AGAMA DOSA, Agama yang Mempromosikan Penghapusan Dosa bagi para Pendosa alih-alih Mengkampanyekan Hidup Bersih Bebas dari Perbuatan Dosa
Hanya PENDOSA yang Butuh Penghapusan / Pengampunan /
Penebusan Dosa
Question: Bagaimanakah ciri-ciri atau kiat untuk secara mudahnya bagi kita untuk mampu membedakan mana yang merupakan “agama dosa” dan mana yang merupakan “agama suci”? Sebagaimana kita ketahui, semua marketing pasti akan mengemas produk mereka sebagai “kecap Nomor 1”, sekalipun produk mereka sebenarnya berbahaya bagi kesehatan konsumennya, menutup-nutupi bahaya penggunaan produk yang mereka jajakan kepada masyarakat, menjual iming-iming dan harapan atau khasiat semu semata demi self-interest, tidak terkecuali marketing berbagai “agama dosa” yang diberi kemasan label merek “agama suci” dalam rangka menjaring umat sebanyak-banyaknya sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi mayoritas seperti dewasa ini.
Brief Answer: Mudahnya atau cara paling mudah bagi kita dalam
upaya mengenali serta membedakan antara “Agama SUCI” dan “Agama DOSA” ialah, “Agama
SUCI” hanya semata mengajarkan cara hidup mulia penuh pengawasan diri, pengendalian
diri, dan penuh perhatian “kedalam diri sendiri” (looking inward) bagi para umatnya, yakni para suciwan. Kedua, “Agama
KSATRIA”, senantiasa hanya mengkampanyekan gaya hidup penuh tanggung-jawab selayaknya
seorang ksatria, ketika telah pernah atau masih dapat melukai, merugikan,
maupun menyakiti individu-individu lainnya.
Ketiga, yakni “Agama DOSA”, yang tentu saja bagi
para pendosa, kerap menjaring umat lewat iming-iming berupa janji-janji surgawi
yang notabene “to good to be true”
yang tidak lain ialah tidak bukan mempromosikan ideologi korup bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana semboyan para pelaku praktik
“tabrak lari” ini ialah “BUAT DOSA, SIAPA
TAKUT?!” dan masih juga rajin beribadah atau berbusana / berbahasa serba agamais.
Sekalipun, semua orang berakal sehat menyadari
dan memahami betul, bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan
dosa atau apapun itu sebutannya (abolition
of sins). “Kabar gembira” bagi kalangan pendosa, berupa dihapuskannya dosa-dosa
para “pendosa penjilat penuh dosa”, merupakan “kabar buruk” bagi korban-korban dari
para pendosa tersebut, dimana bahkan iming-iming “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa” demikian dikumandangkan lewat pengeras suara
eksternal tempat ibadah mereka, tanpa rasa malu sedikitpun (merasa bangga, alih-alih
merasa malu ataupun ditabukan), yang terus digaungkan dan diulang-ulang, bahkan
dipromosikan kepada para umatnya maupun pada khalayak ramai. Bagaimana mungkin
dan apa hak mereka, para pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, bersih,
lurus, baik, dan mulia?
Semakin “agamais” seorang pemeluk “Agama SUCI”,
maka menjadi semakin suci dan suciwan para umat pemeluknya, karena itulah para
suciwan tidak pernah membutuhkan iming-iming korup semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Senada dengan itu, semakin “agamais”
seorang pemeluk “Agama KSATRIA”, maka akan semakin bertanggung-jawab sang umat
pemeluknya, menjelma selayaknya seorang ksatria yang bahkan tidak perlu kita
tagih ataupun mengemis-ngemis tanggung-jawab darinya ketika sang ksatria telah
pernah berbuat keliru ataupun salah terhadap kita. Para ksatria memilih untuk
membayar lunas dengan usaha sendiri dan menebusnya sendiri segala “hutang dosa”
mereka, bukan agama untuk orang-orang bermental pengecut.
Sebaliknya, semakin “agamais” seorang umat
pemeluk “Agama DOSA”, maka semakin berdosa dan semakin tidak takut berbuat dosa
jadinya sang umat dari agama yang bersangkutan, alias PENDOSA sejati yang tulen
sebagai seorang pendosa, akan tetapi ironisnya merasa yakin akan masuk alam
surgawi setelah ajal menjelang dan masih juga mengutuk umat agama-agama lainnya
akan masuk “neraka jahanam”—seolah-olah Tuhan butuh para “pendosa penjilat
penuh dosa”, dan seakan-akan Tuhan lebih PRO terhadap kalangan pendosa yang
kotor, buruk, dan busuk ketimbang bersikap adil terhadap korban-korban para
pendosa tersebut, bagaikan “yang tercemar” hendak bersatu dengan “yang murni”. Bertolak-belakang
dengan para pendosa, para suciwan dan para ksatria menyadari betul, bahwa memuliakan
Tuhan ialah hanya dengan jalan menjadi seorang manusia yang mulia, bukan dengan
menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”.
PEMBAHASAN:
Sebelum agama samawi lahir ke dunia ini, tiada pendosa
ataupun penjahat manapun yang yakin akan masuk alam surgawi setelah ajalnya
tiba. Namun, mendadak semenjak agama samawi lahir, lengkap dengan iming-iming bombastisnya
berupa “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, para pendosa
pun berbondong-bondong memeluknya, dan berpesta-pora dosa, bersimbah dosa,
berkubang dalam dosa, berlinang dosa, terkubur oleh dosa, tertimbum dosa, namun
tetap yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka akan masuk alam surgawi setelah
malaikat pencabut nyawa mendatanginya—dosa-dosa mereka telah menjelma “too big to be fall”, sehingga tiada
pilihan lain selain secara membuta meyakini ideologi korup bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekalipun itu artinya harus
menjual dan menggadaikan otak maupun jiwa mereka demi iman setebal tembok beton
yang tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun, seolah-olah otak di kepala mereka
tidak berharga sama sekali dan bukan merupakan anugerah terbesar pemberian
Tuhan.
Dapatlah Anda nilai sendiri secara
objektif tanpa bias persepsi, dengan kapasitas otak yang Anda miliki, disertai
pikiran yang jernih dan akal sehat, bagaimana mungkin kita dapat hidup secara
damai dan harmonis dengan pemeluk ideologi “haus darah” dan “haus dosa” berikut
ini, yang bagaikan seekor kelinci masuk ke sarang para serigala kelaparan yang
beringas dan air liur menetes-netes mencari mangsa, dimana terhadap dosa dan
maksiat demikian kompromistik namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan
demikian intoleran:
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa
Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab,
“Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium
kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Sudah begitu banyak karya tulis
penulis mengupas perihal topik “Agama SUCI Vs. Agama KSATRIA Vs. Agama DOSA”,
yang telah ratusan artikel penulis publikasikan secara luas, namun tiada umat “Agama
DOSA” yang berani untuk melakukan konfrontasi terhadap penulis. Mengapa dan atas
dasar alasan apakah? Semata karena penulis tidak masuk sebagai bagian dari “lingkaran”
para pendosa tersebut (sehingga menjadi lucu bila mereka, para “pendosa
penjilat penuh dosa” tersebut, merasa lebih superior daripada diri penulis),
dan untuk alasan keduanya ialah sebagaimana dapat dicerminkan lewat khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan sabda sebagai berikut:
~Auman Singa~
“Para bhikkhu, pada malam hari
seekor singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya,
mengamati empat penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian
ia pergi berburu.
“Binatang apa pun yang
mendengar auman singa sebagian besar akan merasa ketakutan, merasakan
keterdesakan, dan kegentaran. Mereka yang hidup di dalam lubang memasuki lubang
mereka; mereka yang hidup di dalam air memasuki air; mereka yang hidup di dalam
hutan memasuki hutan; dan burung-burung terbang ke angkasa. Bahkan gajah-gajah
kerajaan yang besar, yang terikat erat dengan tali kulit di desa-desa,
pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, memberontak dan memutuskan ikatan
mereka hingga hancur; dengan ketakutan, mereka buang air kecil dan air besar
dan berlarian dari sana. Sungguh betapa berkuasanya di antara binatang-binatang
singa, raja binatang buas itu, begitu agung dan perkasa.
“Demikian pula, para bhikkhu,
ketika Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna,
sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan,
pengenal dunia, pelatih yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus
dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci, Beliau
mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘(1) Demikianlah penjelmaan diri, (2)
demikianlah asal-mula penjelmaan diri, (3) demikianlah lenyapnya penjelmaan
diri, (4) demikianlah jalan menuju lenyapnya penjelmaan diri.’
[NOTE : Penjelmaan diri”
(sakkāya), bermakna kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada
kemelekatan.]
“Ketika para deva itu yang
berumur panjang, indah, dengan kebahagiaan melimpah, menetap lama di
istana-istana agung, mendengar ajaran Dhamma Sang Tathāgata, sebagian besar
dari mereka akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan kegentaran sebagai
berikut: ‘Tampaknya kami sebenarnya adalah tidak kekal, walaupun kami pikir
kami adalah kekal; tampaknya kami sebenarnya adalah sementara, walaupun kami
pikir kami bertahan selamanya; tampaknya kami sebenarnya adalah tidak abadi,
walaupun kami pikir kami adalah abadi. Tampaknya kami adalah tidak kekal,
sementara, tidak abadi, yang termasuk dalam penjelmaan diri.’ Begitu
berkuasanya Sang Tathāgata, begitu agung dan perkasanya Beliau di dunia ini bersama
dengan para devanya.”
[Penjelasan Kitab Komentar : ‘Sebagian
besar’ (yebhuyyena) dikatakan untuk
mengecualikan para deva itu yang adalah para siswa mulia. Walaupun mereka mengalami
desakan pengetahuan (ñāṇasaṃvega), namun tidak ada ketakutan sama sekali yang
muncul pada para Arahant, karena mereka telah mencapai apa yang harus dicapai
melalui usaha seksama. Para deva lain, ketika mereka memerhatikan
ketidakkekalan, mereka mengalami baik kekhawatiran maupun ketakutan pikiran (cittutrāsabhaya) dan, pada saat
pandangan terang yang kuat, mengalami ketakutan kognitif (ñāṇabhaya).
“Ketakutan kognitif” mungkin
adalah tingkat pandangan terang yang disebut “pengetahuan penampakan sebagai
menakutkan”.
Termasuk dalam penjelmaan diri
(sakkāyapariyāpannā): termasuk dalam
kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah, ketika Sang Buddha mengajarkan
kepada mereka Dhamma yang disegel dengan ketiga karakteristik, mengungkapkan
cacat-cacat dalam lingkaran penjelmaan, maka ketakutan kognitif merasuki
mereka.]
Ketika, melalui pengetahuan
langsung, Sang Buddha, Sang Guru, manusia yang tanpa tandingan di dunia ini
bersama dengan para devanya, memutar roda Dhamma, [Beliau mengajarkan]
penjelmaan diri, lenyapnya, asal mula penjelmaan diri, dan jalan mulia berunsur
delapan yang menuntun menuju ditenangkannya penderitaan.
Maka bahkan para deva itu
yang berumur panjang – indah, gemerlap dengan keagungan – menjadi ketakutan dan
merasakan kegentaran, bagaikan binatang liar yang mendengarkan auman singa.
“Tampaknya kami adalah tidak
kekal, tidak melampaui penjelmaan diri,” [mereka berkata], ketika mereka
mendengar kata Sang Arahant, Yang Stabil yang terbebaskan sepenuhnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.