Janganlah Menghakimi Orang Lain ataupun Berbangga Diri Lewat Tes IQ
Question: Apakah tes IQ, memang akurat ataukah mitos saja sebenarnya?
Brief Answer: Mungkin pengalaman nyata penulis berikut, bisa
menjadi perbandingan untuk menjawabnya secara tidak langsung. Dalam sebuah sesi
tes IQ, biasanya terdapat berbagai sub sesi, yang terdiri dari kecakapan
linguistik, kecakapan berhitung, kecapakan spasial, dan kecakapan memorik. Keseluruhannya
ditotal, lalu dibagi dan dihasilkan nilainya secara global. Sayangnya, penulis
tidak memiliki kecapakan spasial maupun matematik, alhasil nilainya kurang
memuaskan secara general total skor yang dihasilkan usai menjalani tes ketika
penulis masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kini, setelah penulis beranjak dewasa, penulis
menemukan bahwa profesi penulis (entah kebetulan ataukah memang profesi
mengikuti bakat) sama sekali tidak ada kaitan atau hubungannya dengan akutansi
maupun arsitektur. Namun, tiada satupun klien dari jasa hukum yang penulis sediakan
sebagai profesi penulis dalam mencari nafkah, yang menyatakan bahwa penulis
adalah “bodoh”—justru sebaliknya, mereka mengagumi kemampuan berpikir analitis
dan kritis yang penulis pertajam hingga pada tataran mahir dan mampu bersaing
dengan penyedia layanan jasa konsultan hukum lainnya.
PEMBAHASAN:
Bercermin dari pengalaman
pribadi penulis demikian, dapat penulis simpulkan atau buat semacam hipotesis,
bahwa tes IQ tidak mengukur “kedalaman” seseorang, namun hanya mampu mengukur “lebar”
bidang kemampuan seseorang. Ibarat penggaris, ia tidak mampu mengukur volume,
namun hanya sebatas dua dimensi panjang kali lebar, tidak panjang kali lebar
kali kedalaman. Adalah percuma, menguasai banyak hal dan banyak bidang, namun
tidak spesialis dibidangnya alias tidak “expert”
atau tidak mahi-mahir amat dalam bidang spesifik tertentu, sehingga lebih
dikenal sebagai generalis ketimbang spesialis.
Lebih baik kita terampil dalam
satu bidang spesifik tertentu, yang mana kelak dapat kita jadikan tumpuan untuk
mencari nafkah dan menyambung hidup, daripada menjadi “kamus berjalan” namun
tidak punya visi maupun misi daslam hidupnya. Umpama, dalam banyak kasus,
pasien dengan masalah spesifik akut, kerapkali dirujuk bukan ke dokter umum,
namun ke dokter spesialis. Kaum generalis, bisa mengerjakannya, namun hasilnya
kurang bisa diandalkan dan tidak dapat pula diharapkan melampaui ekspektasi,
karenanya profosi mereka biasanya kurang “bersinar”.
Hal kedua yang penulis temukan
ialah, fakta bahwa ukuran “jenius” atau tidaknya seseorang, lebih akurat bila
diukur dari tabiat-tabiat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang yang
memang sudah diakui sebagai jenius. Berikut beberapa tabiat khas orang-orang jenius
: introvert, melajang, lebih menyukai berjalan kaki daripada berkendara,
pemalu, tidak suka mandi air panas, agak “pemalas”, bahkan punya kecenderungan
sebagai penderita masalah bipolar.
Diakui atau tidak, tes IQ masih
diyakini sebagai penentu tingkat kecerdasan seseorang. Fakta yang tidak
terbantahkan ialah, tes IQ hanya mampu menguji bidang tertentu. Menurut Dr Tony
Florio, seorang psikolog klinis dan pengajar senior di Universitas New South
Wales di Sydney, tes IQ yang ada sekarang ini hanya menguji kecerdasan di
bidang tertentu saja. Ibarat penggaris, sebenarnya Anda mampu sepanjang 1.000,
namun penggaris tes IQ hanya sampai pada ukuran 100 cm. “Teori saya mengatakan bukan bahwa angka tes IQ sekarang menurun, namun
tes IQ tidak beradaptasi dengan bagaimana otak kita bekerja sekarang ini.” ungkap
Florio.
Masih menurut Florio, tes IQ
yang ada sekarang hanya menguji kecerdasan di bidang tertentu saja, sehingga
sebenarnya kegunaannya terbatas. Dalam penelitiannya mengenai kegunaan tes IQ,
ia mengatakan bahwa yang diuji dalam tes adalah penguasaan bahasa, pengetahuan
umum dan pemecahan masalah. Namun menurutnya, tes tersebut tidak menguji
mengenai motivasi, kepribadian dan kreativitas.
Pada mula sejarah
pembentukannya, tes IQ digunakan untuk mendeteksi masalah disfungsi kognitif,
akan tetapi kini telah bergeser—secara melenceng—menjadi alat pengukur serta
penentu tingkat kecerdasan dan kesuksesan karier seseorang. Padahal tes ini
semula digunakan untuk mendeteksi adanya keterbelakangan mental. Dulu, skor tes
IQ di bawah 70 dianggap sebagai keterbelakangan mental. Sejarah juga mencatat,
seratus tahun yang lalu, tes IQ dihitung dengan cara membagi usia mental
seseorang dengan umur sebenarnya. Hasilnya kemudian dikalikan 100 untuk
mendapatkan skor akhir yang sebenarnya. Tentu saja hal ini kurang akurat bagi
mereka yang telah memasuki usia dewasa. Saat ini, perhitungan skor diperoleh
dengan cara membandingkan kemampuan seseorang dengan kemampuan kelompok usia
yang sama, yang lagi-lagi, belum tentu akurat.
Rupanya, tes IQ mengandung bias
budaya dan etnik. Sensitivitas pengukuran terhadap budaya dan etnis seseorang
menjadi salah satu kritik yang sering ditunjukkan dalam tes IQ. Terutama ketika
menyangkut budaya timur dan barat. Alasannya, tes ini belum mempertimbangkan
tingkat kognitif, kemampuan komunikasi serta nilai-nilai yang dianut oleh etnis
dan budaya setempat. IQ juga dipengaruhi oleh lingkungan. Faktor lingkungan,
seperti nutrisi, kondisi sosial ekonomi, stres, dukungan dan perilaku sosial
sangat mempengaruhi skor IQ. Para peneliti juga menemukan bahwa kualitas
pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendah skor yang
diperoleh seseorang.
Fakta tentang IQ ini juga
didukung oleh sebuah studi yang menyebutkan bahwa, skor tes IQ seseorang bisa
saja meningkat seiring meningkatnya usia sosial. Ini terjadi karena dengan
adanya pertambahan usia, seseorang tentunya akan bertambah wawasan dan
pendidikannya. Bahkan, beredar luas dan dapat kita jumpai atau mengakses dengan
mudah, buku-buku yang membahas latihan dalam rangka mengikuti tes IQ, yang
artinya memang bisa dilatih dan tidak murni mengukur IQ seseorang peserta tes.
Konon, menganggur bisa menurunkan
level hasil tes IQ. IQ bukanlah nilai konstan, bisa naik dan turun. Ketika
seseorang berhenti menggunakan otaknya untuk berpikir kreatif, akan ada
kemungkinan skornya juga akan menurun. Hal ini dipengaruhi oleh kegiatan yang
menurun sehingga tidak ada aktivitas yang mengasah kemampuan berpikirnya. Balita
yang terpapar junk food berpotensi memiliki IQ lebih rendah—ini adalah hal yang
wajar dan logis, ternak ayam yang kurang mendapatkan asupan protein dan nutrisi
yang cukup, telurnya cenderung kecil dan bahkan jarang bertelur. Kini, dikenal
telur omega 9 dan omega 3, mungkin berkat asupan nutrisi yang lebih lengkap
kepada para ternak tersebut.
Banyak peneliti memberikan
kesimpulan bahwa anak-anak yang mulai mengenal junk food atau makanan cepat
saji pada usia kurang dari 2 tahun, akan mengalami penurunan skor kecerdasan
begitu mereka memasuki usia 8 tahun. Hal itu karena sebaiknya anak-anak
mengonsumsi makanan tinggi vitamin dan mineral, agar memberikan hasil yang
lebih baik pada pertumbuhannya. IQ, hanyalah sebuah sumber potensi, ia tidak
ajeg sifatnya, namun bagaimana cara kita merawat, mengelola, dan
memperlakukannya secara diberdayakan atau tidak. Bahkan, benda yang tampak
mengilap sekalipun dapat menjadi karatan bila tidak dirawat dengan baik, sama saja
dengan kecerdasan intelektual kita. Adalah juga mitos, orang yang lebih banyak
berbicara adalah orang-orang yang ber-IQ tinggi, itu bertentangan dengan kenyataan
yang berkata sebaliknya : banyak mendengarkan dan membaca disamping bertanya
kepada diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.