SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Menzolimi Teriak Dizolimi
BELA DIRI dan MELAKUKAN PERLAWANAN ketika Diancam
akan Dibunuh, merupakan Hak Asasi Manusia
Salahkan yang Terlebih Dahulu Mengancam dan
Menyerang, Bukan yang Sekadar Bela Diri dan Melawan
Question: Disebutkan bahwa umat Muslim dan nabi mereka hanya sekadar membalas penzoliman yang mereka terima dari kaum nonMuslim. Jika memang betul Muslim telah dizolimi pada saat itu, maka mengapa membalas dengan pembunuhan? Apa iya, para nonMuslim begitu menzolimi kaum Muslim tanpa sebab yang mendahului atau melatar-belakanginya? JIka merujuk sejarah agama-agama di daratan Arab ribuan tahun lampau sebelum Islam lahir, sudah banyak agama-agama di sana sebelum Islam lahir, dan satu sama lain rukun hidup berdampingan antar umat beragama yang majemuk. Pastilah ada sebabnya sehingga para nonMuslim kemudian melakukan perlawanan terhadap kaum Muslim, sehingga siapa yang paling patut dipersalahkan jika sudah seperti itu?
Brief Answer: Betul, bahwa bukanlah alasan pembenar juga bukan
justifikasi yang sahih bilamana alasannya dizolimi lantas membalasnya secara
tidak proporsional semacam ayat-ayat berisi perintah untuk membunuh dan
merampok kaum nonMuslim. Sumber otentik agama Islam, ialah Al-quran dan Hadist,
dimana berangkat dari kedua Kitab tersebut, kita dapat menemukan jejak sejarah
dan menarik benang-merahnya untuk menyimpulkan apa yang sebetulnya terjadi pada
masa itu, sebagai sebentuk “pengakuan” dari kaum nabi pembentuk agama Islam itu
sendiri mengenai siapa yang sebetulnya menzolimi dan siapa yang sejatinya telah
dizolimi.
PEMBAHASAN:
Bermula dari cara beribadah
kaum Muslim yang cukup “eksentrik”, sehingga beragam kalangan warga di daratan Arab
menolak untuk memeluk keyakinan yang ditawarkan oleh nabi para Muslim, merujuk
bukti yang terungkap dalam : Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan
apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu
Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku
tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
Silahkan saja bila para Muslim
hendak menyembah dan menciumi batu hitam “berhala”, namun masalah bermula
ketika para Muslim memaksa para nonMuslim untuk turut menyembah dan menciumi
batu hitam yang tidak berfaedah dimaksud, atau bahkan “menimpuki” kaum
nonMuslim dengan batu hitam yang para Muslim yakini, peluk, dan ciumi, alih-alih
cukup beribadah sesuai agama masing-masing. Bahasa singkatnya, silahkan para
Muslim seorang diri menciumi batu hitam yang tidak berfaedah demikian, namun
mengapa harus mengganggu umat beragama lainnya lalu melakukan pemaksaan untuk
melakukan ritual “penciuman batu hitam” serupa? Sesama pemeluk “berhala” tidak semestinya
saling mengganggu.
Melihat gelagat para nonMuslim
yang tidak menaruh minat untuk memeluk Islam, sang nabi mulai membuat kampanye dalam
rangka menjaring umat baru berupa iming-iming “panghapusan / pengampunan dosa”
bagi para pendosa, seolah pendosa dapat masuk surga (too good to be true, enak di pelaku pembuat dosa, rugi bagi korban),
sekalipun kita tahu bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming
penuh kecurangan semacam ini:
- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.”
Sebagian warga Arab yang
notabene penjahat-penjahat, berminat, sehingga dimana ada “demand” penghapusan dosa yang menjadi kabar baik bagi para pendosa
dan penjahat, maka ada “supply” kabar
baik berupa iming-iming penghapusan dosa. Namun tidak semua warga Arab berminat
dengan ideologi “korup” demikian, mungkin karena telah pernah menjadi korban
pencurian dan perzinaan, sehingga tidak simpatik kepada kalangan pendosa yang
telah mencuri ataupun berzina. Sampai kemudian terbitlah perintah berikut oleh
sang nabi kepada seluruh umat Muslim, sebagaimana terbukti dalam Hadist
Tirmidzi Nomor 2533:
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH',
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”
Para nonMuslim, sebagaian warga
Arab, tetap menolak untuk memeluk Islam, sebagai akibatnya mereka dibunuh dan
dirampok. Tiada kewajiban hukum maupun kewajiban moral bagi siapapun untuk diam
saja dijadikan “sasaran empuk” yang berdiam diri dengan bodohnya disakiti
bahkan ditewaskan secara pasrah dan pasif. Justru adalah kewajiban moral mereka
untuk melawan dan mempertahankan harta maupun jiwa dan keselamatan mereka maupun
keluarga mereka dari ancaman penyamun dan psikopat “haus darah” demikian. Komunitas
nonMuslim yang diserang dan dirampok, kaum anak-anak dan wanitanya dijadikan
tawanan perang yang kemudian diperbudak sebagai budak, bahkan dijadikan budak
seksuil (tidaklah logis bila yang dijadikan budak dan diperbudak oleh para
Muslim, ialah para Muslim itu sendiri), sebagaimana tertbukti dalam:
- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.’
Warga Arab melihat dan
mendapati “chaos” semakin menjadi-jadi
akibat penjarahan, perampokan, pembantaian massal yang mengatas-namakan Agama
Islam oleh para Muslim, lantas melakukan perlawanan sengit dan menjadikan Islam
sebagai ancaman bagi semesta menurut sebagian warga Arab pada saat itu. Namun,
perlawanan kaum nonMuslim diklaim sebagai penzoliman yang menzolimi kaum
Muslim, seolah-olah kaum Muslim tidak terlebih dahulu telah zolim kepada kaum
nonMuslim. Berangkat dari paradigma “putar-balik logika moril” demikian, diterbitkanlah
ayat-ayat lewat mulut sang nabi yang justru kian memanasi dan membuat kaum
Muslim kian “kesetanan” alih-alih meredamnya:
- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap
mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka
Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka
memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas
dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.
[Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang,
alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang
sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi
orang-orang untuk dibunuh?]
Sampai pada muaranya, daratan
Arab ditaklukkan oleh hegemoni kaum Muslim, dimana para warga Arab yang
nonMuslim telah punah diburu dan dibantai oleh para Muslim, diperlakukan lebih
rendah daripada hewan, dimana hewan tidak diburu dan dibunuh sampai punah di
Arab, namun manusia-nonMuslim dibantai hingga punah tanpa sisa dan tanpa belas
kasihan. Terhadap maksiat dan dosa, kaum Muslim demikian kompromistis serta
permisif, namun mengapa terhadap kaum nonMuslim mereka demikian intoleran? Sang
nabi kemudian membuat pengakuan sebagai berikut:
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah
SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang?
Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak
bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).
Bagi kaum Muslim di Tanah Air
yang menuduh penulis telah menista agama Islam, maka coba katakan, apakah
kutipan ayat-ayat dalam Hadist yang sahih maupun Al-quran di atas, adalah tidak
otentik adanya dan adalah fitnah? Bila para Muslim memungkiri isi kedua Kitab
agamanya mereka itu sendiri, sama artinya para Muslim itu sendiri yang telah
manafikan sekaligus menista agama Islam yang mereka peluk dan yakini—dimana
juga artinya selama ini para Muslim memeluk dan mengimani agama “Islam versi
fantasi” yang tidak menjadikan Hadist maupun Al-quran sebagai sumber utama atau
rujukan otentik agama Islam.
Agama dibangun dari Kitab
Agama, bukan sebaliknya Kitab Agama yang harus dikonstruksikan untuk sesuai dengan
versi agama yang kita Anda yakini dan peluk. Penulis hanya sekadar mengikuti
alur berpikir dan alur sejarah serta alur substansi yang terkandung dalam Hadist
dan Al-quran, dikutip mentah-mentah tanpa dipelintir, dimana Hadist yang
dirujuk dan dikutip merupakan Hadist yang telah dinyatakan sebagai sahih oleh ribuan
ulama ribuan tahun lampau di Arab sana, sehingga bukanlah hak para Muslim di Indonesia
untuk mengklaim isi Hadist tersebut adalah palsu—jika para Muslim mengklaim
demikian, maka Muslim yang bersangkutan telah “MURTAD”.
Sebagai penutup, penulis
persilahkan para Muslim untuk membuat versi terjemahan yang lebih “cinta damai”
dan lebih toleran dari rangkaian benang-merah isi ayat-ayat tersebut di atas. Bila
para Muslim berani dan sanggup menerima tantangan penulis tersebut di atas, dan
dapat membuat versi penafsiran yang lebih toleran, lebih humanis, serta lebih
manusiawi, untuk dapat benar-benar diklaim sebagai agama “cinta damai” yang
rahmatan bagi semesta, tentu kami akomodir, untuk itu dipersilahkan mengirimkan
surat pembaca kepada redaksi. Bila argumentasi Anda dapat kami benarkan, maka
artikel ini akan kami koreksi, sepanjang argumentasi Anda lolos “uji moral”.