SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi
Nabi Pedofil, Buruk Wajah Jangan Cermin Dibelah
Keyakinan yang Berdiri Diatas Fondasi Rapuh Bernama Hoax
dan Fantasi yang Menyimpang dari Fakta, Memungkiri Kitab Agamanya Sendiri dan
Berbangga Diri dalam Fiksi Rekaan
Question: Apakah akan disebut sebagai menista Agama Islam, jika mengatakan bahwa nabi yang disembah umat Muslim adalah seorang nabi yang pedofil?
Brief Answer: Tidak, karena memang faktanya demikian adanya. Jika
tidak terbukti sebagai sebuah pernyataan berisi fitnah, maka adalah “menyatakan
sebuah fakta” (state a fact is not a
crime, the evidence speaks for itself), alias bukan penistaan dan bukan pencemaran
nama baik. Yang unik ialah, banyak diantara para kaum Muslim maupun Muslimah
yang membantah, tidak mengakui, serta bersikukuh bahwa tidaklah benar demikian
adanya—yang artinya selama ini para segenap Muslim meyakini dan memeluk Agama
Islam “versi fantasi”, karena membantah disamping menafikan fakta yang
disebutkan secara eksplisit dalam Kitab Agama mereka sendiri, yakni Al-quran
dan Hadits yang telah dinyatakan sahih oleh ribuan ulama di Arab ribuan tahun
lampau, dengan menyatakan bahwa Hadits yang mengungkap fakta bahwa Aisyah
dinikahi oleh Muhammad pada saat masih berusia 6 tahun dan disetubuhi pada usia
9 tahun (bukan pada “tahun sekian masehi” dinikahi, namun pada “usia” atau pada
“umur” terjadinya pernikahan antara seorang “kakek-kakek” beristri dan seorang “bocah”
yang semestinya masih duduk di Sekolah Dasar dimana organ reproduksinya pun
belum matang).
Keunikan kedua ialah, para kaum Muslim lebih
sibuk memproduksi serta mereproduksi “HOAX”, alih-alih mewartakan isi ajaran
dan fakta-fakta yang ada dan eksis dalam Kitab Agama mereka, yakni Al-quran
serta Hadits yang sahih, dengan motif menutup-nutupi, memungkiri, memoles “make
up”, menggeser opini publik dengan cara menyimpangi fakta yang sebenarnya, dengan
menyatakan bahwa Aisyah dinikahi Muhamnmad pada saat Aisyah berumur 16 tahun
atau 19 tahun, dengan menyatakan bahwa Aisyah dinikahi pada “tahun sekian
masehi” yang tidak memiliki dasar sumber rujukan otentik apapun selain sekadar
klaim, yang artinya membangkang isi Kitab agama mereka sendiri—yang disaat
bersamaan menyiratkan makna implisit bahwasannya kaum Muslim itu sendiri merasa
malu atas agama yang mereka peluk dan yakini, lantas mengkampanyekan dan
mempromosikan agama Islam “versi fantasi” atau “versi HOAX” yang dibentuk dan
di-“reframing” oleh para Muslim.
Memang mengherangkan, bila merasa malu atas perilaku
nabi junjungan mereka, maka mengapa para Muslim masih bersikukuh dan bersikeras
memeluknya, bahkan menyebar-luaskan, mempromosikan, serta mengkampanyekan agama
Islam “versi fantasi” alias “versi HOAX” demikian? Sehingga pula, kedengarannya
lebih tampak seperti sebuah agenda politis maupun “hidden agenda” ketimbang murni bertujuan dalam rangka misionaris, “ada
udang dibalik batu”, berbau amis nan menyengat dapat tercium oleh kita
gelagatnya.
Yang paling tidak dapat dimengerti dari jalan
berpikir kaum Muslim, mengapa juga memblokir situs-situs dunia maya yang
sekadar mengungkap isi Hadits maupun Al-quran secara APA ADANYA (as it is), seolah-olah itu tabu atau terlarang?
Itulah kitab agama yang semestinya dijunjung para Muslim, sekalipun memalukan
mereka, daripada berbangga diri dngan cara menutupi borok dan membuat “HOAX”. Perlu
diingat kembali oleh segenap Muslim, kata “Islam” bermakna “kepatuhan mutlak”. Tiada
yang dapat terjadi, termasuk apa yang tertuang dalam Hadits, tanpa seizin dan
kuasa Tuhan. Memungkiri apa yang tercatat dalam Hadits, sama artinya mencoba membantah
kekuasaan Tuhan.
Dan telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Mu'aawiyyah, dari
Hisyaam bin 'Urwah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan
kepada kami 'Abdah bin Sulaimaan, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari 'Aaisyah, ia
berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menikahiku pada usia 6
tahun, dan baru menggauliku saat aku berusia 9 tahun” [Diriwayatkan oleh Muslim].
PEMBAHASAN:
Tampak kontras dengan ajaran
Sang Buddha yang mengkampanyekan para suami-istri saling setia dan menikah serta
melangsungkan rumah-tangga atas dasar cinta—dimana keduanya tampaknya tidak
didapatkan dalam perkawinan poligami terlebih anak gadis korban praktik pedofilia.
Salah satunya tertuang dalam kitab Jātaka, dikisahkan bahwa dalam salah satu
kehidupannya, Bodhisattwa melihat bagaimana seorang raja memperlakukan permaisurinya
dengan semena-mena. Di hadapan raja, Bodhisattwa menasihati si permaisuri untuk
meninggalkan raja tersebut sampai perilaku raja berubah, karena ”hidup
bersama tanpa rasa cinta adalah menyakitkan” (Jātaka, II.205).
Dalam Sigālovāda Sutta, pun
tertera bahwa cinta antara suami dan istri nyaris dianggap religius atau keramat.
Cinta seperti ini disebut sadāra-brahmācariyā (hidup berkeluarga yang luhur).
Di sini, istilah brahmā menandakan bahwa hubungan suami-istri mendapat tempat
yang sangat terhormat. Suami dan istri harus saling setia, saling hormat, dan saling
menyayangi. (Dīgha Nikāya, 31. Sigālovāda Sutta).
Menikahi anak kecil sama
artinya merampas masa kecil seorang bocah cilik yang dunianya ialah dunia
bermain dan belajar. Bagaimana mungkin pula seorang gadis dewasa masih bermain dengan
boneka? Sahih Bukhari Volume 8, Buku 73, Nomer 151. Dinyatakan 'Aisha: Aku
biasa bermain dengan boneka-boneka di depan sang Nabi, dan kawan-kawan
perempuanku juga biasa bermain bersamaku. Kalau Rasul Allah biasanya masuk ke
dalam (tempat tinggalku) mereka lalu bersembunyi, tapi sang Nabi lalu memanggil
mereka untuk bergabung dan bermain bersamaku. (Bermain dengan boneka-boneka atau
bentuk-bentuk yang serupa itu dilarang, tapi dalam kasus ini diizinkan sebab
Aisha saat itu masih anak kecil, belum mencapai usia pubertas) (Fateh-al-Bari
halaman 143, Vol.13).
Sahih Bukhari Volume 7, Buku
62, Nomer 64. Dikisahkan oleh 'Aisha: Bahwa sang Nabi menikahinya ketika ia berusia
enam tahun dan sang Nabi menyetubuhinya ketika dia berusia sembilan
tahun, dan dia terus bersama sang Nabi selama sembilan tahun (sampai
Nabi mati).
Sahih Bukhari Volume 7, Book
62, Number 65. Dikisahkan oleh 'Aisha: Bahwa sang Nabi menikahinya ketika ia
berusia enam tahun dan sang Nabi menyetubuhinya ketika dia berusia
sembilan tahun. Hisham berkata: “Aku telah diberitahu bahwa ‘Aisha tinggal
bersama sang Nabi selama sembilan tahun (sampai Nabi mati).” Apa yang kau
ketahui tentang Qur’an (di luar kepala).
Sahih Bukhari Volume 7, Buku
62, Nomer 88. Dikisahkan oleh 'Ursa: Sang Nabi menulis (kontrak kawin) dengan ‘Aisha
ketika dia berusia enam tahun dan menyetubuhinya ketika dia berusia
sembilan tahun dan dia tinggal bersama sang Nabi selama sembilan tahun
(sampai Nabi mati).
Sahih Bukhari 5.236. Dikisahkan
oleh ayah Hisham: Khadija meninggal dunia tiga tahun sebelum sang Nabi
berangkat ke Medina. Dia diam di sana selama dua tahun atau lebih dan lalu dia
menikahi ‘Aisha ketika dia berusia enam tahun, dan dia (Nabi)
menyetubuhinya ketika dia berusia sembilan tahun.
Sahih Bukhari 5.234. Dikisahkan
oleh Aisha: Sang Nabi bertunangan denganku ketika aku masih seorang gadis
kecil berusia enam (tahun). Kami pergi ke Medina dan tinggal di rumah
Bani-al-Harith bin Khazraj. Lalu aku sakit dan rambutku rontok. Tak lama
kemudian rambutku tumbuh (lagi) dan ibuku, Um Ruman, datang padaku ketika aku
bermain ayunan bersama beberapa dari kawan perempuanku. Ibu memanggilku, aku
pergi menghadapnya, tidak tahu apa yang dia inginkan dariku. Ibu memegang
tanganku dan membawaku berdiri di depan pintu rumah. Aku tak bisa bernafas, dan
ketika aku bisa bernafas lagi, dia (Ibu) mengambil air dan membilas wajah dan
kepalaku. Lalu dia membawaku masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kulihat wanita-wanita
Ansari yang berkata, “Salam sejahtera dan Berkat Allah dan semoga selamat.”
Lalu dia (Ibu) menyerahkanku kepada mereka dan mereka mempersiapkanku (untuk
perkawinan). Secara tak terduga, Rasul Allah datang padaku di pagi hari dan
ibuku menyerahkanku kepadanya, dan pada saat itu aku adalah seorang gadis berusia
sembilan tahun.
Sahih Muslim: Aishah ( r.a.)
reported that the Prophet (saw) married her when she was seven years old,
and she was taken to his house as a bride when she was nine, and her
dolls were with her; and when he died she was eighteen years old.
[shahih Muslim]
Sunan Abu-Dawud, Book 41,
Number 4915, also Number 4916 and Number 4917. Dinyatakan Aisha, Ummul
Mu'minin: Sang Rasul Allah menikahiku ketika aku berusia tujuh atau enam
tahun. Ketika kami tiba di Medina, beberapa wanita datang, menurut
versi Bishr: Umm Ruman datang padaku ketika saya sedang bermain ayunan.
Mereka memandangku, mempersiapkanku, dan mendandaniku. Kemudian aku dibawa ke
Rasul Allah, dan ia hidup bersamaku sebagai suami istri ketika aku berusia
sembilan tahun.
Sunan An-Nasaaee Abu Salama Bin
Abdulrahman narrated from Aishah that the Messenger of Allah married her
when she was six years old and lived with her when she was nine
years old. "Aishah said, “ The Messenger of Allah married me at nine
years (of age) and I lived with him for nine years.
Sunan Ibn Majah. Abdullah said, “The Prophet
married Aishah when she was seven years old, and consummated the
marriage with her when she was nine, and he passed away when she was
eighteen.
Musnad Ahmad ibn Hanbal. Al-Aswad
narrated from Aishah that the Messenger of Allah married her when she was
nine and he died when she was eighteen years old.
Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra. Al-Aswad
narrated from Aishah that the Messenger of Allah married her when she was a six
year old girl and lived with her when she was a nine year old girl
and he died when she was an eighteen year old girl.
Mustadrak Al-Haakim. Jaabir
narrated that the Prophet married Aishah when she was seven years old,
and consummated the marriage with her when she was nine years old, and
died when she was eighteen years old and she died at the time of (the Caliphate
of) Mua’awiyah in the year 57 AH.
Al-Mujam Al-Kabeer of
At-Tabaraani. Abdullah narrated that the Prophet married Aishah when she was a six
year old girl and consummated the marriage with her when she was a nine
year old girl and he died when she was an eighteen year old girl.
"Qataadah said: “The
Prophet married Aishah bint Abee Bakr As-Siddeeq while she was six years old
and he did not marry a virgin (bikr) other than her. They said that Jibreel
said (to the Prophet): “This is your wife” before he married her, so he got
married to her in Makkah before the hijrah and after the death of (his first
wife) Khadijah. Then he consummated the marriage to her in Madeenah while she
was nine years old and she was eighteen years old at the time he passed
away.”
"Aishah said: “I got
married to the Messenger of Allah when I was six years old and he
consummated the marriage with me when I was nine years old .”
"Aishah said: “The
Messenger of Allah married me when I was nine years old and I lived with
him for nine years (after that).”
Abu Maleekah said: The Prophet
asked Abu Bakr for Aishah's hand in marriage and Abu Bakr at the time had given
his word to Jubair ibn Mutam (to marry him to Aishah). Then he (Abu Bakr)
withdrew his word and got her married to the Messenger of Allah . She was six
years old at the time so he waited for three years then he consummated the
marriage with her when she was nine years old.
Di lapangan, pendapat kaum
Muslim terpecah menjadi dua. Pihak atau kubu yang kesatu, menyatakan dengan
bersikukuh bahwa Hadits yang berjumlah lebih dari satu penutur tersebut adalah “palsu”.
Lantas, yang menjadi pertanyaan besarnya ialah, Hadits manakah yang asli dan
otentik? Bahkan cara ritual ibadah para Muslim tidak akan dapat kita jumpai
dalam Al-quran, dan hanya dapat ditemukan panduannya dalam Hadits.
Terdapat kesesuaian antara satu
penutur dan penutur lainnya sebagaimana dikumpulkan oleh para pengumpul “sunnah” seperti Bukhari dan Muslim, dua
tokoh yang paling diakui orisinalitasnya oleh para ulama di Arab tempo dulu. Terlagipula,
Hadits-Hadits yang mewartakan fakta perihal Aisyah dinikahi pada saat masih
berusia belia, dimana mental maupun tubuhnya belum siap untuk berumah-tangga
terlebih persetubuhan suami-istri, yakni Hadits yang bersifat otentik, dalam artian
telah dinyatakan sebagai Hadits yang sahih oleh para ulama di Arab ribuan tahun
lampau—karenanya, apa hak para Muslim di Indonesia untuk merasa lebih pintar
dan lebih “melek” seputar Islam ketimbang para ulama di negara asalnya di Timur
Tengah sana?
Kaum Muslim yang menolak Hadits
tersebut, kemudian membuat spekulasi yang jauh lebih tidak meyakinkan serta
lebih menyimpang. Mengapa? Sebab, jikalau mereka benar bahwa bukti sejarah dan
penanggalan terjadinya pernikahan Aisyah adalah tercatat dalam sejarah, maka
mengapa kaum yang pertama ini pun tidak saling konsisten satu sama lainnya, mengingat
ada kaum Muslim yang menyatakan dengan tegas dan pasti bahwa Aisyah dinikahi
saat berusia 16 tahun, namun ada pula kaum Muslim yang menyatakan bahwa Aisyah
dinikahi pada saat menginjak usia 19 tahun. Hanya satu penjelasannya, yakni
dalil atau klaim penanggalan tahun sejarah yang mengada-ngada sehingga bisa
muncul angka 16 tahun maupun 19 tahun.
Bukti sejarah tidak mungkin
bisa ada dua versi seperti demikian, yang artinya kesemua itu hanyalah upaya
rekayasa untuk menutupi borok dan coreng wajah nabi junjungan para Muslim yang
telah mempermalukan para Muslim sedunia. Bila Tuhan para Muslim telah meng-“halal”-kan,
mengapa juga para Muslim meng-“haram”-kan? Jangankan kawin dengan anak dibawah
umur, Islam pun telah ternyata meng-“halal”-kan praktik perbudakan seksuil yang
jauh lebih keji dan lebih tidak manusiawi disamping tercela dibandingkan dengan
praktik pernikahan anak dibawah umur, dengan rujukan otentik bersumber dari:
- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.’
- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).
Kaum yang kedua, dengan lebih
terbuka berjiwa besar mengakui bahwa Hadits tersebut adalah benar eksis adanya,
bahwa Aisyah dinikahi oleh Muhammad saat masih berusia 6 tahun dan barulah
disetubuhi oleh suaminya saat sang istri baru menginjak usia 9 tahun, namun
kemudian memakai kalimat ber-ekor seperti “di Arab sana ribuan tahun lalu,
adalah lazim menikahi bocah berusia 6 tahun dan sudah matang secara reproduksi
maupun hormonal”. Sejarah dari sumber rujukan manakah, yang menyatakan adanya
budaya “pedofilisasi” di daratan Arab sana ribuan tahun lampau sebelum era
kelahiran sang nabi? Para Muslim tersebut tidak mampu menjawabnya, selain
sekadar berspekulasi secara membuta dan melenceng dari akal sehat, alias validasinya
tidak logis.
Setidaknya, kaum kedua tersebut
di atas patut kita apresiasi karena tidak mau merepotkan diri membantah fakta
bahwa Hadits mewartakan bahwa Aisyah masih bermain boneka dan ayunan ketika
dinikahi Muhammad, yang mana hanya seorang gadis bocah yang masih bermain-main dengan
boneka dan ayunan—mereka, kaum Muslim kedua ini, lebih patut diberi gelar
sebagai “pahlawan agama Islam” karena tidak menyebarkan agama Islam versi “HOAX”
sebagaimana para Muslim lainnya dari kaum yang pertama yang mati-matian menutupi
borok nabi junjungan mereka dan memolesnya dengan segala manipulasi data yang
mendistorsi agama mereka sendiri (pengkhianat agama Islam ialah umat Islam itu
sendiri).
Bila betul adanya budaya
menikah di usia dini semacam kasus Aisyah, sudah ada di Arab, maka bagaimana
cara membuktikannya bahwa saat usia Aisyah genap 6 tahun saat dinikahi oleh
Muhammad, bahwa ibu dari Aisyah adalah berusia 15 tahun (6 + 9 tahun), nenek
dari Aisyah adalah berusia 24 tahun (15 + 9 tahun), buyut dari Aisyah adalah berusia
33 tahun (24 + 9 tahun), ibu dari buyut Aisyah adalah berusia 42 tahun (33 + 9
tahun), nenek dari buyut Aisyah adalah berusia 51 tahun (42 + 9 tahun), buyut
dari buyut Aisyah adalah berusia 60 tahun (51 + 9 tahun)? Bisakah para Muslim memberikan
bukti sejarah otentik yang dapat membuktikan kebenaran dalil para Muslim dari
golongan kedua ini?
Kini, disebagian negara di Timur
tengah, praktik pernikahan orang dewasa dengan anak dibawah umur telah menjamur
dan dilegalkan oleh hukum negara yang bersangkutan, sekalipun belum mencapai
usia reproduktif seorang anak gadis, sebagai contoh ialah Iran, semata karena meniru
“sunnah nabi” yang tercantum dalam Hadits demikian. Praktik pernikahan anak
seringkali merujuk pada pernikahan sang nabi umat Muslim dengan Aisyah, ketika sang
gadis masih berusia 6 (enam) tahun. Artinya, tidak lagi terbantahkan kebenaran
dan kesahihan fakta : “Dari ‘Aisyah bahwa
Nabi saw. menikahinya ketika berumur 6 tahun dan mulai hidup bersama
ketika usianya 9 tahun” (HR Bukhari).
Hadis itu oleh para fuqaha
dipahami bahwa sang Nabi menikahi Aisyah, yang saat itu berusia 6 tahun dan
hidup bersama satu rumah dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun. Dari
pemahaman itu, maka pernikahan anak-anak seakan memiliki landasan nash dalam
Islam. Praktik pernikahan anak dalam masyarakat mengacu pada paham tersebut.
Mereka juga berpandangan, daripada zina, lebih baik nikah, meski masih usia
anak, belum mandiri secara ekonomi, sehingga masih tergantung pada orang tua—termasuk
menggauli budak-budak, tanpa terkecuali. Jumlah istri maksimum empat, namun
tiada batasan untuk budak seksuil yang dieksploitasi demi memuaskan nafsu
birahi seorang pria yang gagal mengendalikan dirinya.
Menilik perspektif kaum Muslim
pria, jelas bahwa mereka sama sekali tidak menaruh hirau terhadap perasaan kaum
wanita yang mereka nikahi. Aisyah jelas belum memiliki ketertarikan terhadap
lawan jenis terlebih jatuh cinta terhadap suami berwujud dan berumur kakek-kakek
yang menikahinya, yang mana mereka lebih cocok menjadi kakek angkat dan cucu
angkat ketimbang suami-istri—mengingat usia Muhammad saat menikahi Aisyah ialah
berusia 53 tahun. Selain tidak mendapatkan cinta, Aisyah pun tidak mendapatkan
keistimewaan berupa kesetiaan dari suaminya yang “memadu” banyak wanita. Pria-sentris,
bijaksini bukan bijaksana. Ibarat mencabut sekuntum bunga dari batangnya sebelum
bunga tersebut sempat tumbuh dan mekar secara sempurna, masih berupa kuncup
yang baru tumbuh kecil.