,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar
Rp1.951.645.202,00.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Indusrial Jakarta
Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 116/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Jkt.Pst
tanggal 29 Nopember 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘Putus’ hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat
sejak Surat Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dikeluarkan oleh Tergugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus kepada Para
Penggugat berupa upah yang belum dibayar sejak bulan Mei 2015 s.d. Agustus
2015, THR tahun 2015, serta kompensasi PHK berupa uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seluruhnya sebesar Rp1.732.463.785,00
dengan perincian sebagai berikut: ...;
4. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Perusahaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan keberatan bahwa secara
fakta tidak ada yang menjadi perbedaan penafsiran antara Tergugat dengan Penggugat,
karena sesungguhnya atas hak Penggugat telah terakomodir dalam Perjanjian
Bersama yang sebelumnya telah disepakati berkenaan dengan besaran hak yang akan
diterima oleh Penggugat terkait adanya kesepakatan PHK antara Tergugat dengan Penggugat.
Terhadap Perjanjian Bersama demikian, jika dikorelasikan dengan mekanisme
penyelesaian perselisihan kerja, tidak lain merupakan tindak-lanjut ketentuan Pasal
3 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, yang mengandung kaedah:
“Perselisihan hubungan
industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.”
Dengan demikian perselisihan antara Tergugat dan Penggugat, baik berkenaan
dengan PHK ataupun “Perselisihan Hak”, telah diselesaikan di forum bipartit secara
musyawarah untuk mufakat, yang kemudian dituangkan dalam Perjanjian Bersama itu
sendiri.
Karena kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan telah dituangkan ke dalam
Perjanjian Bersama, maka itulah perikatan yang mengingat para pihak tanpa dapat
lagi diingkari apa yang telah disepakati. Jika yang dipermasalahkan ialah
sehubungan dengan belum direalisasi sepenuhnya isi kesepakatan dalam Perjanjian
Bersama, maka sesungguhnya atas hal tersebut bukan lagi merupakan permasalahan “Perselisihan
Hak”, namun melainkan merupakan perselisihan yang cukup dimohonkan eksekusi.
Ternyata pula pihak perusahaan terlilit kasus Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana terbukti adanya putusan Pengadilan Niaga
Nomor 61/Pdt.Sus.PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst, merupakan imbas dari permasalahan
keuangan yang dialami Tergugat, sehingga tidak seharusnya Pengadilan Hubungan menilai
hal tersebut tidak memiliki korelasi dan berpendapat bahwa Permohonan PKPU bukanlah
suatu bukti adanya kerugian perusahaan selama 2 tahun berturut-turut, karena
sesungguhnya dengan adanya permohonan dan penetapan PKPU dan bahkan sampai
dengan adanya putusan hingga penetapan PKPU sudah sangat menjelaskan tentang adanya
permasalahan keuangan perusahaan.
Sementara terkait dengan kerugian selama 2 tahun berturut-turut yang harus
diaudit oleh Akuntan Publik, sesungguhnya atas kewajiban tersebut bukan tidak
mau dilakukan oleh pihak perusahaan, melainkan disebabkan karena kondisi
keuangan yang tidak memungkinkan untuk membayar jasa Akuntan Publik.
Begitupula ketentuan Pasal 240 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memiliki
pengaturan tegas berikut: “Setema
penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak
dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau
sebagian hartanya.”
Karena itu pihak Pengusaha keberatan ketika pnhindustrial menyatakan
bahwa eksistensi putusan Pengadilan Niaga mengenai dikabulkannya Permohonan
PKPU bukanlah suatu bukti adanya kerugian perseroan selama 2 tahun
berturut-turut, sebab bagaimana pun penetapan PKPU tersebut merupakan buntut dari
permasalahan keuangan yang dialami perusahaan.
Dimana terhadapnya keberatan-keberatan yang disusun secara logis demikian,
Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif penting, sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan keberatan nomor 1
sampai 17 tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara
saksama memori kasasi tanggal 29 Desember 2016 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai
berikut:
1. Bahwa putusan Judex Facti yang menyatakan PHK dengan hak kompensasi
kepada Penggugat I sampai dengan Penggugat XXII tanpa mempertimbangkan atau
telah mengabaikan Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani oleh
Pengusaha/Tergugat dengan Penggugat V, VI, VII, XII, XV, XVIII, XIX, XXI (8
orang Pekerja), telah salah menerapkan hukum;
2. Bahwa Perjanjian Bersama (PB) sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, mengikat dan menjadi hukum serta wajib
dilaksanakan para pihak, oleh karenanya terhadap 8 (delapan) orang pekerja
a quo dengan Pengusaha/Tergugat, Perjanjian Bersama (PB) tanggal 10 September
2015 mengikat dan harus dilaksanakan sesuai isi Perjanjian Bersama (PB) a quo;
3. Bahwa terhadap Para Penggugat selain Penggugat V, VI, VII, XII, XV,
XVIII, XIX, XXI, Judex Facti telah tepat dan benar menerapkan hukum yaitu menyatakan
PHK karena efisiensi;
“Menimbang, bahwa terlepas dari
alasan-alasan kasasi yang diajukan, Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar
putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
harus diperbaiki sepanjang mengenai kewajiban bagi Pemohon Kasasi/Tergugat dan
Penggugat V, VI, VII, XII, XV, XVIII, XIX, XXI, agar mematuhi dan
melaksanakan Perjanjian Bersama (PB) tanggal 10 September 2015;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. GATRAMAS INTERNUSA tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. GATRAMAS INTERNUSA
tersebut;
2. Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 116/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Jkt.Pst tanggal 29 November
2016 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1) Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan ‘Putus’ hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat
sejak Surat Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dikeluarkan oleh Tergugat;
3) Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus kepada
Penggugat I, II, III, IV, VIII, IX, X, XI, XIII, XIV, XVI, XVII, XX, XXII berupa
upah yang belum dibayar sejak bulan Mei 2015 s.d. Agustus 2015, THR tahun 2015,
serta kompensasi PHK berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak, masing-masing sebagai berikut: ...;
4) Menghukum Tergugat dan Penggugat V, VI, VII, XII, XV, XVIII, XIX, XXI untuk
mematuhi dan melaksanakan Perjanjian Bersama (PB) tanggal 10 September 2015;
5) Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.