Ritual Kaum KORUPTOR DOSA, Ritual yang Tidak Bermanfaat dan Tidak Berfaedah
Tidak Ada yang Lebih
Pandai dalam Urusan “Membuang-Buang Waktu” daripada Umat Agama Samawi
Question: Mengapa ya, umat agama samawi lebih sibuk ritual ibadah berisi doa-doa sanjungan puja-puji, sembah sujud, memohon penghapusan dosa, atau meminta ini dan itu, daripada sibuk buat baik maupun sibuk untuk latihan pengendalian diri dari perbuatan buruk?
Brief
Answer: Karena umat-umat
agama samawi merupakan kaum pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih
Karma Baik untuk mereka petik sendiri dikemudian hari—lebih sibuk berdoa
memohon dan meminta—dan disaat bersamaan merupakan kaum pengecut yang begitu pengecut
untuk urusan bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri
dengan menjelma menjadi seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Bung, hanya
seorang “KORUPTOR DOSA” yang butuh iming-iming KORUP semacam “PENGAMPUNAN /
PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA” (abolition of sins). Lawan kata dari “PENGHAPUSAN
DOSA”, ialah “berjiwa ksatria berani BERTANGGUNG-JAWAB”.
PEMBAHASAN:
Ada tiga jenis kategori perbuatan : perbuatan baik /
bermanfaat, perbuatan buruk, dan perbuatan yang sia-sia alias tidak bermanfaat.
Ketika seseorang tidak sedang berbuat baik maupun berbuat buruk, maka ia sedang
menyia-nyiakan waktu yang ada untuk hal yang tidak bermanfaat, waktu berlalu begitu
saja secara sia-sia. Bila ritual doa permohonan “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN /
PENEBUSAN DOSA” tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan buruk, maka
aktivitas bagi KORUTOR DOSA demikian jelas tergolong sebagai “tidak berfaedah” alias
buang-buang waktu belaka (wasting time).
Kita dapat menyimak perbandingan kontrasnya lewat khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
4 (4) Nandaka
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta,
Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Nandaka sedang
mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan
khotbah Dhamma di aula pertemuan.
Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan
mendatangi aula pertemuan. Beliau berdiri di luar pintu menunggu hingga khotbah
itu berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa khotbah itu telah berakhir, Beliau
berdehem [359] dan mengetuk gerendel pintu. Para bhikkhu membukakan pintu untuk
Beliau. Sang Bhagavā memasuki aula pertemuan, duduk di tempat yang dipersiapkan
untuk Beliau, dan berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Engkau memberikan
pembabaran Dhamma yang panjang kepada para bhikkhu. PunggungKu sakit sewaktu
berdiri di luar pintu menunggu khotbah itu selesai.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Nandaka, dengan merasa malu, berkata
kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku tidak tahu bahwa Sang Bhagavā sedang berdiri
di luar pintu. Jika aku tahu, aku tidak akan berbicara selama itu.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Yang Mulia Nandaka merasa
malu, berkata kepadanya: “Bagus, bagus, Nandaka! Adalah selayaknya bagi kalian
yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah
tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama demi membicarakan
Dhamma. Ketika kalian berkumpul, Nandaka, kalian harus melakukan salah satu
dari dua hal: apakah membicarakan Dhamma atau mempertahankan keheningan mulia.
(1) “Nandaka, seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral; dengan demikian ia
tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]:
‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan [360] dan juga menjadi bermoral?’
Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia
lengkap sehubungan dengan faktor itu.
(2) “Seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak memperoleh
ketenangan pikiran internal; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan
faktor itu. Ia
harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki
keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal?’ Tetapi
ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh
ketenangan pikiran internal, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.
(3) “Seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, dan ia dapat memperoleh
ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang
lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan
faktor itu. Seperti halnya seekor binatang berkaki empat dengan satu kakinya
cacat atau timpang akan menjadi tidak lengkap sehubungan dengan bagian yang
cacat itu; demikian pula, ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral,
dan memperoleh ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam
fenomena-fenomena, maka ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia
harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki
keyakinan dan bermoral, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan juga memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam
fenomena-fenomena?’
[Kitab Komentar menjelaskan makna “pandangan terang
ke dalam fenomena-fenomena”. Adhipaññādhammavipassanā, oleh penerjemah
dari Bahasa Pali dikemas sebagai “pengetahuan pandangan terang yang memahami
fenomena-fenomena terkondisi” (saṅkhārapariggāhakavipassanāñāṇa).]
(4) “Tetapi
ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan dan (ii) bermoral, (iii) dan ia
memperoleh ketenangan pikiran internal dan (iv) juga memperoleh kebijaksanaan
yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia
lengkap sehubungan dengan faktor itu.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini,
Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Kemudian, tidak
lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para
bhikkhu:
“Baru saja, teman-teman, sebelum bangkit dari dudukNya dan memasuki
kediamanNya, Sang Bhagavā mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna dalam empat hal: [361] ‘Nandaka, seorang bhikkhu mungkin
memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral … [di sini Nandaka mengulangi keseluruhan
khotbah Sang Buddha hingga:] … Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan
dan bermoral, dan ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan juga memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena,
maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.’
“Ada, teman-teman, lima manfaat ini yang dihasilkan dari mendengarkan
Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma pada waktu yang tepat.
Apakah lima ini?
(5) “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para
bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir,
dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu
Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap
dan murni sempurna, dalam cara itulah Sang Guru menjadi menyenangkan dan
disukai olehnya, dihormati dan dihargai olehnya. Ini adalah manfaat pertama
dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam
waktu yang tepat.
(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, dalam cara itulah, sehubungan dengan Dhamma, ia mengalami
inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ini adalah manfaat ke dua
dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam
waktu yang tepat.
(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
[362] murni sempurna, dalam cara itulah ia melihat dalam Dhamma itu suatu
hal yang mendalam dan penuh makna setelah menembusnya melalui kebijaksanaan.
Ini adalah manfaat ke tiga dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari
mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.
(8) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, dalam cara itulah teman-temannya menjadi lebih
menghargainya, [dengan berpikir]: ‘Yang mulia ini pasti telah mencapai, atau
akan mencapai.’ Ini adalah manfaat ke empat dari mendengarkan Dhamma pada
waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.
(9) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, ketika mendengar Dhamma itu para bhikkhu itu yang masih
berlatih, yang belum mencapai cita-cita mereka, yang berdiam dengan
bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, akan
membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh
apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan.
Tetapi setelah mendengar Dhamma itu, para bhikkhu itu yang adalah para Arahant, yang
noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah
melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai
tujuan mereka, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan
telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, [363] akan sekedar menekuni
keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Ini adalah manfaat ke lima dari mendengarkan
Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang
tepat.”
“Ini adalah kelima manfaat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang
tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat itu.”
Anak kecil pun tahu, batu adalah batu, tidak ada
faedahnya menyembah batu seribu kali sehari sekalipun untuk sepanjang hidup
mereka. Akan tetapi, para penyembah patung sekalipun tidak sampai mencium-ciumi
patung yang mereka sembah. Patung hanya untuk menjadi simbolisasi sosok yang
mereka hormati. Seperti menghormat pada bendera yang berkibar, simbolisasi
wafatnya para pahlawan. Menyuguhkan sajian di meja altar, simboliasi rasa
berbakti (karena mau merepotkan diri menyediakan suguhan bagi almarhum). Berbeda
dengan agama samawi semacam islam, dimana umat muslim mengklaim bahwa batu
adalah ciptaan Allah, maka mencium-ciumi batu hajar aswad adalah ibadah kepada
Allah. Vagina milik istri juga ciptaan Allah, karenanya menjilati dan menciumi
vagina istri pun adalah ibadah kepada Allah. Tidak terkecuali bokong babi, bokong
babi juga ciptaan Allah. Mengharamkan Allah, artinya meng-haram-kan ciptaan
Allah. Perhatikan kutipan pengakuan otentik berikut:
Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang
dilihatnya. Umar mendekati Batu Hitam
dan menciumnya serta mengatakan, Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu
yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat
Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu. [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
Dimana letak faedahnya, rtiual ala umat muslim
selama ini dan sepanjang hidupnya, dimana mereka hidup dan mati dengan vonis
sebagai seorang KORUPTOR DOSA yang kotor, dangkal, rendah, tercela, busuk, buruk,
beracun, sempit, serta cacingan—kesemuanya dikutip
dari Hadis Sahih Muslim:
-
No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
-
No. 4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
-
No. 4863 : “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
-
No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang
masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat
kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii
wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah
aku rizki).”
-
No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang
sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika
kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
-
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Hukum
Karma mengikat siapapun, percaya ataupun tidak memercayai Hukum Alam bernama Hukum
Karma. Tiada perbuatan yang lebih sia-sia daripada mencoba memungkirinya lewat
upaya yang bermaksud untuk mencurangi kehidupan ala “KORUPTOR DOSA”. Sehingga,
menjadi pertanyaan besar yang patut Anda pertanyakan ialah : mengapa tidak
menggunakan sumber daya waktu yang terbatas sifatnya, secara baik untuk sibuk
menanam perbuatan baik ataupun sibuk bertanggung-jawab kepada korban alih-alih membuang-buang
waktu maupun kesempatan yang ada untuk “lari dari tanggung-jawab” (sikap
pengecut yang jauh dari sifat ksatria)?—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
-
No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada
Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah
tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
-
No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa
suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni
dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
[HR Bukhari Muslim]