SENI HIDUP : Tidak Perlu Mengemis-Ngemis Pertanggung-Jawaban dari Pelaku yang Telah Menyakiti, Merugikan, maupun Melukai Diri Kita Selaku Korban

Test SQ Paling Akurat dan Sederhana, untuk Mengukur bahwa Anda Memeluk “Agama SUCI” ataukah Pemeluk “Agama DOSA”

Jangan Pernah Menghina Orang yang Terkena Bisul pada Bokongnya. Kelak, Mungkin Anda pun Tanpa Terkecuali, AKAN Mengalami Hal Serupa. Semua Orang bisa Terkena Bisul, sebagaimana Semua Orang Berpotensi menjadi Korban

Bila selama ini Anda merasa atau bahkan dengan bangga mengklaim bahwa SQ (Spiritual Quotient) Anda adalah superior, maka jawablah satu pertanyaan sederhana ini, untuk pembuktiannya, apakah itu hanya sebentuk delusi, ataukah konkret dan solid adanya : Bertanggung-jawab atau mengambil tanggung-jawab, adalah kepentingan siapakah, kepentingan korban ataukah kepentingan pelaku yang telah menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lainnya? Kurang dari satu dari seribu orang, yang mampu menjawabnya secara akurat.

Bila Anda menjawab, bahwa pertanggung-jawaban adalah kepentingan korban, maka korban harus mengemis-ngemis kepada sang pelaku, agar tidak menderita kerugian seorang diri, dan jika perlu menggugat atau menuntutnya secara pidana agar dipenjara. Seakan, bila sang pelaku berhasil “cuci tangan”, “tabrak lari”, atau meloloskan diri dari pertanggung-jawaban atas perbuatannya sendiri, baik itu perbuatan baik maupun buruk, maka sang pelaku sedang “beruntung” dan sang korban telah “merugi”. Itulah akar penyebab, dewasa ini banyak umat manusia berlomba-lomba memproduksi segunung dosa serta mengoleksi segudang dosa-dosa dan disaat bersamaan mencandu-kecanduan ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA” sehingga menjelma “KORUPTOR DOSA”.

Bagaimana sikap kita, ketika dijadikan sebagai korban, lantas menegur dan/atau meminta pertanggung-jawaban dari sang pelaku, namun sang pelaku berkelit seribu satu alasan, drama penuh alibi, lebih galak daripada korban, atau bahkan mengancam akan “melakukan kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah”? Jawaban paling bijak yang dapat penulis rekomendasikan, ialah : Tidak perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku, karena pertanggung-jawaban atau bersikap penuh tanggung-jawab, sejatinya merupakan kepentingan sang pelaku.

Cukup tegur atau mintakan pertanggung-jawaban, satu kali saja, tanpa perlu kembali menegur, mengingatkan, ataupun kembali meminta pertanggung-jawaban, agar kita selaku korban tidak masuk dalam kondisi “mengemis-ngemis” kepada sang pelaku, yang sejatinya merendahkan martabat kita sendiri selaku korban. Pelaku-lah yang seharusnya mengemis-ngemis atau memohon-mohon “permohonan maaf” dari korban, bukan sebaliknya. Untuk apa juga mengemis-ngemis kepada sang pelaku yang telah menyakiti, merugikan, ataupun melukai diri kita? Selebihnya, itu menjadi urusan antara pribadi sang pelaku dan KARMA BURUK sang pelaku itu sendiri—dimana sang pelaku akan berkerabat, mewarisi, serta terlahir dari perbuatan-perbuatan sendiri, baik itu perbuatan baik maupun buruk.

Dalam banyak kejadian, ketika penulis disakiti, dirugikan, ataupun dilukai, penulis memilih untuk sama-sekali tidak menegur ataupun menuntut pertanggung-jawaban dari sang pelaku yang bersikap “seolah-olah tidak telah terjadi apapun”, terlebih sampai harus menagih atau mengemis-ngemis pertanggung-jawaban. Mengapa? Sederhananya ialah, karena itu tidak menjamin sang pelaku akan sukarela bertanggung-jawab ataupun akan sungguh-sungguh punya komitmen untuk bertanggung-jawab sekalipun yang bersangkutan kemudian menyatakan akan bertanggung-jawab setelah adu mulut yang sengit dan menguras emosi. Pertimbangan kedua, sekalipun sang pelaku mau mengganti biaya perawatan, semisal biaya berobat luka / cidera yang kita derita akibat perbuatan sang pelaku, belum tentu organ tubuh dapat pulih 100% tanpa cacat permanen, belum lagi rugi pikiran, emosi, ongkos, akomodasi, waktu, dan sebagainya yang tidak ternilai dengan angka nominal.

Pertimbangan ketiga, dalam banyak kejadian, pelaku kejahatan dihukum sangat ringan oleh hakim di pengadilan, tidak sebanding dengan derita, kerugian, ataupun traumur seumur hidup yang kita alami. Pertimbangan keempat, seringkali—sebagaimana yang selama ini terjadi dan yang sudah-sudah—pelaku lebih galak daripada korban ketika ditegur, alias menjadi korban untuk kali keduanya. Pertimbangan kelima, untuk apa juga kita yang harus merepotkan diri ataupun membanjiri tangan kita dengan darah sang pelaku, bila eksekutornya ialah HUKUM KARMA itu sendiri yang bekerja secara otomatis tanpa perlu diminta ataupun diperintah? Terdapat seorang seorang indigo, bernama Metta Surya Wijaya, ia menyatakan : “Karma buruk, tidak dapat dihapus.” Karenanya, untuk apa juga kita “wasting time” untuk para “manusia sampah” semacam itu? Melanjutkan hidup dengan baik, itulah cara membalas dendam terbaik. Selebihnya, biarkanlah Hukum Karma yang bekerja untuk Anda. Jika perlu, biarkan pelakunya merasa senang tidak dapat ditagih ataupun merasa senang sesudah melakukan kejahatan karena tidak seketika menerima konsekuensinya—ketika Karma Buruk-nya berbuah dikemudian hari bagaikan air bah, kita yang akan tertawa, meskipun kini mereka yang menertawakan kita.

Dalam Buddhisme, ketika sang pelaku sebelum, saat, maupun sesudah berbuat jahat, merasa senang atas perbuatan jahatnya, maka Karma Buruk yang berbuat bersifat eksponensial dalam artian menyerupai sebutir bibir mangga, ditanam di ladang yang subur, menjelma pohon mangga yang mampu berbuah ribuan butir. Jangan pernah meremehkan sekecil hal semacam “sebutir”, potensinya bisa sangat luar biasa bila kita tidak waspada. Bila sesudah perbuatan, sang pelaku menyesali perbuatannya, dan merealisasikannya dengan inisiatif pribadi aktif bertanggung-jawab, sekalipun sang korban tidak menagih pertanggung-jawaban apapun, atau sekalipun sang korban tidak menyadari telah menjadi korban, maka apapun konsekuensinya akan ia tanggung. Itulah yang disebut jiwa ksatria, karena sikap penuh tanggung-jawab menuntut jiwa ksatria yang berani tampil untuk dimintakan pertanggung-jawaban. Maka, buah Karma Buruknya akan sangat minim, karena sang pelaku menyesali perbuatan buruknya lewat tindakan nyata : mengambil tanggung-jawab.

Anda tahu, lawan kata dari jiwa ksatria? Itu adalah sikap pengecut semacam “PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA”. Mereka adalah kaum pengecut yang terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, terlebih mengakui konsekuensinya. Mereka sejatinya merupakan kasta terendah, namun akibat kedangkalan berpikirnya kerap memandang diri (berdelusi) sebagai “polisi moral” yang berhak menghakimi kaum lainnya. Ketika seseorang memungkiri dan berupaya berkelit dari Hukum Alam bernama Hukum Karma, maka disaat bersamaan dirinya kehilangan “pulau pelindung” yang paling terpenting bagi seoang individu bersangkutan, membawanya masuk ke posisi rentan : menjadi korban di kemudian hari dan hanya bisa “gigit-jari” mendapati pelakunya lolos baik dari jerat hukum maupun dari pembalasan dendam tanpa pertanggung-jawaban apapun.

Itulah sebabnya, ketika penulis akibat kesengajaan maupun kelalaian, mengakibatkan orang lain menderita kerugian, luka, ataupun sakit, maka dengan kesadaran pribadi penulis akan mengambil tanggung-jawab, tanpa perlu menunggu ditegur ataupun ditagih pertanggung-jawaban, terlebih membiarkan korban mengemis-ngemis pertanggung-jawaban yang memang menjadi hak mereka dan sudah menjadi kewajiban pelaku. Mengapa? Karena pertanggung-jawaban atau mengambil tanggung-jawab, adalah kepentingan penulis selaku pelaku. Dengan cara itulah, penulis membangun “pulau pelindung”, dimana mereka yang menyakiti, melukai, maupun merugikan penulis, akan menerima konsekuensinya, bukan dengan tangan penulis, namun oleh eksekutor yang diutus oleh Hukum Karma.

Yang lebih patut merasa takut, bukanlah korban karena disakiti atau akan disakiti, namun adalah pelaku atas perbuatan buruknya sendiri serta atas konsekuensi dari perbuatan buruknya sendiri tersebut. Ingatlah bahwa bukan hanya Anda yang bisa menjadi pelaku kejahatan, suatu ketika Anda pun berpotensi menjelma korban kejahatan serupa dari pelaku kejahatan lainnya, sebagaimana pepatah : yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Ketika Anda pada gilirannya menjadi korban atau pada akhirnya, setelah sekian lama atau selama ini menjadi pelaku kejahatan, maka Allah justru akan memihak dan PRO terhadap sang pelaku kejahatan dengan menghapus dosa-dosa sang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA.

Itulah konsekuensi, dibalik mencandu “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” yang sifatnya bundling dengan “PENGHAPUSAN DOSA”, hak atas akses keadilan dirampas dari Anda, oleh para KORUPTOR DOSA lainnya—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam keseharian lebih sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA maupun KORUPTOR DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta mengakui perbuatan buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka, lebih sibuk lari dari tanggung-jawab ketimbang sibuk untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri. Tergila-gila memohon “PENGHAPUSAN DOSA”, artinya sepanjang hidupnya kecanduan “mencetak dosa-dosa yang serupa” tanpa pernah jera ataupun bertobat, sehingga dapat dipastikan adalah sia-sia menuntut pertanggung-jawaban sekalipun Anda mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang “nabi rasul Allah”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]