Jangan Bersikap Seolah-Olah Tidak dapat Melangsungkan
Hidup Tanpa Bersikap Jujur dan Beretika dalam Berusaha / Berbisnis
Kita akan Hidup Sejahtera, bila Moralitas Kita Terjaga, itulah Ketenteram Hidup, Kebahagiaan dalam Moralitas.
Pernah ada seorang pelaku usaha bernama Eddy Santoso Tjahja yang secara tidak etis menyatakan, bahwa bila pelaku usaha berhasil “mengakali” dan “mengadali” pemerintah, semisal Kantor Pajak, maka kelicikan maupun kelihaian pelaku usaha tersebut patut diganjar “reward” alias diberi apresiasi berupa lepas dari jeratan beban pajak, seolah hidup ini ialah persoalan “adu kelihaian” dan “adu kelicikan”. Namun yang menggelikan ialah, pelaku usaha bernama Eddy Santoso Tjahja ini tidak lama sebelumnya telah menjadi korban modus “transfer pricing” (profit shifting) oleh korporasi “penanam modal asing” bernama JobsDB yang bermarkas-pusat di Hongkong, sehingga tidak pernah mendapatkan hak deviden selaku pemegang saham minoritas sebelum kemudian Eddy Santoso Tjahja dipecat secara tidak hormat oleh PT. JobsDB Indonesia dari jabatan Direksi karena kedapatan melakukan praktik eksploitasi tenaga kerja manusia yakni para pegawai JobsDB, yang menyerupai perbudakan demi kepentingan usaha pribadi Eddy Santoso Tjahja yang memiliki benturan kepentingan sehingga menyalahgunakan kedudukannya selaku direktur pada JobsDB Indonesia.
Eddy Santoso Tjahja
berkeberatan menjadi korban pelaku usaha yang licik dan lihai (namun jahat),
namun disaat bersamaan Eddy Santoso Tjahja memiliki paradigma berpikir yang
tidak kalah jahat dengan pihak-pihak yang telah pernah menjadikannya korban. Korban,
namun disaat bersamaan juga merangkap sebagai pelaku. Jika kita menelaah
peristiwa nyata di atas, dengan memakai kacamata Hukum Karma, maka sikap pelaku
usaha bernama Eddy Santoso Tjahja tersebut merupakan sikap yang tergolong “dungu”.
Mengapa yang bersangkutan patut
disebut sebagai “manusia dungu”? Menurut cara kerja Hukum Karma, pelaku yang
menyakiti ataupun merugikan seseorang (korban) yang tidak pernah merugikan
orang lain, akan memetik buah Karma Buruk yang besar dampaknya bagi si pelaku /
pembuat kejahatan itu sendiri, berbuah berkali-kali lipat banyaknya terutama
bila korbannya seseorang yang suci dan pelakunya berbuat kejahatan disertai
perasaan senang ketika sebelum, saat, dan setelah melakukan kejahatan. Sebaliknya,
bila sang korban ialah memiliki moralitas ataupun perilaku yang tidak ubahnya
alias tidak berbeda dengan sikap maupun sifat sang pelaku kejahatan, maka buah
Karma Buruk bagi sang pelakunya sangat minim.
Ibarat seorang algojo
mengeksekusi mati seorang terpidana hukuman mati, sangatlah minim atau mungkin
tiada buah Karma Buruk bagi sang algojo akibat moralitas manusia sang
tereksekusi yang bobrok dan rusak seutuhnya. Memberi makan seseorang yang buruk
moralitasnya, bisa jadi kalah besar buah Karma Baik yang akan kita terima bila
kita memberikan makanan tersebut kepada seekor anjing yang masih mampu
berkontribusi bagi majikannya dengan menjaga rumah sang majikan.
Lantas, apa penyebabnya,
sehingga seseorang bisa terjerumus seperti fenomena “korban namun disaat
bersamaan atau kemudian menjadi pelaku kejahatan serupa”, yang dalam terminologi
ilmu psikologi dikenal dengan fenomena “stockholm
sindrome”? Jawabannya ialah semata karena ia mengikuti arus, bukan seorang
pelawan arus. Mengalir seperti air, terdengar seperti perkataan seorang filsuf,
namun ia lupa bahwa air pada nature-nya
selalu mengalir ke arah bawah, bukan ke arah atas. Pemenang kehidupan selalu merupakan
seorang pelawan arus, dimana dengan kegigihan dan segala resiko maupun
konsekuensinya melawan arus yang ada.
Untuk itu mari kita simak khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “mengikuti arus” dan “melawan
arus”, dengan kutipan sebagai berikut:
~ Mengikuti Arus ~
“Para
bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang
yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh
dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang
brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.
(1) “Dan
apakah orang yang mengikuti arus? Di
sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan
buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan
apakah orang yang melawan arus? Di
sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan
buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh
air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut
orang yang melawan arus.
(3) “Dan
apakah orang yang kokoh dalam pikiran? Di sini, dengan hancurnya kelima
belenggu yang lebih rendah, seseorang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna
di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini disebut orang yang kokoh dalam
pikiran.
(4) “Dan
apakah orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang
berdiri di atas tanah yang tinggi?
[6] Di
sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang telah merealisasikan untuk
dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan
pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah
memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut orang yang telah menyeberang
dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.
“Ini,
para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang terdapat di dunia.”
Orang-orang
itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria, tidak bebas dari nafsu,
menikmati kenikmatan indria di sini, berulang-ulang kembali pada kelahiran dan
penuaan, “orang-orang yang mengikuti arus” tenggelam dalam ketagihan.
Oleh
karena itu seorang bijaksana dengan
perhatian ditegakkan, dengan tidak mendekati kenikmatan indria dan perbuatan
buruk, harus meninggalkan kenikmatan indria walaupun menyakitkan: mereka
menyebut orang ini “orang yang melawan arus.”
Orang
yang telah meninggalkan lima kekotoran, seorang yang masih berlatih yang telah
terpenuhi, tidak mungkin mundur, telah mencapai penguasaan pikiran,
indria-indrianya tenang: orang ini disebut “orang yang kokoh dalam pikiran.”
Orang
yang telah memahami hal-hal yang tinggi maupun rendah, membakarnya, sehingga
lenyap dan tidak ada lagi: orang bijaksana yang telah menjalani kehidupan
spiritual, telah mencapai akhir dunia, disebut “orang yang menyeberang.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.