LEGAL OPINION
Pejabat
Bank Menggelapkan Dana Nasabah, Divonis Penjara Berdasarkan Undang-Undang
Perbankan
Question: Bila ada pejabat bank itu sendiri yang gelapkan
dana nasabah pemilik deposito, seolah-olah nasabah mencairkan deposito padahal
tidak pernah mencairkan, sehingga nasabah merugi kehilangan dana dalam
depositonya, ancaman pidananya sampai sejauh apa penjaranya? Apa mungkin, si
pelakunya dihukum kurang dari apa yang sudah diatur undang-undang?
Brief Answer: Terhadap pelaku penggelapan dana nasabah,
terutama pelakunya ialah petugas atau pejabat perbankan, dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diancam dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang
mengandung ancaman sanksi hukuman pidana penjara sekurang-kurangnya tiga tahun dan disertai denda sebesar Rp5.000.000.000,00.
Besarnya ancaman sanksi hukuman dalam
Undang-Undang Perbankan, mengingat asas perbankan menekankan juga bertopang pada
asas kehati-hatian (prudent) dan
ke-saling-percayaan, maka bukan hanya ancaman sanksinya yang diperberat, namun
juga dalam praktiknya peradilan memang perlu mengganjar pelaku pelanggar dengan
vonis pidana penjara yang terbilang cukup besar—mengingat perilaku demikian
dapat merusak citra perbankan maupun rasa aman dan kepercayaan para nasabah
pada umumnya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang cukup mencerminkan dan relevan, sebagaimana yang dapat SHIETRA
& PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana perbankan register
Nomor 1532 K/PID.SUS/2014 tanggal 4 Maret 2015, dimana Terdakwa didakwa karena telah
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam undang-undang perbankan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun
1998 tentang perubahan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Terdakwa notabene merupakan karyawan Bank Rakyat Indonesia cabang Enrekang
dengan jabatan sebagai asisten manager operasional (AMO) sejak tahun
2008, yang mana mempunyai wewenang pencairan deposito sampai dengan jumlah
Rp250.000.000,00.
Mulanya pada tahun 2009 seorang nasabah menyimpan uang dalam bentuk
deposito pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Enrekang sebesar Rp200.000.000,00.
Bila nasabah hendak mencairkan depositonya, dapat menyerahkan lembar bilyet
deposito kepada bank dan apabila pencairan diwakilkan kepada orang lain maka
harus ada surat kuasa bermaterai cukup dari nasabah selaku pemberi kuasa kepada
penerima kuasa, identitas asli / fotocopy KTP pemberi dan penerima kuasa.
Namun kemudian Terdakwa memerintahkan petugas Teller pada kantor BRI Cabang
Enrekang untuk menginput pencairan deposito atas nama sang nasabah ke dalam system
Komputer BRI, dan setelah selesai diinput transaksi tersebut Terdakwa
meminta persetujuan pejabat bank dalam hal ini adalah Terdakwa
sendiri, dengan cara memasukkan password sehingga deposito milik nasabah
dapat cair.
Setelah berhasil mencairkan deposito nasabah yang menjadi korban,
Terdakwa lalu memerintahkan petugas Teller-nya untuk mengirim uang sebesar
Rp150.000.000,00 ke nomor rekening seseorang atas nama Dewi Sri Wardhani
Tanjung dan mengirim sebagian sisanya ke nomor rekening milik Terdakwa sebesar
Rp50.000.000,00.
Terdakwa mencairkan deposito milik nasabah tanpa sepengetahuan / seizin
dan tanpa surat kuasa serta identitas asli / fotocopy KTP dari sang nasabah
sebagai pemilik deposito dan tidak melalui customer
service (CS) sebagaimana prosedur internal bank untuk pencairan dana simpanan
deposito pada Bank Rakyat Indonesia.
Akibat perbuatan Terdakwa, sang nasabah yang menjadi korbannya menderita
kerugian senilai Rp200.000.000,00. Terhadap tuntutan Jaksa, yang menjadi putusan
Pengadilan Negeri Enrekang Nomor 59/Pid/B/2012/PN.Ekg tanggal 29 Nopember 2012,
dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Armin Cappo, S.H., terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ‘Dengan Sengaja Tidak Melaksanakan
Langkah-Langkah Untuk Memastikan Ketaatan Bank Terhadap Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan Yang Berlaku Bagi Bank’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Armin Cappo, S.H., oleh karena
itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun, dan denda Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan supaya Terdakwa untuk ditahan.”
Dalam tingkat banding, putusan diatas yang dinilai sudah sangat ideal, kemudian
dikoreksi oleh putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 59/PID/2013/PT.MKS
tanggal 6 Mei 2013, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menerima permintaan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa;
2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Enrekang tanggal 29 Nopember
2012 Nomor 59/Pid.B/2012/PN.Ekg sekedar mengenai Pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:
3. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Penjara selama 1
(satu) Tahun dan denda Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah),
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan akan diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
4. Menetapkan supaya Terdakwa ditahan;
5. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Enrekang tersebut untuk
selebihnya.”
Baik pihak Jaksa maupun pihak Terdakwa, masing-masing mengajukan upaya
hukum kasasi. Adapun menurut Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi dalam memutus perkara tersebut, menjatuhkan vonis terhadap Terdakwa tidak
sesuai dengan ancaman minimal dari pasal yang didakwakan.
Beratnya vonis semestinya mampu membuat jera para pelaku tindak pidana, terutama
kejahatan perbankan, sehingga mampu menimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai
daya tangkal bagi pihak lainnya yang mungkin memiliki niat pelanggaran serupa.
Adapun keberatan Penuntut Umum (Pembanding) terhadap amar putusan tingkat
banding yang dinilai terlampau rendah, mengingat Terdakwa didakwa melakukan perbuatan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 Ayat (2) Huruf (b)
Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang memiliki
pengaturan sebagai berikut:
“Anggota Dewan Komisaris,
Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja : b. tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan
dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Dari uraian bunyi pasal di atas, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Sulawesi Selatan tidak bisa mengurangi hukuman pidana penjara dari
ancaman dalam pasal dimaksud, karena terdapat ketentuan perihal hukuman
minimalnya yakni pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun yang
bersifat imperatif bagi hakim saat menjatuhkan vonis.
Pasal pidana yang didakwakan, mengandung norma ancaman pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun, yang apabila mengikuti
kaedah asas hukum pidana yang baik, artinya hukuman pidana penjara tidak boleh
kurang dari 3 tahun dan tidak boleh lebih dari 8 tahun, sehingga putusan
tersebut bila tidak diperbaiki dalam tingkat kasasi, dikhawatirkan akan menjadi
preseden buruk bagi praktik hukum pidana di Tanah Air.
Ternyata perkara ini tidak sesederhana yang tampak di permukaan, karena
Terdakwa telah mencampur-adukkan wewenang serta tanggung-jawabnya sebagai
pejabat perbankan dan statusnya sebagai suami dari sang nasabah korban pelapor.
Adapun keberatan dari pihak Terdakwa atas vonis yang dijatuhkan padanya, dana
senilai Rp200.000.000,00 yang didepositokan di bank BRI tersebut, merupakan uang
milik bersama (harta “gono-gini” milik Terdakwa dan isterinya (korban Pelapor).
Terungkap di persidangan, yang memasukkan dalam rekening deposito Bank
BRI adalah Terdakwa sendiri dengan “diatas-namakan” isterinya (korban Pelapor).
Dengan demikian uang yang dicairkan tersebut merupakan dana milik atas nama
isteri Terdakwa sendiri, serta telah mendapat persetujuannya secara lisan, menurut
klaim pihak Terdakwa.
Jarak tenggang waktu antara pencairan dengan pelaporan kejadian tersebut
sudah berjalan kurang-lebih 17 bulan. Hal tersebut dilakukan pihak korban pelapor
oleh ketika Terdakwa mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan terhadap sang
isteri (nasabah Pelapor).
Disamping itu, Terdakwa juga telah mengembalikan dana yang dicairkan
olehnya sejumlah Rp150.000.000 ke rekening isterinya (nasabah pelapor).
Berdasarkan fakta-fakta di seputar peristiwa tersebut di atas, seharusnya pengadilan
menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa bukanlah perbuatan pidana, melainkan apa
yang dilakukannya adalah mencairkan harta yang merupakan milik bersama dan sepengetahuan
serta dengan persetujuan lisan isterinya, sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa
bukannya perbuatan pidana, melainkan semata terkait sengketa harta gono-gini antara
para pihak Pelapor dan Terlapor.
Laporan yang diajukan isteri Terdakwa, ialah setelah kurang lebih 17 bulan
pasca pencairan dana deposito, semata-mata karena dilandasi rasa jengkel dan
sakit hati karena Terdakwa menggugat cerai isterinya (pelapor), dengan demikian
apa yang terjadi antara Terdakwa dengan pelapor (saat itu isteri Terdakwa) merupakan
permasalahan internal rumah-tangga yang di kriminalisasi oleh isteri Terdakwa
dengan melihat adanya celah hukum yang dapat digunakan, yakni kedudukan Terdakwa
yang dapat melakukan pencairan deposito tanpa kehadiran pelapor, meskipun pada
dasarnya telah disetujui dan diketahui oleh pihak pelapor sendiri selaku sang isteri.
Terdakwa membuat dalil yang kurang profesional, bahwa pelapor tidak
pernah keberatan atas perbuatan Terdakwa yang telah membuka rekening deposito “atas
nama” dan mendepositokan uang milik bersama mereka dari rekening Terdakwa tanpa
kehadiran pelapor, sehingga pada saat pencairan dana deposito yang juga tanpa perlu
adanya kehadiran pelapor sebagai isterinya. Sebagai istri, pelapor tentunya
telah turut menikmati uang hasil “kejahatan” sang suami.
Pihak petugas Teller yang diajukan Terdakwa memberi kesaksian dalam
persidangan, bahwa praktik demikian biasa terjadi karena selain Terdakwa, sang
petugas Teller juga biasa mencairkan rekening isteri pimpinan cabang yang
diwakili oleh pimpinan cabang tanpa dihadiri isterinya.
Untuk alasan itulah, Terdakwa kemudian bersikukuh bahwa perbuatan demikian
sama sekali bukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan, melainkan
perbuatan mencairkan harta gono-gini semata. Terdakwa selaku pejabat Bank dalam
menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya, tidak bertindak secara masif dan
terstruktur dalam merugikan pihak perbankan maupun pihak nasabah, karena
tentunya pencairan dimaksud semata terkait harta gono-gini dari Terdakwa dan
isterinya.
Kekeliruan pihak Terdakwa ialah telah bersikap tidak profesional terkait
profesinya selaku penggiat perbankan dan telah menyalah-gunakan wewenangnya
selaku pejabat perbankan. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat
pertimbangan serta amar putusan yang secara tidak langsung membenarkan
penerobosan terhadap “ancaman minimum” pemidanaan sebagaimana telah diatur oleh
undang-undang, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas
alasan-alasan kasasi tersebut secara keseluruhan Mahkamah Agung berpendapat:
Terhadap alasan-alasan kasasi
Jaksa / Penuntut Umum:
“Bahwa alasan-alasan kasasi
Jaksa / Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah
menerapkan hukum, karena telah mempertimbangkan pasal aturan hukuman yang
menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan keadaan-keadaan
yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat
2 KUHP;
“Bahwa perbuatan Terdakwa
tidak melaksanakan langkah-langkah kehati-hatian Bank memenuhi unsur-unsur
Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992;
“Bahwa alasan-alasan kasasi
tersebut tidak dapat dibenarkan pula, oleh karena alasan tersebut mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan,
alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat
kasasi;
Terhadap alasan-alasan kasasi
Terdakwa:
“Bahwa alasan-alasan kasasi
Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena perbuatan Terdakwa yang merupakan
Pegawai BRI Cabang Enrekang dan (sekaligus sebagai) suami saksi Wa Ode
Sucineingsyh melakukan pencairan deposito tanpa melalui prosedur
yang ditetapkan merupakan tindak pidana melanggar Pasal 49 Ayat (2) Huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari
: Jaksa / Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Terdakwa I / Jaksa / Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Enrekang dan Terdakwa II / Terdakwa : Armin Cappo, S.H.,
tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.