Sekalipun Muslim Solat Seribu Kali dalam Sehari, Tetap Saja Bernasib dan Berakhir sebagai Seorang KORUPTOR DOSA Penuh KEKOTORAN BATIN

Sekalipun Muslim Solat Seribu Kali dalam Sehari, Tetap Saja Bernasib dan Berakhir sebagai Seorang PENGECUT juga PEMALAS

Question: Apakah akan ada gunanya, sekalipun para muslim solat seribu kali dalam sehari?

Brief Answer: Bukankah absurd, ibadahnya kaum muslim alias umat agama islam justru ialah sibuk sepanjang hari, sepanjang tahun, dan seumur hidupnya memohon-mohon “PENGHAPUSAN DOSA” alih-alih lebih sibuk menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan warga lainnya, ataupun berlatih disiplin diri ketat bernama “self-control” agar tidak melukai, merugikan, maupun menyakiti pihak-pihak lainnya. Itulah sebabnya, kita patut memberi gelar bagi kaum muslim sebagai kaum pemalas yang begitu pemalas untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri dan disaat bersamaan begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri. Pengecut serta pemalas, namun berdelusi sebagai kaum paling superior yang berhak menghakimi kaum lainnya?

PEMBAHASAN:

Sekalipun seribu, sepuluh ribu, ataupun seratus ribu hingga sejuta kali dalam sehari para muslim melakukan ritual permohonan “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), mereka tidak lebih dari sekadar “BUANG-BUANG WAKTU” (wasting time) sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

38 (7) Brahmana

Dua brahmana ahli kosmologi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

[Kitab Komentar : Biasanya, lokāyatika brāhmaā digambarkan sebagai penganut materialisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator tentang dunia.]

“Guru Gotama, Pūraa Kassapa mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas.’ [429] Tetapi Nigaṇṭha Nātaputta juga mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai terbatas.’ Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?”

“Cukup, brahmana, biarkanlah itu: ‘Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” para brahmana itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Misalkan, brahmana, ada empat orang yang berdiri di empat penjuru memiliki gerakan dan kecepatan yang luar biasa dan langkah yang luar biasa. Kecepatan mereka bagaikan kecepatan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah dengan busur yang kuat – seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman - menembus bayangan pohon palem. Langkah mereka sedemikian sehingga dapat menjangkau dari samudra timur hingga samudra barat.

“Kemudian orang yang berdiri di arah timur berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia. [430]

“Kemudian orang yang berdiri di arah barat berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah utara berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah selatan berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia. Karena alasan apakah?

“Aku katakan, brahmana, bahwa dengan berlari seperti ini seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai ujung dunia. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai ujung dunia maka tidak akan dapat mengakhiri penderitaan.

Lima objek kenikmatan indria ini, brahmana, disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indria, menggoda. Kelima objek kenikmatan indria ini disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia.

(1) “Di sini, brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ [431]

(2)-(4) “Kemudian, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(5) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(6)-(8) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan persepsi. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ini disebut seorang bhikkhu yang, [432] setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia, seorang yang telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”

Bila ibadah dalam Buddhisme ialah berupa “Ovada Patimokkha” dengan syair yang termasyur berikut : “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin”, maka berikut inilah yang dimaksud sebagai ibadah alias ritual agama islam, dimana terhadap dosa dan maksiat para muslim begitu kompromistik, sementara terhadap kaum yang berbeda keyakinan demikian intoleran—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”, lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para pemabuk berikut yang dijadikan patokan “standar moral” para muslim di dunia ini—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]