Sertifikat Tanah Tumpang-Tindih, Salah Kaprah Memaknai Umur Sertifikat Dibandingkan Umur Alas Hak

LEGAL OPINION
Question: Jika ada sertifikat tanah yang bidang tanahnya ternyata saling bertumpang-tindih separuhnya dengan sertifikat tanah punya orang lain, sertifikat punya siapa yang akan dimenangkan oleh pengadilan bila masalah ini dibawa ke jalur hukum?
Brief Answer: Terhadap dua atau lebih sertifikat hak atas tanah yang saling tumpang-tindih (overlaping) maupun berhimpitan separuh bidang tanahnya, maka salah satu sertifikat hak atas tanah dapat dimintakan pengukuhannya sekaligus membatalkan sertifikat hak atas tanah pihak lain lewat gugatan perdata ke pengadilan.
Yang akan lebih diunggulkan, sekalipun praktik peradilan masih mengalami kesukaran dalam memilah dan memaknai perihal umur hak atas tanah, ialah sertifikat hak atas tanah yang memiliki “alas hak” dengan usia lebih tua, daripada sertifikat hak atas tanah lawan—sehingga umur yang tertera dalam sertifikat, bukan menjadi penentu utama.
Sebagai contoh, sertifikat hasil pemecahan ataupun pemisahan dari sertifikat induk, maka “alas hak” dari sertifikat hasil pemecahan demikian, umurnya ialah merujuk sertifikat induk, bukan saat terbitnya sertifikat hak atas tanah hasil pemecahan. Begitupula sertifikat hasil pembebasan tanah, “alas hak”-nya tidak lain ialah umur sertifikat milik warga yang dahulu telah dibebaskan.
Sama halnya terhadap konversi terhadap Tanah Adat (sertifikat Girik) menjadi sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, umur dari hak atas tanah bukan dilihat dari tanggal atau tahun yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah terbitan Kantor Pertanahan, namun umur dari “alas hak”-nya itu sendiri, yakni sejak dikelolanya Tanah Adat sampai kemudian dimohonkan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan setempat.
Namun demikian, yang cukup disayangkan ialah, praktik peradilan bahkan hingga Mahkamah Agung masih belum mampu untuk menganalisa sampai sejauh itu, dan sekadar memeriksa secara “kulit” belaka, tanpa meninjau “alas hak” dibalik terbitnya sebuah sertifikat sebagai suatu track record hak atas tanah.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret yang sangat relevan dan cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 600 K/Pdt/2016 tanggal 14 September 2016, perkara antara:
- DJAKARIA KOMAR, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA cq. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA cq. KEPOLISIAN DAERAH JAWA BARAT cq. SEKOLAH POLISI NEGARA CISARUA, sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat; dan
- BADAN PERTANAHAN NASIONAL, KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BANDUNG BARAT, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
Penggugat merupakan pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1045/Desa Jambudipa, dengan Surat Ukur tercantum tanggal 11 Agustus 2006, tercantum atas nama Djakaria Komar (Penggugat), yang diterbitkan pada tanggal 18 September 2006 oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung.
Asal mulanya / “alas hak” terbitnya SHM diamksud, adalah berdasarkan pemberian hak atas tanah negara ex. Tanah Erfach Nomor 326, sebagaimana ternyata dari Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah pada tanggal 21-6-2006, dengan keterangan diktum sebagai berikut:
Memutuskan:
Menetapkan:
Pertama: Menegaskan tanah negara yang dimohon sdr. Djakaria Komar, dan kawan-kawan (4 orang), seluas 789 m², terletak di Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, sejak tanggal 24-09-1960 telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara; [Note SHIETRA & PARTNERS: Tahun 1960 itulah, patokan umur dari “alas hak” dari hak atas tanah milik Penggugat.]
Kedua: Memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung untuk melakukan pencatatan dalam buku tanah sertifikat dan daftar umum lainnya tentang penegasan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama;
Ketiga: Memberikan hak milik kepada sdr. Djakaria Komar, dan kawan-kawan (4 orang) yang mulai berlaku terhitung sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung, atas sebidang tanah seluas 789 m², sesuai Peta Bidang tanggal 27-04-2006 Nomor 1209/2006, terletak di Desa Djambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian hak milik ini maupun dari segala tindakan atas penguasaan tanah yang bersangkutan, menjadi tanggung-jawab sepenuhnya dari penerima hak;
2. Bidang tanah tersebut harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta harus dipelihara keberadaannya;
3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002, uang pemasukan kepada negara ditetapkan sebesar Rp0,00;
4. Tanah tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya dan sifat serta tujuan dari hak yang diberikan;
Keempat: Untuk memperoleh tanda bukti hak berupa sertifikat, penerima hak harus mendaftarkan haknya pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal keputusan ini, dengan melampirkan foto copy surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan memperlihatkan aslinya;
Kelima: Keputusan pemberian hak milik ini batal dengan sendirinya, apabila penerima hak tidak memenuhi kewajiban tersebut pada diktum ketiga dan diktum keempat;
Keenam: Mengenai sesuatu yang berhubungan dengan pemberian hak milik ini penerima hak dianggap memilih tempat kedudukan tetap (domisili) pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung di Soreang;
Ketujuh: Surat keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya dan akan diadakan perubahan / perbaikan sebagaimana mestinya apabila ternyata dikemudian hari terdapat kekeliruan / kesalahan.”
Adapun asal mulanya Penggugat menguasai dan memiliki bekas tanah negara ex. Tanah Erfach (objek tanah) tersebut di atas, yang secara kronologis terurai sebagai berikut. Dimulai sejak tahun 1960, Penggugat bersama-sama dengan para penduduk setempat lainnya telah menggarap / mengelola tanah negara ex. tanah erfach yang terlantar, dimana lahan tanah oleh Penggugat digarap / ditanami tanaman palawija.
Sebelumnya, sebagian besar tanah negara ex. Tanah Erfach tersebut pada tahun 1954 telah dikuasai oleh Kesatuan Brimob Polda Jabar dan dijadikan lapangan untuk latihan-latihan fisik Kesatuan Brimob dimaksud, sedangkan sebagian kecilnya / bagian pinggirannya dikuasai / digarap oleh para penduduk setempat, termasuk oleh pihak Penggugat.
Adapun batasan antara tanah negara yang dikuasai oleh Penggugat dengan tanah negara yang dikuasai oleh Brimob Polda Jabar, sejak tahun 1960 telah dibatasi dengan jalan kampung yang lebarnya satu meter yang setiap hari digunakan oleh para penduduk setempat untuk jalan umum guna menghubungkan dari kampung yang satu ke kampung lainnya.
Memasuki tahun 1992, tanah negara yang dikuasai oleh Brimob Polda Jabar telah beralih penguasaannya menjadi dibawah penguasaan Sekolah Polisi Negara Kepolisian Daerah Jawa Barat (SPN Cisarua, Tergugat) dan pada tahun itu pula Tergugat telah membuat pagar pembatas berupa pagar besi kawat berduri sebagai tanda batas-batas tanah yang dikuasai SPN Cisarua.
Dengan demikian terbentuklah / terlihat bahwa jalan kampung yang lebarnya satu meter tersebut dan tanah negara yang digarap / dikuasai oleh Penggugat (objek sengketa), letaknya di luar pagar pembatas berupa pagar besi kawat berduri yang dibuat oleh Tergugat sendiri sebagai tanda batas-batas tanah yang dikuasai SPN Cisarua.
Memasuki tahun 2006, atau dengan kata lain, Penggugat yang telah menempati / mengelola objek tanah selama 46 tahun tanpa terputus, mengajukan permohonan atas tanah negara yang dikuasainya tersebut untuk diberi status sebagai tanah hak milik, kepada Kantor Pertanahan setempat (Turut Tergugat), dan atas permohonan Penggugat tersebut selanjutnya pihak Kantor Pertanahan telah mengabulkannya, dengan menerbitkan Surat Keputusan / Penetapan sebagaimana diurai di atas.
Selanjutnya atas dasar Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah pada tahun 2006 demikian, diterbitkanlah SHM Nomor 1045/Desa Jambudipa, atas nama Penggugat sebagai pihak pemegang hak. Dengan demikian, tanah garapan yang digarap / dikuasai oleh Penggugat, sekarang telah sah berstatus sebagai tanah hak milik Penggugat.
Sengketa bermula, ketika pada tanggal 13 Mei 2009, Tergugat membuat surat yang ditujukan kepada Penggugat, menyampaikan agar Penggugat segera mengosongkan tanah yang dimiliki oleh Penggugat, dengan alasan karena tanah tersebut adalah tanah milik SPN Cisarua Polda Jabar. Penggugat tidak menanggapi dan tidak menyerahkan tanahnya, sehingga sampai kini objek tanah masih dikuasai dan dikelola oleh Penggugat, dengan alasan karena tanah yang ditempati oleh Penggugat adalah sah tanah yang telah berstatus hak milik atas nama Penggugat.
Terlebih, tanah hak milik Penggugat secara nyata-nyata terletak di luar pagar pembatas berupa pagar besi kawat berduri yang dibuat oleh pihak Tergugat sendiri, sebagai tanda batas tanah yang dikuasai SPN Cisarua. Oleh karena Tergugat telah mengklaim tanah milik Penggugat yang telah bersertifikat Hak Milik yang diterbitkan pada tanggal 18 September 2006, karenanya tidak sepatutnya Tergugat dengan tiba-tiba meminta kepada Penggugat agar segera mengosongkan tanah objek sengketa, dengan demikian tindakan Tergugat yang mengklaim tanah milik warga negara lainnya, dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Bale Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 86/Pdt.G/2014/PN.BB., tanggal 20 November 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung di atas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung lewat putusannya Nomor 179/PDT/2015/PT.BDG., tanggal 28 Mei 2015.
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat kaedah hukum secara salah kaprah dan secara dangkal memaknai “alas hak” terkait umur hak atas tanah dengan sekadar melakukan perbandingan kedua Sertifikat Hak Atas Tanah terbitan Kantor Pertanahan milik pihak Penggugat maupun milik pihak Tergugat (sekalipun senyatanya Penggugat telah mengelola hak atas tanah berupa Tanah Adat sejak tahun 1960), dengan pertimbangan hukum “klise” serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Sertifikat Hak Milik Penggugat terbit tahun 2006, sedangkan hak pakai Tergugat terbit tahun 1998, tetapi kedua surat autentik itu untuk lokasi atau bidang tanah yang sama atau berhimpitan atau tumpang tindih, oleh sebab itu, surat yang terlebih dahulu terbit yang memiliki kekuatan hukum, yaitu hak pakai Tergugat tahun 1998; [Note SHIETRA & PARTNERS: Mahkamah Agung RI seolah memungkiri fakta bahwa umur dari ‘alas hak’ milik Penggugat ialah dengan umur terhitung sejak tahun 1960 berupa tanah adat.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi DJAKARIA KOMAR, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi DJAKARIA KOMAR, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.