Yang Lengah, akan Terhantam Ombak dan Terseret Hanyut, akan Tewas Akibat Terguncang Jiwanya
Yang Bersikap Waspada dan Siap secara Mental, Setidaknya
Telah Siap secara Psikis, akan Lebih Besar Peluang untuk Selamat dari Terpaan
Ombak Kehidupan
Sepenting dan Se-vital Itulah Persiapan Mental dan
Jiwa Kita
Ada banyak benarnya adagium “si vis pacem para bellum”—jika ingin hidup damai, maka bersiaplah untuk perang. Kita memang dituntut keadaan, keadaan mana jarang sekali berjalan ideal sebagaimana kita kehendaki—untuk mempersiapkan diri, jiwa, pikiran, dan mental secara sebaik-baiknya, terutama antisipasi maupun mitigasinya untuk “the worst case scenario”. Berikut salah satu puisi yang penulis susun khusus untuk itu, yang mungkin dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca:
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk tidak disukai.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk menghadapi penolakan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk mengalami kegagalan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk menghadapi perlawanan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dikecewakan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dimintakan pertanggung-jawaban dan
bertanggung-jawab.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dipersalahkan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh orang
lain.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk diperlakukan secara tidak adil.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk jatuh sakit.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk kehilangan materi.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk disakiti dan dilukai.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk tidak disukai.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dikucilkan dari pergaulan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk mengalami kekalahan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dilecehkan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk tidak dihargai.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dimusuhi.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk difitnah.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk melepas.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk perubahan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk pengkhianatan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk dihadapkan kepada “kegilaan dunia”.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk terkejut melihat betapa tidak idealnya dunia ini
berjalan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk mengalami bahwa kenyataan berjalan tidak sesuai
apa yang telah kita rencanakan.
Bila kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk hal-hal yang menakutkan.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk ditertawakan dan diinjak.
Bila Kita ingin hidup bahagia,
Maka bersiap-siaplah untuk mengakui bahwa “truth always bitter”.
Caranya ialah,
Dengan mempersiapkan jiwa dan mental kita,
Untuk hal-hal yang tidak pernah kita kehendaki demikian,
Sebelum hal-hal tersebut belum benar-benar terjadi.
Sangatlah berbahaya serta fatal,
Ketika kita hanya siap untuk menerima keadaan atau sesuatu yang menguntungkan
maupun apa yang sesuai dengan keinginan kita.
Tidak ada manusia yang lebih gagal,
Daripada mereka yang tidak siap untuk merugi, terluka, dan kehilangan.
Kita perlu belajar untuk kehilangan serta melepaskan,
Sebagaimana selama ini kita belajar untuk mengambil dan menggenggam.
Ketika kita telah mempersiapkan mental kita dengan siap untuk skenario
terburuk yang tidak kita kehendaki,
Maka jiwa kita tidak akan terpukul hebat,
Ketika hal terburuk itu benar-benar terjadi.
Jiwa dan mental kita,
Telah siap untuk semua itu.
Yang paling berbahaya itu
ialah, jika kita tidak siap (secara) mental dan tidak mempersiapkan mental ketika
berada di dalam maupun saat beranjak ke luar rumah yang menjadi kediaman kita. Salah
satu ciri orang yang telah “matang” (dewasa) ialah, dua pola ciri khas berikut
: Pertama, tidak cengeng serta tidak mudah mengeluh, ia mampu menahan sakit
terpaan mental, berkat jiwa yang tangguh. Kedua, ia cenderung tidak berpenakut,
sehingga tidak reaktif terhadap keadaan yang tidak berjalan secara ideal dan
tidak dikehendaki. Jiwa mereka telah dipersiapkan sekokoh batu karang yang
tidak goyah sekalipun dihempas ombak dan badai. Banyak orang dewasa, yang
bahkan tidak memahami prinsip demikian.
Pada akhir tahun 2023, sempat
diberitakan jeritan konsumen jasa pinjaman online, yang manis diawal—terperangkap
dalam jebakan dan iming-iming syarat yang ringan, proses pencairan dana yang
singkat, bunga rendah yang ditawarkan oleh pinjaman online—namun pahit
segetir-getirnya dibelakang hari. Berikut kutipan dari salah satu portal
berita:
“Selimut gumpalan awan hitam mendadak
berarak di langit-langit pagi itu, saat telepon genggam berdering dengan
panggilan dari nomor tak dikenal. Entah berapa puluh nomor ponsel asing yang
mencoba mengusik, berapa puluh pesan singkat yang masuk lewat layanan Whatsapp,
sebagai bagian dari ritual-teror untuk menagih pinjaman online yang terpaksa
tertunggak. Sepanjang hari menjadi begitu kelabu.
Bagaimana tidak mengecilkan
hati dan menekan jiwa, setelah membaca pesan bernada pelecehan, ancaman,
makian, dan kekerasan verbal lainnya, membuat hidup seperti diinjak-injak penuh
tekanan. Harga diri seolah menjadi barang langka, semua sirna dan menguap bersama
lilitan pinjaman online yang sudah jatuh tempo.
Kisah ini diriwayatkan oleh
seorang wanita muda berinisial GL. Ibu muda ini mengalami langsung getirnya
berurusan dengan pinjaman online, terjerat, terutama saat utang telat
dibayarkan. Bermula dari kebutuhan untuk membayar kontrakan sekitar tahun 2020,
kini GL terjebak di lingkaran setan. Dia terpaksa ‘gali lubang tutup lubang’ di
beberapa pinjaman online, baik legal maupun ilegal, hanya untuk menghindari
gagal bayar dari pinjaman online yang satu ke pinjaman online yang alin. Sampai
tiba pada akhirnya, lubang pinjaman itu benar-benar tidak lagi dapat tertutup,
dan GL jatuh dalam kondisi gagal bayar.
Selama dua tahun berjalan, GL
berhasil mengakali pinjaman onlinenya dengan skema ‘gali lubang tutup lubang’,
yang juga dikenal dengan istilah modus skema ponzi / piramida. GL pun menyadari
betul risiko apa yang akan dia hadapi jika tidak berhasil membayar tagihan-tagihan
itu. Sebagaimana pengalamannya, jauh sebelum dia menyerah atas semua tunggakan,
beberapa kali kantor tempat ia bekerja terlambat membayarkan gaji. Alhasil,
pembayaran pinjaman pun terpaksa tertunda.
“Kan biasanya kantor tuh
terlambat gajian, misal tanggal gajian akhir pekan atau tanggal merah. Jadi
saya telat sehari saja, langsung tuh DC dari salah satu pinjol teror dengan
ngomong alat kelamin dan kata-kata kasar,” cerita GL kepada media.
Pada mulanya, ia coba mentolerir
teror itu karena beberapa hari kemudian tunggakan itu bisa diselesaikan. Namun
malang tak dapat ditolak, upaya pinjaman yang kesekian-kalinya ia diajukan,
ternyata ditolak oleh pihak aplikasi pada Juli lalu. Sejak itu pula, serangan
panik menikam hidupnya. Teror demi teror menghiasi kesehariannya, mulai dari
pesan singkat berisi bahasa kotor dan ancaman, panggilan telepon ke tempat ia
bekerja, order makanan fiktif lewat salah satu aplikasi transportasi online,
mendatangi rumah orang tuanya, hingga menyebarkan informasi pribadinya di media
sosial dengan sebutan penipu yang membuat GL merasa dipermalukan.
Rentetan kejadian yang GL alami
memukul mentalnya. Dia sulit mengontrol emosinya, sering meratap, hingga secara
tak sadar melampiaskan rentetan tekanan psikisnya kepada putri kecilnya yang
masih berusia 3 tahun. Dalam hati GL terus menyalahkan dirinya sendiri atas apa
yang terjadi, apalagi setelah kehilangan pekerjaan, dengan apa dia akan
melunasi seluruh pinjamannya itu? Di sisi lain, GL mengaku dipersulit oleh
perusahaan untuk mendapatkan hak nya sebagai karyawan yang sudah bekerja selama
delapan tahun. “Jadi saat aku resign, aku benar-benar gak dapat apa-apa, nol,” tuturnya
sedih.
Pada puncak depresi, GL pun
nyaris mengakhiri hidupnya. Kepalan jemarinya sudah menggenggam sebuah gunting
yang siap dia hujamkan ke bagian tubuh sendiri. Beruntung, dia masih memiliki
partner hidup yang terus mendukung dirinya dalam keadaan terburuk sekalipun.
“Syukurnya aku punya suami yang
full support, jadi waktu lihat itu suami bilang “Yang, kamu ngapain begitu.”
Kadang aku kasihan juga sama anak aku, jadi pelampiasan. Dan baru kali ini aku
berani cerita sambil ketawa, sebelumnya gak bisa,” kenang GL dengan mata yang berkaca-kaca.
Kini GL tengah berusaha menata
hidupnya kembali setelah terjatuh ke dasar jurang yang dalam. Meski masih mengalami
beberapa teror dari pinjaman online yang belum dilunasi, GL sudah mempersiapkan
mentalnya. Dia sadar apa yang sudah dia lakukan adalah sebuah kesalahan, dan
dia siap untuk mempertanggung jawabkan apa yang dia lakukan. GL berjanji akan
tetap melunasi segala tagihannya yang mencapai puluhan juta dengan cara
mencicil sedikit demi sedikit.”
Kita tidak dapat memungkiri
kenyataan yang ada ataupun yang akan ada, itulah yang disebut sebagai bersikap
rasional. Untuk itu, kita juga perlu bersikap realistis menyikapinya, yakni
mempersiapkan mental kita sebaik dan sematang mungkin—sebagaimana kita belajar
berenang sebelum keadaan memaksa kita untuk berenang. Karena itu jugalah, kita
perlu belajar cara serta kiat-kiat untuk mempersiapkan jiwa dan mental kita,
agar menjadi lebih matang, lebih dewasa, lebih cerdas, esrta lebih tangguh,
sehingga siap ketika dihadapkan kepada terpaan dan kerasnya hidup.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.