Pelanggar Terbesar Hak Asasi KORBAN, adalah Allah

Allah Lebih PRO terhadap Penjahat / Pendosa, alih-alih Bersikap Selayaknya Hakim yang Adil bagi Kalangan Korban

Menghapus Dosa seorang Pendosa, Sama Artinya MERAMPAS KEADILAN BAGI KORBAN

Question: Allah pemurah, mengampuni, bukankah artinya Allah baik dan agung?

Brief Answer: Itu paradigma seorang PENDOSA PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Bung, hanya seorang KORUPTOR DOSA yang butuh iming-iming KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”. Kabar gembira bagi penjahat / pendosa, sama artinya kabar buruk dan duka bagi kalangan korban. Alhasil, umat agama samawi tergolong sebagai kaum pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik dan disaat bersamaan begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruknya sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan makhluk hidup lainnya. Babi, disebut “haram”. Namun terhadap ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”, disebut “halal lifestyle”.

Terhadap dosa dan maksiat, mereka begitu kompromistik. Akan tetapi terhadap kaum yang berbeda keyakinan, para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut begitu intoleran. Sama seperti pola modus : ketika mereka masih minoritas, mereka menuntut serta menikmati toleransi beragama. Namun ketika mereka telah menjelma menjadi mayoritas, mereka dengan berbagai cara berupaya menghancurkan toleransi yang dahulu mereka nikmati [untuk lebih lengkapnya, lihat Kitab Jawa DHARMO GHANDUL].

PEMBAHASAN:

Bila memang benar adanya iming-iming “too good to be true” bernama “PENGHAPUSAN DOSA” atau istilah KORUP sejenis lainnya (abolition of sins), maka untuk apa juga menjadi orang baik, menjadi orang jahat saja dimasukkan ke surga oleh Allah. Alhasil, para umatnya berlomba-lomba dan berbondong-bondong memproduksi segunung dosa, mengoleksi segudang dosa, menimbun diri dengan samudera dosa, bersimbah dosa, menyatakan “merugi” bila setiap harinya dan sepanjang hidupnya bila tidak menjadi PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Mereka bahkan tanpa malu setiap harinya mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” lewat speaker pengeras suara tempat ibadah mereka, alih-alih mengkampanyakan gaya hidup higienis dari dosa dan maksiat.

Tidak ada satupun umat agama samawi yang mengetahui lawan kata dari sikap bertanggung-jawab, yang tidak lain tidak bukan ialah ideologi yang membuat mereka setiap harinya kecanduan, yakni “PENGHAPUSAN DOSA”. Mereka seolah tidak mau menyadari, bahwa mereka pun tidak imun dari kemungkinan menjadi korban, dimana pelakunya adalah sesama PENDOSA PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA seperti kaum mereka sendiri. Alhasil, adalah percuma alias buang-buang waktu ketika yang bersangkutan hendak melapor atau mengadukan pengalaman pengalaman buruknya kepada Allah. Mereka akan menjelma predator : memakan atau dimakan. Hewanis, bukan lagi humanis.

Allah bukanlah Tuhan, karena selera Allah begitu buruk, sebagaimana diungkap oleh khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

57 (4) Sīha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di aula beratap lancip. Kemudian Sīha sang jenderal mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, menunjukkan buah dari memberi yang terlihat secara langsung?”

“Baiklah, Sīha, Aku akan bertanya kepadamu sehubungan dengan hal ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai dengan apa yang menurutmu benar.”

(1) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Ada dua orang, satu tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, dan yang lainnya memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma. Bagaimana menurutmu, Sīha? Kepada siapakah para Arahant akan menunjukkan belas kasihan terlebih dulu: kepada seorang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau kepada yang lainnya yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

[Kitab Komentar : “Mereka membangkitkan belas kasihan dengan pikiran: Siapakah yang harus kami tolong hari ini? Pemberian siapakah yang harus kami terima atau kepada siapakah kami harus mengajarkan Dhamma?’”]

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan menunjukkan belas kasihan kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan terlebih dulu menunjukkan belas kasihan kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Siapakah yang akan didatangi oleh para Arahant terlebih dulu: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau [80] orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan mendatangi orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan terlebih dulu mendatangi orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Dari siapakah para Arahant akan menerima dana terlebih dulu: dari orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau dari orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan menerima dana dari orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan terlebih dulu menerima dana dari orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma.”

(4) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Kepada siapakah para Arahant akan mengajar Dhamma terlebih dulu: kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan mengajar Dhamma kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan terlebih dulu mengajar Dhamma kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma.”

(5) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Yang manakah yang akan memperoleh reputasi baik: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat memperoleh reputasi baik? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma yang akan memperoleh reputasi baik.”

(6) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Yang manakah yang akan mendatangi kumpulan apa pun – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – [81] dengan percaya diri dan tenang: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?”

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat mendatangi kumpulan apa pun – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – dengan percaya diri dan tenang? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma yang akan mendatangi kumpulan apa pun … dengan percaya diri dan tenang.”

(7) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, yang manakah yang akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma?

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang bersenang dalam derma yang akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian.

“Bhante, aku tidak mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan enam buah dari memberi yang terlihat secara langsung yang dinyatakan oleh Beliau. Aku mengetahuinya juga. Karena aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant menunjukkan belas kasihan kepadaku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant mendatangiku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant menerima dana dariku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant mengajarkan Dhamma kepadaku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan aku telah memperoleh reputasi baik: ‘Sīha sang jenderal adalah seorang penyumbang, seorang sponsor, seorang penyokong Sagha.’ [82] Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan kumpulan apa pun yang kudatangi – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – aku mendatanginya dengan percaya diri dan tenang. Aku tidak mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan enam buah dari memberi yang terlihat secara langsung yang dinyatakan oleh Beliau. Aku mengetahuinya juga. Tetapi ketika Sang Bhagavā memberitahuku: ‘Sīha, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga,’ aku tidak mengetahui hal ini, dan di sini aku mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan.”

“Demikianlah, Sīha, demikianlah! Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

Air bersekutu dengan air. Api bersekutu dengan api. Begitu pula, orang jahat hanya akan bersekutu dengan “Tuhan yang jahat”. Silahkan Anda nilai sendiri, bagaimana “standar moral” umat agama samawi serta selera Tuhan agama samawi—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam keseharian lebih sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA maupun KORUPTOR DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta mengakui perbuatan buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka, lebih sibuk lari dari tanggung-jawab ketimbang sibuk untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]