Manusia adalah MAKHLUK YANG IRASIONAL
Betapa Tidak, Sebagian Diantara Kita PELIT dan KIKIR dalam Menanam Benih Karma Baik, Menyia-Nyiakan Kesempatan Berbuat Kebajikan yang Dibiarkan Lewat Begitu Saja di Depan Mata, dan Disaat Bersamaan Tidak Takut Berbuat Dosa untuk Dipetik Sendiri Konsekuensinya
Banyak kesempatan untuk berbuat baik yang sejatinya selalu muncul di hadapan kita, namun lebih banyak disia-siakan dan tidak dihargai berbagai kesempatan berharga tersebut yang justru biarkan lewat berlalu secara begitu saja, bahkan mengganggapnya sekadar sebagai gangguan semata untuk secepatnya disingkirkan—akibat kebodohan batin yang begitu tebal menutupi mata. Banyak diantara masyarakat kita di Indonesia, sebagai fenomena sosial atau memang sudah menjadi kultur, bersikap seolah-olah “sok sibuk”, namun waktu dan kehidupan mereka ternyata hanya diisi oleh kegiatan-kegiatan tidak produktif disamping kesibukan “sok sibuk” itu sendiri. “Sok sibuk” untuk “sok sibuk”, gejala khas fenomena sosial masyarakat urban yang telah menjadi kultur tersendiri di tengah masyarakat kita.
Sebagai salah satu contohnya,
meski bukan baru satu atau dua kali penulis alami di Indonesia, sebagai pecinta
kegiatan berjalan kaki dalam kegiatan sehari-hari dari dan menuju rumah,
seorang pemuda pengendara kendaraan bermotor roda dua dari arah belakang
mengklakson penulis dengan demikian keras, seolah-olah jalan umum tersebut
adalah miliknya—jika berani, berjalan kaki alih-alih dengan malasnya menaiki
kendaraan dan menikmati subsidi bahan bakar minyak dari pemerintah—lalu
melewati penulis yang hanya dapat berdiri terperangah, dengan laju kendaraan
yang dikemudikan olehnya secara mengebut. Mungkin orang yang sangat amat sibuk,
sehingga mengemudi bagai “kesetanan”.
Penulis melanjutkan perjalanan,
dan alangkah terkejutnya ketika lima puluh meter kemudian penulis mendapati
sang pengendara ternyata hanya sibuk kumpul-kumpul bersama teman-teman
pergaulannya di sebuah warung sekadar untuk urusan “tetek-bengek” berupa
ngobrol “ngolor-ngidul” yang tidak berfaedah juga tidak produktif. Tetap saja,
ia berdelusi bahwa dirinya adalah orang penting, orang super sibuk yang lebih
penting daripada warga lainnya. Dalam kejadian terpisah, saat penulis masih
sebagai seorang mahasiswa, ruang perkuliahan di kampus pada suatu ketika
dikunjungi oleh seorang mantan mahasiswa pada kampus tersebut, yang kini
menempuh program studi lebih lanjut di luar negeri, dan sedang mengumpulkan
data di Indonesia untuk keperluan disertasinya, dengan subjek responden pengisi
kuesionernya ialah para mahasiswa.
Sang tamu memohon kesediaan
para mahasiswa yang telah bubaran kuliah (pukul telah menunjukkan tiada kelas
perkuliahan lain, karena telah menjelang sore hari) untuk menjadi sukarelawan
sekadar merelakan beberapa menit mengisi kuesioner yang telah disediakan untuk
kepentingan kelulusan program studi doktoral sang tamu. Namun, dari sekian
banyak mahasiswa, hanya segelitir diantaranya yang bersedia untuk meluangkan
sedikit waktu untuk membantu sang tamu, itu pun atas ajakan penulis agar
kawan-kawan satu angkatan dengan penulis tidak lekas pulang dan mengikuti
kegiatan “sosial” ini—sekalipun, penulis mengetahui betul tabiat setiap
kawan-kawan kuliah, mereka segera lekas keluar ruang perkuliahan bukan untuk
belajar ataupun kegiatan penting lain, namun sekadar untuk mengobrol dan
kegiatan yang sekadar membuang-buang waktu secara tidak produktif.
Demikian egoistik dan
individualis-nya masyarakat perkotaan kita di Indonesia, dimana rasanya lebih
berjiwa sosial masyarakat di negara-negara Barat yang kerap menjadi sumber
penelitian para peneliti untuk dijadikan sukarelawan responden, sehingga banyak
publikasi ilmiah diterbitkan oleh para peneliti di Barat. Dalam kasus kejadian
di ruang perkuliahan di atas, sukarelawan sekadar dimintai pertolongan mengisi
kuesioner, itu pun hanya memakan sekian menit, tidak sampai setengah jam
mengisinya, tidak sampai harus diuji eksperimen dengan alat-alat sensor di
sekujur tubuh atau eksperimen lainnya seperti dimasukkan ke dalam tabung uji.
Itulah sebabnya, betapa minimnya hasil-hasil penelitian di Indonesia.
Kesempatan berbuat baik yang
ada di depan mata, namun disia-siakan dan dibiarkan berlalu begitu saja seolah
tidak memiliki nilai ataupun harga untuk dihargai sebagai sesuatu yang amat
bernilai untuk diperjuangkan dan berlomba-lomba untuk diraih. Begitu banyak
kesempatan baik mengalir di hadapan kita, namun banyak diantara kita yang
membutakan mata serta telinga mereka sendiri, akibatnya kurangnya kepekaan
serta minimnya kepedulian. Mereka mengaku ber-EQ tinggi, klaim mana semata
karena mereka merasa memiliki lingkungan pergaulan yang luas untuk berbagi
kesenangan konyol yang kadang tidak sehat serta tidak produktif, namun perihal
“empati” mereka justru amat sangat memprihantinkan disamping tidak dapat
diandalkan.
Salah satu kesempatan paling
melimpah untuk berbuat kebajikan, ialah bersikap sabar ataupun penuh kesabaran,
toleran, kompromistis, kesediaan untuk mengalah, merelakan sedikit waktu kita
(berdana waktu), pengertian serta kepedulian, berempati, turut bersimpati dan
prihatin, dan welas asih kepada sesama maupun kepada semua makhluk hidup—salah
satu gradasinya, ialah dengan tidak bersikap seolah “sok sibuk”, meski entah
apa yang mereka sibukkan selama ini, dan apakah ada yang lebih pantas
disibukkan daripada menabung modal hidup berupa menanam benih-benih Karma Baik
untuk kita petik sendiri manis buahnya dikemudian hari saat benih tersebut
ranum? Orang-orang yang lebih cenderung abai atas nasibnya sendiri di masa
mendatang, tergolong sebagai orang-orang yang “egoistik terhadap diri mereka
sendiri”—mereka bahkan tidak punya atau miskin kesabaran terhadap diri mereka
sendiri.
Manusia dapat menjelma makhluk
yang demikian irasional, manusia sebagai “makhluk irasional”. Berikut
ini kisah favorit penulis berisi pengalaman pribadi yang kerap mengalami
sendiri secara langsung dikeseharian menghadapi tingkah para pengendara
kendaraan bermotor kita di Tanah Air, pada ruas jalan manapun itu di perkotaan.
Sebagai seorang pejalan kaki, yang harus memberanikan diri dan menguatkan diri
berletih-letih untuk sampai tujuan, disamping teriknya panas matahari, beceknya
jalanan yang penuh lubang, guyuran hingga derasnya limpahan air hujan, disembur
asap knalpot yang panas dan tajam oleh knalpot kendaraan yang melintas di depan
mata, sengatan serangga yang tidak terduga, hingga ancaman mata yang berpotensi
tergores oleh rerantingan yang tumbuh menjalar hingga ke bahu jalan, alih-alih
dihargai dan dihormati, atau setidaknya diperlakukan secara manusiawi sebagai
sesama manusia, namun diperlakukan bak kasta paling rendah yang oleh para
pengedara kendaraan bermotor, yang mana lagi-lagi beralasan sedang “(sok)
sibuk”.
Sebagai seseorang yang lebih
kerap berjalan kaki ketika berada di luar rumah, penulis mengalami fenomena
“sok sibuk” masyarakat perkotaan kita bukan hanya dilakoni para pengendara
kendaraan bermotor roda dua, namun juga pengendara sepeda, pengendara mobil, apapun
latar belakang gender, tingkat ekonomi, maupun umur—meski tidak semua warga
perkotaan di Indonesia bersikap demikian, tanpa bermaksud menggeneralisir
ataupun menghakimi. Mereka dengan tidak sabar akan seketika itu juga
membunyikan klakson, atau membentak penulis seolah-olah mereka hendak mengejar
pesawat yang hendak lepas landas. Begitu tipis daya lenting toleransi mereka, bersumbu
pendek, betapa miskin kesabaran mereka, meski mereka sejatinya bisa menanam
banyak kebajikan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan berbuat bajik semudah
bersikap sabar dan bersabar, penuh kesadaran dan kesabaran.
Jangankan mengharap mereka
untuk mampu dan mau menanam Karma Baik yang lebih besar dan lebih hebat, bila
untuk hal-hal “kecil” (tanpa bermaksud menyepelekan perbuatan baik sekecil
apapun itu bentuknya) seperti kesempatan untuk menanam Karma Baik lewat
kesabaran yang mudah kita jumpai momentumnya di keseharian, mereka abaikan dan
sia-siakan seolah tidak berharga sama sekali. Semua hal dimulai dan dibiasakan
dari hal-hal “kecil”—tanpa bermaksud menyepelekan nilai berharga dibalik sebuah
kebaikan, sekecil apapun—seperti bersikap sabar. Menanam kesabaran, berbuah
kesabaran. Kesabaran, sekecil apapun, tetap saja manis buah Karma yang akan
kita petik. Menanam ketidak-sabaran, berbuah ketidak-sabaran.
Penulis menjalankan sendiri apa
yang penulis ajarkan. Setiap kali ada kesempatan berbuat baik, sekecil apapun
itu, tidak penulis remehkan. Harga pengorbanan yang kita ambil sangatlah murah dan
mudah, cukup bersikap sabar tidak sampai hitungan belasan ataupun puluhan menit.
Semisal mengalah di jalan, membiarkan pengguna jalan lain terlebih dahulu
lewat, bersikap sabar dengan memperlakukan orang lain dan pengguna jalan lain
sebagai seorang manusia yang dimanusiakan—bersikap manusiawi dan penuh welas
asih—bahkan hal-hal sederhana semisal bersikap hangat dengan menyampaikan
sapaan “selamat pagi” disertai senyum penuh apresiasi kepada petugas kebersihan
yang sedang menyapu dan membersihkan taman umum atau ketika mereka menyapu
daun-daun yang berguguran di pinggir jalan ataupun di fasilitas umum lainnya di
pagi hari.
Ketika Anda bertugas sebagai
seorang petugas kasir pada suatu minimarket ataupun swalayan, mungkin Anda
berpikir bahwa pelayanan secara biasa-biasa saja tidak membawa banyak arti bila
melayani konsumen ataupun pelanggan dan pengunjung dengan hati dan antusiasme
berupa kehangatan, keramahan, serta kepedulian disamping senyum dan empati.
Namun mohon untuk tidak bersikap “buang-buang kesempatan” seperti demikian.
Kita dapat berbuat “plus” dengan menambahkan suatu nilai tambah berupa kebaikan
dalam setiap tugas, peran, maupun eksistensi kita selaku sesama warga maupun
ketika kita sedang beraktivitas dan bekerja.
Semisal dalam contoh seorang
petugas kasir, kita bisa memanfaatkan kesempatan dengan bersikap (menanam
benih) ramah, hangat, dan bersahabat, semata agar kelak kita sendiri yang
memetik buah manisnya keramahan, kehangatan, serta sikap bersahabat orang lain
kepada kita. Banyak Aparatur Sipil Negara kita yang terjebak dalam mentalitas
kerdil, bahwa bekerja “melayani” publik secara standar saja, atau bahkan secara
tidak optimal, tidak ada ancaman apapun bagi karir jabatannya, sehingga untuk
apa merepotkan diri melayani dengan penuh antusias, empati, bertanggung-jawab,
keramahan, kehangatan, kepedulian, maupun nilai plus lainnya? Zona nyaman,
sungguh melenakan, sekaligus menjebak mereka yang selama ini duduk pada kursi Pegawai
Negeri Sipil.
Kita hendaknya memperlakukan
atau berbuat kepada orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang
lain. Bila Anda tidak ingin diintimidasi lewat klakson atau pengeras suara
kendaraan, maka bersikaplah sabar seperti menghormati hak seorang pejalan kaki
untuk turut melintas di jalan umum. Bila Anda tidak ingin jalan Anda dihalangi,
maka jangan rampas hak-hak pengguna jalan atas jalan milik umum seperti tidak
menggelar hajatan dengan memakai jalan (milik) umum—bukan milik pihak warga
setempat yang menggelar hajatan.
Bila kita tidak ingin dilayani
oleh petugas yang “dingin” dan minim kepedulian, maka jadilah pribadi yang
hangat serta penuh kepedulian, jika perlu disertai empati dan penuh pengertian
ketika melayani pihak konsumen / pengunjung. Kita selalu memiliki banyak
kesempatan untuk menanam benih-benih Karma Baik, yang kelak kita sendiri warisi
dan petik. Sehingga, bukan pada tempatnya kita bersikap egoistik kepada diri
kita sendiri, mengingat kita sendiri yang menanggung konsekuensi dibalik setiap
“aksi” kita, cepat atau lambat akan berbuah “reaksi”.
Sebagai sesama pengguna jalan
yang saling berbagi ruang gerak, tidak semestinya kita merampas hak pengguna
jalan yang lain, karena setiap warganegara sama derajatnya di mata hukum serta
memiliki hak yang sama terhadap jalan (milik) umum. Merampas hak orang lain,
merupakan kata kerja (verba, Karma), karenanya akan memiliki konsekuensi berupa
buah Karma diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain, yakni akan
dirampas haknya oleh pihak lain lagi. Sehingga untuk apa, kita bersikukuh
mencoba mencurangi hidup ini seolah-olah Hukum Karma membuka ruang celah bagi
Anda untuk berbuat curang dan mencurangi kehidupan?
Pengguna jalan yang berjalan
secara melawan arus, baik itu pengendara kendaraan bermotor roda dua, pengguna
sepeda, tidak terkecuali sesama pejalan kaki, yang alih-alih berjalan pada
haknya di lajur kiri, mereka justru berjalan pada lajur kanan dimana penulis
yang merupakan pejalan kaki yang sekadar menggunakan hak untuk berjalan bebas
dari gangguan “pelawan arus” manapun, dari sekian banyak kasus dan pengalaman
langsung yang penulis alami, seratus persen dari total pelawan arus tersebut
bersikap arogan dimana lebih galak daripada penulis yang dikorbankan haknya sekalipun
mereka yang berbuat keliru tanpa rasa malu ataupun rasa bersalah telah melintas
secara melawan arus, bahkan penulis pula yang harus mengalah bergeser ke badan
jalan dengan resiko potensi tertabrak pengendara kendaraan bermotor dari arah
belakang—mengapa juga, mereka yang melanggar aturan lalu-lintas dengan melintas
secara melawan arus, namun penulis pula yang telah dikorbankan serta selaku
korban yang harus mengalah dan membuat diri sendiri berpotensi tertabrak
kendaraan dari arah belakang yang juga kebetulan melintas? Mereka yang melawan
arus, namun orang lain yang patuh hukum dan sekadar menggunakan haknya yang
harus mengalah, dirugikan, dan berpotensi celaka akibat perbuatan egoistiknya
merampas hak pengguna jalan lainnya.
Menjadi jelas, bahwa mentalitas
bangsa Indonesia belum mengenal apa yang disebut sebagai kultur “rasa malu” dan
“rasa takut” berbuat jahat ataupun keliru. Betapa tidak, motto atau semboyan
favorit bangsa “agamais” di republik ini ialah sebaliknya, kontras dengan itu,
yakni : “BUAT DOSA? SIAPA TAKUT!”—semata-mata
mereka telah menjadi pelanggan tetap yang setiap hari dan setiap tahunnya
mengonsumsi iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, dimana “merugi sendiri” menjadi korban atau dikorbankan, dan juga
adalah “RUGI” bila tidak menjadi seorang penjahat ataupun pendosa. Mengapa
mereka justru bangga, bersikukuh, tanpa malu serta tanpa rasa takut, secara
arogan berbuat buruk dan tercela dengan merampas hak-hak orang lain dimana
bahkan korban adalah justru pihak yang patuh terhadap hukum seolah-olah tidak
punya hak dan seolah-olah hanya pelakunya yang punya hak?
Inilah bagian kisah yang paling
lucu sekaligus yang paling irasional dari perilaku pengendara kendaraan
bermotor, sebagaimana selalu penulis alami sebagai pejalan kaki yang berjalan
kaki di ruas jalan mana pun di Kota Jakarta, Indonesia. Para pengendara
tersebut, entah roda empat ataukah roda dua, mengklakson pejalan kaki secara
tidak manusiawi. Perlakuan mereka terhadap sesama manusia, yang notabene
makhluk hidup, penuh ketidaksabaran dan arogansi, tanpa welas-asih. Mereka
begitu tampak “sok sibuk”, tanpa rempati bersikap tega mengklakson pejalan kaki
dan memacu kendaraannya secara cepat, seolah pejalan kaki tidak memiliki hak
atas jalan tersebut dan hanya menghalangi jalan “milik” mereka.
Namun, tidak sampai berjarak
dua ratus meter di depan, terdapat motor ataupun motor yang dalam kondisi
terparkir di sisi jalan kiri tersebut, sehingga hanya menyisakan satu ruas /
lajur jalan yang berlawanan arah. Gaibnya, para pengendara yang sebelumnya dengan
entengnya mengklakson pejalan kaki, ketika menemui adanya kendaraan bermotor
yang diparkir atau dalam kondisi terparkir pada ruas jalan di depan mereka,
mereka tidak mengklaksonnya, seketika dengan penuh kesabaran melambatkan laju
kendaraan, “mendadak alim”, bahkan berhenti sama sekali, menunggu ada
kesempatan untuk melaju di lajur kanan ketika tiada lagi yang melintas
kendaraan dari arah berlawanan.
Terhadap benda mati seperti
kendaraan bermotor yang diparkir di jalan, para pengendara tersebut bisa sangat
toleran, penuh kesabaran, kompromistis, penyabar, dan santun. Namun, terhadap
pejalan kaki, yang notabene sesama manusia, sesama warga dari negara yang sama,
sesama makhluk hidup, para pengendara tersebut menampilkan wajah dan watak
demikian intoleran, bak penjajah, merendahkan martabat, tidak penyabar, tidak
sabaran, jahat, tidak berwelas-asih, keji, jahat, bahkan pernah terjadi
pengendara tersebut lebih memilih menabrak penulis selaku pejalan kaki—sehingga
kaki penulis mengalami memar luka, itu pun pelaku penabrak yang menyalahi
penulis selaku korbannya, seolah-olah jalan umum hanya monopoli milik
pengendara—ketimbang menabrak motornya kepada pengendara lain yang duduk diam
di atas kendaraan bermotor miliknya yang diparkir secara liar di pinggir jalan
dan memakan bahu jalan.
Irasonal atau kegilaan serupa
tampak dalam kondisi sebangun, dimana pada lajur kanan terparkir kendaraan roda
empat, sehingga hanya menyisakan lajur sebelah kiri. Gilanya, ketika penulis
hendak melintas, masih sebagai seorang pejalan kaki, seorang pengedara
kendaraan bermotor roda empat dari arah belakang mengklaksoni penulis,
seolah-olah penulis tidak berhak atas jalan milik umum tersebut, sekalipun sang
pengemudi tidak berlelah-letih dan cukup duduk manis untuk bisa tiba lebih
cepat daripada pejalan kaki, namun masih juga dikuasai oleh keserakahan, “abuse of power” berupa bumper mobil yang
terbuat dari besi (“banteng besi sang penanduk manusia”), justru memperlakukan
penulis selaku makhluk hidup sesama manusia tidak lebih manusiawi ketimbang
perlakuan sang pengemudi terhadap mobil (benda mati) yang diparkir di pinggir
jalan.
Jika warga pengemudi kita masih
waras, semestinya mereka mengklaksoni benda mati untuk mereka tabrak jika
perlu, alih-alih pamer arogansi kepada makhluk hidup yang mereka takut-takuti dengan
membunyikan klakson bahkan tidak jarang pula para pengendara tersebut mencaci-maki
penulis seolah sebagai penghalang jalan, sementara itu disaat bersamaan terhadap
kendaraan bermotor yang diparkir secara liar di badan jalan sehingga hanya
menyisakan satu lajur jalan dari ruas jalan yang ada, para pengendara tersebut
demikian penyabar, toleran, kompromistik, serta tidak pernah mengutuk maupun
mencaci-maki kendaraan yang diparkir maupun terhadap pemilik kendaraan yang memarkir
kendaraannya secara liar, ataupun bersungut-sungut atas kondisi yang ditemui
sang pengendara.
Kini kita masuk pada puncak
bahasan kita. Bangsa Indonesia layak menyandang gelar sebagai bangsa yang
“PENGECUT” sekaligus “PEMALAS”. Mengapa? Mereka, adalah para pemalas yang selama
ini malas menanam Karma Baik, maunya semudah memohon, mengemis-ngemis, sembah
sujud, melantunkan lagu puja-puji, budaya serba “instan”, seolah segala sesuatu
dapat terjadi tanpa didahului suatu sebab yang mendahului, dan dapat jatuh
begitu saja dari langit tanpa sebab, lalu masih juga mengharap “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Pengecut, plus pemalas, kombinasi
serupa dari tipikal “manusia hewan”, alih-alih humanis bak “manusia manusia”
ataupun Tuhanis bak “manusia dewa”.
Untuk memperoleh “akibat”, suka
tidak suka kita harus merepotkan diri menyingsingkan lengan baju untuk menanam
sebagai “sebab”. Kita dapat menyebutnya sebagai “hukum aksi dan reaksi”. Ada
reaksi, disebabkan oleh aksi yang mendahuluinya. Tiada aksi, maka tiada reaksi.
Dengan kata lain, tiada sebab, maka jangan mengharapkan akibat—mengharap pun
jangan, karena itu adalah delusi seolah sesuatu dapat terjadi tanpa sebab yang
mendahuluinya ataupun sekadar berharap dan memohon sesuatu dapat jatuh tanpa
sebab, begitu saja dari langit. Seorang petani tahu betul hukum “tabur-tuai”,
dimana mereka bila hendak menuai suatu berkah manis, harus menanam yang benih
manis terlebih dahulu, dengan sikap gigih, ulet, kesabaran, dan usaha, bukan
dengan segala ritual sembah-sujud. Dengan kata lain, kerja keras berbuah manis.
Diluar itu, yang ada ialah
hanya para pemalas dan para pemimpi yang sekadar bermimpi. Mereka berpikir dan
berasumsi, bahwa bertanggung-jawab atas hidup mereka adalah pihak eksternal
diri mereka, yakni sang “pemberi” cobaan. Karena itulah, mereka disebut juga
sebagai seorang pecundang, pemalas-pecundang. Sebaliknya, para pejuang
kehidupan disamping gigih (mau merepotkan diri) untuk menanam, juga
bertanggung-jawab atas hidupnya sendiri, yang karenanya tidak menjadi beban
bagi orang lain, juga tidak menjadi beban bagi “langit”, “Tuhan”, atau sebutan
imajinatif lainnya. Mereka menjadi arsitek bagi takdir dan nasib mereka
sendiri, sebagai bagian dari “the right
of self determination”, hak untuk menentukan nasib sendiri.
Seolah belum cukup, mereka pun
tergolong sebagai kaum pengecut, disamping pemalas serta pecundang. Betapa
tidak, bila para ksatria bersikap ksatria dengan siap dan sigap untuk
bertanggung-jawab atas setiap perbuatannya, baik perbuatan baik maupun
perbuatan buruk, sekecil apapun, maka keadilan selalu akan diperoleh oleh para
korban. Menjadi suciwan, artinya penuh kewaspadaan serta mawas diri terhadap
perbuatan diri sendiri, sehingga tidak merugikan, melukai, ataupun menyakiti
pihak lain. Seorang suciwan, tidak pernah membutuhkan—terlebih menjadi
pelanggan tetap—ideologi “korup” penuh kecurangan semacam “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Bila Anda beralasan, bahwa kita
bisa jadi berbuat kelalaian yang mengakibatkan kerugian, luka, maupun derita
bagi orang lain, sehingga tidak memungkinkan hidup sebagai orang awam untuk
menjadi seorang suciwan. Namun, janganlah bersikap seolah-olah Anda tidak
memiliki opsi lainnya, yakni untuk menjadi seorang ksatria dengan jiwa ksatria.
Bukan tidak mampu, namun ketidakmauan. Ketika Anda sejatinya dapat memilih
untuk memilih jalan hidup layaknya seorang ksatria, namun telah ternyata Anda
tetap saja menjatuhkan pilihan sebagai seorang pengecut tulen dengan menjadi
pelanggan tetap ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa”
maupun “penebusan dosa”, maka Anda memang adalah seorang pengecut berdasarkan
pilihan Anda sendiri.
Kombinasi antara orang-orang
berjiwa pemalas, sebagai pecundang kehidupan hanya tahu meminta, memohon, dan
mengemis-ngemis, tanpa bersedia merepotkan dan meletihkan diri untuk menanam
kebaikan, sekadar mengharap suatu berkah jatuh begitu saja dari langit
berdasarkan semudah ritual puja-puji ataupun sembah-sujud—seolah-olah Tuhan
butuh sosok manusia busuk dan kotor semacam “pendosa penjilat penuh dosa yang
berdosa”—disatukan dengan tabiat atau watak pengecut, yang semata tidak menaruh
pengendalian diri terhadap perbuatannya sendiri, dan masih pula mengharap “too good to be true” aksi “cuci
tangan” dan “lempar batu sembunyi tangan” (melarikan diri bak tabrak-lari)
berupa “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—seolah-olah
Tuhan lebih PRO tehadap pendosa alih-alih bersimpati kepada jeritan korban—maka
itulah yang disebut sebagai bangsa yang pemalas nan pengecut.
Bangsa dengan mentalitas kerdil
dan korup, namun berdelusi bahwa dirinya adalah bangsa besar yang patut
berbangga diri dengan kemasan “agamais”, ataupun fatamorgana bahwa mereka
disayangi oleh Tuhan dan terjamin masuk alam surgawi, seolah surga adalah tong
sampah raksasa bagi para pendosa. Bukankah memprihatinkan, mendapati sebuah
bangsa yang memandang citra dirinya di cermin sebagai seekor singa yang besar
dan berwibawa, meski sejatinya adalah seekor kucing kecil yang pengecut juga
pemalas, masih pula berdelusi bahwa dirinya dicintai dan dibutuhkan oleh Tuhan,
yang jelas-jelas hanya akan mencemari kemurnian Tuhan bila seorang manusia
kotor hendak bersatu dengan diri-Nya.
Penghapusan dosa, deterjen
merek baru yang dipromosikan dapat mencuci bersih dosa sehingga para pendosa
dapat kembali suci-bersih-murni? Itu menyerupai upaya memanipulasi sejarah yang
telah tercipta, dan berdelusi dapat menghapusnya, cuci-tangan (sin laundring). Lantas, bagaimana dengan
hak-hak keadilan bagi para korban dari para pendosa (para “pengecut”) tersebut?
Apapun alibi para pendosa tersebut, siapa yang dapat memungkiri bahwa “hanya
seorang pendosa, yang membutuhkan penghapusan dosa”. Pendosa, namun
mengharap berhak untuk berceramah perihal hidup baik, suci, mulia, dan luhur?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.