LEGAL OPINION
Question: Sebaiknya membuat perjanjian personal (Personal Guarantee), dibuat secara
terpisah dengan akta pokoknya berupa perjanjian hutang atau dijadikan satu
kesatuan dengan perjanjian pokoknya saja?
Brief Answer: Dalam praktik, terdapat dua model Akta Personal
Guarantee, yakni : 1) dalam sebuah / satu buah akta yang berisi dua unsur,
yakni Perjanjian Hutang-Piutang serta kesepakatan pemberian Personal Guarantee; atau 2) model
terpisah, yakni sebuah Akta Hutang-Piutang serta perjanjian turunannya (asesoir) berupa Akta Personal Guarantee.
Banyak pihak yang berpendirian bahwa keduanya
memiliki konsekuensi yuridis yang sama saja. Namun, SHIETRA & PARTNERS
memiliki penilaian yang cukup berbeda secara sangat kontras. Ketika kedua akta
tersebut dipisahkan, antara penjanjian pokok dan perjanjian pemberian Personal Guarantee, maka ketika terjadi
cessie pada perjanjian pokok, mengakibatkan Akta Personal Guarantee tidak lagi
memiliki daya ikat bagi kreditor baru maupun bagi pihak pemberi jaminan—sebagaimana
namanya, “personal” maka menjadi hanya bersifat “personal” peer to peer (person to person) antara pihak pemberi dan penerima jaminan, tanpa dapat
dioperkan pada pihak ketiga.
Namun dalam hal keduanya dimuat dalam
satu-kesatuan akta, maka ketika terjadi cessie, pemberian Personal Guarantee pun turut melekat dan beralih bagi kepentingan
kreditor baru. Perlu kita sadari, bahwa menurut hukum perdata, yang disebut
dengan cessie / subrogasi ialah pengalihan piutang riel (bukan jaminan),
bukan pengalihan Akta Personal Guarantee—sehingga
keduanya memiliki karakter yang saling berbeda tanpa dapat saling
dipertukarkan.
Sebab, pada prinsipnya pemberian Personal Guarantee dapat disebut sebagai
suatu jenis perikatan tambahan, ketika antara Perjanjian Pokok dan pemberian Personal Guarantee saling dipisahkan—oleh
sebab bila diasumsikan sama, mengapa kedua akta tersebut dibuat secara
terpisah? Meski, tampaknya praktik peradilan masih menyama-ratakan antara
keduanya.
Berbeda dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan,
yang meski terpisah dari Akta Pokoknya, namun dalam Perjanjian Hutang-Piutang
biasanya disebutkan pula benda-benda apa saja yang akan dijadikan sebagai
agunan, sehingga cessie akan menarik pula berbagai agunan tersebut. Perjanjian Personal Guarantee yang terpisah dari
Perjanjian Pokoknya, diibaratkan sang pemberi jaminan hanya memberi pada sang
kreditor itu saja secara “personal”, bukan kepada pihak lain sekalipun itu kreditor
baru akibat cessie.
Sementara, ketika keduanya dijadikan dalam satu
akta, maka dapat dimaknai bahwa pemberi Personal
Guarantee bersedia ditagih oleh kreditor baru manapun. Sebagaimana namanya,
Personal Guarantee, yang bersifat
“personal” bukan hanya si pemberi jaminan, tapi juga “personal” orang yang
dijamin, dan secara “personal” bagi seseorang yang menerima jaminan yakni sang
kreditor yang tertentu juga sifatnya (personal dalam arti yang sesungguhnya).
PEMBAHASAN:
Ilustrasi ekstrimnya, ialah ketika
debitor telah dipailitkan oleh kreditornya, tanpa turut mempailitkan sang
pemberi Personal Guarantee (semisal
karena pailit dimohonkan oleh pihak kreditor lainnya dari sang debitor), namun
pasca penetapan pailit sang debitor, pihak kreditor dengan jaminan Personal Guarantee tetap diberikan hak
oleh pengadilan untuk menuntut pelunasan dari sang pemberi Personal Guarantee.
Sementara kita ketahui, pasca
pailitnya seorang debitor, artinya segala hak dan kewajiban dari sang debitor,
termasuk segala hutang-piutangnya, menjadi berakhir paska likuidasi yang
dilakukan oleh sang kurator yang melakukan pemberesan terhadap boedel pailit.
Maka, secara logisnya, pasca
kepailitan mengakibatkan segala Akta Hutang-Piutang menjadi berakhir dan tidak
lagi memiliki kekuatan hukum. Sehingga menjadi pertanyaan, apakah Personal Guarantee masih dapat juga
dituntut keberlakuannya pasca pailitnya sang debitor?
Karena itulah, biasanya sang
kreditor akan segera menggugat sang pemberi Personal
Guarantee sebelum kepailitan sang debitor benar-benar dinyatakan selesai
pemberesannya / dilikuidasi oleh pihak kurator, agar hak tagihnya tidak gugur
secara permanen. Namun demikian, justru terdapat zona “abu-abu” hukum
kepailitan, tepat ketika sang debitor baru ditetapkan dalam keadaan pailit,
nasib pemberi Personal Guarantee
menjadi demikian riskan.
Sikap Mahkamah Agung RI dalam
memutus sengketa kontraktual berikut, dapat menjadi cerminan rancu dan
ambigunya hukum Personal Guarantee di
Indonesia ketika sang debitor ditetapkan dalam keadaan pailit atas permohonan
kreditor lain, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk dalam putusan
Mahkamah Agung RI register Nomor 2960 K/Pdt/2010 tanggal 10 Mei 2012, perkara
antara:
- PT. PERTAMINA DANA VENTURA
(dahulu bernama PT. PERTAMINA SAVING & INVESTMENT), sebagai Pemohon Kasasi,
semula selaku Penggugat; melawan
- KAIRUDIN NUR, sebagai
Termohon Kasasi dahulu Tergugat; dan
1. PT. Goro Batara Sakti (dalam
pailit); 2. DEVELOPMENT CAPITAL INVESTMENT LIMITED; 3. PT. BANK IFI, selaku Para
Turut Termohon Kasasi dahulu para Turut Tergugat.
Turut Tergugat III yang merupakan Bank Swasta Nasional telah menyalurkan
fasilitas Reguler dengan jumlah pokok hutang sebesar Rp.15.000.000.000,- kepada
Turut Tergugat I. Syarat dan ketentuan untuk pemberian fasilitas kredit itu disepakati
dan diatur dalam Akta Perjanjian Kredit tertanggal 30 Januari 2003 juncto Akta Pengakuan Hutang tertanggal
30 Januari 2003 (Perjanjian Kredit).
Guna keperluan pembayaran kembali fasilitas kredit dimaksud, Turut Tergugat
III menerima jaminan pelunasan hutang, yang salah satunya berupa jaminan
pribadi (personal guarantee) dari
Tergugat. Terhadap hutang kredit dimaksud, Tergugat menyatakan mengikatkan diri
sebagai penanggung hutang (personal
guarantor / borgtocht) yang akan membayar sampai lunas semua jumlah hutang
kredit Turut Tergugat I kepada Turut Tergugat III menurut Perjanjian
Kredit, yang terdiri dari hutang pokok, bunga, denda, komisi, biaya
administrasi, maupun biaya lainnya.
Pemberian Personal Guarantee oleh Tergugat dibuat secara terpisah
dengan Perjanjian Hutang-Piutang yang merupakan perjanjian pokoknya,
sebagaimana tertuang dalam Akta Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) tertanggal 30 Januari 2003 (Perjanjian Jaminan
Pribadi), di mana untuk perbuatan menjamin atau menanggung pembayaran hutang tersebut
telah pula mendapat persetujuan dari isteri Tergugat.
Dalam Perjanjian Jaminan Pribadi yang dibuat Tergugat, terdapat beberapa
pengaturan, antara lain sebagai berikut:
i. Penanggung wajib membayar
jumlah uang yang terhutang oleh debitur sesuai dengan perhitungan bank;
ii. Penanggungan yang diberikan
Penanggung (Tergugat), berlaku secara terus-menerus yang akan tetap mengikat
dan mempunyai kekuatan hukum selama debitur masih mempunyai hutang kepada bank;
dan
iii. Penanggungan ini dengan
cara bagaimanapun juga tidak dapat ditarik atau dicabut kembali selama debitur
masih mempunyai hutang kepada bank, kecuali Penanggung dibebaskan
bank sebagai penanggung hutang.
Dalam pelaksanakannya, Turut Tergugat III selaku kreditur yang berhak
atas penagihan hutang kredit Turut Tergugat I, kemudian mengalihkan (cessie) tagihan
hutang kredit berikut semua jaminan, termasuk personal guanrante yang dibuat Tergugat, kepada Turut Tergugat II.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Secara pribadi, penulis menilai bahwa Akta
Personal Guarantee yang dibuat secara terpisah, tidak dapat di-cessie, karena
sifatnya terpisah dari Perjanjian Pokok, serta dibuat secara “personal”.
Penulis mengartikannya sebagai “bersyarat batal” ketika tidak lagi bersifat “personal”
karena adanya pengalihan piutang pada kreditor baru.]
Adapun jumlah total hutang Turut Tergugat I sampai dengan saat hak tagih
atas hutang kredit dialihkan Turut Tergugat III kepada Turut Tergugat II, mencapai
senilai Rp.19.898.533.397,-. Selanjutnya, cessie hak tagih atas hutang kredit
kepada Turut Tergugat II, telah diberitahu kepada debitur (Turut Tergugat I),
sehingga karenanya pengalihan hak tagih menjadi sah mengikat para pihak.
Sekitar empat bulan berikutnya, hak tagih Turut Tergugat II atas hutang
kredit PT. Goro Batara Sakti, dialihkan kembali oleh Turut Tergugat II kepada
Penggugat, dengan jumlah hutang sebesar Rp.20.000.000.000,-. Cessie demikian dituangkan
dalam Akta Perjanjian Pengalihan Piutang tertanggal 5 Agustus 2004. Pengalihan
hak tagih telah juga diberitahukan kepada Turut Tergugat I, dan karenanya
cessie telah mengikat PT. Goro Batara Sakti dan sah menurut ketentuan hukum
yang berlaku.
Ternyata kemudian PT. Goro Batara Sakti (Turut Tergugat I), tidak dapat
membayar (wanprestasi) hutang pokok maupun bunga dan denda hutang kredit kepada
Penggugat. Bahkan lebih jauh lagi, Penggugat telah ditetapkan jatuh dalam
keadaan “pailit” oleh Pengadilan Niaga sejak tanggal 26 Juli 2006, yang telah
berkekuatan hukum tetap, sekaligus menjadi bukti tentang ketidak-mampuan sang debitur
untuk membayar hutang kreditnya kepada Penggugat selaku pemegang hak tagih atas
hutang kredit yang diperoleh dengan cara cessie dari Turut Tergugat II.
Sebagai konsekwensi yuridis dari ketidak-mampuan PT. Goro Batara Sakti
(dalam pailit) membayar kembali hutangnya kepada Penggugat, maka Tergugat yang
telah terikat dalam Perjanjian Personal
Guarantee terhadap hubungan hukum hutang-piutang antara Penggugat selaku “kreditur
baru” dengan Turut Tergugat I selaku debitur, menjadi berkewajiban untuk
membayar lunas semua hutang PT. Goro Batara Sakti (dalam pailit) kepada
Penggugat sebesar Rp.20.000.000.000,-. Sehingga, tambah pihak Penggugat,
penolakan Tergugat untuk membayar hutang PT. Goro Batara Sakti (dalam pailit),
menurut hukum, adalah terkualifikasi sebagai perbuatan “wanprestasi”.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
kemudian menjatuhkan putusan, sebagaimana tertuang dalam register Nomor
629/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Desember 2008, dengan pertimbangan hukum
serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas pihak Tergugat dapat dibebani membayar semua jumlah hutang
... dst ... namun demikian sesuai dengan rasa keadilan mengingat dalam
akta perjanjian kredit No. 11 tanggal 30 Januari 2003 ... , sehingga dengan
demikian sehubungan dengan petitum No. 5, Majelis hanya mengabulkan ... Rp. 6.666.666.666,-
...;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan pihak Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan perjanjian jaminan pribadi (Personal Guarantee) No.
13 tanggal 30 Januari 2003 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
4. Menyatakan perjanjian pengalihan piutang (Cessie) No. 5 tanggal 5
Agustus 2004 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sebagian jumlah hutang (pokok, bunga
dan denda) kredit sebesar 1/3 dari Rp.20.000.000.000,- = Rp.6.666.666.666,-;
6. Menyatakan menolak gugatan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri
di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta lewat putusan No.
533/PDT/2009/PT.DKI tanggal 8 Februari 2010, meski yang senyatanya pailit
hanyalah sang debitor (bukan pihak Tergugat), dengan pertimbangan hukum serta
amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut
Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, apabila debitur sudah dinyatakan pailit maka menurut
ketentuan:
- Pasal 24: debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan;
- Pasal 26: tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
“Menimbang, bahwa selain hal
tersebut di atas masih ada penjamin lainnya selain Tergugat yaitu Tuan
Husein Tanjung Bsc dan Tuan Drs. Hamka Baco Msc, oleh karena itu seharusnya
2 orang tersebut juga ikut digugat;
“Menimbang, ... , tetapi mengenai
alasan eksepsi No. 2 dan No. 3 tersebut yaitu:
a. Masih ada 2 orang yang menjadi penjamin selain Tergugat yaitu Tuan Husein
Tanjung, Bsc dan Tuan Drs. Hamka Baco, MSC;
b. Penggugat masih bisa menagih lewat kurator;
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding / Tergugat Konvensi / Penggugat
Rekonvensi;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
629/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 11 Desember 2008 yang dimohonkan banding
tersebut;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Mengabulkan eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan
bahwa kaidah-kaidah hukum yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 hanyalah berlaku dan hanya dapat diterapkan secara imperatif
terhadap “debitur yang sudah (dinyatakan) pailit”, dan bukan terhadap pihak
lain selain debitur pailit yang tidak turut dinyatakan pailit.
Objek gugatan ini sama sekali bukan mengenai harta kekayaan, hak atau
kewajiban dari debitur pailit (PT. Goro Batara Sakti), tetapi mengenai
perbuatan ingkar janji yang telah dilakukan oleh Tergugat terhadap keberlakuan Akta
Jaminan Pribadi (Personal Guarantee),
dimana didalamnya Tergugat menyatakan bersedia dan sanggup menanggung dan
membayar seluruh hutang debitur yang ditanggungnya sampai lunas, dan bukan
hanya sebagian hutang debitur manakala sang debitur cidera janji melunasi hutangnya
kepada pihak kreditor.
Disertakannya PT. Goro Batara Sakti dalam gugatan ini, semata-mata dalam
rangka memenuhi formalitas hukum acara pengadilan perdata di Indonesia, yakni
sebagaimana ditegaskan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang berlaku agar gugatan
Penggugat tidak dinyatakan “kurang pihak” (vide Putusan Mahkamah Agung RI nomor
186/S/PDT/1984 tanggal 18 Desember 1985 juncto
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1125K/PDT/1984 tanggal 18 September 1985 juncto Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
200K/PDT/1988 tanggal 27 September 1990).
Tergguat selaku Penjamin Pribadi tidak bersedia melakukan kewajiban yang
disepakati dalam Perjanjian Jaminan Pribadi yang ditanda-tangani olehnya dengan
telah pula mendapatkan persetujuan dari Isteri pihak Tergugat. Hingga kini,
perjanjian tersebut masih sah dan berlaku karena tidak pernah ada pembatalan.
Tergugat juga telah melepaskan haknya yang diberikan undang-undang
terhadap seorang penanggung hutang, antara lain hak untuk meminta agar pihak
debitor ditagih terlebih dahulu, hak-hak utama untuk memecah hutang diantara
para penanggung hutang dan hak-hak lainnya serta tangkisan yang diberikan
kepada seorang penanggung hutang oleh Pasal 1430, 1831, 1837, 1847, 1848 dan
maupun 1849 KUHPerdata.
Dengan demikian secara yuridis, Penggugat dapat dan berhak mengajukan
gugatan terhadap pihak penanggung secara sendiri-sendiri dalam gugatan yang
terpisah satu dari lainnya. Singkatnya, Penggugat bukanlah pihak yang
mengajukan permohonan pailit terhadap sang debitor, sehingga tidak dapat turut
menyertakan pihak pemberi Personal
Guarantee agar turut juga dinyatakan pailit bersama sang debitor, namun
diajukan oleh kreditor lain yang tidak dikenal oleh pihak Penggugat, sehingga
solusi terakhirnya ialah mengajukan hak tagih dengan menggugat sang pemberi Personal Guarantee.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan dan
keberatan Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi / Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan
sebagai berikut:
- Terbukti bahwa Tergugat terikat dengan Akta Jaminan Pribadi dan telah mendapat
persetujuan dari isterinya;
- Sedangkan kekurangan lainnya dapat digugat Penjamin lainnya oleh Tergugat,
apabila ia merasa dirugikan;
- Judex Facti / Pengadilan Negeri sudah menerapkan hukum secara tepat dengan
mengabulkan gugatan Penggugat karena Penggugat tersebut dapat membuktikan bahwa
Tergugat telah melakukan wanprestasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan Kasasi
lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. PERTAMINA DANA VENTURA
(dahulu bernama PT. PERTAMINA SAVING & INVESTMENT dan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 533/PDT/2009/PT.DKI tanggal 8 Februari 2010 yang membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 629/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel tanggal
11 Desember 2008 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar
putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan Kasasi
dari Pemohon Kasasi : PT. PERTAMINA DANA VENTURA (dahulu bernama PT. PERTAMINA
SAVING & INVESTMENT) tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta No. 533/PDT/2009/PT.DKI tanggal 8 Februari 2010 yang membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 629/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel tanggal
11 Desember 2008;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Menyatakan eksepsi yang diajukan oleh pihak Tergugat dinyatakan ditolak
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan pihak Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan perjanjian jaminan pribadi (Personal Guarantee) No.
13 tanggal 30 Januari 2003 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
4. Menyatakan perjanjian pengalihan piutang (Cessie) No. 5 tanggal
5 Agustus 2004 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sebagian jumlah hutang (pokok, bunga
dan denda) kredit sebesar 1/3 dari Rp.20.000.000.000,- = Rp.6.666.666.666,-;
6. Menyatakan menolak gugatan selebihnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.