Agama Samawi Membuat Otak Umat Pemeluknya menjadi Tumpul, sehingga Tidak Mampu Membedakan antara yang Baik dan Buruk
Question: Untuk bisa jadi orang baik, langkah pertama ialah mengetahui mana yang baik dan yang buruk serta membandingkan perbedaan diantara keduanya, lalu menilai serta mengenali diri kita sendiri apakah telah menjadi orang baik ataukah belum. Sama halnya, untuk bisa jadi orang suci, terlebih dahulu mampu membedakan mana yang suci dan mana yang kotor, lalu mengetahui serta mengenali diri sendiri apakah merupakan orang suci ataukah sebaliknya. Untuk tahu kita akan ke mana, maka kita terlebih dahulu harus tahu saat kini sedang berada di mana. Adapun orang-orang yang setiap harinya dan untuk seumur hidupnya kecanduan doa permohonan penghapusan atau pengampunan dosa, mengapa mengklaim bahwa mereka memeluk agama suci, seolah tidak mampu mengenali itu sebagai praktik ritual agama dosa?
Brief Answer: Cara paling sederhana untuk mampu mengenali
distingsi antara yang baik dan tercela, ialah dengan mengajukan pertanyaan
sederhana kepada diri mereka atau kepada diri kita sendiri : Jika bisa semudah
serta sedangkal ritual doa memohon “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN / PENEBUSAN
DOSA”, maka untuk apa memohon maaf kepada korban maupun bertanggung-jawab
kepada korban-korban mereka? Nabi dalam agama samawi, bahkan digambarkan lebih
sibuk berdoa memohon “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition
of sins) alih-alih sibuk introspeksi diri maupun mengakui kesalahannya,
terutama fakta bahwa sang “KORUPTOR DOSA” tersebut lebih sibuk ritual mengharap
“PENGAMPUNAN DOSA” alih-alih menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab
atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri yang telah pernah atau masih sedang
menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya.
PEMBAHASAN:
Salah satu disiplin yang dilatih dalam jalan
Buddhisme, ialah “kecerdasan analitis” sehingga secara swadaya mampu membedakan
mana yang baik dan buruk, yang terpuji dan tercela, serta yang benar dan yang
keliru, sebagaimana khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
38 (7) Pengetahuan Analitis (1)
“Para bhikkhu, ketika ia
memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu dapat segera merealisasikan empat
pengetahuan analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan
memperoleh kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu. Apakah tujuh ini?
“Di sini, (1) seorang bhikkhu
memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kelambanan pikiran dalam diriku.’ (2)
Atau ketika pikirannya mengerut secara internal, ia memahami sebagaimana adanya:
‘Pikiranku mengerut secara internal.’ (3) Atau ketika pikirannya teralihkan
secara eksternal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku teralihkan secara
eksternal.’ (4) Ia mengetahui perasaan-perasaan ketika munculnya, ketika
berlangsungnya, ketika lenyapnya; (5) ia mengetahui persepsi-persepsi ketika
munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya; (6) ia mengetahui
pemikiran-pemikiran ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya.
(7) Kemudian, di antara kualitas-kualitas yang layak dan tidak layak, rendah dan
unggul, gelap dan terang bersama dengan pendamping-pendampingnya, ia telah
menangkap gambaran itu dengan baik, mengingatnya dengan baik, merefleksikannya
dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan.
[Kitab Komentar : Perasaan, dan
seterusnya, adalah akar dari proliferasi pikiran (papañca). Karena perasaan adalah akar ketagihan, yang muncul
berhubungan dengan kenikmatan. Persepsi adalah akar pandangan, yang muncul pada
objek yang tidak jelas. Dan pemikiran adalah akar keangkuhan, yang muncul
melalui pemikiran, “Aku”.]
“Ketika ia memiliki ketujuh
kualitas ini, seorang bhikkhu dapat segera merealisasikan empat pengetahuan
analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh
kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu.”
~0~
39 (8) Pengetahuan Analitis (2)
“Para bhikkhu, ketika ia
memiliki tujuh kualitas, Sāriputta merealisasikan empat pengetahuan analitis
untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas
pengetahuan-pengetahuan itu. Apakah tujuh ini?
“Di sini, (1) Sāriputta
memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kelambanan pikiran dalam diriku.’ (2)
Atau ketika pikirannya mengerut secara internal, ia memahami sebagaimana
adanya: ‘Pikiranku mengerut secara internal.’ (3) Atau ketika pikirannya teralihkan
secara eksternal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku teralihkan secara
eksternal.’ (4) Baginya, perasaan-perasaan diketahui ketika munculnya, ketika
berlangsungnya, ketika lenyapnya; (5) persepsi-persepsi diketahui ketika
munculnya, ketika berlangsung, ketika lenyapnya; (6) pemikiran-pemikiran
diketahui ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya. (7) Kemudian,
di antara kualitas-kualitas yang layak dan tidak layak, rendah dan unggul,
gelap dan terang bersama dengan pendamping-pendampingnya, ia telah menangkap
gambaran itu dengan baik, mengingatnya dengan baik, merefleksikannya dengan baik,
dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan.
[Kitab Komentar : Walaupun teks
di sini menggunakan bentuk sekarang pajānāti,
namun penerjemah dari teks Pali menafsirkannya sebagai bentuk sekarang
historis, yang merujuk pada masa sebelum Sāriputta mencapai Kearahattaan. Sebagai
seorang Arahant ia tidak mungkin lagi rentan pada kelambanan pikiran,
pengerutan internal, atau pengalihan eksternal.]
“Ketika ia memiliki ketujuh
kualitas ini, Sāriputta merealisasikan empat pengetahuan analitis untuk
dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas
pengetahuan-pengetahuan itu.”
Mengapa masyarakat kita di
Indonesia, yang notabene pemeluk agama samawi (“Agama DOSA” yang justru
mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” bagi KORUPTOR DOSA alih-alih mengkampanyekan
gaya hidup higienis dari dosa maupun maksiat), lebih galak ketika ditegur atas
kesalahannya, atau gemar “lempar batu sembunyi tangan”, “cuci tangan”, yang
pada pokoknya tidak punya keberanian untuk bertanggung-jawab atas
perbuatan-perbuatan buruknya sendiri, dimana bahkan menyebut tidak menikmati
adiksi “PENGHAPUSAN DOSA” adalah kaum yang “merugi”, inilah jawabannya—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
PENDOSA,
namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur,
mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu
menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya,
berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun
diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam keseharian lebih
sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA maupun KORUPTOR
DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta mengakui perbuatan
buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih menggunakan waktu yang
ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab;
Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku
lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]