LEGAL OPINION
Question: Rasanya mudah sekali cari-cari alasan untuk bisa memecat
karyawan bagian marketing dengan alasan yang memang sengaja dibuat-buat. Misal manajemen
buat target yang tidak masuk akal bagi penjualan yang harus dipenuhi oleh staf
marketing. Ketika target tidak tercapai, lalu dibilang tidak becus bekerja, tidak
melakukan upaya yang optimal. Padahal staf marketing mana yang tidak mau
memenuhi target? Seringkali staf marketing mengejar bonus dari hasil penjualan,
bukan gaji pokok yang kecil nominalnya. Jika manajemen sudah buat target yang
kelewat tinggi, sama artinya staf marketing hanya bisa pasrah dipecat?
Brief Answer: Target yang ditetapkan pihak pengusaha memang
kerap dijadikan alibi sempurna untuk kemudian diberlakukan kebijakan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Bukan hanya bagi karyawan pemasaran, namun juga bagi
buruh bagian produksi, dan pegawai pada divisi lainnya. Pada prinsipnya, hubungan
industrial bagi pihak Pekerja pada asasnya ialah bersifat produktif, sehingga
menetapkan sebentuk target merupakan hal yang niscaya, bukanlah suatu hal yang
ditabukan secara yuridis.
Sebagai jaring pengaman (safety nett), pihak Pemberi Kerja tetap diberi hak untuk memutus
hubungan kerja Pekerja yang dinyatakan tidak memenuhi “target” (sebesar atau
sekecil apapun target tersebut ditetapkan oleh pihak Pengusaha), namun dengan
syarat diberikan kompensasi pesangon sebesar 2 kali ketentuan—alias dengan kategori
sebagai efisiensi usaha.
Menentukan besaran target memang merupakan hak
prerogatif pihak Pengusaha, hakim tidak dapat menilai apakah target tersebut rasional
atau tidaknya, namun agar tidak menjurus disalah-gunakan, kebijakan best practice praktik peradilan demikian
dirasakan sudah cukup memadai untuk “mengerem” niat kalangan pelaku usaha untuk
secara sewenang-wenang mem-PHK dengan alasan tidak memenuhi prestasi kerja sebagaimana
target yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pihak manajemen.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut
dinilai cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 341
K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 25 April 2017, perkara antara:
- PT. BANK MEGA, Tbk. Cabang
SEMARANG, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 10 orang Pekerja, selaku Para
Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan Pegawai Tetap dengan kedudukan sebagai AO SME (Accounting Officer Small Medium Enterprise),
dengan masa kerja dari 4 hingga 7 tahun pada pihak Tergugat. Bermula sekitar tahun
2015, Tergugat menerbitkan kebijakan tentang Pencapaian Target Kredit Minimal
bagi seluruh AO SME di cabang. Kemudian terhadapnya, segenap pekerja termasuk Para
Penggugat, diminta (dipaksa) menanda-tangani pernyataan kesediaan memenuhi
target pencapaian kredit yang telah ditetapkan Tergugat, berikut kesediaan
menerima konsekuensi apabila tidak memenuhi target yakni berupa PHK sepihak
dari Tergugat yang terhadapnya pihak Pegawai Tetap tidak pula menerima
hak-haknya dalam bentuk apapun (“komitmen pencapaian target”).
Menurut klaim Tergugat, komitmen pencapaian target telah dibuat dengan
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun Peraturan
Perusahaan, padahal Peraturan Perusahaan Tergugat sudah tidak berlaku sejak 17
April 2015.
Dalam perjalannya di kemudian hari, berdasarkan penilaian Tergugat, Para Penggugat
dianggap tidak dapat mencapai target pencapaian yang telah ditetapkan oleh
Tergugat, selanjutnya dengan didasarkan pada adanya surat “komitmen pencapaian
target” tersebut pula, Tergugat melakukan PHK terhadap Para Penggugat tanpa memberi
kompensasi apapun.
Penggugat menyimpulkan, pada hakekatnya pihak perusahaan melakukan PHK
dengan kategori “efisiensi usaha” yang kemudian dikemas lewat kamuflase berupa “Komitmen
Pencapaian Target”. Tetap saja, PHK sepihak demikian ditafsirkan oleh
Mediator dalam perundingan Tripartit sebagai PHK karena alasan “efisiensi usaha”,
dengan konsekuensi pihak Tergugat wajib memberi kompensasi sebagaimana norma Pasal
164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana
tertuang dalam Surat Anjuran yang diterbitkan Mediator Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Jawa Tengah.
Sekalupun telah terbit Anjuran dari dinas terkait, namun tiada realisasi
dari pihak perusahaan, sehingga gugatan ini diajukan untuk menuntut hak-hak normatif
pihak tenaga kerja. Dalam bantahannya, pihak Pengusaha mendalilkan, Para
Penggugat telah menanda-tangani surat (baku yang dipaksakan secara sepihak oleh
pihak manajemen), yakni Kesepakatan Kesanggupan Memperbaiki Kinerja (KKMK), yang
menyebutkan sebagai berikut:
”Saya setuju, apabila sampai
batas waktu yang diberikan oleh Manajemen PT. Bank Mega Tbk., ternyata saya
tidak menunjukkan kemampuan usaha atau unjuk kerja dalam rangka mencapai target
tersebut, dengan tidak harus menunggu sampai tiga bulan kedepan atau batas
waktu lain yang ditetapkan oleh Manajemen PT. Bank Mega Tbk., untuk
mengundurkan diri dari dan mengakhiri hubungan kerja saya dengan PT. Bank Mega
Tbk., terhitung sejak hasil evaluasi kinerja saya diketahui atau pada tanggal
sebagaimana ditetapkan oleh manajemen PT. Bank Mega Tbk., demikian dengan tidak
mengurangi hak PT. Bank Mega Tbk., untuk mengakhiri hubungan kerja dengan
saya secara sepihak apabila saya tidak mengundurkan diri akibat tidak mencapai
target tersebut, dan karenanya dalam hal ini PT. Bank Mega Tbk., tidak
mempunyai kewajiban apapun juga atas berakhirnya hubungan kerja tersebut, dan
saya tidak akan melakukan penuntutan apapun juga kepada PT. Bank Mega Tbk.”
Merasa berada diatas angin dengan surat yang dipaksakan demikian, pihak
Pengusaha berasumsi bahwa apabila pihak Pekerja tidak mengundurkan diri karena
tidak menunjukkan kemampuan usaha atau unjuk kerja dalam rangka mencapai target,
maka adalah hak Tergugat untuk mengakhiri hubungan kerja secara sepihak atau Tergugat
menganggap Penggugat secara sendirinya telah mengundurkan diri. Penggugat juga telah
menyatakan bahwa pihak perusahaan tidak mempunyai kewajiban apapun juga atas berakhirnya
hubungan kerja tersebut, dan Para Penggugat tidak akan melakukan penuntutan
apapun juga kepada pihak perusahaan.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Semarang kemudian
menjatuhkan putusan Nomor 36/Pdt.Sus-PHI/G/2016/PN.Smg tanggal 13 Desember 2016,
dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah
Majelis memperhatikan gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti-bukti yang
diajukan oleh kedua belah pihak dalam persidangan ternyata yang menjadi pokok
perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat adalah apakah Pemutusan Hubungan
Kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat dengan alasan tidak
mencapai target dikualifikasikan mengundurkan diri, adalah sah secara hukum?;
“Pengusaha atau Tergugat dengan
alasan apapun hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja atau
Penggugat setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, tetapi faktanya ternyata Tergugat terbukti telah melakukan
pemutusan hubungan kerja secara tertulis kepada Penggugat pada tanggal 31
Oktober 2014 (bukti T-6) sebelum memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 155
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemutusan hubungan kerja kepada
Penggugat tersebut adalah batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa bertitik
tolak dari pokok-pokok perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat tersebut
ternyata alasan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat sebagaimana diuraikan
oleh Tergugat jawabannya karena Penggugat tidak dapat merealisasikan target
kredit yang disanggupi sebesar Rp3.000.000.000,00 per bulan sebagaimana yang
dibuat dalam Kesepakatan Kesanggupan Memperbaiki Kinerja (KKMK) (bukti T-2),
sehingga Tergugat mengeluarkan Surat peringatan SP I, SP II dan SP III kepada
Penggugat (bukti T-3=P-3, T-4=P-4, T-5=P-5) yang selanjutnya berakhir dengan
pemutusan kepada Penggugat dengan kualifikasi mengundurkan diri
tertanggal 13 November 2014 (bukti T-6 = P- 1), dilain pihak menurut Penggugat
pemutusan hubungan kerja oleh Tergugat kepada Penggugat tidak dapat
dikualifikasikan mengundurkan diri karena selama ini Penggugat tidak pernah
membuat surat permohonan untuk mengundurkan diri dan Pemutusan Hubungan Kerja
tersebut harus melalui putusan pengadilan hubungan industrial;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja Para Penggugat dengan Tergugat putus karena
Tergugat melakukan efisiensi;
- Menghukum Tergugat untuk membayar hak Para Penggugat sebesar Rp
351.115.700,00 dengan rincian masing-masing:
a. Hak yang diterima Penggugat
I sebesar Rp 62.178.200,00;
b. ...;
j. Hak yang diterima Penggugat
X sebesar Rp14.103.600,00;
- Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pemberi Kerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok
argumentasi bahwa Penggugat adalah “mengundurkan diri” sehingga sah di-PHK oleh
perusahaan karena Penggugat telah menanda-tangani Kesepakatan Kesanggupan
Memperbaiki Kinerja demikian sebelumnya. Sementara itu pihak Perusahaan telah
memberikan Surat Pembinaan Pertama, Surat Pembinaan Kedua dan Surat Pembinaan Ketiga,
yang artinya Termohon Penggugat telah sebanyak tiga kali dibina, agar mereka mampu
mencapai target.
Singkatnya, pihak perusahaan tetap menilai bahwa pihak Penggugat tidak
cakap melakukan pekerjaan dibidang tugasnya. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung
membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan
tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama
memori kasasi tanggal 4 Januari 2017 dan kontra memori kasasi tanggal 24
Januari 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang tidak salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Tergugat melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja kepada Para Penggugat karena efisiensi, sebagaimana
dimaksud ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maka Para Penggugat berhak atas uang kompensasi
Pemutusan Hubungan Kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi: PIMPINAN PT. BANK MEGA, Tbk. Cabang SEMARANG tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PIMPINAN PT. BANK
MEGA, Tbk. Cabang SEMARANG tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.